Mei 20, 2016

Welcome Lea Arum Rahajeng Putri (Earth/22 Maret 2016)

Tulisan istri terkait proses persalinan putri kami: Lea Arum Rahajeng Putri
Minggu malam (20/3/2016) jam 22.30 WIB aku mulai merasakan gelombang rahim yang sudah lama dinanti sejak HPL lewat. Rasanya perut mulas dan kencang-kencang. Datangnya kurang lebih 20 menit sekali. Nafas perut dalam-dalam selalu aku praktekkan. 

Pada tengah malam pukul 00.00 WIB aku menyempatkan diri untuk meditasi dan rileksasi dengan mendengarkan CD Hypnobirthing yang dibeli di Bidan Kita http://www.bidankita.com/ dan Aplikasi Kontraksi Nyaman.

Sekitar jam 02.00 WIB hari Senin dinihari aku mengecek pembukaan di bidan Nina dekat rumah. Setelah sampai di sana dan dicek dalam sudah bukaan 4 ke 5. Kami lalu pulang ke rumah lagi di Nyutran.

Sampai rumah jam 04.30 WIB aku kembali mendengarkan CD Hypnobirthing dan Aplikasi Nyaman.

Senin pagi jam 06.00 WIB aku berangkat ke RS Jogja International Hospital (JIH) di Condong Catur, Sleman. Sesampainya di sana aku diperiksa dalam, beda hasilnya dari bidan di dekat rumah, ternyata masih bukaan 2 ke 3.

Sambil menanti gelombang rahim selanjutnya aku menyempatkan diri mandi air hangat dan sarapan pagi untuk rileksasi otot-otot tubuh dan mengumpulkan energi. Suami juga terus memijat akupressur, endhorphin dan oksitosin massage yg dipelajari di kelas persiapan persalinan di Bidan Kita.

Senin siang jam 14.00 WIB aku dicek dalam lagi oleh bidan di JIH. Ternyata sudah bukaan 5. Lalu jam 16.00 WIB dicek dalam lagi sudah naik ke bukaan 7. 

Di sela-sela waktu pemeriksaan dalam aku berjalan-jalan di lorong lantai 3 JIH. Melihat lukisan yang ditempel di dinding dan memandang pepohonan hijau dari balik jendela kaca. Kalau gelombang rahim datang aku tetap bergerak, jongkok, njengking dan fokus ke nafas perut. Suami juga selalu memijat dan mengelus sambil membisikkan afirmasi positif.

Aku pun membawa buku Gentle Birth Balance. Sambil menunggu aku baca-baca lagi utk mengingatkan diri sendiri.

Jam 16.30 WIB sore aku dipindah ke ruang bersalin karena sudah bukaan 7. Gelombang rahim makin sering datang. Di JIH dengan dr. Adi boleh membawa gymball. Jadi tetap bisa goyang Inul di ruang bersalin.

Jam 20.30 WIB dr. Adi datang menjenguk di ruang bersalin. Setelah dicek dalam sudah bukaan 9.

Tapi setelah menunggu sampai keesokan harinya (Selasa, 22 Maret 2016) pembukaan tetap 9. Aku lalu mandi air hangat agar lebih segar.

Lalu aku mempraktekkan video side lying release yang didapat dari bidan Yesie. 

Selasa pagi jam 08.00 WIB dr. Adi kembali datang dan melakukan USG. Air ketuban sudah mulai merembes keluar. Akhirnya kami memutuskan untuk diinfus agar bisa bukaan komplit. Karena sudah menunggu semalam suntuk. Dr. Adi memberi dosis yg ringan saja. 

Sekitar jam 12.30 gelombang rahim datang dengan lebih intens. Aku merilekskan diri dengan nafas perut. Suami juga memutarkan musik intrumental dari HP.

Tepat jam 13.22 WIB malaikat kecil yg kami terlahir ke bumi. Dibantu oleh dr. Adi dan bidan-bidan di JIH.
Sungguh anugerah terindah dari Tuhan yang telah kami nanti 5 tahun sejak pernikahan 11-11-2011. 

Terima kasih bidan Yesie dan teman-teman di Bidan Kita. Tak lupa untuk teman-teman di kelas Pre Natal Gentle Birth Yoga, kalian luar biasa.

Majalah Dinda

Dimuat di Majalah Utusan edisi Oktober 2015
"Kenapa dari tadi Dinda mukanya cemberut terus? Mungkin karena hari ini aku datang terlambat. Tidak seperti biasanya Dinda bersikap seperti itu,” Ratih membatin dalam hati sambil memandangi Dinda yang wajahnya seperti baju belum disetrika.

“Tasya, Alexa…ada apa dengan Dinda? Dari tadi ia terus bermuram durja seperti itu. Apa mungkin ia sedang bete?” Ratih bertanya kepada Tasya dan Alexa yang duduk di bangku urutan paling belakang.
Tasya dan Alexa diam tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Ratih.

Ratih makin dibuat bingung. Apalagi setelah ia bertanya kepada Tasya dan Alexa tadi, mimik wajah Dinda kian terlihat jutek. Dinda menopang dagu dan mengerutkan dahi.

Dengan perasaan makin penasaran, ia pun bertanya kepada Andre dan Reynold yang duduk di bangku di depannya, “Andre, Reynold, kalian datang ke sekolah lebih dulu dari aku. Pasti kalian tahu kenapa Dinda cemberut terus. Tasya dan Alexa juga tidak seperti biasanya. Apa mereka bertiga sedang marahan?” 

Setelah saling bertatap muka, akhirnya secara bergantian Andre dan Reynold pun mulai menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya tadi terjadi.

“Iya Tih, Dinda memang sedang marah kepada Tasya dan Alexa,” papar Andre.

Ratih mengernyitkan keningnya dan bertanya, “Kenapa?”

“Karena majalah barunya direbut dan tersobek oleh Tasya dan Alexa,” timpal Reynold.

“Tadi pagi, aku, Tasya, Alexa, dan Andre datang lebih awal dari Dinda. Ketika Dinda baru datang, ia langsung menunjukkan majalah yang baru ia beli. Kata Dinda majalah itu memuat puisi yang dikirimnya.

Mendengar itu, Tasya dan Alexa langsung merebut majalah tersebut dari tangan Dinda. Mereka tak sabar dan ingin membaca puisi Dinda,” Reynold menjelaskan dengan terperinci.

“Lancangnya…” tanggap Bagas yang juga mendengarkan percakapan tersebut. Ratih sontak melotot ke arah Bagas.

“Tapi, Dinda belum mau meminjamkannya karena ia sendiri belum selesai membaca puisinya di majalah tersebut,” sambung Reynold.

“Hmm … terus, kenapa mereka bisa sampai marah?” Ratih makin penasaran.

“Karena Tasya dan Alexa tak menghiraukan kata-kata Dinda. Mereka malah sibuk tarik-menarik memperebutkan majalah Dinda sampai akhirnya bagian depan majalah itu sobek. Melihat majalahnya sobek, Dinda pun menangis dan marah besar kepada Tasya dan Alexa,”

“Nah, melihat Dinda menangis, Tasya dan Alexa menyesal dan meminta maaf kepada Dinda. Tapi Dinda tidak mau memaafkan mereka,” lanjut Andre menambahkan cerita Reynold.

“Jadi begitulah kejadiannya tadi sebelum kamu datang, dan sampai sekarang pun, Dinda masih terlihat sedih dan cemberut seperti,” pungkas Reynold sambil melirik ke arah Dinda.

Perasaan Ratih pun sedikit lega usai menyimak paparan tersebut karena ia tahu duduk persoalannya.

**

Setelah itu, Ratih duduk di samping Dinda dan menghiburnya agar jangan bersedih. Ia juga mencoba membujuk Dinda agar mau memaafkan Tasya dan Alexa yang tak sengaja menyobek majalahnya.

“Sudahlah, Din. Maafkan mereka. Mungkin mereka tidak mendengarkan penjelasan kamu. Kita semua kan sahabat. Jangan hanya karena masalah seperti itu, tali persahabatan kita dengan mereka sejak kelas 1 sampai kelas 5 sekarang ini langsung putus?” bisik Ratih sambil menepuk-nepuk bahu Dinda.

Alhasil, setelah beberapa lama dihibur dan dibujuk oleh Ratih, Dinda pun mulai mau membuka diri dan bisa memaafkan keteledoran Tasya dan Alexa tadi pagi. 

Begitu juga dengan Tasya dan Alexa, setelah dibujuk oleh Ratih mereka pun mulai sadar perbuatannya kurang tepat. Mereka pun bersedia meminta maaf sekali lagi kepada Dinda. Tasya dan Alexa berharap kali ini Dinda mau memaafkan mereka.

Pasca-kurang lebih 2 jam belajar, bel tanda waktu istirahat pun berbunyi. Semua anak-anak kelas enam keluar dari kelas kecuali Ratih, Dinda, Tasya, dan Alexa. 

Dengan perasaan sedikit ragu, Tasya dan Alexa mencoba mendekati Dinda yang masih terlihat cemberut dan sedih.

“Din, Din… maafkan kami ya! Karena tadi pagi kami menyobek majalahmu,” ucap Tasya dengan terbata-bata.

“Iya Din. Maafkan kami… kami berjanji, nanti kami akan mengganti koranmu yang rusak itu,” sambung Alexa.

Dinda pun terdiam sejenak sembari berpikir. Lalu, ia menoleh ke arah Tasya dan Alexa.

“Baiklah, aku maafkan kalian. Tapi lain kali, kalian jangan merebut dan merampas barang-barang milik orang lain sebelum diijinkan pemiliknya ya, harus minta ijin baik-baik dulu,” Dinda akhirnya mau berbicara.

“Terima kasih Dinda karena kamu sudah mau memaafkan aku dan Alexa. Sebagai permintaan maaf dari kami, ijinkan kami untuk membelikanmu majalah baru,” ucap Tasya dengan perasaan lega.

“Iya, tapi kalian juga harus berterima kasih kepada Ratih, kalau bukan karena bujukan darinya, belum tentu sekarang aku mau memaafkan kalian,” imbuh Dinda sambil melihat Ratih yang sibuk menghapus tulisan di papan tulis.

Alexa pun segera melangkah menghampiri Ratih dan berkata, “Terima kasih ya, Tih. Kalau bukan bujukan dari kamu, mungkin sampai sekarang aku dan Tasya masih bertengkar dengan Dinda.”

Ratna pun berbalik badan. Ia menuruni kedua anak tangga kecil tempatnya berdiri tadi. “Oh, iya … sama-sama Alexa. Itu kan sudah tugasku sebagai sahabat kalian,” ucap Ratih dengan hati berbunga-bunga.

"Iya Ratih. Mulai sekarang kita harus saling menyayangi dan melengkapi sebagai sahabat,” sahut Dinda sembari tersenyum. Ratih, Alexa, dan Dinda pun serempak mengangguk tanda setuju.

“Eh, dari tadi kita di kelas terus, keluar yuk sebelum bel masuk istirahat berbunyi!” ajak Ratih sambil berlari kecil menuju ke depan pintu kelas.

“Oh, iya ya! Kita ke kantin yuk!” sahut Dinda sembari menyusul Ratih ke depan pintu kelas. Mereka pun melangkah bersama-sama menuju kantin sekolah sambil bergandengan tangan dan bernyanyi riang.

April 08, 2015

Bakulan Online, Berharap Maju dan Membuka Lapangan Kerja Baru

Dimuat di Majalah Utusan edisi April 2015


Sejak awal Januari 2014, saya dan istri merintis usaha bakulan (berdagang) produk pangan sehat-alami secara online. Tetapi, saat itu aktivitas berjualan dengan bendera Dapur Sehat Alami (DSA) masih sambil lalu saja (part time) karena saya masih aktif menulis di media massa.

Lalu pada awal Juni 2014, saya memutuskan cuti menulis dan mulai bekerja penuh waktu (full time) sebagai pedagang di dunia maya. Sarana promosi dan transaksi yang saya optimalkan saat itu ialah Facebook, SMS/telpon dan nomor rekening bank. Saya menangani bagian marketing, pengiriman dan pengantaran (delivery). Sedangkan, istri mengurus bagian pengepakan (packing), pembukuan dan administrasi keuangan.

Alasan utama kami memilih membuka usaha di rumah agar bisa lebih banyak bekerja bersama. Kami sudah hampir empat tahun menikah tapi belum dikaruniai momongan oleh Tuhan. Jadi, sembari terus berusaha dan berdoa agar segera mendapatkan buah hati tercinta, kami menjadikan DSA ini layaknya “anak”. Energi, waktu, dan modal kami curahkan untuk merawat dan membesarkannya.

Selain itu, usaha di DSA juga kami maknai sebagai green business alias bakulan ramah lingkungan. Maka, kami hanya menjual produk pangan sehat-alami, misalnya beras (putih, coklat, merah, hitam) organik, kacang hijau dan kacang merah organik, mi sayur (buah naga, bayam merah, bayam hijau, wortel) organik tanpa MSG, pengawet dan pewarna sintetis, kaldu sehat (rasa jamur, ayam, sapi) non MSG; mi lethek; mi ganyong; mi aren; wedang uwuh, dan lain sebagainya.  Keyakinan kami, kalau dalam berbisnis turut menjaga kesehatan tubuh, keluarga, dan lingkungan sekitar niscaya dilancarkan oleh-Nya.

Usaha berdagang online di dunia maya ini terbilang sederhana. Awalnya, kami blusukan mencari aneka produk pangan sehat-alami dan/atau berbincang-bincang langsung dengan petani serta pengrajin di desa. Lalu, saya mengambil foto produknya serta menanyakan berapa harga kulakan dari mereka. Kami menekankan agar harga jual dari petani dan pengrajin harus menguntungkan. Ini sebuah apresiasi konkret atas kerja keras petani dan pengrajin yang telah menghasilkan beragam produk pangan sehat-alami bagi penduduk di kota.

Setelah itu, saya mengunggah foto-foto produk dagangan sehat-alami tersebut di dinding  Facebook. Kebetulan jumlah teman di Facebook hampir 5.000 orang dari dalam dan luar negeri. Jika ada yang berminat,  bisa berkomunikasi lebih detail lewat inbox. Saya tak pernah nyang-nyangan harga di dinding FB. Kalau sudah setuju (deal) di inbox, untuk pembeli yang berasal dari luar kota, pesanan akan dikirim lewat pos atau jasa ekspedisi lainnya. Kalau pembelinya berdomisili di dalam kota Yogyakarta, pesanan bisa diantar langsung. Ongkos kirim atau antar ditanggung pembeli. Pembayaran bisa ditransfer lewat rekening bank atau COD (cash on delivery).

Setahun lebih menjalankan usaha bakulan di DSS banyak sukanya. Terutama karena kami bisa menjalin relasi dengan petani dan pengrajin. Selama ini mereka memang agak kesulitan memasarkan produknya secara masif. Kami sekadar mengambil peran untuk mendongkrak angka penjualan lewat sistem pemasaran online. Jumlah laba yang kami ambil selaku distributor sewajarnya saja.

Konsumen pun menarik manfaat karena mereka tak perlu boros waktu dan tenaga keluar rumah untuk berbelanja. Cukup dengan memesan secara online, barang sudah dikirim/diantar sampai ke depan pintu di seluruh pelosok Nusantara. Bahkan kami pernah juga mengirim pesanan hingga ke luar negeri via jasa pos. Jadi, prinsipnya produsen dan konsumen sama-sama senang.

Laba bersih berjualan aneka produk pangan sehat-alami tergolong lumayan, lebih tinggi dibanding UMP (Upah Minimum Provinsi) per bulan. Untuk keluarga kecil seperti kami jumlah ini bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Nominal pastinya tersebut tergantung sepi-ramainya transaksi. Dalam sebulan berkisar antara 50-100 deals jual-beli.

Sejak awal berdirinya hingga kini, DSA menargetkan harus ada (minimal) satu transaksi setiap hari. Memilih membuka usaha sendiri berarti menjadi bos atas diri sendiri. Tak ada lagi yang akan menggaji kami setiap bulannya. Kalau tidak ada transaksi dan pemasukan dalam sehari bisa tidak makan. Dalam konteks ini, filosofi Kejawen omah mamah (bergerak agar bisa makan) dan ubet ngliwet (aktif agar bisa memasak) kian menemukan relevansinya.

Sejak berwirausaha mandiri kami juga berkomitmen menyisihkan 10% pemasukan sebulan untuk ditabung, 10% lagi untuk amal/dana sosial dan 10% lainnya untuk mencicil utang di Credit Union Cindelaras Tumangkar (CUCT). Baru kemudian sisanya 70% dipakai untuk belanja kebutuhan bulanan. Jangan pernah dibalik karena tak akan tersisa anggaran untuk menabung, beramal/sosial dan mencicil utang.

Analoginya seperti mengisi akuarium. Pertama, masukkan dulu batu karangnya. Kedua, masukkan pasir-pasir lembut. Terakhir, baru diisi air. Kalau dibalik niscaya akan tumpah meluber airnya. Dalam lingkup ekonomi keluarga, ini berarti besar pasak daripada tiang, lebih banyak pengeluaran ketimbang pemasukan. Jadi, mau pemasukan Rp500.000/bulan atau Rp5 milyar per bulan, ingat selalu rumus 10:10:10:70%.

Dalam usaha bisnis, baik online maupun offline,  tentu ada pasang-surutnya. Kalau sedang sepi pembeli di dunia maya, saya gencarkan promosi. Caranya dengan berselancar ke grup-grup Facebook dan menawarkan dagangan DSA di situ. Selain itu, saya dan istri juga acap blusukan mencari produk pangan sehat-alami yang baru di desa. Sedapat mungkin mendapatkan langsung dari petani/pengrajinnya langsung karena dengan menyaksikan proses produksi pangan sehat-alami niscaya membuat kami lebih semangat memasarkannya secara on line.

Bagaimana memulainya?

Saya pernah mengalami menjadi pegawai (sebagai guru Bahasa Inggris di SMP), begitu juga istri saya (sebagai ahli gizi di rumah sakit). Tetapi kini kami bersepakat untuk berwirausaha (entrepreneur) secara mandiri. Harapannya, semoga usaha DSA kian maju dan bisa membuka lapangan kerja baru. Maka, kini promosi dan pemasaran tak lagi hanya lewat Facebook tapi juga lewat WA, Line, BBM, Twitter, olx.co.id, dan media sosial lainnya.

Bagi kaum muda yang tidak ingin bekerja formal tetapi ingin membuka usaha sendiri yang kadang mendapat tentangan dari orang tua, solusinya sederhana saja. Silakan tunjukkan dengan bukti pencapaian. Sebab, setiap orang tua mau anaknya bahagia dan sukses. Masih banyak orang tua yang memegang pola pikir lama, yaitu menganggap menjadi pegawai ialah satu-satunya cara untuk hidup layak dan bisa menjamin hari tua. Padahal, di era digital seperti ini terbuka aneka kesempatan bisnis.

Tetapi, sebelum berwirausaha mandiri bergabunglah terlebih dahulu dengan Credit Union (CU). Bagi kami, CU merupakan lembaga keuangan yang (lebih) adil dan manusiawi. Maka, jadikan CU sebagai mitra usaha. Ikutilah kelas-kelas pendidikan dasar dan lanjutan di CU sehingga bisa belajar dan semakin bijak mengelola finansial.

Setelah itu bergabung dengan CU, mulailah usaha dari apa yang disukai. Saya dan istri mencintai dunia pertanian organik dan makanan sehat-alami, oleh sebab itu DSA menjadi pilihan usaha kami di dunia maya. Setialah dan tekuni pilihan usaha tersebut. Pada saat yang sama, tetaplah membuka diri terhadap segala kemungkinan. Kalau target satu hari satu transaksi sudah terpenuhi, bidik juga peluang untuk deal satu transaksi yang nominal keuntungannya relatif besar.

Selama ini, saya dan istri menjual sepeda onthel, lukisan artistik, produk kerajinan tangan, furniture antik, tas rajut, dan sebagainya. Tak jarang saya menjual pula jasa guiding turis domestik atau manca negara bersepeda onthel keliling desa dan tempat-tempat wisata cantik lainnya yang ada di Yogyakarta. Memang, tidak setiap hari ada transaksi barang atau jasa. Tetapi tapi sekali ada satu transaksi, pemasukannya lumayan besar.

Terakhir tapi penting, kenalilah hukum distribusi barang/jasa sebelum memulai usaha. Saya banyak belajar dari Wiyadi S.Ag, owner PT. Bumi Wira Muda dan Nabura Grup. Misalnya, kalau menjual ternak dari daerah surplus pakan ke daerah minus pakan atau kulakan ayam dari desa lalu dijual di kota niscaya akan untung.

Hukum distribusi barang/jasa lainnya ialah kulakan produk dari daerah industri, lalu menjualnya di daerah konsumtif. Intinya, jangan asal spekulasi tanpa kalkulasi matang dalam berbisnis. Sebab, seperti kata pepatah, "Orang yang gagal membuat perencanaan adalah orang yang sedang merencanakan kegagalannya sendiri."

Januari 29, 2015

Sisi Lain Putra Sang Fajar

Dimuat di Tribun Jogja, 14 Desember 2014 

Judul: Sukarno Undercover, Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen
Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge
Penerbit: Galang Pustaka
Cetakan: 1/Oktober 2013
Tebal: ix + 209 halaman
ISBN: 978-602-9431-29-2

Walentina Waluyanti de Jonge, perempuan kelahiran Makassar yang kini hijrah ke Belanda. Alumna Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini sempat mengikuti program studi Pendidikan Managemen di ROC Flevoland, Netherland. Lalu, ibu beranak satu ini menjadi dosen bahasa Indonesia di Volsuniversiteit Belanda. Ia bekerja juga sebagai peneliti independen. Fokus kajiannya seputar sejarah dan budaya Indonesia.

Kegemarannya mengoleksi buku langka bergenre sejarah membuahkan dua buku dan sederet artikel di sebuah situs jurnalisme warga. “Sukarno Undercover, Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen” merupakan buku kedua pasca “Hindia Belanda Tumbang di Depan Mata”. Pilihannya jatuh pada Sukarno karena Putra Sang Fajar sosok pemersatu di zamannya.  Menyatukan berbagai perbedaan suku, agama, warna kulit, golongan, budaya, dan juga belasan ribu pulau, ke dalam sebuah republik bukan pekerjaan yang bisa dipandang remeh.

Di bagian pengantar, eks pemimpin  “Stiching SEBARI” yang bergerak di ranah pendidikan tersebut menulis, “Saya akui, buku ini terlahir dari kekaguman atas peran Sukarno yang telah melekatkan kehormatan pada bangsa Indonesia hingga berdiri sejajar dengan negara-negara lain di seluruh dunia. Namun demikian, pemujaan berlebihan terhadap Sukarno bukanlah hal yang perlu. Pemujaan secara fanatik berpeluang melunturkan objektivitas.” (halaman viii)

Lewat buku ini, penulis jeli menyoroti sejarah Indonesia - khususnya Soekarno - dari jendela luar sana (baca: Belanda). Sebelumnya, selama masih tinggal di Indonesia, ia acap mendengar cerita sejarah dari pihak yang dijajah. Dalam konteks ini, memang diperlukan jarak untuk menilai sejarah Indonesia secara netral. Sehingga “History” tidak menjelma jadi “His Story.” Terlebih pada masa Orde Baru, sisi positif Bung Karno dan nilai-nilai kepahlawananya cenderung ditutup-tutupi.

Lebih lanjut, sejak era revolusi kemerdekaan ternyata situasi nasional Indonesia tak kunjung steril dari campur tangan pihak asing. Fakta tersebut diungkap secara gamblang dalam esai “Bung Karno Geram, Ike dan John Repot”. Hari itu, 18 Mei 1958, sedang terjadi pertempuran udara melawan pemberontakan separatis: Permesta, Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII), dan Republik Maluku Selatan (RMS). Di atas perairan Ambon, Kapten Ignatius Dewanto, pilot pesawat Mustang P-51, menembak jatuh pesawat B-26. Pesawat tempur yang jatuh tersebut dipiloti Allen Pope. Pilot itu selamat, dibekuk, dan dinterogasi. Pun terkuaklah bahwa Allen Pope seorang agen CIA.

“Sebelumnya pada bulan April 1958, pilot asal Amerika Serikat itu telah mengebom gereja di Ambon yang dipenuhi umat yang sedang beribadah. Gerejanya hancur, semua umat di gereja itu meninggal dunia. Demikian juga dengan kapal Indonesia penuh penumpang yang berada di pelabuhan Ambon, turut pula terkena bom, dan semua penumpangnya menjadi korban. Peristiwa pengeboman tersebut mengakibatkan lebih dari 700 nyawa melayang.” (halaman 140). 

Bung Karno berang karena Amerika tak mau mengakui tindakan keji tersebut. Empat hari pasca-peristiwa pengeboman oleh Pope, Sukarno diundang oleh Howard Jones ke Kedutaan Besar Amerika di Indonesia. Tanpa rasa bersalah Pemerintah Amerika meminta Allen Pope tetap harus dibebaskan. Bung Karno menyadari Allen Pope ialah kartu truf-nya. Ia tegas menuntut permintaan maaf secara terbuka dari Amerika.

Namun Ike – nama panggilan presiden Eisenhower - bersikukuh menyangkal tuduhan Amerika terlibat dalam aksi CIA itu. Tapi, akhirnya 5 hari sesudah insiden pengangkapan Pope,  Amerika setuju mengirimkan 37.000 ton beras, pencabutan embargo, bantuan pesawat, dan bantuan peralatan sistem radio komunikasi untuk Indonesia. Lalu, bagaimana komentar Pope sendiri? Pilot pesawat B-26 itu mengatakan, “Biasanya negara saya yang menang, tapi kali ini kalian yang menang.” (halaman 148).

Sistematika buku ini terdiri atas 3 bab. Penulis menganalogikannya laksana hari. Mulai dari “Sang Fajar Terbit”, “Sang Fajar Bersinar”, hingga “Sang Fajar Terbenam.” Masing-masing bab memuat esai-esai yang mengungkap sisi lain Bung Karno yang selama ini jarang diekspose ke khalayak ramai. Oleh sebab itu, di pojok kanan sampul buku tertera stempel “Soekarno Undercover”.

Salah satunya ihwal keprihatinan mendalam Bung Karno atas tragedi 1965. Dalam Pidato Presiden di Istana Bogor, 18 Desember 1965, ia sampai mengatakan,”Misalnya, ya, misalnya di Jawa Timur. Demikian dilaporkan oleh Gubernur Jawa Timur, oleh Panglima Jawa Timur, dan juga dari pengetahuan informasi kami sendiri, di Jawa Timur atau Jawa Tengah itu banyak sekali Pemuda Rakyat atau anggota PKI atau orang yang hanya simpati saja kepada PKI dibunuh, disembelih, atau ditikam atau dipentungi, dikepruki sampai pecah kepalanya; itu satu kejadian. Tapi kemudian itu jenasah yang lehernya tergorok, yang kepalanya pecah dikepruk, karena perutnya keluar ia punya usus karena ditikam, jenasah itu kalau ada orang yang mau ngerumat, ngerumat itu bahasa Jawa Timur. Apa ngerumat, mengurus, ngerumat jenasah itu, awas, engkau pun akan kami bunuh. Malah banyak jenazah itu di-keleler-kan begitu saja.”

Lalu, Walentina Waluyanti de Jonge mengafirmasi pendapat sejarawan Asvi Warman Adam, tanggal 30 September memang “malam terkutuk dan laknat”. Namun patut juga dipertanyakan, “….bukankah malam-malam sesudahnya dan berlangsung selama beberapa bulan tatkala terjadi pembunuhan sesama bangsa sendiri – minimal 500.000 jiwa jadi korban – itu secara keseluruhan jauh lebih “jahanam”?” (halaman 173). Dalam konteks ini, wejangan ahimsa Mahatma Gandhi kian menemukan relevansinya, “Jika mata diganti mata maka semua manusia akan menjadi buta.”

Buku setebal 209 ini tak hanya memuat teori konspirasi dan narasi besar sejarah Indonesia di tahun 1965, ada juga sisi-sisi jenaka sebagai ekses kebijakan politik Bung Karno. Antara lain terjadi pada tahun 1964. Ia pernah memerintahkan polisi untuk membawa anak-anak muda berambut model Beatles ke tukang cukur. Ini sebuah pidato resmi presiden.

Siapapun yang berambut gondrong harus diplontos. Kenyataannya di lapangan memang polisi tidak perlu membawa “pasukan gondrong” ke tukang cukur. Karena aparat keamanan sendirilah yang menjadi tukang cukurnya. Mungkin itulah razia paling konyol dalam sejarah bangsa Indonesia. Orang-orang yang terkena razia, terpaksa manut saja model rambut di kepalanya dibuat jadi mirip batok kelapa. Langsung dipangkas di tengah jalan dan jadi tontonan orang banyak (halaman 52).

Buku ini sebuah oase segar di tengah tumpukan buku-buku sejarah yang kering. Gaya penulisan yang santai, bahasa yang mengalir lancar, dan materi yang mudah dicerna menyajikan kenikmatan tersendiri. Belajar sejarah tak melulu harus mengeryitkan dahi, belajar (dari) sejarah bisa menjadi penjelajahan penuh kejutan. Selamat membaca!

Oktober 11, 2014

Adik Tersayang

Dimuat di Majalah Utusan edisi Oktober 2014 

Tidak seperti biasanya, pagi itu Tiwi datang ke sekolah dengan wajah cemberut. Tidak ada senyum sama sekali. Santi yang duduk di sebelahnya sampai bingung. Mau menegur, ia takut Tiwi sedang tidak ingin ditegur. Mau mendiamkan, hmmm… kok sepertinya tidak enak diam-diaman terus.

“Kamu bawa bekal apa hari ini Wi?” tanya Santi ketika bel tanda istirahat berbunyi.
“Aku tidak bawa bekal, San. Adi tadi pagi rewel. Jadi, ibu tidak sempat menyiapkan bekal untukku,” jelas Tiwi dengan nada kesal.

Adi itu adik Tiwi. Tampangnya lucu dan imut-imut sekali. Usianya baru tiga tahun. Santi suka sekali menggendong Adi bila bermain ke rumah Tiwi.

"Apa Adi sakit, Wi?" tanya Santi lirih.

Tiwi mengangguk. “Iya, Adi demam.”
“Oh, pantas sejak tadi kamu murung. Yuk aku temani kamu ke kantin,” ajak Santi.

Sambil berjalan bersisian, mereka melangkah menuju ke kantin yang terletak di pojok sekolah.

“Aku sebel. Kalau sedang sakit, Adi pasti rewel. Ibu jadi tidak lagi memperhatikan aku,” keluh Tiwi.
“Kamu sih enak, San. Tidak punya adik, tidak punya kakak jadi selalu diperhatikan oleh mama dan papamu."

Santi tidak menjawab. Namun ia tetap ikut menemani Tiwi membeli arem-arem di kantin. Setelah itu, mereka bergegas kembali ke dalam kelas.

Di kelas, Santi mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya.

“Ini buat kamu dan Adi,” kata Santi sambil menyodorkan bungkusan itu.
“Apa ini?” tanya Tiwi.
“Kue lapis legit,” jawab Santi.
“Kemarin papaku baru pulang dinas dari luar kota. Papa membawa oleh-oleh, tapi terlalu banyak kalau harus kuhabiskan sendiri.”

"Mm...makasih ya, San," ucap Tiwi senang. “Enak ya kalau tidak punya adik atau kakak. Tidak harus berbagi.”

“Iya memang.. tapi juga tidak ada yang diajak main, tidak ada teman bercanda, tidak ada yang suka menyambut dan mencium kalau aku pulang sekolah,” tanggap Santi.

Mendengar itu, sekarang giliran Tiwi yang terdiam. Tak ada lagi percakapan di antara mereka berdua. Masing-masing asyik menikmati makanan di jam istirahat pertama itu sampai akhirnya bel masuk berbunyi dan pelajaran pun dilanjutkan kembali.

“Hari ini kamu langsung pulang, Wi? tanya Santi sambil membereskan tas dan buku-buku setelah bel tanda berakhirnya jam sekolah berbunyi.
“Iya,”  jawab Tiwi pendek.

“Jangan sampai lupa menyampaikan titipanku buat Adi, ya,” ujar Santi sambil berjalan keluar kelas.
“Iya,” lagi-lagi Tiwi menjawab pendek

“Jangan dimakan sendiri lho,” pesan Santi lagi.
“Iyaaaa…” Tiwi menjawab dengan gemas.

Beberapa siswa yang kebetulan berdekatan dengan mereka berdua saat turun tangga menoleh ke arah mereka dengan pandangan heran.

Setiba di rumah, Tiwi langsung diberi tugas menjaga Adi karena Ibu pergi berbelanja ke warung.

Adi merengek-rengek mengajak Tiwi bermain sepeda keliling kompleks. Kebetulan demamnya sudah reda. Nah, saat bermain sepeda itu, Tiwi kurang berhati-hati sehingga terjatuh karena tersandung batu. Untung, Adi tidak terluka, karena mendarat di atas rerumputan empuk. Tapi nahas bagi Tiwi, lututnya tergores besi di ujung stang sepeda.

"Kak Tiwi, di situ saja. Nanti sakit kalau jalan," kata Adi kepada kakaknya.

Tiwi hanya mengangguk dan menahan perih. Adi kemudian pergi entah kemana dengan langkah kecilnya.

Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara. "Kak Tiwi... ini obatnya…," seru Adi sambil memberikan betadine kepada kakaknya.

Tiwi mengambilnya dari tangan Adi, lalu mengoleskannya pada luka di kakinya yang berdarah itu. Saat itu juga ia baru sadar ternyata Adi sangat baik dan sayang kepadanya.

Kemudian, Tiwi teringat kue lapis legit titipan Santi. Semula, ia ingin memakannya sendiri. Tetapi, kini ia hendak berbagi dengan Adi, sang adik tersayang.