Januari 28, 2008

MENUJU KELUARGA BAHAGIA

Judul: SAPTAPADI, Tujuh Langkah Menuju Keluarga Bahagia
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2007
Tebal: viii + 236 halaman
Harga : Rp 50.000

"Lebih baik hidup di luar Taman Eden bersama Hawa, daripada hidup di Taman Eden tanpa Hawa." Mark Twain (hlm 32)

Saptapadi merupakan khasanah warisan leluhur Nusantara. Memuat 7 janji penopang bangunan rumah tangga berfondasikan sikap saling percaya (trust), hormat (respect) dan cinta (Love).

Sejak dulu kala nenek moyang bangsa ini sudah berbudaya. Misal berkait urusan keluarga, jarang terjadi eksploitasi (hisap-menghisap) ataupun praktek kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Laki-laki cenderung menggunakan rasio, sedangkan perempuan lebih mengedepankan intuisi. Sebuah sintesa holistik antara unsur maskulin dan feminin.

Ironisnya, di abad ke-21 ini kita malah melupakan kearifan lokal (local-wisdom) tersebut.
Misal berkait istilah "making love" , terjemahan linearnya berarti cinta yang dibuat-buat. Itu - meminjam istilah WS Rendra - tidak otentik. Padahal dalam tradisi Kejawen, "Tresno" identik dengan sesuatu yang murni dan membangkitkan.

Lantas para "dokter cinta" mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka memberikan resep instan untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Tentu dengan tarif tertentu. Yakni dengan mengucapkan "I Love You" minimal 3 kali dalam sehari. Tapi ada 2 kemungkinan. Pertama, "pasien" merasa ragu, apakah ia masih mencintai pasangannya? dan/atau ia merasa bersalah atas perselingkuhan yang telah diperbuat.

Anand Krishna menawarkan pedoman prilaku (baca: prinsip dasar) untuk mengarungi samudera kehidupan dengan bahtera rumah tangga, "Bila Anda belum dapat memahami kebaikan hati pasangan Anda, setidaknya janganlah menjadi penghalang bagi perkembangannya" (hlm 197). Dalam tradisi Kejawen, ada juga paribasan, "Ngono yo ngono - ning yo ojo ngono." Kontekstualisasinya dalam dinamika hidup keluarga ialah jangan merepotkan pasangan kita bila belum mampu mendukungnya. As simple as that!

Tapi kini banyak kaum Adam berpoligami. Alasannya terkesan "rasional", ketimbang selingkuh sembunyi-sembunyi lebih baik berpoligami. Kawin (lagi) dimungkinkan apabila Sang istri tak mampu memberi keturunan. Tapi bagaimana bila "onderdil" si suami yang soak? Kalau memang poligami dihalalkan, kenapa poliandri diharamkan?. Kalau ada Poligami Award, kenapa tak boleh ada Poliandri Idol?. Diskriminasi bias gender ini menunjukkan betapa kuatnya jaring budaya patriarkhal menjerat tubuh molek Nona Pertiwi!

Ini kisah nyata, seorang praktisi poligami memiliki putri tunggal. 26 tahun berselang, sang buah hati tlah beranjak dewasa. Eh tapi malah dimadu orang. Roda karma berputar, saat itu ia baru tersadarkan bahwa betapa sakit hati istri yang menjadi korban poligami. Sehingga janji Saptapadi berbunyi, I shall be faithfull to you." Intinya, "Aku akan senantiasa setia kepadamu!" (hlm 153).

Esensi pernikahan ialah persahabatan. Menurut Ki Ageng Suryametaram, hidup ini cen mulur-mungkeret. Saat pacaran kita pendekatan (pdkt) dulu. Tapi kemudian setelah menikah kok kembali menjadi sahabat? Karena perkawinan ialah perjalanan dari "aku" menjadi "kita". Proses pelampauan ego ini akan melahirkan kebersamaan (togetherness). Tapi bukan berarti atas nama friendship lantas kemanapun berdua, nempel kayak prangko. Solidaritas semu macam itu amat menjenuhkan. Bahkan bisa merampas kebebasan masing-masing individu untuk memuai dan mengaktualisasikan diri.

Para leluhur kita memberi teladan. Pasangan suami-istri secara periodik pisah ranjang. Lho kenapa? agar tiap individu memiliki kesempatan untuk mengasah bakatnya masing-masing. Toh mereka masih bisa bertemu tatkala makan malam, nonton, mendampingi anak belajar, dan senggama tentunya. Namun sayang kini istilah "pisah ranjang" cenderung berkonotasi negatif. Bahkan dijadikan strategi ampuh untuk mendongkrak popularitas di kalangan selebritis.

Secara blak-blakan Anand Krishna membuka kartu. Penulis produktif 110 buku ini memiliki kebiasaan membaca hingga lewat tengah malam. Jam 01.00 WIB baru tidur, kemudian pukul 3.30 WIB si ayah beranak dua tadi sudah bangun, untuk membaca atau sekedar membuat catatan kecil sampai sekitar jam 04.00 WIB. Lantas tidur lagi sampai jam 05.30 subuh. Bayangkan bila beliau menuntut sang istri untuk mengikuti pola ini (hlm 29).

Tak ketinggalan, buku ini juga menyajikan humor-humor segar. Misal, sepulang dari kantor Hola menggoda istrinya, "Istriku masihkan kau ingat dulu waktu aku pulang dari kantor, kamu selalu menyapaku dengan penuh kasih sayang, membantu membukakan sepatu, sedangkan si Brutus, anjing kita, membawa koran sore sembari menggonggong. Tapi kok sekarang terbalik, brutus yang membantuku membuka sepatu dan kamu yang mengomeliku?" (hlm 83). Pertengkaran kecil ibarat bumbu dalam masakan, tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Ada juga percakapan filosofis antara Socrates dan muridnya. "Guru apakah aku harus menikah? " tanya si murid ngebet. "Ya kamu harus menikah!" jawab Sang Guru tegas. Murid tadi melongo karena ia tahu pasti bahwa keluarga Socrates jauh dari nuansa sakinah, mawadah, dan warohmah karena istri murid Aristoteles ini pemarah kelas berat. Kemudian Socrates melanjutkan, "Bila kamu beruntung maka keluargamu akan bahagia, sebaliknya kalau kamu kurang beruntung maka kamu akan menjadi filsuf sepertiku hahahahaha (hlm 17). Intinya pengalaman memang guru terbaik kehidupan, istilah Jawanya, "Ngelmu kuwi nganti laku"

Saptapadi ialah referensi berharga untuk menuju keluarga bahagia. Buku ini layak dibaca, didiskusikan dan dipraksiskan oleh para pasangan muda sampai yang lanjut usia. Tak terkecuali bagi komunitas Ijo Lumut (Ikatan Jomblo Lucu dan Imut) yang sedang menanti kedatangan belahan jiwanya :)

BELAJAR DI SEKOLAH GEMPA

Judul: Sekolah Gempa Sekolah Hati
Penulis: Siswa SMA de Britto
Penerbit: SMA de Britto Yogyakarta
Cetakan: I, 2007 Tebal: 104 halaman
Harga: Rp 20.000

Relawan: Tolong ada orang terluka, saya takut darah! Perawat: Dokter tolong! ada relawan takut darah…” hahahaha. Begitulah dialog karikatural Bambang Shakuntala yang menghiasi lembaran buku ini. Selain itu ada 27 catatan reflektif siswa SMA de Britto paska menjadi relawan gempa.

Keunikan buku “Sekolah Gempa Sekolah Hati” ialah (para) penulisnya. Mereka relatif masih belia tapi jebul generasi kelahiran 1990-an tersebut piawai menuangkan pengalamannya lewat bahasa yang ciamik. Misalnya Sugeng Jatmika menulis begini, “Dalam hitungan detik, kami menyaksikan rumah yang selama ini kami tinggali roboh. Setiap malam kami dibayangi gempa susulan dan guyuran hujan yang sangat deras, rasanya kami seperti anak nakal yang “dihajar” Bapaknya.“ (hal 19).

Kritik pedas juga membumbui buku ini yang menyentil nurani kemanusiaan kita
“Aku heran mengapa di saat orang lain menderita masih ada orang yang memanfaatkan situasi untuk mencuri barang-barang yang tersisa di rumah yang roboh?. Aku juga heran meskipun dekat dengan bandara, ada desa yang sama sekali belum tersentuh bantuan dan bagaimanakah uang sumbangan yang begitu banyak, tapi kok tidak sampai ke tangan rakyat? – Semitha (hal 35).

Apa yang ada di dalam diri manusia lebih dahsyat ketimbang yang ada di luar diri kita. Wahyu Purwawijayanto merasakan pengalaman esoterik tersebut di Rumah Sakit,
“Bau yang sangat tidak enak berasal dari luka yang membusuk. Aku merasa ragu. Nuraniku berkata untuk segera menolong kakek itu. Namun indera penciumanku tidak tahan dengan bau busuk. Belum sempat mundur satu langkah ada seorang relawan yang meminta bantuanku untuk memindahkan sang kakek ke tempat tidur. Entah kekuatan apa yang menggerakkanku, yang jelas seketika aku mengabaikan rasa takutku dan berani mendekati kakek itu” (hal 45-46).

Melayani sesama bisa juga secara tak langsung seperti Chahyadi Saputra,
“Aku membantu menjaga toko, melayani orang yang butuh bahan bangunan, aku tidak mau mengambil keuntungan dari kesusahan orang, meskipun banyak pembeli yang datang, aku justru menurunkan harga barang” (hal 104). Para siswa “bantingan” mengetik refleksi tadi di rental komputer. Menurut penuturan St Kartono, sang editor musti menscan disket anak didiknya agar terbebas dari virus nakal. Luar biasa!

MENJADI BAHAGIA ITU PILIHAN

Dimuat di The Torchbearers' Edisi 2/2008

Judul: Be Happy! Jadilah Bahagia dan Berkah bagi Dunia
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: xv + 177 halaman
Harga: Rp 35.000

"Menderita bukan berarti absennya bahagia." - Anonim

Beberapa waktu lalu BBC mengadakan penelitian seputar rasa bahagia. Ada tiga hal yang menjadi pemicu mengalirnya mata air kebahagiaan dari dalam diri. Pertama, ketenangan batin. Para anggota dewan di Senayan yang “mengemis” pengadaan Laptop dari kas uang rakyat jelas masih gelisah dan belum berpuas diri. Kenapa? karena mereka membutuhkan sarana luaran untuk mendongkrak kinerja melayani putra-putri Ibu Pertiwi. Seyogianya beliau-beliau merogoh kocek sendiri dari gaji bulanan dong. Kedua, kesehatan. Kini sudah ada perda larangan merokok di tempat umum. Tapi masih banyak smokers yang kebal-kebul sembarangan di dalam bus, pasar, kantor bahkan sekolah. Seorang guru olah raga memberi aba-aba sembari ngudut. Ironis, karena mereka tak peduli terhadap kesehatan pribadi, lha bagaimana bisa dijadikan panutan para murid? Ketiga, hubungan keluarga dan persahabatan. Lebih dari 48 persen responden menempatkan relasi sebagai prioritas utama. Mereka mengeluhkan minimnya interaksi antarmanusia (human touch) di kota-kota besar. Banyak orang merindukan nuansa hangat pedesaan, memiliki rumah “mewah” (mepet sawah). Kenapa? Karena nuansa tersebut lebih memfasilitasi terjalinnya relasi personal dengan para tetangga dan lingkungan sekitar.

Selanjutnya, buku ini memaparkan tips untuk mencecap kebahagiaan sejati. Pepatah lama mengatakan, "Experience is the mother of wisdom". Kita diajak untuk belajar dari para pendahulu zaman yang pernah mengguyuri bumi biru ini dengan hujan Kesadaran dan Mukzijat Cinta. Sebut saja Aristoteles, Edward de Bono, Franklin D. Roosevelt, Hellen Keller, Kalidasa, Ludwig Wittgenstein, Mark Twain, Pearl S. Buck, Sophocles, Taisen Deshimaru, Voltaire, Fransiskus Asisi, Zeno of Elea (150-170 BC). Misalnya Sang Buddha, 3000 tahun silam beliau “merayu” anak manusia untuk menjadi bahagia dan berbagi pencerahan dengan apa dan siapa saja (Be Joyful and Share Your Joy with Others). Sebaliknya, bapak psikologi modern Carl Jung mengatakan kebahagiaan tak bisa eksis tanpa pembandingnya, yakni kesusahan. Dua hal di muka tampaknya bertentangan. Secara redaksional berbeda tapi sejatinya erat bertautan. Para Buddha kontemporer niscaya menjadi bahagia hanya (dan hanya jika) telah menerima penderitaan sebagai penderitaan. Manusia abad 21 ini tak perlu melakukan apapun untuk menyusahkan dirinya lagi. Nah saat itu terjadilah anugerah kelegaan dari dalam (deep insight) (halaman 78).

Yang menarik ialah ulasan Anand Krishna seputar Kenesologi (halaman 129). Yakni ilmu gerak (kinesis, dari bahasa Yunani) otot dikaitkan dengan keadaan fisik dan mental seseorang. Pelopor ilmu mutakhir ini ialah Dr. David R Hawkins. Beliau menulis buku Power vs Force (Hay House, 2002). Temuan pakar tersebut begitu memukau. Tatkala manusia berdusta atau menghadapi kebohongan maka otot-otot tubuhnya melemah, bahkan berdampak pula pada jiwa sehingga tak mampu berfungsi (baca: mencintai) secara wajar.

Level paling bawah ialah pada angka 20, yakni saat seseorang menghadapi rasa takut sekaligus membuat takut orang lain. Para pelaku bom bunuh diri berada pada kisaran ini karena energinya begitu rendah. Amrozi, Mukhlas, Imam Samudra cs terobsesi untuk merusak diri sendiri dan mencelakakan orang lain yang tak berdosa. Sebaliknya, level teratas berada pada kisaran 700 lebih hingga tak berhingga. Pada maqam ini manusia menjadi beradab dan menyadari tanggungjawab atas kemaslahatan diri sendiri, sesama dan seluruh titah ciptaan.

Be Happy! lebih merupakan sharing pengalaman-cum-pemahaman Anand atas kebutuhan mendasar sekaligus mendesak umat manusia dewasa ini: Happiness, Bliss, Aananda, Sumringah apapun sebutannya pada rasa universal yang satu itu. Buku ini merupakan sarana refleksif untuk menjadi manusia bahagia kini dan di sini. Sebab menjadi bahagia merupakan pilihan bebas. Mengutip kata-kata mendiang Willa Cather (7 Desember 1873 – 24 April 1947), "That happiness: to be dissolved into something completely great." Intinya cara menjadi bahagia ialah dengan larut dan menyatu dengan “sesuatu” yang Maha Besar. Yakni nilai kemanusiaan dan peri kemanusiaan yang meliputi kita semua tanpa pandang bulu.

Januari 25, 2008

MEMAHAMI DUNIA ANAK

Judul: Eneagram of Parenting, Sukses Mengasuh Anak Sesuai dengan 9 Gaya KepribadianPenulis: Elizabeth Wagele
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta
Cetakan: II, Juni 2007
Tebal: 214 halaman

”Tak ada manusia yang lebih baik dibanding manusia yang lain” - Anonim.

Secara harafiah Eneagram (baca: eni-e-gram) berarti gambar lingkaran bertitik 9. Ilmu kuno ini berasal dari Timur-Tengah. Awalnya diajarkan secara getog-tular alias dari mulut ke mulut. Baru kemudian Oscar Ichazo dan Claudio Narajo mendokumentasikan 9 tipologi kepribadian anak tersebut di Amerika pada awal 1970-an.

Menurut teori Eneagram, tiap individu itu unik sehingga tidak ada anak yang lebih baik ketimbang anak yang lain. Dengan memahami prinsip ini, otomatis kita bisa mengapresiasi kebhinnekaan gaya prilaku dan memfasilitasi sang buah hati tercinta untuk menerima diri apa-adanya.

Elizabeth Wagele menguraikan 9 kecenderungan gaya prilaku anak (disingkat 9P). Yakni; Perfeksionis, anak yang cenderung ingin segala sesuatunya berjalan secara sempurna; Penolong, cenderung suka membantu orang lain; Pengejar prestasi, cenderung ambisius mengejar prestasi tertentu; Peromantis, cenderung mementingkan dunia rasa dan amat sensitif; Pengamat, cenderung ingin mengetahui segala sesuatu serba mendetail; Pencemas, cenderung merasa tidak aman dan was-was; Petualang, cenderung ingin mencari tantangan baru; Pejuang, cenderung bersikap pantang menyerah dan harus menang; Pendamai, cenderung menghindari konflik dan merasa puas dengan keadaan diri dan lingkungan sekitar (hlm 11-12).

Misalnya berkait bencana ekologis pemanasan bumi (Global Warming) yang menyebabkan cuaca begitu ekstrim di pelbagai belahan dunia. Psikotherapis kondang tersebut memberi ilustrasi respon anak sesuai dengan tipe Eneagram-nya. Perfeksionis akan berkata, "Kita harus menyelamatkan bumi!"; Penolong tak mau ketinggalan, "Mari kita mencintai bumi agar kita semua selamat!"; Pengejar prestasi menambahkan, "Mari terus berusaha menyelamatkan sumber daya alam kita!"; Peromantis merajuk, "Kalau bumi bersedih, akupun turut mengucurkan air mata; Pengamat angkat bicara, "Yang logis dong Bung, bersikaplah bijak terhadap bumi ini!" ; Pencemas menimpali, '"Awas, bumi kita sedang dikutuk..."; Petualang memprovokasi, "Mari selamatkan bumi ini demi Aku!"; Pejuang menantang, "Awas, akan ku libas siapa saja yang merusak bumi biru ini!" ; sedangkan Pendamai nyantai aja lagi,"Mengapa sih ribut-ribut? Bumi kita ini baik-baik saja kok!" (hlm 154).

Lebih lanjut, setiap anak sejatinya memiliki kesembilan unsur di atas. Tapi dalam kadar yang berbeda-beda. Kemudian menjelang dewasa, ia mulai memutuskan untuk memandang dunia dari sisi mana sekaligus fleksibel menyikapi pilihan orang lain yang berbeda. Buku Eneagram of Parenting ini juga menyajikan metologi pendampingan anak secara asah-asih-asih (nurture) dengan mencermati 9 gaya prilaku anak dalam kegiatan belajar, pola makan, tidur, dan pergaulan yang sehat. Misalnya anak gaya 5 (Pengamat), dalam bergaul ia cenderung berada di pinggiran dan menjadi penonton saja. Sehingga tatkala berbaur bersama teman-teman sebaya, ia merasa canggung karena saat mengalami memang berbeda dari sekedar mengamati. Nah…peran orang tua/Guru untuk memberi dukungan dan pengertian bahwasanya itu semua merupakan proses yang wajar dalam dinamika kehidupan ini.

Buku ini merupakan sarana untuk memfasilitasi anak tumbuh sehat, cerdas dan unggul sesuai kecenderungan (watak) dasarnya. Cocok dibaca, didiskusikan dan dipraksiskan oleh para orang tua serta guru dari tingkat playgroups, TK, bahkan Universitas. Yakni dalam rangka memupuk kepolosan, kesederhanaan, keceriaan, serta spontanitas ala kanak-kanak tanpa perlu menjadi kekanak-kanakan.

Januari 21, 2008

Kembalikan Pelajaran Budi Pekerti!

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia, 19 Januari 2008.

Pertama dan utama, kenapa pelajaran budi pekerti urgently required alias mendesak diajarkan (kembali) di sekolah-sekolah dari Sabang sampai Merauke? Sebab, menurut bagawan pendidikan nasional - Ki Hadjar Dewantara - budi pekerti merupakan saripati ajaran agama-agama besar di dunia dan kepercayaan lokal leluhur kita.

Lebih lanjut, budi pekerti juga memfasilitasi para murid untuk mengkaji secara mendalam nilai-nilai universal yang tak lekang oleh zaman. Seperti prinsip kejujuran (satunya fakta dan kata), integritas (satunya kata dan tindakan), keberanian memperjuangkan keadilan dan demokrasi walau nyawa taruhannya, sikap tepa sliara alias apresiasi terhadap pelangi perbedaan yang ada dan bela rasa alias solidaritas dengan sesama titah ciptaan yang menderita dan tertimpa bencana, dst.

Ironisnya, kini yang terjadi di dunia pendidikan kita justru pola pengkotak-kotakan dan klaim arogan sepihak atas Kebenaran yang niscaya berpotensi menyebabkan perang saudara dan disintegrasi bangsa di masa depan. Misalnya, saat pelajaran agama berlangsung di sekolah negri, anak-anak nonmuslim dipisahkan atau disuruh keluar kelas. Benih perpecahan mulai ditebar di ruang-ruang kelas kepada siswa-siswi yang begitu polos. Bahkan si guru pun menceletuk,"Anak-anak, mereka yang berada di luar kelas itu kafir, mereka tidak akan masuk surga!" Sebaliknya, guru yang di luar menimpali,"Anak-anak, kasihan mereka yang di dalam, mereka tidak akan memperoleh keselamatan!"

Hal semacam ini tak bisa terus dibiarkan karena bertentangan dengan prinsip dasar pendidikan sebagai - meminjam istilah Prof Driyarkara SJ- proses memanusiakan manusia. Seyogianya para guru dan anak didik belajar mengapresiasi sesama walau berbeda agama dan kepercayaan sekalipun. Senada dengan petuah Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa. Artinya, berbeda tapi tetap satu jua, tak ada dualitas dalam menjalankan dharma bangsa dan berbhakti bagi Ibu Pertiwi.

Ambon dan Poso masih bergolak sampai detik ini karena konflik bernuansa SARA. Amrozi dan Imam Samudera serta kawan-kawanya masih bisa cengar-cengir karena lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, segenap elemen masyarakat madani (civil society) musti bergandeng tangan, bergotong-royong, dan berupaya sekuat tenaga guna mengantisaipasi agar tragedi kemanusiaan dan aksi pengeboman semacam itu tak terjadi lagi di Bumi Pertiwi tercinta ini.

Lebih lanjut, menurut Anand Krishna, selama 2.000 tahun terakhir, manusia telah berperang 3.000 kali lebih atas nama agama. Padahal sejatinya agama merupakan urusan personal antara kita dengan Allah SWT, Bapa di surga, Tao, Buddha, Hyang Widhi, Gusti Pangeran, dan apapun sebutannya kepada Sang Mahadaya Cinta!

Ada banyak cara beribadah dan mengabdi di kaki suci-Nya, tapi ibarat aliran sungai, semua itu bermuara di samudera Kehidupan yang satu-adanya, yakni Tuhan Yang Maha Esa! Di Yogyakarta, setidaknya ada empat sungai besar yang membelah Bumi Mataram tercinta, yakni Progo, Code, Gajah Wong, dan Winongo. Toh akhirnya semua bersatu dalam pangkuan Nyi Roro Kidul alias Segara Kidul di Laut Selatan sana.

Kalau kita cermati dengan kepala dingin, sejatinya sentimen agama yang acapkali dipakai oleh segelintir kelompok radikal yang mau menang dan benar sendiri (baca:fanatik) dengan membeo pada doktrin/dogma agama tertentu hanyalah alat untuk mencapai tujuan politis jangka pendek (baca: politisasi agama). Hal itu merupakan penistaan terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap agama dan kepercayaan lokal leluhur yang notabene menjunjung tinggi kasih, kedamaian dan harmoni (love, peace and harmony).

Maka dari itu, hemat saya, biarlah pelajaran agama diamanahkan kepada orang tua di keluarga, tokoh agama dan pemuka adat di masyarakat setempat, dan last but not least media massa. Rubrik atau program yang menampilkan adegan kekerasan fisik, verbal, dan seksual secara vulgar, serta tayangan mistis berbungkus religi semu ataupun sinetron hedonis yang menghamba pada budaya konsumtif harus disetop sekarang juga!

Kenapa? karena itus semua itu justru menggurita pikiran dan jiwa anak-anak bangsa sehingga menjadi tumpul dan mengkeret. Menyitir seruan Bernard Shaw,"Fokus kita bukanlah pada kepingan trauma masa silam, melainkan pada tanggung jawab bersama untuk mewujudkan kejayaan bagi generasi yang akan datang." Indonesia Jaya!

Januari 18, 2008

Khasanah Budaya Lokal Mengandung Kearifan

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, BERNAS Jogja, 19 Januari 2008.

Semilir angin globalisasi melenakan kesadaran putra-putri Ibu Pertiwi sehingga lupa akan jati dirinya. Ada yang bergaya kebarat-baratan, kearab-araban, kecina-cinaan, keindia-indiaan, kemarxis-marxisan, dan seterusnya. Padahal, tradisi kejawen sebagai salah satu saka guru budaya Nusantara mengandung khasanah kebijaksanaan hidup nan adiluhung.

Misal seni pewayangan. Tontonan yang memberi tuntunan sebagai landasan tatanan sosio-kultural ini telah dikenal luas masyarakat sejak zaman Dinasti Airlangga di abad 13. Ironisnya di abad-21 ini hanya segelintir orang muda yang sudi mengkaji makna filosofis di balik metafora tokoh Panakawan. Pana berarti arif, kawan sinonim dengan sahabat. Sejatinya Semar, Gareng, Petruk dan Bagong merupakan personifikasi "Sahabat Arif Bijaksana" yang bersemayam dalam diri kita semua.

Tapi menurut Imanuel Subangun, orang muda itu "di luar baik - di luar buruk". Ibarat lahan pertanian masih belum tergarap secara memadai. Saat ini kita merindukan orang muda dan mereka yang berjiwa muda yang piawai mengkontekstualisasikan nilai-nilai local wisdom dengan bahasa hare gene sehingga matching dengan semangat anak zaman modern.

Beberapa hari silam, penulis menyaksikan tayangan menarik sekaligus mendidik di salah satu stasiun TV swasta. Berbeda dengan mayoritas sinetron Indonesia yang cenderung cengeng dan menjual mimpi semu. Acara tersebut justru mengangkat kisah perjuangan heroik Rama menyelamatkan Shinta dari cengkraman Rahwana. Langkah kecil namun konkret ini terbukti mampu mengangkat (kembali) khasanah budaya lokal melalui media Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) secara gaul dan fungky.

Lebih lanjut, menurut Anand Krishna, kemiripan lakon wayang di India dan Indonesia bukan merupakan satu kebetulankarena budaya Hindia Daratan (Jambu Dwipa) dan Hindia Kepulauan (Nusantara) terlahir dari satu rahim yang sama. Yakni peradaban di sekitar Sindhu Matta (Sungai Sindhu) yang mengalir dari Gandahar (kini Pakistan) sampai Astraley (sekarang Australia). Bumi Nusantara tercinta menyimpan begitu banyak khasanah budaya lokal. Pilihan ada di tangan kita, mau membiarkannya tersia-sia atau segera mengambil cangkul dan mulai menggali sembari berdendang, "Gundul-gundul pacul-cul gembelengan...Nyunggi-nyunggi wakul-kul gembelengan..."

Januari 16, 2008

"QUO VADIS" PENDIDIKAN?

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia, 16 Januari 2008

Tatkala sebuah negara bernama Indonesia tengah terpuruk seperti sekarang, seluruh elemen masyarakat sepakat hal itu disebabkan oleh bobroknya sistem pendidikan nasional. Biaya pendidikan begitu tinggi, gaji guru rendah, kurikulum berubah terus setiap ganti mentri, banyak bangunan sekolah ambruk, uang pengadaan buku dikorup, dan seterusnya. Kenapa? karena para pejabat sekedar menjadi birokrat dan melupakan amanah sebagai pelayan rakyat.

Inilah imbas sistem pendidikan yang cuma bersandar pada otak kiri. Padahal ada penelitian mutakhir di Amerika Serikat menyebutkan peran logika pada keberahasilan seseorang hanya 4 persen. Selebihnya, 96 persen menjadi tanggung jawab otak kanan yang berkaitan dengan imaginasi, kreatifitas, dan inovasi.

Seyogianya, pendidikan memfasilitasi perkembangan otak kiri dan kanan. Sehingga anak didik kelak menjadi manusia yang utuh dan seimbang. Sama sebangun dalam transformasi tata kehidupan berbangsa. Saat ini, kita merindukan pemimpin yang tidak hanya memiliki intelektual tinggi dan bergelar doktor, tapi juga sosok yang mampu bertindak laksana seorang Ibu, bisa ngemong dan peka terhadap kondisi riil yang berdenyut di nadi rakyat.

Sedikit berbagi, beberapa waktu lalu saya menghadiri simposium pendidikan bertema "Peran pengajar, dokter, dan psikolog dalam mengembalikan arah pendidikan yang berlandaskan budaya Nusantara demi keselamatan generasi bangsa." Hajatan besar ini difasilitasi oleh Forum Pengajar, Dokter, dan Psikolog bagi Ibu Pertiwi (ForADokSi BIP) yang diketuai Dewi Juniarti Psi. Mengambil tempat di Gedung Aula Dwi Warna Lemhanas Jakarta Pusat. Acara itu gratis dan terbuka untuk umum.

Sebagai pembicara kunci, hadir Ketua National Integration Movement (NIM) Maya Safira Muchtar, Dr B Setiawan SpB SpBS (tokoh di bidang kedokteran, spesialis bedah otak dan bedah syaraf), Sartono Mukadis Psi (psikolog senior dan pemerhati pendidikan), Ir. Sudarmadi WS MM (staf ahli mentri, pendidik), Jendral Ki Tyasno Sudarto SH ( Ketua Majelis Luhur Taman Siswa), Sasa Djuarsa PhD (Ketua Komisi Penyiaran Indonesia), Butet Manurung (tokoh pendidikan luar sekolah Sokola Rimba), Dik Doang (artis/pendidri sekolah Alam Dik Jurank Doank), Drs Lukman S Sriamin M Psi (Ketua HIMPSI Jaya), Trie Utami (artis), dll.

Tak kurang dari 1.100 peserta mengikuti acara tersebut sejak pukul 8.00-14.00 WIB nonsetop. Mahasiswa dari IKJ jurusan seni tari turut menyumbangkan aneka tarian dari pelbagai wilayah Nusantara untuk memeriahkan acara bersejarah tersebut. Uniknya, hampir 90 persen peserta berprofesi sebagi guru.

Tapi amat disayangkan karena Mentri Pendidikan Nasional kita tercinta tak bisa rawuh (datang). Artinya apa? jangan terlalu berharap pada beliau-beliau yang di atas sana. Kini saatnya segenap elemen masyarakat madani merapatkan barisan dan mendesak pemerintah merealisasikan anggaran pendidikan nasional (minimal) 20 persen dari APBN sesuai amanah UUD 1945.

Yang tak kalah penting ialah membersihkan Departemen Pendidikan dari arogansi kekuasaan dan korupsi sistemik. Caranya bagaimana? Sederhana! yakni dengan mempraksiskan ajaran luhur Taman Siswa warisan Ki Hadjar Dewantara yang sudah tak asing di telinga kita. Pertama, ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh). Kedua, ing madyo mbangun karso (di tengah membangun prakarsa dan bekerja sama). Ketiga, tut wuri handayani (di belakang memberi daya-semangat dan dorongan). Mulai dari diri sendiri di lingkar pengaruh masing-masing.

Kita juga tak perlu mengimpor produk budaya dari luar yang sudah kadaluarsa. Entah itu dari Arab, China, India ataupun Eropa. Saat ini marak pelatihan IQ, EQ, SQ di hotel-hotel berbintang.
Padahal leluhur kita telah mengenal istilah sembah raga, sembah cipta dan sembah rasa seperti yang termaktub dalam Kitab Wedhatama karya KGPA Mangkunegara IV di abad ke-19 (baca: Wedhatama Bagi Orang Modern karya Anand Krishna). Inilah sistem pendidikan holistik berbasis budaya Nusantara yang niscaya mampu membawa Indonesia bangkit dan kembali menggenggam kejayaannya kembali. Amin!

Januari 07, 2008

RHYTHM OF LOVE, PEACE AND HARMONY

Dimuat di Rubrik Book Review Dialogue Magazine, edisi Desember 2007.


Book's Title : Voice of Indonesia
First Published by : Anand Krishna Global Cooperative Society (2007)
Author: ANAND KRISHNA
Number of Pages: xxv + 260
Price: Rp 50.000

"Peace is the celebration of plurality" - Ms. Shambana Azmi.

This insighful definition of peace was stated by member of the Indian Parliament at the global forum - the power of peace through information and communication - hosted by UNESCO in association with the Indonesian Goverment, in Bali, January 21st - 23rd 2007.

Voice of Indonesia is Anand Krishna's fourth book in English. The book presents three main ideas, My Nation, The World, and Humanity. Through these ideas, Anand Krishna belives that the resurgence of modern Indonesia automatically contributes to mass effort all around the world for making this earth a better place to live on, and even contribute to the building of neo humanity: One Earth One Sky One Humankind.

One of the book's insightful illustrations was shared by. Prof. Sudjarwadi, the Rector of Gadjah Mada University Yogyakarta. He has a habit of taking a morning walk with his beloved wife. One day they were passing by rice field near their home. They saw an old woman digging the ground. They were curious whay she was digging the ground so early in the morning. Whether it would have been better if she kept on staying at home because it was still dark and it's very cold.

Sudjarwadi's wife asked her,"Excuse me, but may I know what you are doing?" The old woman straightened her back and answered,"Oh, this...I am making a way for water. This is for my neighbour's filed. I'm afraid her rice wouldn't get enough water." What a humble woman, she dug the drainage to make a way so that the water could flow to the neighbour's filed. She left home very early to share with her neighbors. She's like a candle that sparks light in the midst of human greed that often sacrifices others (page ix).

This book also documented the interview between Michele Lee (American Jounalist) and Anand Krishna (Non Run-of-the-Mill Spiritual Guru), which has been published in The Jakarta Post, August 29, 2006. An interesting question appears - why is Love the only solution to solve our multidimensional problems?

Anand Krishna, descent of India born and raised in Surakarta, say that Love is the deepest emotion of human beings. It is the deepest part of human's inner self. When the solution is deep enough, the result is also quite long term. Furthermore, this famous spiritual leader gave an analogy between love and a tree. If the roots grow deep into he earth, then we will have a big tree. So this is the same thing, we should have asolution that is deep enough within our being and then we can expect a result, which is long term result (page xv).

The language style of the book very simple, friendly and fungky. Kerry B. Collison, international best-selling author commented on it, "Renowed spiritualist Anand Krishna's compilation of his perpectives in English article released as "Voice of Indonesia" is a "must read". Each topic is different; with core mesages about love and spiritual self-empowerment." Yes! Voice of Indonesia is the rhythm of love, peace and harmony that resemble in our heart.

Januari 06, 2008

Menyulut Obor Cinta Ibu Pertiwi

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa, Seputar Indonesia, Kamis 9 Agustus 2007.

Seorang nasionalis - berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun W.J.S Poerwadarminta terbitan Balai Pustaka (1976) - berarti dia yang mencintai nusa dan bangsanaya. Sedangkan menurut Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia yang dikompilasi oleh Eko (2006), nasionalisme dapat pula berarti sauvinisme, patriotisme atau semangat kebangsaan (hlm 427)

Memang kalau tidak berhati-hati, patriotisme bisa menjelma menjadi sauvinisme alias kecenderungan mengagung-agungkan bangsa sendiri serta melulu melihat keburukan bangsa lain. Bung Karno mengantisipasi kecenderungan sauvinistis tersebut dengan menempatkan mekarnya kembang nasionalisme dalam bingkai taman sari internasionalisme (sosio-nasionalisme).

Ironisnya, semangat kebangsaan yang pernah berkobar di dada para founding fathers dan pejuang kemerdekaan kini kian meredup. Ibu Pertiwi merintih menyaksikan anak-anak bangsa tersekat-sekat oleh kepentingan ekonomi-politis yang dibungkus rapi dengan sentimen suku,
agama, dan ras. Seperti pemberlakuan Perda Syariat Islam di pelbagai daerah, Perda Kota Injil di Manokwari Papua, Perda benuansa Hindu di Bali, dst. Selain itu gerakan separatisme juga kembali merebak di Maluku Selatan, Bumi papua, dan sekitarnya. Hal tersebut berpotensi
menyebabkan disintegrasi bangsa.

Raden Nagabehi Ronggowarsito pernah memperediksi bahwa Pulau Jawa bisa terpecah menjadi lima daerah karena adanya bencana alam. Redefinisi jangka (ramalan) tersebut dalam konteks kekinian ialah Jawa identik dengan Indonesia, sedangkan bencana alam mencakup pula bencana sosial akibat pelanggaran konsensus nasional dan pengkhianatan terhadap landasan bernegara kita : Pancasila. Kiranya momentum menjelang perayaan HUT ke-62 Republik Indonesia ialah saat yang tepat guna menyulut kembali obor cinta bagi Ibu Pertiwi.

Anand Krishna mengajak segenap anak bangsa belajar (dari) sejarah. Kita hanya bisa bertahan 100 tahun dengan landasan agama. Padahal dengan landasan budaya, kita pernah memiliki dinasti yang dalam sejarah kemanusiaan, belum ada dinasti yang pernah berkuasa selama 800 tahun lebih : Sriwijaya! Lebih lanjut menurut tokoh humanis lintas agama ini, dari Ken Arok sampai Majapahit, rentang waktunya 400 tahun, patihnya beragama Buddha, Rajanya beragama Hindu da jangan lupa bahwa salah satu Raja Sriwijaya bernama Haji Sumatrani, dia Muslim. Padahal saat iu masyarakatnya lebih banyak Hindu dan Buddha, tapi hal tersebut tidak menjadi soal.

Agenda minimum yang musti segera dilaksanakan ialah pembenahan sektor pendidikan nasional. Semboyan luhur Taman Siswa, "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso dan Tut Wuri Handayani" perlu ditumbuhkembangkan dalam diri anak didik sejak dini melalui pelajaran Budi Pekerti. Nilai-nilai universal yang terkandung dalam setiap agama mesti mewarnai seluruh peri kehidupan segenap warga negara yang "Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangrwa". Karena - menyitir pesan Mpu Tantular - sejatinya tiada dualitas dalam dharma bhakti bagi Ibu Pertiwi, Indonesia Jaya!

Membangkitkan Spirit Sutasoma

Dimuat di Rubrik Bedah Pustaka, Media Indonesia, Sabtu, 27 Juli 2007.

Empu Tantular dalam menulis Kakawin Sutasoma ternyata lebih suka memnggunakan makna tersirat di balik yang tersurat. Itulah sebabnya kenapa kita harus jeli dalam memahami. Kakawin berarti karya pujangga yang berbahasa Kawi (Jawa Kuno), suta artinya anak dan soma sinonim dengan bulan. Kakawin Sutasoma ialah hikayat ia yang bertabiat laksana rembulan nan lembut dan melembutkan.

Kalau beberapa waktu lalu di Barat pernah dihebohkan oleh Da Vinci Code, kini di Timur ada juga "Sutasoma Code". Dalam buku ini Anand Krishna menemukan setidaknya ada tiga sandi rahasia. Sandi pertama, Kisah Sutasoma sejatinya merupakan kritik pedas buat Gajah Mada terkait dengan kebijakan ekonomi politik Majapahit yang justru menyengsarakan rakyat. Menurut Empu, untuk mempersatukan Nusantara, tidak perlu kekuatan otot, gunakalah kasih sebagai lem perekat. Sandi kedua, yakni nama pengarangnya sendiri, Empu Tantular. Empu singkatan dari keempuan yang artinya kebijaksanaan, sedangkan Tantular berarti tidak mudah tertular. Sandi ketiga, kisah Sutaoma ialah salah satu dari sekian banyak kisah masa lampau Sidharta Gautama sebelum memperoleh pencerahan dan menjadi Buddha.

Yang mengganjal dari buku ini ialah alur cerita dan setting tempat. Namun secara keseluruhan cukup membuat kita terkesima dengan sandi yang dilukiskan Empu Tantular.

Universalitas Ajaran Shri Krishna

Dimuat di Majalah Suluh FPUB - Forum Persaudaraan Umat Beriman (Edisi Mei - Juni 2007)

Judul Buku : The Gita of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda
Berwawasan Modern
Penulis : Anand Krishna
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : I, April 2007
Tebal : ix + 322 halaman
Harga : Rp 50.000

"Bhagavad Gita adalah kitab suci bagi seluruh umat manusia. Bahkan bukan sekedar kitab, ia adalah sesuatu yang hidup, dengan pesan baru bagi setiap zaman, dan arti baru bagi setiap peradaban," tulis Sri Aurobindo, seorang Filsuf dan juga Rohaniwan berkebangsaan India.

Dalam falsafah Jawa ada paribasan : rame ing gawe, sepi ing pamrih (giat dalam berkarya tanpa pamrih). Spirit lokal (local genius) ini selaras dengan pesan universal yang termaktub dalam The Gita Of Management.

Menurut Anand Krishna, penulis buku ini, keselarasan tersebut bukanlah suatu kebetulan, karena budaya India dan Indonesia terlahir dari satu rahim yang sama, yaitu peradaban di sekitar Ibu (baca : Sungai) Sindhu yang membentang dari Gandahar (kini Pakistan) sampai Astralaya (kini Australia). Keselarasan tersebut telah berlangsung lama, misalnya, sewaktu Perdana Menteri India, Pandit Jawaharlal Nehru tercatat sebagai tamu kenegaraan pertama yang berkunjung ke Indonesia Merdeka 62 tahun silam. Sejarawan Arab menyebut peradaban Shindu dengan istilah Hindu. Orang Barat menamainya Indies, Hindia, Indo. Hindu sejatinya bukan mengacu pada nama agama tertentu melainkan khasanah kearifan lokal Nusantara tercinta. Begitulah paparan pembuka dari penulis buku produktif keturuanan India yang lahir di Surakarta ini.

Buku ini secara struktural terdiri dari tiga bagian. Dua bagian awal mengulas paradigma berfikir yang mepengaruhi tata kehidupan umat manusia dewasa ini. Yakni ajaran Sun Tzu dalam The Art Of War serta petuah Shri Krishna kebada Arjuna dalam Bhagavad Gita.

Filsafat dasar ala Sun Tzu mengedepankan tipu muslihat guna mengalahkan musuh. Sun Tzu lahir di negara bagian Qi di daratan Cina pada tahun 481 masehi. Semasa kecil, ia suka menonton arak-arakan pasukan kerajaan yang dipimpin seorang jenderal berbusana militer
lengkap dan mewah. Sun Wu (nama kecilnya) berkata, "Ah kalau sudah besar nanti aku mau jadi jenderal!". Begitu menginjak usia remaja, obsesi itu kian kuat, hingga terciptalah magnus opus seputar perang : The Art Of War.

Kini Bhagavad Gita mulai menggeser posisi The Art Of War, termasuk dalam ilmu managemen. Misalnya sehubungan dengan insentif finansial, bagi Sun Tzu, rakus itu baik namun menurut Shri Krishna, rakus itu buruk. Hal tersebut diperlihatkan dalam pesan Maha Guru Ksatria Arjuna di padang Kurusetra, "Jangan pernah melakukan sesuatu hanya karena imbalan!"

Ajaran luhur Shri Krishna tersebut terbukti mampu melampaui dualitas baik-buruk. Beliau mengajak manusia mempraksiskan bhakti atau berkarya tanpa pamrih dalam keseharian ziarah hidup. Artinya, berupaya sekuat tenaga sekaligus rileks tanpa terlalu memusingkan hasil akhir. We reap what we sow (kita menuai apa yang kita tanam). Atau dalam fisika modern mekanisme ini disebut dengan hukum aksi-reaksi.

Pada bagian penutup Anand Krishna melukiskan corak karakter seorang pemimpin sejati versi Bhagavad Gita kontemporer. Istilahnya ialah Trisila Kepemimpinan. Sane Leadership (Kepemimpinan yang waras sekaligus kewarasan seorang pemimpin), kepemimpinan yang efektif dan efisien, serta punya semangat persahabatan dengan klien, rekan sejawat, atasan, bawahan, pemerintah, lingkungan dan alam semesta. Bahkan seorang pesaing pun tidak perlu dimusuhi sebab ia bisa menjadi pemicu kreatifitas dan produktifitas.

Nilai-nilai keutamaan dalam The Gita (lagu) of Management tak hanya relevan diterapkan dalam lokus bisnis, melainkan juga dalam hidup sehari-hari. Buku ini ialah panduan untuk meniti ke dalam diri dan menjadi pemimpin sejati. Setidaknya menjadi pemimpin atas diri sendiri. Sehingga eksistensi kita bisa berguna bagi sesama sesuai peran kita di lingkar pengaruh masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh Swami Vivekananda, Pujangga besar India yang banyak mengilhami para founding fathers Republik Indonesia, "Cara untuk menggapai kesempurnaan hidup adalah dengan berkarya tanpa pamrih! " ( hal 156). Nilai itu pulalah yang dijelaskan oleh Shri Krishna.

Pemanasan Global, Isu atau Fakta?

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa, SKH Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 7 Juli 2007

Menurut Gerard Bonn dari Columbia University, pemanasan Global bersifat siklis. Fenomena alam(i) ini telah terjadi sejak 130.000 silam. Sebaliknya Al Gore dalam film An Inconvinient Truth memvisualisasikan bahwa peningkatan suhu bumi sudah melampaui ambang
batas kewajaran dalam dua dasawarsa terakhir. Dulu di Papua yang alamnya begitu asri, jalan 2 jam bisa ketemu kangguru, sekarang walau sudah blusukan 6 jam dalam hutan belum tentu melihat klebatannya.

Global Warming disebabkan oleh kadar karbondioksida (CO2) berlebih di atmosfer bumi. Daya gravitasi menahan banyak amonia dan methane di sana. Akibanya, salju abadi (permafrost) di kutub lebih cepat mencair, suhu air laut naik dan curah hujan menjadi tinggi. Gejala salah mangsa atau dalam bahasa kerennya El Nina dan La Nina ialah dampak nyata dari kerusakan ekosistem tersebut.

Praktek illegal logging yang "menyulap" areal hutan menjadi lahan kritis ialah penyebab utama pemanasan global. Karena paru-paru dunia yang mampu mentransformasi Co2 menjadi oksigen kian langka. Ironisnya pemerintah tidak berani bersikap tegas kepada para pembalak liar yang
merusak alam titipan anak-cucu tersebut. Selain itu corak peradaban industrial yang mengandalkan bahan bakar fosil seperti batubara, minyak, gas alam juga menjadi kontributor utama kerusakan ekosistem dalam skala makro.

Memang sih sudah ada upaya untuk menurangi dampak kerusakan ini, yakni Protokol Kyoto (1997). Celakanya, Amerika dan Cina yang notabene tercatat sebagai emisor CO2 terbesar emoh meratifikasi kesepakatan tersebut. Sehingga perlu ada persatuan dari negara-negara Asia Afrika guna mendesak Paman Sam dan Negeri Tembok Raksasa untuk mengurangi emisi GHG (Green House Gases) yang mencemari atmosfer bumi yang satu adanya ini.

Fakta-fakta seputar pemanasan global bagi negara-negara Asia-Afrika sungguh membuat bulu roma merinding. 10 juta penduduk pesisir akan menjadi nomaden alias kehilangan tempat tinggal akibat abrasi pantai, 4.000-an pulau di Indonesia bisa tenggelam, 130 juta penduduk Asia Afrika akan menderita kelaparan karena sinar Ultra Violet (UV) membuat tanah (lebih) kering.

Menurut Roy B Efferin para ilmuwan di Taiwan tengah mengadakan eksperimen yakni membuat CO2 sisa industri ke dasar laut. Penulis buku Sains dan Spiritualitas tersebut menyatakan bahwa dalam kedalaman 4900 kaki di bawah permukaan laut CO2 menjadi stabil bahkan aman dikonsumsi sebagai makanan oleh aneka biota laut.

Secara lebih mendalam, sebutan planet Bumi terkesan maskulin banget. Sehingga manusia cenderung mengeksploitasimya habis-habis. Para leluhur kita lebih suka menyebut tanah air dengan Ibu Pertiwi, Motherland . Hubungan parental dengan Ibu Bumi membuat anak manusia
secara alam(i) lebih menghargai alam semesta. Ritual pemberian sesaji di pohon-pohon besar atau dongeng sebelum tidur bagi anak-anak berisi petuah agar tidak menebang pohon sembarangan karena di sana ada wewe gombel ialah bentuk kearifan lokal untuk menjaga kelestarian alam.

Kini langkah konkret yang bisa dilakukan sebagia wujud cinta pada Ibu Bumi ialah, naik sepeda tau jalan kaki saja bila hendak bepergian jarak dekat, mengembangkan PLT tenaga surya, biogas, minyak jarak, dst, mematikan bolam lampu bila tidak digunakan, menanam pohon di
taman-taman kota, bukit dan pekarangan rumah, mendaur ulang kertas, plastik, logam, tisu, dst. Last but not least, menulis artikel ekologis di media massa berkait bahaya pemanasan global dan solusi praktis untuk mengatasinya.

Oase Lokal di Padang Modern

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa, SKH Kedaulatan Rakyat, Kamis, 4 Juni 2007.

"Hare gene ngomong pake basa Jawa, apa kata dunia?" Begitu cletukan ABG gaul menyikapi pemakaian bahasa Jawa di era Milenium ketiga ini. Semilir angin Globalisasi telah melenakan kesadaran generasi muda sehingga lupa akan jati diri bangsa. Ada yang bergaya hidup 'kebarat-baratan", "kearab-araban", "kemarxis-marxisan", dan seterusnya. Padahal budaya Jawa sebagai salah satu Saka Guru budaya Nasional sejatinya mampu membentuk karakter anak bangsa yang tangguh.

Seni pewayangan mengandung ajaran Spiritual Adiluhung. Menurut Mpu Kanwa, "tontonan" yang memberi "tuntunan" sebagai landasan "tatanan" sosio kultural ini telah dikenal luas oleh para leluhur sejak zaman Dinasti Airlangga. Ironisnya kini hanya segelintir anak muda yang tertarik merenungkan makna filosofis di balik tokoh Panakawan. "Pana " berarti arif, "kawan" sinonim dengan sahabat, sehingga Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ialah personifikasi "Sahabat arif bijaksana", yakni kesadaran yang bersemayam dalam diri tiap insan.

Lebih lanjut, tatkala Barat mulai mengenal IQ,EQ, SQ dan sejenisnya, Sri Paduka Mangku Negara IV telah mengajarkan Sembah raga, cipta, rasa dan karsa lewat geguritan (tembang) Wedhatama. Namun kaum muda itu, meminjam istilah Imanuel Subangun "di luar baik-di luar buruk". Ibarat lahan masih di-bera, belum tergarap secara memadai. Sehingga butuh kepiawaian dan kesabaran ekstra guna mengkontekstualisasikan nilai-nilai kearifan lokal tersebut dengan bahasa "hare gene" yang selaras dengan semangat anak zaman (modern).

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi menyosialisasikan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 dalam format bahasa Jawa. Upaya yang dipunggawani oleh Bapak Jimly Ashidiqqie ini patut mendapat acungan jempol. Namun menurut catatan statistik ada lebih dari 300 bahasa
daerah di Indonesia. Maka masih banyak gawe 'tuk membangkitkan semangat nasionalitas yang dipadukan dengan dialek lokalitas di tingkatan akar rumput.

Sebaliknya kearifan budaya lokal juga harus melulai berani dimunculkan ke permukaan. Herujiyato, Dosen pendamping skripsi penulis mendokumentasikan 99 Falsafah Jawa dari kitab-kitab kuna warisan leluhur dalam bahasa Inggris. Judulnya "Katrenanism" alias Pious Love Theory. Misal prinsip "Mangan Ora Mangan Asal Ngumpul". Terjemahan linearnya "Eating or not eating the most important thing is togethering", kiranya paraphrase yang lebih pas ialah "Willingness to Sacrifice in order to Maintain Togetherness".

Nilai lokalitas ibarat oase di padang gersang modernitas. Pesatnya laju Teknologi, Informasi, Komunikasi (TIC ) ternyata tak mampu mengobati dahaga manusia 'tuk memahami Sejatine Urip, makna hidup. Di sisi lain interpretasi ajaran agama cenderung bersifat dogmatis dan
fanatis sehingga membuat manusia tak leluasa bernapas lega di alam bebas Universalitas. Bumi Nusantara menyimpan kekayaan ragam budaya lokal yang potensial sekali. Ironisnya kini perbedaan justru dijadikan alat pemicu konflik bernuansa SARA!

Januari 02, 2008

Mengembalikan Mata Pelajaran Budi Pekerti

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa, SKH Kedaulatan Rakyat, 11 Oktober 2007

Sungguh mengharukan sekaligus menggetarkan tatkala ratusan peserta Temu Hati "Budaya Sebagai Landasan Integrasi Bangsa" pada Minggu Wage 24 September 2006 lalu dengan tokoh humanis lintas agama Nusantara, Anand Krishna, di Auditorium Lembaga Indonesia Prancis (LIP) Sagan Yogyakarta berbaris antre guna menandatangani petisi menuntut pengembalian mata pelajaran Budi Pekerti di sekolah. Sungguh sebuah peristiwa bersejarah dan kado manis nan tak terlupakan di hari pertama bulan Ramadhan 1427 Hijriyah nan suci dan penuh berkah.

Petisi tersebut akan dikirim kepada Pemerintah Daerah dan Pusat, utamanya Menteri Pendidikan serta dinas-dinas terkait yang bertanggungjawab mengurusi bidang yang kendati amat signifikan dalam pembenahan tata hidup berbangsa di masa depan namun kerap dianaktirikan dari segi atensi dan anggaran finansial.

Pertanyaan lebih lanjut ialah kenapa pengembalian mata pelajaran Budi Pekerti urgently required alias mendesak untuk segera dilaksanakan? Hal ini berangkat dari kasus riil di lapangan yang disharingkan oleh peserta acara "Temu Hati" yang digagas oleh National Integration Movement (NIM) tersebut. Di sebuah sekolah negri, ketika berlangsung pelajaran agama Islam di kelas, anak-anak non Muslim berada di luar kelas. Si guru agama nyeletuk begini, "Anak-anak, mereka yang di luar itu adalah kafir. Mereka tidak akan masuk surga." Lucunya, walau sejatinya amat memprihatinkan, guru murid-murid yang non Muslim juga berkata sebaliknya, " Kasihan orang-orang yang ada di dalam itu. Mereka tidak akan memperoleh keselamatan."

Pola pengkotak-kotakan dan klaim arogan sepihak atas Kebenaran semacam inilah yang berpotensi memunculkan perang saudara dan disintegrasi bangsa. Ironisnya benih-benih kebencian tersebut ditebar di ruang-ruang kelas kepada para murid-murid yang begitu polos. Hal semacam ini tak bisa dibiarkan terus karena bertentangan dengan makna terdalam pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Para peserta didik seyogianya bisa mengapresiasi sesama alau berbeda agama dan kepercayaan. Ambon dan Poso masih parah kondisinya sampai detik ini, sehingga kita musti berupaya sekuat tenaga agar tragedi kemanusiaan semacam ini tak kian meluas di Bumi Pertiwi tercinta ini.

Agama ialah urusan personal, antara kita dengan Tuhan. Ada banyak cara beribadah dan memuja-Nya, tapi ibarat aliran sungai, semua bermuara di Samudera Kehidupan yang satu adanya, yakni Tuhan Yang Maha Esa.

Kalau kita cermati dengan kepala dingin, sentimen agama yang acapkali dipakai oleh segelintir kelompok radikal yang mau menang dan benar sendiri (baca: fanatik) hanyalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan politis jangka pendek (baca: polotisasi agama). Hal itu merupakan penistaan terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap agama di dunia ini.

Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa menekankan betapa pentingnya pendidikan Budi Pekerti sejak usia dini di sekolah-sekolah kita. Mata pelajaran ini memfasilitasi siswa-siwi untuk mengkaji nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam pelbagai agama dan kepercayaan di jagad raya ini. Misalnya, prinsip kejujuran, keberanian memperjuangkan keadilan, sikap tepa slira dan apresiasi terhadap perbedaan, bela rasa dengan mereka yang menderita dan tertimpa bencana, dlsab. Sedangkan tanggungjawab pendidikan agama biarlah dikembalikan kepada orang tua di keluarga dan pemuka agama di masyarakat, termasuk media massa. Namun perlu diingat bahwa semua itu musti dilandasi dan diwarnai oleh Kasih, Kedamaian dan Harmoni (Love, Peace and Harmony).