Maret 20, 2009

Membangkitkan Kembali Ruh Mpu Tantular

Judul: Sandi Sutasoma, Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2007
Tebal: vi + 312 Halaman
Harga: Rp50.000


"Indoktrinasi yang dilakukan terhadap anak-anak kita sejak usia dini menciptakan konflik di dalam diri mereka. Doktrin yang mereka peroleh - termasuk cara makan, berpakaian dan lain sebagainya - membuat mereka tertutup" (hal 255)

Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma untuk mengkritik Gajah Mada. Saat itu fondasi yang dipakai oleh Sang Maha Patih guna menyatukan Nusantara begitu rapuh. Deklarator Sumpah Palapa tersebut menggunakan strategi militer, ekonomi dan agama. Sebagai alternatif, Sang Mpu menawarkan pendekatan budaya untuk mengatasi krisis multidimensi yang mendera Majapahit.
Pangeran Sutasoma lahir di India. Saat itu kepulauan Dwipantara masih menyatu dengan daratan Jambudwipa, sehingga wajar bila banyak kemiripan antara Indonesia dan India. Dari seni pewayangan sampai dengan teknik bercocok tanam. Kenapa? karena akar budayanya satu. Yakni peradaban subur di sekitar Sungai Sindhu yang membentang dari Gandhaar (sekarang Kandahar di Afganistan) hingga perbatasan Astraalaya (kini Australia).

Ibunya bernama Prajnadhari, seorang permaisuri kerajaan Hastina, sedangkan ayahnya bernama Mahaketu, raja bijak yang berkuasa atas sebagian besar wilayah Jambudwipa. Kelahiran Sang Putra Mahkota disambut gembira oleh keluarga, kerabat istana, dan seluruh rakyat. Yang mencolok ialah kulit si bayi mungil ini bersih nyaris tanpa noda. Suta berarti anak dan soma berarti bulan. Para astronom memprediksi kelak Sutasoma akan bertabiat ibarat rembulan nan lembut dan melembutkan (hal 65).

Anehnya begitu menginjak usia remaja Sang Pangeran enggan mendalami ilmu ekonomi-politik. Ia justru lebih suka mendengarkan wejangan para biku dan pertapa, baik yang menganut ajaran Budha maupun Tantra Shiva. Hingga akhirnya pada suatu malam tanpa bekal sepeserpun Sutasoma kabur dari istana menggembara untuk menemukan makna sejati kehidupan (sejatine urip).

Setelah keluar-masuk hutan Sutasoma bertemu dengan Biku Sumitra yang ternyata kakeknya sendiri. Dulu si eyang bernama Jayatsena, nama barunya itu hadiah dari Sang Guru. Su-Mitra artinya sahabat yang baik, beliau berusaha menjalin persahabatan dengan siapa saja tanpa pandang bulu.

Ada dua hal penting yang disampaikan, pertama Sutasoma kelak akan menikah dengan putri pamannya sendiri, Chandrawati akan menjadi pendamping setia sekaligus sumber inspirasi dalam pelayanan pada sesama. Kedua, ia musti "menaklukkan" Purushaada, raja lalim yang selama ini menindas rakyat.

Purushaada berasal dari kata purusha atau manusia yang belum sempurna (hal 181). Ia yang masih setengah-setengah. Purushaada merindukan kehadiran Sutasoma alias kehangatan belaian Rembulan. Kini pun masih banyak orang bertubuh manusia yang kelakuannya sub-human karena kerap menindas orang lain.

Akhirnya Keberadaan (baca: Tuhan) mempertemukan Sutasoma dan Purushaada, tepatnya di kuil Batara Kala. Tatkala insting hewani (ego) Purushaada larut dalam kehangatan cinta Sutasoma secara alamiah terjadi phenomena Kawula Manunggaling Gusti - Tauhid! Dalam bahasa Mpu Tantular berbunyi, "Rwaaneka dhaatu winuwus Buddha Wishwa bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, mankaang Jinatwa kalawan Shivatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa." (Kakawin Sutasoma atau Purushaada Shantaa, CXXXIX:5 diterjemahkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa)

Buku ini ialah yantra atau alat untuk membangkitkan kembali ruh ke-empu-an dalam diri kita, sebagaimana Mpu Tantular pernah merasuki Bung Karno, Hatta, Dewantoro, dll. Kini tugas sejarah generasi abad ke-21 untuk mendengungkan kembali pesan persatuan, "Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa" di bumi Nusantara tercinta.

Sumber: http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/03/18/285/202518/membangkitkan-kembali-ruh-mpu-tantular
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/03/18/11093748/resensi.membangkitkan.kembali.ruh.mpu.tantular

Maret 10, 2009

Merevitalisasi Kearifan Lokal

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, 10 Maret 2008

"Hare gene ngomong pake basa Jawa, apa kata dunia?" Begitulah komentar kaum muda menyikapi ajakan pemakaian bahasa Jawa di abad ke-21 ini. Bahkan para generasi Music Television (MTV) itu lebih suka nongkrong di Mall ketimbang nonton Pasar Malam dan Perayaan Sekaten (PMPS) di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Globalisasi melenakan kesadaran kolektif generasi muda. Akibatnya, kami tercerabut dari akar budaya lokal. Ada yang bergaya "kebarat-baratan" pada satu sisi dan "kearab-araban" pada sisi lainnya. Di antara kedua kutub tersebut, variannya pun beragam.

Padahal tradisi Kejawen - berasal dari nama tumbuhan kejawen, yakni sejenis rerumputan yang mirip batang padi - menyimpan khasanah luhur. Contoh konkret seni pewayangan, ia mengandung ajaran spiritual adiluhung. Mpu Kanwa menjadikan "tontonan" tersebut sebagai "tuntunan" sekaligus landasan "tatanan" masyarakat. Wayang dikenal luas oleh leluhur kita. Tepatnya sejak zaman Dinasti Airlangga di Kerajaan Singosari pada abad ke-12.

Ironisnya, saat ini hanya segelintir orang muda yang tergerak merenungkan makna filosofis di balik tokoh Wayang. Contoh konkret Panakawan. Panakawan berasal dari dua kata. Pana artinya bijak dan kawan sinonim dengan sahabat. Ki Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ialah para sahabat bijaksana alias kesadaran yang bersemayam dalam diri setiap insan.

Contoh lainnya ialah tradisi kungkum di sumber mata air. Prosesi sederhana ini niscaya menyehatkan, baik secara lahir maupun batin. Menurut penelitian dr. Masaro Emoto, seorang ilmuwan kondang asal Jepang, terapi rendam bisa mendetosifikasi racun di dalam tubuh.
Air, terutama yang masih alami, berkhasiat melepaskan beban stres dan radikal-radikal bebas. Niscaya rasa pang rasa kita kembali ke titik indeferent (lepas-bebas). Situasi batin tersebut terproyeksi dalam bentuk kristal heksagonal yang indah (Lihat :http://wb4.indo-work.com/pdimage/84/329784_molek.gif)

Bahkan tatkala peradaban Barat baru mulai mengenal istilah IQ, EQ, SQ, IESQ, dll pada era 1970-an, lehuhur kita mendiang Sri Paduka Mangkunegoro IV telah mengajarkan laku sembah raga, cipta, rasa dan karsa dalam keseharian ziarah hidup. Ajaran esoterik tersebut termaktub dalam Geguritan (Tembang) Wedhatama (Baca: Wedhatama Bagi Orang Modern, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001)

Di kepulauan Nusantara ini, tercatat tak kurang dari 300 suku bangsa. Masing-masing memiliki - meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara - unggulan budaya yang khas sekaligus saling memperkaya satu sama lain.

Antonius Herujiyato Ph.D mendokumentasikan dan menterjemahkan 99 filosofi Jawa ke dalam bahasa Inggris. Karena selama ini lebih banyak petuah yang diturunkan secara lisan. Judul thesis S3 tersebut Katrenanism Theory. Antara lain berisi ajaran andhap asor alias sikap rendah hati (being humble), 2. kraton nDalem alias melihat spirit di balik ritual, keraton bukan semata bangunan fisik, melainkan lebih merupakan simbolisasi lelaku manusia untuk mencapai kesejatian hidup (being spiritual), dll (Sumber: Panel Discussion on Katresnanism, Universitas Sanata Dharma, 2003)

Contoh lainnya ialah novel-novel karya Almarhum Romo Y.B Mangunwijaya Pr. Beliau menulis karya sastra yang kaya muatan filosofi Jawa, a.l: 'Lali-lali datan lali, lawan saya katon, upamakna wit-witan kang gedhe, mrajak saya semi, tresnaku ngrembuyung." Artinya, "Lupa, lupa tidak bisa lupa, semakin lama semakin tampak, ibarat pohon besar, berkembang kian bersemi, cintaku semakin rimbun. (Baca: Roro Mendut, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1983, hal 352)

Nilai lokalitas ibarat ruh bagi "bangkai" peradaban modern. Perkembangan pesat laju Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK ), baik lewat situs FB (Facebook), FS (Friendster) dan YM (Yahoo Mesenger) tak tuntas memuaskan dahaga anak bangsa untuk menemukan makna eksistensinya. Pada sisi lain interpretasi ajaran agama cenderung dogmatis dan ekslusif. Sepanjang 2000 tahun terakhir, anak-cucu Adam telah berperang dengan mengatasnamakan agama sebanyak 3000 kali. Akibatnya, umat manusia tak lagi leluasa menghirup universalitas kosmik.

Akhir kata, bumi Nusantara tercinta dari Sabang sampai Merauke toh masih menyimpan harta karun berharga. Saatnya kita menggali dan mempromosikan kembali khasanah kearifan lokal tersebut. Tentu secara elegan dan sesuai dengan konteks saat ini. Rahayu!