Oktober 31, 2012

Inspirasi Alam, Tak Ada Perbaikan Tanpa Perubahan


Dimuat di Koran Jakarta, Kamis/1 November 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/104466

Burung rajawali memiliki usia relatif panjang dibanding spesies lain. Burung pemburu tersebut hidup sampai 70 tahun. Perjuangan untuk mencapai usia setua itu tak mudah. Ketika berumur 40 tahun, terjadi perubahan fisiologis pada tubuh rajawali.

Cakarnya yang semula mampu mencengkeram mangsa dengan kuat menjadi bengkok karena terlampau panjang. Paruh yang dulu bisa merobek hewan buruan sekarang melengkung dan justru menyulitkannya untuk makan. Begitu pula dengan bulu-bulu di tubuhnya, kini menebal di satu sisi, tak rata lagi. Burung rajawali itu masih tampak memancarkan sorot mata tajam, gagah perkasa, dan berwibawa, tapi sejatinya tak sehebat dulu lagi.

Dalam konteks ini, dia dihadapkan pada pilihan mati atau menyongsong perubahan atas inisiatif sendiri. Dalam bahasa mendiang Stephen R Covey, disebut proaktif. Ini sungguh sebuah pilihan sulit. Tapi kalau tak memilih, risikonya berhadapan dengan maut dalam waktu yang tak terlalu lama.

Akhirnya, rajawali memutuskan untuk tetap hidup. Caranya dengan terbang ke puncak gunung terjal. Ia pun “bersemedi” selama 150 hari (lima bulan) demi proses tranformasi. Ia memukul-mukulkan paruh bengkoknya ke batu cadas agar terlepas. Tak hanya tragis, proses mencopot paruh itu juga sangat menyakitkan. Darah pun muncrat bercucuran. Namun, setelah paruh lama terlepas, tumbuhlah paruh baru yang proporsional lengkungannya.

Dia lalu mencabuti setiap ruas kukunya satu per satu. Proses pencabutan itu lebih lama ketimbang mencopot paruh. Sakitnya pun tak terperikan. Setiap kali satu kuku dicabut, darah menyembur. Lalu, rajawali menunggu lagi agar seluruh kuku di cakarnya tumbuh kembali dengan sempurna.

Terakhir tapi penting, sang burung juga mesti mencabuti bulu-bulu di sayap dan punggungnya. Bulu tersebut terlalu tebal dan tak merata sehingga menyulitkan terbang dan membuatnya tak lincah menyergap mangsa. Setelah transformasi lima bulan (150 hari) di puncak gunung, dia memiliki tubuh baru. Ia siap untuk hidup 30 tahun lagi.

Lewat kisah ini, Parlindungan Marpaung menandaskan bahwa perubahan memang acap kali tak mengenakkan, namun tak ada perbaikan tanpa perubahan (halaman 190). Setengah Pecah Setengah Utuh merupakan buku ketiganya. Judul tersebut terinspirasi penggunaan telur dalam racikan kue. Telur terlebih dulu dipecah dan dikocok bersama tepung sampai jadi adonan.

Sistematikanya terdiri atas 58 subbab, antara lain bertajuk “Menanam Ucapan, Menuai Tindakan”, “Pohon Pir di Empat Musim”, “Sebuah Kursi Kosong”, “Lalat Serakah dan Semut Merah”, dan “Pria Buta Menatap Tembok”.

Tak hanya dari dunia burung, penulis juga menimba inspirasi dari pergantian musim. Pengamatan pria kelahiran Jambi, 13 November 1968, ini jeli terhadap lingkungan sekitar. Seorang ayah meminta anak-anaknya yang masih duduk di SD untuk mengobservasi pohon buah pir di empat musim.

Si sulung mengamati di musim dingin. Anak kedua dan ketiga mengamati pada musim semi dan musim panas. Terakhir, anak bungsu mengamati pohon pir di musim gugur. Dalam setahun penuh, mereka mengamati dengan pandangan beragam.

Kemudian mereka menjelaskan hasil observasi tersebut kepada ayah. Anak sulung mengatakan pohon pir itu tidak ada daunnya, sekilas tampak sudah mati. Pernyataan itu dibantah dengan keras anak kedua yang mengatakan pohon pir itu justru ditumbuhi tunas-tunas muda dan kuncup-kuncup bunga mulai bermekaran.

Lantas, anak ketiga mengatakan pohon pir berbuah banyak. Daunnya pun hijau lebat. Namun, anak bungsu membantah pernyataan kakak-kakaknya. “Tidak ada pohon yang berdaun hijau. Semuanya berdaun cokelat kekuning-kuningan dan tidak ada buahnya sama sekali,” ujar dia.

Sembari tersenyum simpul, ayah menengahi, “Yang kalian lihat semuanya benar. Tidak ada yang salah. Tiap-tiap kalian melihat dalam satu musim saja. Seandainya kalian melihat secara keseluruhan, pasti mengatakan betapa indah pohon pir itu. Dia beradaptasi mengikuti musim agar tetap bertahan, tumbuh, dan berbuah” (halaman 189).

Ada juga singkatan yang mudah diingat, misalnya HERO. Seorang pahlawan memiliki beberapa karakteristik, seperti honesty (kejujuran, integritas, satu kata dan perbuatan), enthusiastic (semangat menyala-nyala untuk menegakkan kebenaran dan keadilan), responsibility (bertanggung jawab atas setiap ucapan dan tindakannya), dan open minded (tak merasa paling benar, lapang dada menerima masukan).

Buku setebal 330 halaman ini bisa menyadarkan pembaca bahwa sikap terhadap tantangan berbanding lurus dengan kualitas hidup. Senada dengan tesis John C Maxwell, “Sikap adalah barisan depan dari jati diri. Akarnya masuk ke dalam, tapi buahnya keluar. Sikap adalah kostum yang dikenakan.”

Diresensi T Nugroho Angkasa, guru SMP Kanisius Sleman

Judul : Setengah Pecah Setengah Utuh
Penulis : Parlindungan Marpaung
Penerbit: Esensi Erlangga Group
Cetakan : 1/ Juni 2012
Tebal : xxii 330 halaman
ISBN : 9786027596030
Harga : Rp69.000


135173125047051747

Oktober 30, 2012

Memandang Hidup dengan Penuh Syukur


Dimuat di Sesawi.Net/ 29 Oktober 2012

1351609526183731838

Judul: Hidup Itu Anugerah
Penulis: Laurent Prasetya Pr
Editor: Hendra Prabawa
Penerbit: Pohon Cahaya Yogyakarta
Cetakan: 1/ 2012
Tebal: 116 halaman
ISBN: 978-602-9485-14-1
Harga: Rp 13.000

Dalam ziarah kehidupan senantiasa terpapar aneka peristiwa. Ada yang membahagiakan ataupun mengecewakan, yang membanggakan dan membuat terpuruk, yang berhasil serta yang gagal. Seluruh dinamika pasang-surut tersebut nyata dalam 24 jam keseharian kita. Sehingga alangkah baiknya jika di tengah hiruk-pikuk dan rutinitas manusia menyediakan waktu untuk menarik diri dan berefleksi. Sebab, menurut petuah para bijak, hidup yang tak pernah ditinjau ialah hidup yang tak layak dijalani.

Berdasar hasil introspeksi batin niscaya terpatri sebuah keyakinan kuat. Pun dapat dijadikan pedoman saat melangkah lebih lanjut. Ternyata hidup memang sebuah anugerah. Lewat buku ini, pembaca diajak  untuk mensyukuri dalam segala. Salah satu wujud ungkapan terimakasih itu dengan berbagi pada sesama yang menderita. Penulisnya, Laurent Prasetya Pr memperkenalkan akronim baru. Yakni KLMTD, singkatan dari Kelompok orang kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir, dan Difabel (halaman 80).

Menurut analisis Pastor kepala Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati, Yogyakarta ini sikap acuh dan kecenderungan egosentrisme menumpulkan kepekaan nurani terhadap sesama. Terutama bagi kaum KLMTD di sekitar lingkungan terdekat kita. Secara lebih rinci, ketua Yayasan Lembaga Biblika Indonesia (YLBI) ini memaparkan bahwa semangat berbagi (sharing spirit) tak melulu terkait materi yang bisa disentuh (tangible). Seperti makanan, minuman, uang, pakaian, dll tapi juga terkait dengan hal-hal yang bersifat rohani tak kasat mata (intangible).

Dalam konteks ini, kerendahan hati dan ketulusan menjadi prasyarat utama. Sehingga kita dapat meneguhkan perjuangan, menyegarkan semangat, dan membela keadilan. Misalnya saat terjadi bencana alam, berupa erupsi gunung berapi, gempa bumi, banjir dan bahkan tsunami. Pemenuhan kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako) begitu urgen pada masa darurat. Kendati demikian, kehadiran para relawan untuk menyapa dan memerhatikan kondisi psikis para korban juga penting. Dalam bahasa Jawa disebut ngrengkuh alias menerima mereka apa-adanya (halaman 88).

Buku Hidup Itu Anugerah ibarat sebuah manifesto. Tapi bukan terkait isu politik tertentu, melainkan lebih sebagai tuntunan dalam memandang kehidupan dengan penuh syukur. Saat terlahir ke dunia dari rahim ibu, manusia diberi nafas hingga sepanjang hayat dikandung badan. Bayi boleh merasakan dekapan hangat ibunda dan menikmati air susunya. Kemudian, balita mulai belajar berkata-kata, merangkak, berjalan, dan berlari. Lewat pendampingan orang tua dan para guru di sekolah kita bisa membaca, menulis, berhitung, menyanyi, berdoa, dll.

Sistematikanya terdiri atas 12 subbab. Masing-masing menguraikan satu pokok bahasan. Antara lain Inner Beauty, Tersenyum, Bersahabat, Keseimbangan Hidup, dan Tidur Nyenyak. Hidup Itu Anugerah merupakan sharing pengalaman penulis selama 10 tahun berkarya di Pastoran Sanjaya Muntilan (1 Agustus 2002 – 7 Januari 2012) sekaligus tanda syukur atas ulang tahun Imamat ke-22 (22 Februari 1990 – 22 Februari 2012).

Karya tulis ini relatif “njawani”. Dalam arti, banyak menggunakan filosofi Kejawen untuk menerangkan satu fenomena tertentu. Misalnya, orang yang sulit bersyukur cenderung memaksakan diri (ngaya). Selain itu, mereka juga menjadikan keserakahan sebagai berhala (ngangsa). Pun selalu memerhitungkan untung dan rugi (petung). Bila ketiga kecenderungan  tersebut bersekutu maka muaranya ialah penderitaan hidup (nelangsa) (halaman 35). Contoh yang tak perlu ditiru ialah para koruptor. Mereka ibarat meminum air laut, seberapa pun perutnya menggelembung tetap saja haus dan serakah merampas uang rakyat.

Sebagai solusi, Romo Projo yang mengawali pelayanannya di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidulloji, Yogyakarta ini mengajak pembaca berterimakasih atas hal-hal sepele yang ada dalam keseharian hidup. Ia mengutip Mazmur 79:13, “Maka kami ini, umat-Mu, dan kawanan domba gembalaan-Mu akan bersyukur untuk selama-lamanya, dan akan memberikan puji-pujian untuk-Mu turun-temurun.”

Seruan tersebut sejalan dengan penelitian ilmiah dr. Masaro Emoto, ungkapan cinta (love) dan syukur (gratitude) juga membentuk kristal air heksagonal yang sangat indah. Salah satu tolok ukurnya ialah pola tidur. Tak hanya dari aspek kuantitas alias lamanya tidur, tapi lebih pada kualitas. Orang yang penuh syukur, menjalani hidup dengan gembira, bahagia, dan sepenuh hati. Alhasil, ketika tidur niscaya nyenyak dan bahkan nyenyak sekali tanpa mimpi (deep sleep). Kenapa? Karena terbiasa pasrah pada penyelenggaraan dan perlindungan-Nya (halaman 110).

Buku setebal 116 halaman ini ibarat lentera. Isinya niscaya menyinari hati pembaca yang sudi membuka diri dan berbagi pada sesama. Pilihan ada di tangan manusia, mau melihat hidup sebagai anugerah atau serapah. Senada dengan pendapat para bijak, “Manusia memang tak bisa menghentikan ombak, tapi kita bisa belajar berselancar.” Selamat membaca!

Oktober 23, 2012

Mempertemukan Hipnoterapi dengan Induknya

13509759611905791325

Dimuat di Majalah Tiro, Edisi 70/1 September 2012

Judul: Neo Spiritual Hypnotherapy, Seni Pemusatan Diri untuk Bebas dari Pengaruh Hipnosis Massal
Penulis: Anand Krishna Ph.D
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: I/Mei 2012
Tebal: viii+302 halaman
ISBN: 978-979-22-8314-3
Harga: Rp55.000

Warren Buffet tercatat sebagai pengusaha terkaya sedunia versi majalah Forbes (2010). Total kekayaan Chairman dan CEO Berkshire Hathaway ini mencapai US$ 62 miliar lebih. Pria kelahiran Omaha, Amerika Serikat pada 30 Agustus 1930 silam ini memang seorang pekerja keras. Sejak usia belia (11 tahun) tak malu berjualan permen karet, minuman bersoda dan majalah di sekolah.

Selain itu, ia juga membantu kakeknya menjaga toko kelontong di rumah. Buffet lulus kuliah S1 pada usia 19 tahun. Pun gelar S2 disabetnya tatkala masih berusia 21 tahun. Dalam usia semuda itu, ia sudah menjadi seorang wajib pajak. Artinya, ia sudah mandiri dan memiliki usaha yang memberi penghasilan tetap (halaman 94).

Begitulah satu paparan Anand Krishna dalam buku ini. Menurutnya, Warren Buffet merupakan sintesis kekayaan dan kedermawanan. Senada dengan tesis Dr. Paul Leon Masters. Dekan University of Metaphysics, USA itu pun berpendapat, “The Real-You is what builds success and fulfillment…The Real-You is the lasting you-or, spiritually, the Eternal You-or, mystically, the God-You.’ (Minister/Bachelors Degree Course Lesson 39, 2007:42). Terjemahan bebasnya ialah bahwa (Penemuan) Diri yang sejati itulah Keberhasilan Sejati, dan itulah Kepuasan Sejati…Dirimu yang sejati adalah Dirimu yang Langgeng, Abadi—itulah Hakikat.

“Neo Spiritual Hypnotherapy, Seni Pemusatan Diri untuk Bebas dari Pengaruh Hipnosis Massal” merupakan perluasan Master Thesis Anand Krishna Ph.D. Tokoh humanis lintas agama ini sempat terjerat kasus hukum. Dugaannya akibat praktik hipnosis dan hipnoterapi di padepokan Anand Ashram. Matroji Dian Swara meliputnya dalam Majalah Tiro. Bidikan Utama edisi Oktober 2011 mengulas, “Skandal Busuk untuk Menghancurkan Tokoh Pluralisme Anand Krishna”.

Oleh sebab itu, sembari menjalani proses persidangan panjang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, ia menyempatkan diri mengikuti kuliah jarak jauh di jurusan metafisika.

Pertanyaannya, kenapa mengambil metafisika? Menurut pria keturunan India kelahiran Surakarta ini, karena psikologi masih enggan menerima hipnoterapi dan hipnosis. Kedua ilmu terapan tersebut belum diterima secara resmi dalam genre ilmu kejiwaan. Untungya, sudah sejak dulu metafisika merangkul mereka sebagai “perkakas” ampuh. Yakni untuk menyelami kondisi psikis manusia. Sehingga dapat mengobati pelbagai penyakit neurotis.

Contoh konkritnya terkait kasus kurang keterbukaan antara suami-istri (halaman 218). Ketidakterbukaan (baca: dusta) antara sepasang anak manusia yang telah menikah dan memutuskan hidup bersama di bawah satu atap ibarat bom waktu. Setiap saat bisa meledak dan meluluhlantakkan bangunan rumah tangga mereka.

Alkisah, seorang profesional muda merasa dibantu istrinya dalam meraih posisi penting. Ia sebenarnya tak setuju dengan kebiasaan sang istri yang suka memakai baju model lama. Keluhannya sepele namun selalu sama, “Istriku tak bisa membawa diri. Dulu lain, saat itu status sosial kami masih kelas proletar. Uang tak ada, pakai apa saja oke. Kini lain, uang melimpah. Tapi kenapa masih pakai baju kolot begitu? Malu-maluin kalau kami datang ke pesta!”

Ironisnya, sang suami tak berani berterus-terang. Alasannya terkesan moralis, takut menyinggung perasaan. Akhirnya, ia terpaksa memendam saja di dalam hati. Dalam istilah Kejawen disebut mendem jero.

Singkat cerita pasca memiliki anak, suami tadi tak ingin buah hatinya mengikuti jejak si istri. Kemudian, anaknya disekolahkan ke luar negeri. Anak yang notabene masih membutuhkan perhatian orang tua dikirim ke negeri asing. Atensi ibu kos di tanah seberang jelas tak sama dengan kasih sayang orang tua kandung sendiri.

Alhasil, si anak malah “rusak” dan mencemarkan pula nama baik keluarga. Lantas, siapa yang mesti dipersalahkan? Pada hemat penulis, seyogianya, sang suami bersikap terbuka sejak awal. Sebab,  melarikan diri dari persoalan justru terjerat dalam masalah lain. Ibarat kata pepatah, “Keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau”. Dalam konteks ini, hipnoterapi dapat memfasilitasi orang jadi berani berkata apa-adanya demi kebaikan bersama.

Spiritualitas Timur

Lewat buku ini pula, penulis produktif 150 buku lebih sejak 1997 itu mempertemukan hipnoterapi, hipnosis, NLP (Neuro Linguistic Programming/Pattern) dengan induknya, yakni spiritualitas timur. Carl G. Jung pun mengamini tesis tersebut. Bapak Psikologi modern itu menulis, ‘Apa yang diketahui oleh Timur tentang gugusan pikiran (mind) manusia, setidaknya 2000 tahun lebih maju ketimbang ilmu psikologi yang berkembang di Barat (Master Degree Level Lesson Vol. 1 Part 1, 1988:3).

Hipnosis, dalam bahasa Sansekerta disebut Vashikaran alias teknik untuk mempengaruhi pikiran seseorang. Kembarannya ialah Sammohan. Sinonim dengan mempengaruhi orang lewat komunikasi dan penampilan (halaman 264).

Dahulu kala, seni Vashikaran dan Sammohan dipakai untuk menjinakkan binatang buas. Pawang penjinak ular (snake-charmer) dapat membuat ular kobra meliuk-liuk dengan iringan musik tertentu. Saat itu, penggunaan hipnosis pada manusia dianggap melecehkan derajat makhluk nan berakal budi.

Swami Vivekananda menguraikan alasannya tanpa tedeng aling-aling (gamblang), “Mind atau gugusan pikiran manusia ibarat kawanan kuda liar, yang semestinya kau jinakkan sendiri. Tatkala kau meminta bantuan orang lain untuk menjinakkan mereka, maka kau kehilangan kendali atas mereka. Pun, orang yang membantumu juga mesti menghabiskan kekuatan mentalnya. Sesi hipnosis yang diulang-ulang tidak memberdayakan dirimu, malahan melemahkan jiwa. Mind menjadi tumpul, tidak berguna, dan dapat mengantarmu ke rumah sakit jiwa (halaman 87).”

Uniknya, para nomad – paguyuban yang hobi jalan-jalan dan tak punya tempat tinggal tetap ini – mulai menggunakannya pada sesama manusia. Kendati demikian, tujuan awal kaum gypsy tersebut sekadar untuk hiburan dan bermain-main. Bukan untuk agenda tertentu, apalagi menipu dan memanipulasi orang.

Adolf Hitler (1889-1945) mempelajari juga teknik tersebuti. Ia menerapkan metode pengulangan yang acapkali dipakai oleh industri periklanan. Pikiran manusia memang dapat dimanipulasi dengan pengulangan intensif (intensive-repetitive). Pada awalnya, pikiran masih mampu berkata tidak. Namun jika terus-menerus dibombardir dengan data serupa, akhirnya takluk juga. NLP menyebutnya collapsing.

Dalam biografi Mein Kampt, diktator Jerman tersebut menulis, “Teknik propaganda apapun tak akan berhasil bila yang terpenting tidak diperhatikan, yaitu membatasi kata-kata dan perbanyak pengulangan.” Analisis penulis ihwal topik ini sempat dimuat di Kompas (15/8/2009). Kekuatan Hitler memang terletak pada kemampuannya memanipulasi pikiran.

Setiap kali hendak pergi berpidato, ia menyewa beberapa penonton untuk bertepuk tangan pada kalimat-kalimat tertentu. Tepuk tangan tersebut niscaya diikuti oleh seluruh peserta lainnya. Dengan bertepuk tangan secara tidak sadar para hadirin sudah membenarkan apa yang dikatakan Hitler.

Terlepas dari apakah ia suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Hitler merupakan tokoh yang menyalahgunakan hipnosis massal untuk kepentingan kekuasaan. Sungguh miris, korbannya jutaan manusia tak berdosa.

Pun dalam lokus personal, fakta ini menjadi ironi. Manusia tidak pernah bebas 100%. Setiap keputusan bergantung pada stimuli luaran. Seseorang berkunjung ke counter telepon seluler. Semula ia hanya ingin melihat-lihat, tapi akhirnya tergoda membeli merk HP tertentu.

Padahal sejatinya, membeli HP bukan kebutuhan mendesak. Sebab telepon seluler yang lama masih bagus dan berfungsi dengan baik. Namun karena sugesti intensif si pedagang, ia terpaksa merogok koceknya. Pada saat itu, ia sudah terhipnosis dalam skala mikro.

Keunggulan buku ini tak hanya berisi teori. Namun memuat pula teknik untuk membebaskan diri dari hipnosis massal. Caranya dengan menarik diri dan menjaga jarak. Sehingga semua keputusan bersumber dari kesadaran sendiri. Merdeka dalam pikiran, kata dan tindakan (halaman 272-286).

Latihan-latihan tersebut merupakan hasil riset selama 22 tahun terakhir di Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006). Tak kurang dari 1 juta orang telah merasakan manfaatnya. Berkat meditasi, mereka jadi lebih intuitif, kreatif dan produktif.

Karena awalnya buku ini berupa Master Thesis, sifatnya cenderung ilmiah. Banyak kutipan argumentasi para tokoh dunia dan pakar ilmu kejiwaan. Di satu sisi, relatif memperkaya khasanah pengetahuan. Namun di sisi lain, membuat alurnya meloncat-loncat.

Terlepas dari kelemahan tersebut, buku setebal 302 halaman ini menyadarkan sidang pembaca. Ternyata, hipnoterapi perlu menyediakan ruang dialog antara terapis dan klien. Bukan melulu komunikasi satu arah. Sepakat dengan pendapat Adi W. Gunawan, “Hipnosis/hipnopterapi membutuhkan kesadaran, integritas, dan kreativitas yang tinggi dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan spiritualitas.” Selamat membaca!

Oktober 18, 2012

Kasus Anand Krishna, Putusan Janggal MA Dieksaminasi Publik


1350576002601902549
Kamis pagi (18/10/2012) cuaca di sekitar gedung UC Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta cerah. Di sisi utara, gunung Merapi tampak menjulang tinggi. Meski acara eksaminasi publik terkait kontroversi putusan Mahkamah Agung (MA) dalam kasus Anand Krishna baru akan dimulai pukul 09.30 WIB, beberapa rekan wartawan dan peserta sudah berada di lokasi sejak jam 08.30 WIB.

Mereka menanti di ruang Humaniora lantai 2 UC UGM, sembari berbincang santai dengan panitia dari Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA). Beberapa orang di antaranya baru mendarat dari Bali dan Jakarta pagi itu di bandara Adisucipto.

Tiga narasumber dari kalangan akademisi siap memaparkan tinjauan ilmiah mereka. Yakni, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang; Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya S.H., MH, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta; Prof. Dr. Edward O.S. Hiariej S.H., M. Hum, dan Advokat Ketua Dewan Pimpinan Cabang PERADI Yogyakarta; Nur Ismanto SH, MSi.

Hasil eksaminasi publik akan diserahkan ke Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY) dan lembaga negara lainnya. Yakni, sebagai masukan dari masyarakat terkait kontroversi  dalam kasus Anand Krishna. Menurut Dr. Wayan Suriastini, salah satu perwakilan penyelenggara, eksaminasi ialah bentuk partisipasi publik untuk memberi penilaian dan pengujian atas putusan hakim di pengadilan dan Hakim Agung di MA.

“Ketika keputusan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) Anand Krishna kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat, maka upaya eksaminasi publik harus ditempuh. Yakni, demi akuntabilitas dan pendidikan kepada masyarakat terkait kualitas tata peradilan dan MA di Indonesia,” ujarnya.

13505761611158710898

Sebelum acara eksaminasi, panitia memutarkan video profil Yayasan Anand Ashram (YAA). Organisasi spiritual lintas agama tersebut telah berafiliasi dengan PBB (2006). Peletakan batu pertamanya dilakukan di Sunter, Jakarta Utara pada 14 Januari 1991. Pendiri pusat kesehatan holistik dan meditasi tersebut ialah aktivis spiritual, tokoh humanis, dan penulis 150 buku lebih, Anand Krishna http://www.anandkrishna.org/id/.

Memperkenalkan dan menyebarluaskan cara hidup meditatif menjadi misi YAA. Alhasil, terciptalah masyarakat yang cerah dan sadar berdasarkan nilai-nilai universal Inner Peace, Communal Love dan Global Harmony. Sedangkan visinya ialah Satu Bumi, Satu Langit, dan Satu Umat Manusia (One Earth, One Sky and One Humankind).

Kegiatan YAA berupa pemberdayaan diri untuk kesehatan holistik dan meditasi. Ada lebih dari 300 metode latihan. Open House gratis setiap 2 minggu sekali digelar untuk pembaca buku dan masyarakat luas. Sehingga  kesadaran hidup meditatif kian tersebarluas. Jutaan orang sudah merasakan manfaat latihan sederhana ini.

Wadahnya berupa padepokan Anand Krishna Centre (AKC) di Bali http://www.akcbali.org dan AKC Joglosemar http://www.akcjoglosemar.org/, Anand Ashram Sunter Jakarta Utara, One Earth Retreat Centre di Ciawi, Bogor http://www.oneearthretreat.com/ dan Anand Ashram Ubud Asia http://www.ubud.anandashram.asia/.

Sayap-sayap kegiatan YAA juga bermunculan. Antara lain National Integration Movement (NIM) di bidang kebangsaan, Koperasi Global Anand Krishna di bidang ekonomi, Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ) yang telah mengadakan MTDS (Mengajar Tanpa Dihajar Stres) untuk 20 ribu guru lebih dan Berkarya Tanpa Beban Stres (BTBS) untuk para profesional di Jakarta, Lampung, Jateng-DIY, Bali, dll.

Selain itu, masih ada Foradoksi (Forum Pengajar, Dokter, dan Psikolog bagi Ibu Pertiwi) dan Yayasan Pendidikan Anand Krishna yang terakhir melahirkan One Earth School. Sekolah pertama di Indonesia yang mengajarkan history of religions (sejarah agama-agama di dunia).

Kemudian contoh lainnya NIM. Organisasi nonpartisan tertebut bertujuan untuk membangkitkan jiwa Nusantara. Yakni, lewat simposium, temu hati, diskusi kebangsaan, dan pesta rakyat. Agar anak bangsa lebih mencintai tanah air Indonesia.

Kini pesta rakyat di Monas bermetamorfosis menjadi KTCS (Klub Tawa Ceria, Sehat). Pesertanya berasal dari pelbagai kalangan, lintas suku, agama, ras, dan golongan sosial ekonomi http://circleoflaughter.com/ .

1350576234373126800
dr. Wayan Sayoga


Kronologi Singkat

Di awal sesi eksaminasi, dr. Wayan Sayoga selaku moderator memaparkan tujuan besar acara ini. Yakni, penyadaran kehidupan bermasyarakat terkait tata hukum di Indonesia. Lantas, dokter yang sehari-hari praktek di Bali tersebut menjelaskan kronologi singkat kasus Anand Krishna. Hingga kini hampir 3 tahun belangsung.

Pada 12 Februari 2010, Tara Pradipta Laksmi cs melapor ke Komnas Perempuan. Terjadi juga black campaign di salah satu TV nasional. Dari pagi, siang, sore, sampai malam diputar ulang terus. Intinya, mau menunjukkan bahwa Anand Krishna telah melakukan pelecehan seksual. Pertanyaannya, kenapa melaporkan kasus ke Komnas Perempuan dan stasiun TV Nasional dulu, bukan langsung ke Polisi?

15 Februari 2010, mereka melapor ke Mabes Polri. Katanya ada puluhan korban, tapi ternyata hanya ada satu pelapor saja hingga kini. Ini jelas merupakan pembohongan publik.

Pada 25 Februari 2012, Agung Mattauch mengatakan di media massa bahwa pelecehan seksual hanya entry gate, pintu masuk untuk menjerat Anand Krishna dengan penodaan agama (Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2010/02/25/064228390/Anand-Krishna-Dituding-Sebarkan-Ajaran-Sesat )

Sepanjang Agustus 2010 - April 2011 proses persidangan Anand Krishna dipimpin oleh ketua majelis hakim Hari Sasangka. Ternyata berdasarkan rekaman di ruang sidang, hanya 10 persen terkait pelecehan seksual. Selebihnya, 90 persen menghakimi pemikiran, buku-buku, dan kegiatan Anand Krishna di YAA.

Khusus terkait alibi. Pada 21 Maret 200 katanya pelecehan terjadi di Padepokan One Earth, Ciawi, Bogor. Padahal  alibi Anand Krishna kuat. Sebab pada hari tersebut, ia berada di Sunter sedang berceramah dalam program Open House. Ada bukti berupa daftar hadir dan tanda peserta para peserta. Selanjutnya, Mei 2009 katanya pelecehan juga terjadi di Bali. Padahal saat itu Anand Krishna sedang menjadi pembicara di Singapura.

Anehnya, alibi yang kuat ini tak dihiraukan oleh Hari Sasangka. Kemudian ia malah memerintahkan penahanan. Anand Krishna terus melakukan perlawanan dari balik jeruji besi.  “Saya berhak atas badan saya, walau tak ada penegakan hukum sama sekali di negeri ini,” ujarnya. Selama 49 hari mogok makan, ia hanya minum air putih. Apakah Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha Berliana Tobing dan hakim Hari Sasangka mau dan mampu bertahan walau hanya sehari mogok makan?

Nah saat itulah, ketahuan belangnya  Hari Sasangka. Ia menjalin affair dengan Shinta Kencana Kheng di dalam mobil pada malam hari. Foto-foto dan rekamannya sudah diserahkan ke KY dan MA. Alhasil, pada Juni 2011 MA mengeluarkan putusan mengganti semua majelis hakim.

Sejak saat itu, Albertina Ho memimpin sidang Anand Krishna. Lantas, ia memanggil ulang para saksi dan mendengarkan kembali keterangan  saksi ahli. Singkat cerita, pada 22 November 2011 Albertina Ho dan majelis hakim lain bersepakat menyatakan Anand Krishna bebas karena terbukti tak bersalah. Anehnya, JPU boleh mengajukan kasasi, dan pada  24 Juli 2012 kasasi “kilat” tersebut dikabulkan MA.

Eksaminasi

Tujuannya tak lain untuk mendengarkan pendapat para ahli dan praktisi hukum. Kemudian, memeriksa dan menguji putusan MA tersebut dari aspek cara. Narasumbernya 3 pakar yang kompeten di bidangnya masing-masing.

Sebagai pengantar dr. Sayoga mengatakan, “Kasus ini penuh kejanggalan dan dagelan. Karena gosip bisa dijadikan fakta hukum dalam persidangan.” Dalam konteks ini, penyadaran dan pencerahan baru dalam ranah hukum di negeri ini menjadi urgen.

13505763261411010360
Prof. Dr. Edward O.S. Hiariej S.H., M. Hum


Tanpa tedeng aling-aling, Prof. Dr. Edward O.S. Hiariej S.H., M. Hum langsung tancap gas. Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut, Putusan bebas haram hukumnya dikasasi. Penulis buku “Pengantar Hukum Pidana Internasional” tersebut melihat tata peradilan di Indonesia berbanding terbalik dengan di negara komunis. Kalau di negara komunis apa-apa dilarang. Sedangkan, di Indonesia apa-apa boleh. Ini yang membuat karut-marut penegakan hukum kita.

“MA singkatan dari Mahkamah Ajaib. Karena tiba-tiba MA mengamini memori kasasi JPU dengan alasan ini bebas tidak murni. Putusan bebas tidak ada bedanya dengan susu. Padahal dalam KUHAP tak ada embel-embel murni atau tidak murni. MA ikut-ikutan gila seperti JPU, harus ada perlawanan terhadap putusan ini,” tandasnya.

Ia memang menjadi menjadi saksi ahli dua kali di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Saat persidangan Anand Krishna dipimpin majelis hakim Hari Sasangka maupun Albertina Ho. “Jadi ini tanggungjawab saya untuk mengkritisi dari aspek hukum,” imbuhnya. Selain itu, penulis buku “Pengadilan atas Kejahatan HAM” tersebut juga menyoroti Hari Sasangka yang ketahuan menjalin affair dengan saksi pelapor. Ia membandingkan dengan track record Albertina Ho yang sudah terkenal integritasnya.

Lantas, ia menjadikan dirinya sebagai ilustrasi. “Saya mengaku dilecehkan, tak ada saksi tak bukti apa pun. Satu saksi bukanlah saksi. Pembuktian awal saja sudah tidak memenuhi. Itulah kenapa Aannd harus dibebaskan. Dari sisi pembuktian sudah sangat lemah.

Kinerja Hakim Agung di MA dalam kasus ini kembali disorotinya.  Karena tidak memperhatikan kontra memori dari pihak Anand Krishna. Mereka bersikap subjektif, tanpa memperhitungkan apa yang meringankan.

Dr. Sayoga menambahkan sebelum beranjak ke narasumber berikutnya, “Tara mengaku dilecehkan 2-4 jam sehari oleh Pak Anand, padahal hasil visum membuktikan ia masih perawan, tak ada tanda-tanda kekerasan seksual sama sekali.

13505764861593798600
Nur Ismanto SH, MSi


Nur Ismanto SH, MSi melihat pula kejanggalan putusan MA tersebut. “Kok bisa  dan berkebalikan 180 derajat dengan putusan PN Jaksel,” tanyanya.

Advokat Ketua Dewan Pimpinan Cabang Peradi Yogyakarta tersebut menyoroti pula kesaksian absurd para saksi. “Kalau mereka terbukti memberikan kesaksian palsu bisa dijerat pasal hukuman,“ ujarnya memperingatkan.

Sebagai pengacara yang sering melakukan advokasi bersama para aktivis LSM. Gerakan legal dan ektra legal memang harus terus dilakukan. Langkah kreatif untuk membangun opini, memengaruhi penegak hukum dan para pemegang kekuasaan harus ditempuh.

“Kita gugat terus lewat gerakan yang tidak melalui saluran hukum tapi tidak melanggar hukum juga. Setiap perjuangan tak akan sia-sia,“ imbuhnya. Pria kelahiran Gunung Kidul tersebut mengacu pada perjuangan mendiang Romo Mangun dkk. Saat itu, beliau memperjuangkan hak-hak warga Kedung Ombo yang dirampas oleh penguasa.

1350576596245468382
Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya S.H., MH


Narasumber ketiga Prof. Nyoman membuka dengan canda. Membaca putusan MA ini saya saja bingung, padahal sudah profesor. Secara jeli Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya S.H., MH mempertanyakan apa hubungan antara Jakarta Selatan dan Jawa Barat? Sebab dalam memori kasasi dari JPU ada kasus yang terjadi di Jawa Barat. “Anehnya kok disetujui oleh MA,” ujarnya disambut tepuk tangan para peserta.

Lebih lanjut pria kelahiran Buleleng Bali tersebut mengkaji lagi surat putusan MA. Seharusnya  MA menguraikan pendapat atas keberatan JPU. Tapi itu semua tak dilakukan MA. Mereka langsung membenarkan begitu saja. “Padahal banyak kekeliruan, kalau mahasiswa saya pasti tak lulus,” tandas Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang tersebut.

“Kalau tak terbukti harusnya ya bebas. Bukannya justru mereka-reka dan memasukkan kasus orang lain dalam memori kasasi Anand Krishna,” imbuhnya. Ia juga berpesan agar KPAA dan pihak keluarga jangan patah arang. Selain terus berjuang, “Minta dan berdoa pada Dia Hyang Di Atas,” pesannya.

13505748861543675489
Prashant Gangtani

Selanjutnya, Prashant Gangtani, putra Anand Krishna juga menyampaikan pendapat. UU tak bisa diganggu gugat. Yurisprudensi boleh kalau tak ada UU. Tapi jelas ada KUHAP 244 dan 67. Di dalamnya jelas tertulis bahwa keputusan bebas tidak bisa dikasasi.

“Kalau MA melanggar UU apalagi rakyat. Jangan jadi seperti saya, jadi korban. Baru bangkit saat itu terjadi pada orang tua saya sendiri. Kalau tak terjadi pada saya, saya diam saja,“ ujarnya.

Kemudian ia menambahkan, “Yurisprudensi kemudian dipakai di mana-mana. Kumpulkan 4 orang tak perlu ada saksi, untuk menjatuhkan orang lain. Ini kan berbahaya sekali.”

Ia juga memaparkan sikap sang ayah, “Bapak sudah tegas tidak akan terima putusan kasasi ini. Sekarang beliau di Ubud, Bali. Kalau mau dieksekusi hanya bisa membawa mayat, kalau kematian ayah saya membuat rakyat bangun dan sadar, beliau siap dan rela.” (Bersambung…)

(Fotografer: Tunggul Setiawan, Primadi Aryandika, Rio)

Oktober 16, 2012

Seberapa Amankah Anda?


Dimuat di The Globe Journal, Senin/15 Oktober 2012
http://theglobejournal.com/opini/seberapa-amankah-anda/index.php

Seberapakah aman Anda? Jawabnya sederhana, hanya satu baris, tapi sekaligus tragis, pun begitu memilukan, yaitu: “Seaman mendiang Duta Besar Amerika Serikat di Libya.” Ya, pembunuhan yang menimpa John Christopher Stevens di Benghazi pada Selasa malam (11/09/2012) membuktikan bahwa dunia tempat tinggal kita tak seaman dulu.

Bepergian ke Eropa dan Amerika Serikat, terutama bagi warga berkebangsaan tertentu, tak semudah dulu. Visa tak lagi dikeluarkan secepat biasanya, dan pihak imigrasi di negara tujuan acapkali membuat anda merasa kedatangan anda tak diharapkan. Situasi ini berlaku pula bagi masyarakat Barat yang bepergian ke Timur. Mereka pun merasa tak seaman dulu.

Terorisme itu nyata, serangan teroris memang ada, dan bisa terjadi kapan saja. Tak peduli anda berada di udara atau di atas tanah, bepergian tak lagi semengasyikkan dulu.

Lantas, apa akar penyebab terorisme? Sangat mudah langsung meloncat ke kesimpulan umum, masalah “ekonomi”. Menjadikan “materi” sebagai biang keladi. Seolah jika anda tak punya cukup uang otomatis tumbuh tanduk dan menjadi teroris.

Ekonomi - kemiskinan dan kelaparan, lebih tepatnya ketidakmerataan distribusi kekayaan dapat, toh pada ujungnya maksimal menjadi pemicu. Tapi, itu bukan akar penyebab terorisme dan aktifitas teroris. Itu bisa memunculkan ke permukaan kekerasan dalam diri, itu bisa mengungkapkan kecenderungan teroris dalam diri, tapi tetap bukan akar penyebabnya.

Kendati demikian, kita tidak membenarkan adanya kemiskinan, kelaparan, dan ketidakmerataan distribusi kekayaan. Tidak. Itu semua berbahaya. Dunia yang beradab harus berupaya sungguh menghapuskan kondisi yang tak dimaui tersebut. Tapi, sekali lagi, dengan menghapuskan kondisi-kondisi tersebut saja, anda tak dapat mengakhiri terorisme dan aktifitas teroris.

Terorisme tumbuh dalam pikiran. Dan, kekerasan ialah sebuah “kondisi mental”. Oleh sebab itu, untuk mengakhiri terorisme dan kegiatan teroris, pikiran manusialah yang harus “pertama” diolah. Tanpa mengolah pikiran manusia, tanpa mengoreksinya terorisme akan terus menghantui.

Mereka yang meragukan tesis ini silakan memelajari kehidupan Osama bin Laden. Apakah ia miskin, berkekurangan, atau seorang pria yang tak punya apa-apa? Bagaimana dengan pelaku bom Bali? Mereka tak melilit kelaparan perutnya sehingga terpaksa melakukan kekerasan untuk mendapat sekeping uang recehan untuk makan.

Rekrutan “umum” Osama memang ada yang berasal dari golongan orang miskin. Tapi, para pentolannya, termasuk, para eksekutor rencana paling mematikannya, tak sebegitu miskin dan berada di bawah tekanan ekonomi sehingga terpaksa melakukan aksi bunuh diri.

Banyak dari para eksekutornya ternyata golongan kaya dan terdidik. Mereka tak “menjadi” teroris untuk uang atau perolehan materi semata. Ya, mereka memang “menggunakan” uang - materi - untuk memfasilitasi misi mereka. Uang dibutuhkan untuk merencanakan dan mengeksekusi misi, tapi, sekali lagi, mereka tak melakukannya melulu untuk uang.

Mereka digerakkan oleh ideologi yang mereka percayai. Saya mendengar dari pejabat tinggi, ketika ia menemui pelaku bom Bali, salah satu dari mereka meludahi wajahnya dan memanggilnya kafir. Apakah akar penyebab, sumber dari keyakinan yang sedemikian membatu tersebut?

Otak manusia bisa diibaratkan sebuah komputer, dengan pikiran sebagai sistem operasinya. Beberapa programnya sudah bawaan, tertanam di DNA, dan beberapa lainnya ditambahkan oleh keluarga, masyarakat, sistem pendidikan, dan tentu saja pengalaman dan eksperimen dalam kehidupan.

Sekarang, sistem dasar operasinya “hampir” selalu ramah untuk para penggunanya. “Hampir” selalu ramah dengan kehidupan. Saya mengatakan “hampir”, karena kekerasan ialah salah satu kecenderungan dasar. Hampir selalu ada, kurang di satu kelompok, lebih di kelompok yang lainnya.

Beberapa anak bisa jadi menunjukkan kegelisahannya dari masa awal kanak-kanak. Ada anak yang “suka” merusak mainannnya. Kita tak akan masuk ke “kenapa” nya - kenapa beberapa anak tak begitu kasar dibanding lainnya - karena itu akan membawa kita ke ranah metafisika, sosial dan parapsikologi, yang melangkahi ruang dari pendapat ini.

Tapi, faktanya ialah, dan saya mengatakan ini dari pengamatan pribadi dan penemuan selama bertahun-tahun, anak-anak yang menunjukkan kecenderungan kekerasan dari masa kecilnya “lebih mudah” diprogram menjadi seorang fanatik, ektrimis, radikal, dan akhirnya teroris. Dengan kata lain, ini tergantung pada kemampuan sistem pemrogramannya, bahkan anak yang lugu dan sangat lembut tutur katanya dapat pula diprogram menjadi orang dewasa yang keras.

“Program” Penting

Dalam konteks ini, sistem pendidikan menjadi penting. Jika seorang anak “dididik” untuk mempercayai kemurnian kepercayaannya “saja”, dan kekafiran pihak lainnya. Sehingga dibenarkan membela orang yang hanya sealiran denganmu, bahkan jika ia salah sekalipun. Bukan justru membela orang yang benar yang memiliki keyakinan berbeda.

Alhasil, orang dewasa semacam apa yang bisa kita harapkan? Barangkali, ini menjelaskan pembatalan putusan bebas aktifis lintas agama Anand Krishna oleh tiga Hakim Mahkamah Agung, bernama Zaharuddin Utama, Achmad Yamanie, dan Sofyan Sitompul cacat hukum dan tidak konstitusional; menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan, dan melanggar HAM.

Itu bisa jadi karena mereka mendapat sistem pendidikan yang keliru, sehingga masa dewasa mereka saat harusnya menegakkan keadilan, mereka malah tak bisa melampaui conditioning masa kecil yang salah dan tak tepat tersebut. Juga karena kondisi semacam itu, mereka bersikukuh untuk membuktikan kesalahan putusan yang dibuat oleh hakim paling jujur di negeri ini sekaliber Albertina Ho?

Barangkali, karena alasan yang sama pula pengacara pelapor Agung Mattauch menyatakan kepada publik dan secara bangga pula mengakui bahwa tuntutan pelecehan seksual (yang tak pernah terbukti, sebaliknya, justru pelapor yang terbukti berbohong di persidangan hukum, “hanyalah pintu masuk ke masalah yang lebih serius. Ini (akan menjadi) penyesatan agama.”

Ini jelas menunjukkan bahwa kebebasan beragama sedang diserang! Anand Krishna selama ini memang lantang bersuara lewat tulisan demi memangkas tumbuhnya ilalang radikalisme di Indonesia.
Tentu saja kaum radikal, kroni mereka, dan beberapa anasir dalam tubuh pemerintahan atau partai politik, yang sering mencari perlindungan demi agenda tertentu, tak menyukai aktifitas inklusifnya.

Sekarang, tatkala kita berbicara tentang kebebasan beragama di wilayah teritori seperti Indonesia, kita sesungguhnya memperjuangkan nilai universal demokrasi, pluralisme, dll yang notabene membuat kaum radikal alergi.

Barangkali, komunitas internasional sudah merasakan hal itu, dan ini menjelaskan kejatuhan nilai saham perusahaan Indonesia dan penurunan riil angka investasi.

Dengan adanya anasir radikal yang menyusup ke kantor pemerintahan, termasuk Mahkamah Agung (MA), lumrah kalau para investor harus berpikir dua kali sebelum menginvestasikan dana mereka di sini.

Pertanyaan 1 juta dolarnya ialah bagaimana masa depan Indonesia, baik dalam jangka waktu dekat maupun panjang? Apakah kita sedang menyaksikan 10 negara Pakistan sedang dalam proses menjadi di negeri ini? Wahai Tuhan lindungilah kami!

1350448342808445181

Oktober 12, 2012

Determinasi dan Kepiawaian Diplomasi 5 Tokoh Pergerakan



Dimuat di Koran Jakarta, Sabtu/13 Oktober 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/102975

Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi

Judul: Patriotisme dan Nasionalisme para Pejuang Katolik
Penulis: J.B. Soedarmanta
Penerbit: Pohon Cahaya
Cetakan: 1/September 2012T
ebal: 116 halaman
ISBN: 978-602-9485-53-0

Nama bandara Adisutjipto Yogyakarta dipilih untuk mengenang keberanian pilot pesawat Dakota VT-CLA yang tertembak jatuh di Dusun Ngoto pada 29 Juli 1947 (halaman 13). Kisah heroik ini tak banyak diketahui publik. Tatkala tentara Belanda menyerbu pulau Jawa dan Sumatra pada 21 Juli-5 Agustus 1947, Agustinus Adisutjipto dan Abdurahman Saleh ditugaskan terbang ke India. Misi mereka menerima bantuan obat-obatan dari negara sahabat yang notabene sejak perjuangan kemerdekaan konsisten mendukung Indonesia. Keduanya menerobos blokade udara pasukan Belanda. Ironisnya, ketika berangkat lolos, namun saat kembali maut menjemput.

Saat itu, di beberapa landasan pacu seperti Maguwo (Yogya), Maospati (Madiun), dan Bugis (Malang) terdapat beberapa peninggalan pesawat Jepang. Namun jangan dibayangkan kondisinya secanggih sekarang. Karena kesulitan suku cadang, hanya 70 persen yang bisa terbang. Antara lain  Ki-43 Hayabusha “Oscar”, A6M “Zero”, dan Ki-60 “Tony”. Pesawat Hayabusha pun hanya bisa mengangkasa tapi tak bisa menyerang. Kenapa? Karena alat sinchcronize antara senapan mesin dan baling-baling rusak. Sehingga jika dipaksakan untuk menembak bisa terjadi dog fight alias badan pesawat terkena peluru sendiri (halaman 9).

Sejak masih belia, Adisutjipto sudah bercita-cita jadi pilot. Pria kelahiran Salatiga, 4 Juli 1916 ini sempat dilarang orang tua karena penerbangan udara dipandang beresiko tinggi. Ia mengalah dan melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Kedokteran Geneeskundige Hoge School (GHS). Kendati demikian, obsesi menjadi penerbang tak pernah surut. Lantas, ia berpindah ke Sekolah Penerbangan Militaire Luchtvaart di Kalijati. Setamat dari situ, Adisutjipto bekerja sebagai pilot pengintai udara (Luchvaart Afdeling).

Pasukan Dai Nippon mendarat di Indonesia pada 1942. Kekuasaan Jepang seumur jagung, hanya 3,5 tahun, tapi derita rakyat sampai ke sum-sum tulang. Kemudian, pasca Hirosima dan Nagasaki dibom atom, mereka menyerah.  Adisutjipto pun bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang merupakan cikal-bakal TNI. Pada 9 April 1946, Jawatan Penerbangan dibentuk. Tujuannya menguasai, mempertahankan, dan mendayagunakan ruang udara di wilayah RI yang baru saja diproklamasikan. Lewat Penetapan Pemerintah No 6/SD statusnya dinaikkan menjadi Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara (TRI-AU) per 7 Juni 1947. Ibarat gayung bersambut, Adisutjipto mendapat tempatnya kembali di kokpit pesawat. Ia menjadi salah satu perintis TNI AU Republik Indonesia (RI).

Buku karya J.B Soedarmanta ini menyiratkan determinasi dan kepiawaian diplomasi para tokoh Nasionalis Katolik. Antara lain Romo Kanjeng Soegijapranata SJ (bab 2), Laksamana Madya TNI (Anumerta) Yosaphat Soedarso yang biasa dipanggil Yos Soedarso (bab 3), Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) Ignatius Slamet Riyadi (bab 4), dan pelopor Partai Katolik, Ignatius Joseph Kasimo Endrawahjana yang dikenal sebagai politisi pejuang salus populi suprema lex (bab 5).

Romo Kanjeng seorang diplomat ulung, kisahnya dibuat film Soegija. Beliau berhasil menembus barikade ketat pemerintah kolonial Belanda lewat kritik tajamnya di Majalah Commonwealth. Pembaca dari seluruh penjuru dunia, baik di Amerika Serikat maupun di benua biru Eropa terkesima. Buah pena tersebut membuka mata komunitas internasional ihwal kekejaman agresi militer Belanda. Penulis juga mengutip petikan "Catatan Revolusioner Uskup Soegija" yang dilansir di Harian Merdeka (17 Mei 1949), “Aksi-aksi itu telah diadakan untuk merebut kembali apa yang sudah hilang, melakukan pembalasan buat suatu kekalahan, menghidupkan kembali apa yang sudah tidak ada….” (Halaman 24).

Buku Patriotisme dan Nasionalisme para Pejuang Katolik mengungkap pula keakraban Uskup Pribumi I di Indonesia tersebut dengan Presiden I RI, Bung Karno. Pendidikan Tinggi Tenaga Pendidik - yang kemudian bernama IKIP (sekarang Universitas) Sanata Dharma Yogyakarta - merupakan lembaga pendidikan tinggi swasta satu-satunya yang diresmikan oleh seorang kepala negara.

Pertemuan terakhir kedua tokoh tersebut terjadi di Roma pada 1963. Monsiegneur Soegijapranata hendak berobat ke negeri Belanda sekaligus menghadiri Konsili Vatikan II, sedangkan Presiden Soekarno hendak terbang ke Prancis. Bung Karno berkata, “Rama Agung, kula bade dateng Presiden de Gaule. Pramilo kula nyuwun donga pangetunipun Rama Agung…” (Romo Agung, saya hendak ke Paris untuk mengadakan pembicaraan penting sekali dengan Presiden de Gaulle. Untuk itu saya minta doa Romo Agung…) (halaman 30). Mgr. Soegjapranata menjawab dengan bahasa Jawa kromo inggil juga, “Kulo bade memuji mugi-mugi pepanggihan kaliyan Presiden de Gaulle mangke sukses ingkang murakabi kita sedaya.” (Saya mendoakan semoga pembicaraan dengan Presiden de Gaulle berhasil dan dapat bermafaat bagi kita semua). (Bdk. Richardus Djokopranoto et al, 2010)

Buku setebal 116 halaman ini ibarat ayakan. Dengan mengkaji dan menyaring kisah para tokoh Nasionalis Katolik tersebut, niscaya pembaca temukan saripati nilai-nilai keutamaan nan adiluhung. Ajaran Kristiani memang berbanding lurus dengan perjuangan kebangsaan dan kemanusiaan. Pun wejangan Romo Kanjeng tetap relevan, “100% Katolik 100% Indonesia.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) , Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air, dan TK Pangudi Luhur Yogyakarta).

Piawai Berbicara di Depan Khalayak Ramai

Dimuat di Kompas.com/Jumat, 12 Oktober 2012
http://oase.kompas.com/read/2012/10/12/16293621/Piawai.Berbicara.di.Depan.Khalayak.Ramai 

Judul: Becoming A Genius Speaker
Penulis: Yasier Utama
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Juni 2012
Tebal: vii + 152 halaman
ISBN: 978-979-22-8570-3
Harga: Rp40.000


Prof. Dr. Albert Mehrabian, seorang pakar komunikasi publik meneliti bahwa efektivitas penyampaian pesan lewat suara hanya 38%. Bila dengan komunikasi verbal sebesar 7 %. Sisanya, 55 % ditangkap peserta secara visual (halaman 87). Artinya penampilan fisik, ekspresi wajah, gerak tubuh (gesture) dan kontak mata dengan peserta memang penting dalam beriteraksi.

Yasier Utama berkeyakinan bahwa keterkaitan (connection) menjadi syarat mutlak sebuah komunikasi nan empatik. Dalam konteks ini, pembicara dan para peserta harus berada pada kisaran (range) frekuensi yang selaras. Misalnya, tatkala berbicara di depan begitu banyak guru. Lazimnya, nilai keutamaan mereka bersifat emosional dan spiritual. Di hadapan beliau-beliau, perlu disampaikan contoh inspiratif ihwal bekerja dengan hati, ketulusan, dan cita-cita mulia mencerdaskan kehidupan bangsa.

Buku Menjadi Pembicara Genius ini mengulas cara menyatukan hati dengan setiap peserta yang ditemui. Prinsipnya sederhana, bukalah diri, sampaikan cerita yang bersifat pribadi kepada hadirin. Itu bisa tentang kebahagiaan memiliki pasangan jiwa, keceriaan bersama anak-anak, dan hal lain yang menyangkut aspek kehidupan sehari-hari. Pendiri Grup Konsultan Akar ini menyebutnya walk the talk. Yang dibicarakan ialah apa yang sudah dilakukan dan dialami sendiri.

Menurut pemegang sertifikat program terbaik ABC (Awareness Before Change) tingkat Asia ini, pidato paling hebat pada abad ke-20 ialah orasi Marthin Luther King Jr di Lincoln Memorial Washington D.C pada tahun 1963. Aktivis HAM yang anti diskriminasi rasial tersebut berbicara di hadapan 200.000 hadirin. Judulnya, “I Have A Dream!”. Selain itu, Bung Karno, Presiden Republik Indonesia (RI) pertama juga seorang figur pembicara yang bisa menggetarkan hati pendengarnya, “Beri aku seribu orang, dan dengan mereka kau akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada tanah air, dan aku akan mengguncang dunia!” (halaman 37).

Buku ini terdiri atas 8 bab. Antara lain Walk the Talk (Melakukan yang Dikatakan), Speak with Your Own Style (Berbicara dengan Gayamu Sendiri), Speak with Love and Care (Berbicaralah dengan Cinta dan Kepedulian) dan Speak with the Spirit to Share  (Berbicara dengan Semangat untuk Berbagi).

Uraian menarik seputar gen juga diulas oleh mantan salesmen buku anak ini. Ternyata setiap generasi memiliki sifat tertentu yang membedakannya dengan angkatan lain. Kata “generasi” mengacu pada satu kelompok yang memiliki gen dasar sama. Dalam biologi, gen merupakan bagian dari molekul DNA yang menentukan kesatuan fungsional. Yakni, sebagai pengatur sifat dasar yang diwariskan kepada keturunan berikutnya. 

Tak sekadar memuat teori public speaking (berbicara di depan khalayak ramai) Trainer di Knowledge Ventures Sdn Bhd Malaysia ini berbagi pula tips untuk atasi 5 menit pertama yang paling menegangkan. Kuncinya ada pada persiapan. Berlatihlah sampai pesan yang akan disampaikan masuk ke ruang khusus di bilik bawah sadar. Kalau hendak menceritakan kisah lucu, pastikan lancar saat akan memulai. Menurutnya, humor ibarat bumbu dalam presentasi.

Antisipasi lainnya dengan menghindari keasyikan berbicara sendiri. Saat kelas berjalan tanpa interaksi, kelas akan memasuki zona kebosanan tingkat tinggi. Ajaklah peserta berpartisipasi penuh dalam proses belajar yang dilalui. Game dan aktivitas yang melibatkan gerak tubuh bisa mencairkan kebosanan peserta. Itulah kenapa dalam bahasa Inggris ada istilah ice breaking (memecahkan es).

Uniknya, tepat 14 tahun silam (1998) tatkala pertama kali memulai karir sebagai pembicara, Yasier Utama pernah tak lolos tes psikologi (psikotes). Sebuah pernyataan tertulis di atas selembar kertas bersegel resmi dari sebuah lembaga pendidikan ternama di Indonesia. Bunyinya, “Yasier Utama tidak kami rekomendasikan menjadi trainer, kami lebih menyarankan yang bersangkutan untuk bekerja di bidang administratif.” (halaman 27).

Sebelum menjadi pembicara di banyak perusahaan nasional dan multi nasional, ia seorang tukang merapikan ruang training. Ia harus memfotokopikan bahan pelatihan, memasang LCD dan laptop untuk para trainer senior. Itu semua ia jalani dengan cinta dan sepenuh hati. Setiap kali seniornya memberikan pelatihan, ia menyerap ilmu dari mereka. Ia yakin suatu saat bisa menjadi pembicara genius. Tekad sudah dikunci bulat-bulat dan dibungkus dengan komitmen 100%.

Buku setebal 152 halaman ini lebih merupakan sharing pengalaman. Yakni, bagaimana cara menjadi pembicara yang bisa menembus dinding hati para pendengarnya. Seperti Anthony Robbins, Les Brown, Deepak Chopra, Brian Tracy, John C. Maxwell, Anand Krishna, dan sederet nama kondang lainnya. Menyitir pendapat Yasier Utama, “Pembicara genius ialah orang yang mampu menginspirasi orang lain untuk bertumbuh. Tutur kata dan ucapan indah yang keluar dari bibir merupakan cerminan dari keseharian hidupnya.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon http://www.angon.org/ (Sekolah Alam) Yogyakarta).    

                          

Oktober 05, 2012

Meninggalkan Jejak di Alam Semesta


13494447971345799125
Dimuat di Koran Jakarta, 5 Oktober 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/102250

“Meninggalkan jejak di alam semesta” adalah kutipan petuah Steve Jobs (25 Februari 1955 - 5 Oktober 2011) kepada para karyawan Apple. Menurut pria kelahiran San Fransisco, California, tersebut, ilmu pengetahuan membantu manusia melakukan banyak hal, sedangkan seni menuntun yang harus dikerjakan sehingga seseorang bisa melihat sekeliling dengan hati dan akal yang lebih terbuka. Alam semesta senantiasa menantikan manusia membuat jejak (halaman 118).

Buku ini menunjukkan bahwa Steve adalah seorang yang memperhatikan detail. Contoh kesaksian seorang eksekutif Google, Vic Gundotra, yang pernah bermitra dengan pendiri Apple, Pixar, dan NeXT. Pada Minggu pagi Gundotra menerima telepon Jobs. “Jadi, Vic, ada masalah mendesak yang perlu saya bereskan langsung. Saya sedang melihat logo Google di iPhone dan saya tidak puas dengan ikonnya. Warna kuning pada huruf o kedua di Google tidak pas. Itu harus dibetulkan.”

Dari pengalaman tersebut, Gundotra mengakui, “Ketika saya berpikir mengenai kepemimpinan, semangat, dan perhatian pada perincian, saya ingat lagi telepon Steve Jobs Minggu pagi bulan Januari itu. Inilah pelajaran yang tak akan saya lupakan. CEO harus memperhatikan detail, bahkan sampai pada nuansa warna kuning. Itu pun dilakukan pada hari Minggu” (halaman 112).

Steve Jobs, Sang Genius terdiri atas 21 bab. Isinya memuat lika-liku kehidupan perancang tetikus (mouse) komputer yang bisa bergerak ke segala arah tersebut. Mulai dari “Asal Usul”, “Job Pertama untuk Jobs”, “Giliran Malam di Atari”, sampai “Jalani Setiap Hari”.

Amanda Ziller, penulis lepas asal New York, mengisahkannya secara luwes. Amanda Ziller menemukan sebuah fenomena unik. Ternyata orang genius acap kali mengalami kesulitan belajar di sekolah formal. Ilmuwan Albert Einstein, negarawan ulung Winston Churchill, penulis kondang George Bernard Shaw, dan Steve Jobs pun turut merasakannya. “Sekolah berat bagi saya. Saya lebih suka keluar ruangan dan mengejar kupu-kupu di taman” (Halaman 17).

Untungnya, ada satu guru yang bisa membangkitkan minat Jobs untuk terus bersekolah. Namanya Mrs Hill, guru kelas 4 di SD Monta Loma, Silicon Valley. Keduanya membuat kesepakatan bersama. Bila Jobs kecil dapat mengerjakan semua latihan dalam buku matematika tanpa bantuan orang lain, lalu jumlah jawaban yang benar mencapai 80 persen, Ibu Guru akan menghadiahinya lima dollar dan permen loli besar.

Dalam buku ini juga dikisahkan tentang sahabat karib Jobs. Ketika berumur 16 tahun, dia bertemu Steve Wozniak, sama-sama penggemar berat Bob Dylan. Mereka suka berburu rekaman konser penyanyi balada legendaris itu sampai berhari-hari. Steve Jobs dan Wozniak melihat ilmu pengetahuan dan teknologi harus disinergikan dengan seni dan nilai-nilai humaniora. Kreativitas dan perubahan sejati terlahir dari perkawinan otak kiri dan otak kanan (halaman 29).

Jobs juga memiliki seorang saudara perempuan. Dia baru bisa menemuinya pascarehat dari Apple pada 17 September 1985. Sebelumnya, Jobs yang sejak kecil diadopsi orang tua asuh ini mencari dulu ibu kandungnya. Dia menyewa jasa seorang detektif. Ketika bertemu sang ibu, Joanne Simpson, sang ibu memberi tahu bahwa Steve juga memiliki adik perempuannya yang tinggal di New York. Namanya Mona Simpson, seorang penulis novel.

Kakak-beradik ini memiliki banyak kesamaan, suka berjalan-jalan dan berbicara. Berjalan kaki bersama memang cara favorit Jobs melakukan rapat bisnis penting. Keduanya juga suka mengamati lingkungan sekitar dan sangat artistik. Baru-baru ini, Mona menulis sebuah novel laris berjudul A Reguler Guy. Tokoh utamanya punya banyak kemiripan dengan mendiang Steve Jobs.

Pada saat kakaknya meninggal pada 5 Oktober 2011 silam, Mona memberi obituari yang menyentuh hati, “Dia tak pernah malu bekerja keras, bahkan ketika hasil kerjanya gagal. Jika orang sepintar Steve tidak malu mengakui sedang mencobacoba, seyogianya saya juga tak perlu merasa malu untuk terus berusaha” (halaman 77).

Diresensi T. Nugroho Angkasa, Guru Bahasa Inggris Sekolah Alam Yogyakarta

Judul : Steve Jobs, Sang Genius
Penulis : Amanda Ziller
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 1/ Mei 2012
Tebal : viii 155 halaman
ISBN : 978-979-22-8256-6
Harga : Rp40.000