Januari 30, 2013

Dari Tikus Got sampai Melipat Parasut

Dimuat di Kompas.com Kamis, 31 Januari 2013 | 00:54 WIB
Judul: Go West and Gowes
Penulis: Budiman Hakim
Penerbit: B-first Bentang Pustaka
Cetakan: 1/November 2012
Tebal: xv + 264 halaman
ISBN: 899-221-308-2
Harga: Rp48.000

Jika Anda berniat belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai kaidah EYD, jangan membaca buku ini. Kenapa? Sebab walau penulisnya sarjana S1 jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Budiman Hakim lebih memilih penggunaan bahasa yang luwes.

Argumentasi adik kandung Chappy Hakim ini cukup masuk akal. Menurut observasinya, orang Indonesia enggan membaca karena lebih suka berbicara secara lisan. Oleh sebab itu, lewat buku ini ayah 2 anak tersebut sekadar ngobrol dengan pembaca. “Go West and Gowes, Catatan Seorang Copywriter 3” merupakan buah pena ke-5-nya. Ia relatif konsisten dengan kekhasan gaya bahasa santainya.

Pada bab “Pengecut-pengecut Dunia Maya” pekerja periklanan ini mengkritisi para pemilik akun palsu di jagat cyber. Kaum anonim tersebut tak berani menggunakan nama asli. Foto profilnya pun disamarkan. Mereka “hobi” sekali mengomentari pendapat orang lain dengan bahasa kasar dan kata-kata kotor.

Isinya melulu berhasrat menyerang dan menghakimi pemikiran seseorang. Mulai dari memaki-maki, mengadu domba, memfitnah, menyebarkan sentimen kebencian bernuansa SARA, sampai menjelek-jelekkan karakter member lainnya (halaman 135).

Penulis menganalogikan mereka itu ibarat tikus got. Binatang yang mendekam di dalam got di pojok tempat gelap. Kadang memang tikus itu nongol keluar dari sarangnya, tapi kalau ada gerakan dan suara sedikit saja, syahdan terbirit-birit kembali ke liang persembunyian.

Ada sebuah kisah nyata, tatkala gempa dahsyat menggoyang daerah Padang pada 30 September 2009 silam, penulis membaca berita di Facebook, “Nasi goreng dan air minum cuma-cuma untuk siapa saja….Tolong sebarkan ke orang yang membutuhkan.” Lalu, teman sekantornya, Melissa mengecek kebenaran pengumuman tersebut. Ternyata berita itu hoax (bohong) yang membuat orang gigit jari.

Ketika salah satu kerabat Melissa datang ke restoran tersebut, mereka tetap disuruh membayar, “Bayangin orang udah kehilangan orang tercinta, tiada tempat berteduh, laper, jalan kaki ke sana eh malah dibohongin oleh para tikus got…”(halaman 137).

Sistematika buku ini terdiri atas 27 refleksi pendek. Sehingga bisa dibaca sembari menikmati secangkir teh hangat. Antara lain, “Yuyun Akupunkturis Hebat,” “Putal…Putaal…Putaall!,” “Filosofi Uban,” dan “Anak Kecil Adalah Peniru Yang Hebat.” Menurut penulis, pada hakikatnya dunia ini ibarat sebuah bioskop raksasa. Kadang seseorang menjadi penonton, kadang ia terlibat dalam lakon cerita, tapi yang jelas ada Sutradaranya.

Lewat buku ini, penulis juga berbagi pengalaman menyentuh hati. Ia mengutip renungan kakak ke-2-nya, Chappy Hakim. Beliau sempat menjadi KASAU (Kepala Staf Angkatan Udara) Republik Indonesia (RI).

Alkisah, Charles Plumb sukses menjalankan misi terbang tempur dalam 75 sorti (penerbangan) selama perang Vietnam berlangsung. Namun, akhirnya pesawat Fighter Pilot USA kebanggaannya tertembak jatuh oleh rudal SAM (Surface to Air Missile), senjata penangkis serangan udara tentara Vietcong.

Untung Plumb berhasil menyelamatkan diri dengan kursi pelontar dan mendarat mulus berkat parasutnya yang berfungsi optimal. Tapi karena mendarat di daerah musuh, ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara selama 6 tahun.

Sekembalinya ke Amerika Serikat, ia mengajar dan berceramah ihwal bagaimana seorang prajurit menjalankan tugas negara dengan setia. Dari mulai berperang sebagai pilot jet tempur, tertembak musuh, ditangkap, ditawan, disiksa, hingga selamat pulang ke tanah air. Pengalaman berharga itu ia bagikan secara cuma-cuma kepada generasi masa depan penerus bangsa USA (halaman 176).

Pada suatu sore, saat Plum dan istrinya sedang bersantai di sebuah restoran, seseorang di seberang meja datang menghampiri. Orang tersebut menyapa dengan ramah, “Halo, Anda Charles Plum, pilot jet tempur yang berpangkalan di Kapal Induk Kitty Hawk dan pernah tertembak jatuh di Vietnam, bukan?” Setengah tertegun, Plumb balik bertanya, “Bagaimana Anda bisa tahu?”

Ternyata orang tersebut ialah awak kapal yang bertugas melipat parasut. Terbayang kembali di layar benak Plumb. Sang kelasi laut yang penuh dedikasi itu menghabiskan waktu berjam-jam di salah satu sudut kapal perang yang panas, ia melipat dengan super hati-hati setiap parasut yang kelak akan digunakan oleh para pilot menyelamatkan diri bila tertembak musuh.

Ironisnya, dalam kehidupan sehari-hari manusia cenderung terjebak dalam rutinitas. Sehingga lupa atau bahkan terlalu angkuh untuk sekadar menyapa orang lain dengan “halo,” “monggo silakan,” atau “maaf,” dan juga untuk menyampaikan rasa “terimakasih”. Kita alpa bahwa bisa jadi salah satu dari mereka ialah orang yang “melipat parasut” kita (halaman 179).

Buku setebal 264 ini sejatinya kumpulan renungan filosofis. Bacaan yang pas untuk merenungkan makna ziarah hidup. Walau gaya bahasa Om Bud (panggilan akrab penulis) terkesan slengean (santai), aneka nilai keutamaan tersaji di dalamnya. Go West and Gowes sebuah penghiburan bagi masyarakat Indonesia yang galau. Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air, dan TK Pangudi Luhur, Yogyakarta)
13595983001302934122

Januari 29, 2013

Medical Camp, Masyarakat Kurang Mampu pun Bisa Berobat


“Acara ini bagus, positif. Karena menolong warga miskin mendapatkan pelayanan kesehatan gratis,” begitulah komentar Donny Eggers (54) terkait acara Medical Camp (Medcamp) yang diadakan oleh Anand Krishna Centre (AKC) Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang) di Jln. Nanas 7 RW 5 RT 1 Perumnas Kalinegoro, Magelang, Jawa Tengah pada Kamis Pon (24/1/2013) lalu.

Lebih lanjut, pegawai Depkominfo Kabupaten Magelang tersebut menyampaikan fakta di lapangan. Ternyata kalau warga bukan PNS dan tidak memiliki askes, sekadar periksa (check up) di Puskemas pun harus membayar. Padahal pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan utama masyarakat.

Di wilayah Kabupaten Magelang sendiri terdapat 21 kecamatan dan 372 desa. Sedangkan jumlah dokter dan petugas medis di Puskesmas sangat terbatas. Sehingga mobilitas mereka kurang dapat menjangkau desa-desa seperti di pelosok lereng Sumbing dan lereng Merapi.

“Sebaiknya acara semacam ini diadakan rutin, dalam setahun bisa beberapa kali. Selain itu, sosialisasinya pun harus lebih gencar agar semakin banyak warga yang merasakan manfaatnya, ” imbuh  Redaktur Majalah Berita Daerah Suara Gemilang tersebut.

Koordinator acara Medcamp, Ganjar Adypranata Darma Putra S.Sn mengatakan bahwa kegiatan ini tak hanya berupa konsultasi dan pemeriksaan medis, tapi juga dengan penyembuhan Neo Zen Reiki oleh para volunteer dari Pati, Semarang, Yogyakarta dan Surakarta.

  1359517037907938419
Proses healing dengan teknik sentuhan tersebut dipopulerkan kembali oleh Anand Krishna. Pasca sembuh dari penyakit Leukemia (kanker darah) di tahun 1991, pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006) tersebut berbagi lewat Attunement Neo Zen Reiki. Sehingga memfasilitasi perubahan pola energi seseorang seirama dengan gelombang alam semesta.

Neo Zen Reiki ialah satu dari 300-an lebih metode meditasi yang dikembangkan Anand Krishna. Teknik kuno tersebut sempat dipopulerkan Sensei Usui di Jepang (kurang lebih seratus tahun silam), “Alam adalah medan energi yang luar biasa melimpah bagi kita, dan kalau kita berlaku sebagai Anak Allah yang hormat terhadap Sang Ibu, kita akan selalu dipelihara oleh-Nya. Energi Murni Alam Semesta itu akan membuat kesehatan jiwa dan raga menjadi suatu yang sudah dimiliki dan Anda dapat mengelola kesehatan jiwa raga Anda sendiri… tak perlu orang lain!” (Seni Memberdayakan Diri 1 - Meditasi Dan Neo Zen Reiki, Gramedia Pustaka Utama (GPU), 1998)

Asih (53), salah satu warga RW 5 RT 1 mengatakan, “Tadi saya ditensi tekanan darahnya kemudian diberi obat. Salut untuk acara ini, karena sangat membantu dalam hal kesehatan. Saat di-reiki badan juga terasa segar.”

Menurut salah satu sukarelawati dari Yogyakarta, Rahma Ni Dwi S.T, “Penyembuhan Neo Zen Reiki tidak menggunakan mind. Itulah aspek pembeda dengan  teknik pengobatan yang memakai konsentrasi atau visualisasi. Terapi rileksasi Neo Zen Reiki justru tidak memikirkan penyembuhan. Para sukarelawan/wati hanya menjadi saluran perantara bagi aliran Energi Ilahi.”

Dari pukul 08.00-12.00 WIB anak-anak, remaja hingga orang tua duduk rapi mengantri menunggu giliran diperiksa oleh dr. Hardiyanto dan dr. Djoko Pramono. Kedua dokter tersebut mengatakan bahwa sebagian besar warga merasa pusing-pusing, capek dan pegal-pegal, serta tekanan darahnya tinggi. Selain itu, ada beberapa orang yang terkena stroke.”

Salah satunya Prabowo (55), beliau pernah mengidap stroke. Sehingga untuk datang ke lokasi harus dipapah oleh tetangganya. Dulu saat masih sehat, ia bekerja sebagai makelar penjualan mobil dan motor. Tapi kini kegiatannya sedikit terganggu. “Acara Medcamp ini sangat berguna karena masyarakat yang kurang mampu pun bisa berobat,” ujarnya. (Reporter: Nugroho Angkasa, Fotografer: Michael Setiawan)

Semenit Tertawa Samai 20 Menit Olahraga

Diterbitkan oleh WAWASANews.com Pada Tuesday, January 29, 2013
http://www.wawasanews.com/2013/01/semenit-tertawa-samai-20-menit-olahraga.html

Magelang-WAWASANews.com
Dewasa ini depresi kian menggejala. Tak hanya di kalangan anak muda, tapi juga para manula. Banyak dari mereka jarang melakukan aktivitas tertawa. Tertawa dapat meningkatkan produksi hormon endorphin. Semakin berlimpah zat penenang alami dalam tubuh, kian mengendur ketegangan syaraf otak.

Dalam penelitian, anak-anak ternyata rata-rata bisa tertawa 400 kali sehari, sedangkan kaum dewasa hanya 15 kali. Sulitkah orang dewasa tertawa dan bahagia? Adakah cara hidup ceria tanpa keluar banyak biaya? Dua pertanyaan itulah yang dijawab oleh Klub Tawa Ceria Sehat (KTCS) dalam acara Olahraga Tertawa “Global Harmony Now or Never” yang digelar pada Kamis (24/1), di Magelang.

Kegiatan yang diprakarsai oleh Anand Krishna Centre (AKC) Joglosemar (Jogja, Solo, dan Semarang) bekerjasama dengan Klub Jantung Sehat Anggrek ini merupakan rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-22 Yayasan Anand Ashram, yang didirikan oleh aktivis spiritual lintas agama Anand Krishna, pada 14 Januari 1991.

Vesperina Maria Zacqueen Ujudeda S.Kep, salah satu fasilitator KTCS dari Jakarta mengatakan pentingnya tertawa. Menurutnya, satu menit tertawa sama manfaatnya dengan 20 menit olahraga ringan. Tepuk tangan bahagia juga merupakan cara sederhana untuk memijit 80 titik syaraf di telapak tangan.

Bahkan, menurut dr. Hardiyanto yang ikut menjadi fasilitator, tertawa bisa jadi terapi penderita penyakit jantung. “Konstipasi (bebelen) alias sulit BAB bisa membahayakan penderita gangguan jantung. Nah, salah satu obat yang mujarab ialah dengan tertawa,” katanya.

Oleh karena itulah, ada banyak macam teknik tertawa dalam KTCS. Ada tawa silaturahmi, singa mudra, tawa cibi-cibi, tawa uleg, tawa primata, dll. Uniknya lagi, dalam KTCS selalu dimeriahkan dengan tarian, musik, dan lagu. Selain agar suasana lebih hidup, hal itu dimaksudkan juga untuk menyebarluaskan enzim melatonin ke seluruh anggota badan, dari ujung kaki hingga kepala.

Salah satu tolok ukur efek tertawa ialah denyut nadi. Sebelum dan sesudah mengikuti sesi KTCS selama 1 jam tersebut, dr. Hardiyanto meminta ratusan peserta yang hadir untuk menghitung detak nadi. Caranya dengan menempelkan 3 jari di sekitar pergelangan tangan atau urat leher. Rata-rata dalam semenit ada 60-100 denyutan. Pasca melakukan olahraga tawa ternyata nadi banyak peserta jadi lebih berirama dan teratur. (Teks: Nugroho Angkasa, Foto: Tunggul Setiawan)
Untuk info lebih lanjut klik:
http://circleoflaughter.com/
https://www.facebook.com/KlubTawaCeriaSehat
https://twitter.com/klubtawa

Januari 22, 2013

Cooperative Learning: Sekolah sebagai Fasilitator

Dimuat di Flyer Majalah Pendidikan Online Indonesia, MJEDUCATION.CO edisi Februari 2013
http://mjeducation.co/cooperative-learning-sekolah-sebagai-fasilitator/

Wawancara dengan T. Nugroho Angkasa, S.Pd - Guru Sekolah Alam
Cooperative Learning: Sekolah sebagai Fasilitator

Pewawancara: Madeline Lu, seorang ibu satu anak yang cukup health-conscious, punya big passion di bidang baking, tarik suara. dan scrapbooking. Lulusan Food Science yang terlanjur jatuh cinta dengan dunia tulis menulis.

Wah, ternyata sekolah alam memiliki konsep yang cukup menarik ya? Untuk mengetahui lebih dalam tentang sekolah alam, reporter MJEDUCATION.CO telah mewawancarai Bapak T. Nugroho Angkasa S.Pd. Beliau adalah salah satu tenaga pendidik Sekolah Alam PKBM Angon, Yogyakarta. Yuk, kita ikuti hasil wawancara tersebut!

Apa arti dan tujuan didirikan sekolah alam?
Sekolah Alam PKBM Angon digagas oleh Drs. Istoto Suharyoto MM. C.Ht http://www.istotosuharyoto.com/ pada tahun 2010 di Maguwoharjo, Yogyakarta. Beliau semula bekerja dalam bidang pemasaran di sebuah penerbitan buku, tapi kemudian banting setir menjadi seorang trainer dan life coaching berbasis NLP (Neuro Linguistic Programming).

Kecintaan ayah 3 anak pada dunia pendidikan dan lingkungan hidup mendorong alumnus Pendidikan Guru Teknik dan Magister Managemen tersebut mendirikan Sekolah Alam PKBM Angon. Berhubung kesibukannya lebih banyak di luar kota, untuk urusan operasional sehari-hari, administrasi, dan kurikulum dipercayakan kepada Bu Susan, Bu Valensia Ng, dan Bu Yulia Loekito. Saya sendiri mulai bergabung sebagai fasilitator di Angon sejak Agustus 2011.

“Angon” dalam bahasa Jawa berarti “menggembalakan”. Wong angon senantiasa bersikap membimbing, ngemong, membebaskan tapi tetap menjaga dan waspada. Penggembala juga memunyai sifat welas asih dan menentramkan hati. Tujuan pendirian sekolah alam PKBM Angon ada 2. Pertama, untuk mengembangkan karakter/sikap. Kedua, untuk memupuk kecintaan pada lingkungan sekitar.

Sekolah Alam PKBM Angon atau lebih sering disingkat Bale Belajar Angon sejak awal tidak berpretensi menjadi substitusi sekolah konvensional. Kami memilih peran sebagai penyeimbang saja. Sebab dewasa ini pendidikan formal sekadar berfokus pada ranah pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill). Padahal ada satu lokus yang tak kalah penting, yakni sikap (attitude). Dalam konteks pendidikan, tentu sikap positif dan konstruktiflah yang dioptimalkan.

Bale Belajar Angon terletak di daerah pedesaan di Dusun Stan, Maguwoharjo. Hamparan ladang hijau masih membentang, sejuk semilir angin menemani di pagi dan sore hari, suara gemericik air sungai, riuh-rendah nyanyian ternak menjadi semacam musik alam. Ironisnya, ancaman pemanasan global (global warming) kini berada di depan mata.

Oleh sebab itu, semua sivitas akademika Angon berkontribusi lewat tindakan nyata. Antara lain dengan menanam pohon jabon (jati kebon), sengon, buah-buahan (jambu air, jambu biji, rambutan, kelengkeng, mangga, markisa, talok, sirsak, pisang, dll) berkebun sayur-mayur organik (bayam, kangkung, loncang, seledri, terong, cabai, kacang panjang, tomat, dll) memelihara kambing, ikan, ayam, kalkun, dll.  Silakan lihat foto-fotonya di http://www.angon.org/

Memilih sekolah selalu menjadi problema klasik bagi setiap orang tua di Indonesia. Untuk memilih sekolah konvensional saja, orang tua harus menimbang dengan hati-hati, terlebih dengan pilihan sekolah alternatif seperti sekolah alam. Menurut Anda, apa yang menjadi alasan para orang tua memasukkan anak2 ke sekolah alam?
Menurut saya karena sebuah ironi, tatkala kemajuan teknologi ITC (Information Technology Communication) begitu pesat, anak-anak justru kian jauh dari alam. Misalnya, anak-anak lebih betah berlama-lama duduk di depan layar kaca bermain PS (Play Station) ketimbang bermain layang-layang di tanah lapang. Kemudian, anak hanya tahu minuman sari buah-buahan yang sudah dalam kemasan, padahal ada sensasi tersendiri saat memetik langsung di pohonnya.

Selain itu, menurut pengamatan saya selama menjadi guru, anak-anak cenderung jadi lebih individualistik. Di satu sisi bagus karena mendongkrak prestasi pribadinya, namun di sisi lain jadi kurang bisa bersosialisasi. Nah sekolah alam menawarkan solusinya, yakni dengan membawa anak belajar langsung di alam dan memfasilitasi dengan aneka dinamika kelompok serta permainan tradisional.

Menurut Anda, apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dari sekolah alam dibandingkan sekolah konvensional?
Kelebihan sekolah alam tentu terletak pada lokasinya. Alangkah mengasyikkan, saat anak belajar di tengah areal persawahan, menghirup udara segar yang masih belum terpapar CO2 berlebih, sembari duduk lesehan di joglo bambu yang relatif terbuka, sehingga semilir angin membelai rambut, gemericik air sungai juga menjadi musik latar (back sound) guru yang menerangkan pelajaran. Saat anak merasa nyaman dan bahagia, materi otomatis lebih mudah dicerna. Saat istirahat, mereka juga bisa bermain di atas rerumputan, boleh tak mengenakan alas kaki. Kekurangannya? apa ya...hehe sampai saat ini, saya begitu menikmati proses pembelajaran di sekolah alam.

Sedikit sharing, sebelumnya saya juga pernah mengajar bahasa Inggris di sekolah menengah pertama dan atas (SMP dan SMA) konvensional. Rasanya memang sangat berbeda, mengajar di dalam kelas yang tertutup rapat bahkan kadang ber-AC dengan mengajar anak-anak di tengah alam terbuka. Apalagi saya termasuk orang yang naturalis. Dalam arti, suka sekali berada di alam. Kalau ada waktu senggang, saya juga suka hiking ke gunung.  

Bale Belajar Angon juga menyusun kurikulum berdasarkan NLP. Sampai pada silabus pun harus detail dan padu. Intinya bagaimana kita memaksimalkan anugerah Tuhan yang paling dahsyat, yakni inteligensia. Lantas, potensi tersebut diabdikan demi kemuliaan segenap titah ciptaan-Nya.

Berapa perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk dapat bersekolah di sekolah alam? relatif lebih murah/mahalkah dibandingkan dengan sekolah konvensional?
Di Bale Belajar Angon, besaran biaya tergantung pada subjek apa yang diambil oleh anak didik. Mereka (tentu didampingi orang tua) bebas memilih sendiri. Antara lain belajar menyemai biji-bijian, menanam di bedengan, menyirami tanaman, membuat pupuk organik (cair dan padat), membuat fermentasi pakan ternak, membuat telur asin, membatik dengan pewarna natural, membuat layang-layang, memberi makan ternak, out bound, dinamika kelompok,  memilah sampah, membuat kerajinan dari barang-barang bekas, membuat anyaman dari daun pisang, merakit mainan dari pelepah pisang, memanen buah-buahan dan sayur-mayur, meracik dan memasaknya sendiri, permainan tradisional egrang, benthik, petak umpet, bakiak, dakon, hola hoop, karet, bahasa Inggris, dll.

Kalau dibandingkan dengan sekolah konvensional relatif lebih murah. Selain itu, untuk menulis dan membuat refleksi pembelajaran, anak-anak boleh menggunakan boleh menggunakan kertas bekas. Kami juga belajar membuat kertas daur ulang sendiri. Untuk makan, kami juga lebih banyak memetik dari hasil kebun dan sawah sendiri.

Bisa jelaskan secara singkat mengenai metode pengajaran dan jam belajar di sekolah alam?
Metode pembelajaran di Angon dengan Cooperative Learning. Oleh sebab itu, kami lebih suka disebut fasilitator. Sejak dari awal anak memilih sendiri apa yang hendak mereka pelajari. Jadi proses pembelajaran lebih lancar.  Karena anak memang niat belajar materi tersebut. Para fasilitator sebagian besar lulusan Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), jadi anak bisa memilih mau belajar menggunakan pengantar bahasa Indonesia atau bahasa Inggris (bilingual).

Kami juga menghindari proses belajar satu arah. Guru berceramah di depan kemudian anak-anak sekadar mendengarkan. Selain sangat membosankan, juga menafikan kemampuan anak-anak. Prinsipnya, baik fasilitator dan peserta didik sama-sama belajar.

Jam belajar aktif di Angon mulai pagi 08.00-11.00 WIB dan sore 15.00-17.00 WIB. Waktu tersebut dipilih karena sinar matahari relatif teduh. Selain jam-jam tersebut, anak-anak boleh bermain, makan, membaca di perpustakaan, atau pun tidur siang.

Lalu bagaimana juga dengan sistem penilaian di sekolah alam? apa yang menjadi parameter kelulusan? bagaimana dengan rapor? lalu apakah ada istilah “tinggal kelas” untuk para siswanya?
Rapor diberikan setiap akhir semester (Juni dan Desember). Ada 3 parameter penilaian di sekolah Alam Angon. Pertama, terkait penguasaan materi yang diberikan. Misalnya, saat belajar bahasa Inggris, bagaimana pronunciation (pelafalan), penguasaan kosakata (vocabulary), kefasihan menggunakannya dalam kalimat tertulis maupun lisan,  dst. Kedua, terkait sikapnya selama proses belajar.  Misalnya, apakah anak tersebut mandiri, percaya diri,  proaktif, bisa bekerjasama dengan teman, menghormati orang yang lebih tua dan ngemong adik yang lebih muda, dst. Ketiga, terkait niat, apakah anak memiliki determinasi tinggi dalam belajar?

Selain itu, kami juga menggunakan MI Observed berdasarkan teori Howard Gardner. Setiap anak unik, mereka memiliki kecenderungan visual, kinestetik, musikal, interpersonal, naturalis, intrapersonal, verbal, dll. Pengamatan tersebut memudahkan proses pembelajaran dan pemilihan media ajar secara tepat.

Tak ada istilah tinggal kelas, semua naik kelas. Satu prinsip yang dipegang oleh para fasilitator, semua anak cerdas, kalau ada yang belum bisa, kamilah yang harus bertanya pada diri sendiri, “Cara apa lagi yang harus aku pakai agar anak didik bisa?”

Adakah kriteria/ syarat khusus untuk dapat diterima di sekolah alam? Apakah sekolah alam hanya untuk lingkup target market tertentu?
Tak ada kriteria khusus, semua anak-anak yang mau belajar di tengah alam dan mengembangkan sikap/karakter diterima. Tak ada target market tertentu, terbuka untuk umum.

Apakah sekolah alam menerima anak-anak miskin dan terlantar serta anak-anak berkebutuhan khusus?
Ya, siswa-siswi dari Panti Asuhan Ganjuran, Bantul, Yogyakarta pernah belajar bersama di Angon. Ada cerita unik. Salah satu anak memiliki kemampuan khusus. Ia dapat menangkap ular. Seperti Panji di serial televisi. Selain itu, anak-anak warga sekitar di Dusun Stan juga rutin mengikuti les bahasa Inggris.

Nah kalau anak-anak berkebutuhan khusus, kami belum pernah mendampingi. Tapi tak menutup kemungkinan bila ada yang mendaftar, sebab Bu Yulia Loekito pernah memiliki pengalaman mengajar anak-anak berkebutuhan khusus sebelum bekerja di Bale Belajar Angon.

Berkliblat kemanakah sistem pendidikan sekolah alam?
Pendidikan Karakter dan Kesadaran Ekologis.

Siswa-siswi seperti apa yang sudah ‘dihasilkan’ oleh sekolah alam? Apakah saat ini ‘produk’ siswanya sesuai dengan harapan para pendiri sekolah alam?
Ya bahkan lebih dari ekspektasi awal. Karena ada ikatan batin yang kuat selama belajar di sini. Misalnya, para alumnus selalu menyempatkan diri datang lagi ke Angon. Selain rindu dengan suasana pedesaan, mereka juga ingin melihat tanaman yang mereka tanam apakah sudah berbuah, sudah sebesar apa ternaknya sekarang, apa sudah beranak/bertelur? dst.

Satu hal yang mencolok dari alumnus Angon ialah mau menghargai proses. Seturut hukum alam, tiada yang instan di dunia ini. Misalnya saat menanam benih cabai, minimal harus menunggu 3 bulan untuk memanen hasilnya. Itu pun harus rajin merawat, memupuk, dan menyiraminya jika tak musim hujan.

Selain itu, mereka juga jadi lebih mandiri, bertanggungjawab dan berani. Beberapa waktu lalu, 100 siswa-siswi kelas 5 SDN Karang Turi Semarang berkunjung ke Angon. Mereka menginap selama 2 malam 3 hari. Karena terlalu banyak, maka dibagi menjadi dua gelombang. Yang perempuan menginap di rumah-rumah penduduk, jadi semacam live in. Sedangkan yang laki-laki tidur di joglo bambu beralaskan tikar.

Selama berada di Angon mereka harus membantu memasak di dapur, mencuci piring, membersihkan kamar mandi dan WC, memberi makan ternak, menyirami tanaman, menyapu halaman, dll. Awalnya terasa berat, namun saat akan pulang banyak yang menangis karena masih ingin berada di Angon.

Sekolah alam di Indonesia hanya ada di tingkat sekolah dasar? Apakah anak-anak sekolah alam yang nantinya akan bersekolah di tingkat lanjutan dapat menyesuaikan diri dengan kurikulum dan metode pendidikan yang berbeda?
Topik ini masih jadi perbincangan serius di kalangan para praktisi di sekolah alam. Di satu sisi, ada yang berpendapat karena diperkenalkan pada alam sejak masa golden age, otomatis kecintaan pada lingkungan tersebut akan terus tertanam hingga mereka dewasa. Namun ada juga yang berargumen alangkah baiknya jika ada juga sekolah alam tingkat menengah pertama, menengah atas, dan bahkan universitas.

Bagaimana menurut pandangan Anda sebagai tenaga pendidik sekolah alam menyangkut perubahan kurikulum di tahun mendatang ?  Apakah akan ada pengaruh yang dramatis dalam pengajaran di sekolah alam dengan adanya kurikulum baru ini?
Menurut saya penyeragaman kurikulum nasional dari Sabang sampai Merauke, di satu sisi memudahkan standarisasi. Tapi di sisi lain menafikan kekhasan lingkungan setempat. Pemerintah harus memberi ruang yang lebih luas untuk muatan lokal dan pembelajaran berperspektif ekologis. Materi permainan tradisional dan menanam pohon sebaiknya masuk ke dalam kurikulum. Sekadar ide, bagaimana kalau setiap satu semester setiap anak dan guru wajib menanam pohon di pekarangan sekolah?
Perubahan kurikulum nasional tak banyak berpengaruh. Karena selama ini kami di sekolah alam membuat program pembelajaran sendiri berbasis NLP dan perspektif ekologis.

Fotografer: Gala Duta, Siswi kelas 3 SMA Stella Duce I Yogyakarta

Siswi SD Karang Turi Semarang Berkunjung ke Angon Yogyakarta

Januari 19, 2013

Menjadi Pemimpin Andal

Dimuat di Seputar Indonesia, Minggu/20 Januari 2013
http://www.seputar-indonesia.com/news/menjadi-pemimpin-andal


Judul: Leadership in Action
Penulis: Nick McCormick
Alih Bahasa: Sheilla Mahersta
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Cetakan: 1/2012
Tebal: x + 101 halaman
ISBN: 979-074-991-0

“Jika seseorang menertawakan apa yang sedang Anda lakukan, kemungkinan besar Anda sudah melakukan hal yang benar.” (Halaman 37)

Begitulah pengamatan jeli Nick McCormick dalam Leadership in Actions. Menurut Sarjana Keuangan lulusan Georgetown University ini, seorang pemimpin tak perlu (terlalu) memedulikan apa yang dipikirkan dan dikatakan orang lain. Lakukan apa yang sudah jadi tanggungjawab. Toh semua yang dipelajari akan sia-sia jika tidak dipraktikkan.

Misalnya tatkala membaca buku berisi sejumlah saran bermanfaat, terapkan segera petuah bijak tersebut dalam memimpin kerja tim dan kehidupan sehari-hari. Sebab semakin banyak keahlian (skill) yang dimiliki seorang pemimpin, niscaya semakin tenang perasaannya. Alhasil, keputusan yang diambil pun lebih tepat sasaran.

Ayah 3 putra yang bermukim di Philadelphia ini juga mendeteksi kecenderungan dasar manusia modern. Orang enggan mengerjakan apa yang tidak ia sukai. Bahkan, para pegawai acapkali mengarang sederet alasan agar terhindar dari tugas yang membuatnya merasa tak nyaman. Tapi berdasarkan pengalamannya selama puluhan tahun menjabat sebagai manager perusahaan jasa teknologi informasi komunikasi (TIK), orang yang tidak melakukan pekerjaan di luar zona nyaman (comfort zone) tidak akan pernah berkembang secara optimal (halaman 48).

Lalu, pakar bisnis dan kepemimpinan ini menandaskan bahwa tidak ada jalan pintas keluar dari zona aman. Sehingga, seorang pemimpin yang baik senantiasa mengapresiasi setiap tetes keringat pegawainya yang berhasil merampungkan tugas. Uniknya, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya jam terbang, ternyata kerja keras menuju keberhasilan terasa kian mudah. Oleh sebab itu, “Selesaikan tugas yang selalu dihindari selama ini. Jika sudah, rayakan dengan makan siang yang lezat. Dan, ulangi lagi!” (Halaman 50).

Sistematika buku ini terdiri atas 15 bab. Isinya memuat strategi taktis (stratak) menjadi pemimpin andal. Antara lain dengan “Tetapkan Tujuan, Rencana, dan Laksanakan,” “Berbagi Informasi,” “Lakukan Hal yang Benar,” dan “Berikan Umpan Balik yang Jujur dan Tepat pada Waktunya.” Pada setiap bab ada 4 pokok bahasan, yakni “Uraian,” “Apa yang Harus Dilakukan,” “Apa yang Jangan Dilakukan,” dan “Tindakan Konkrit.” Referensinya beraneka ragam, menyiratkan kalau penulis hobi membaca. Antara lain One Minute Manager karya Kenneth Blancjard, Ph.D, The 7 Habbits of Highly Effective People karya mendiang Stephen R. Covey, dll.

Buku ini juga memberi tips untuk atasi penolakan. Alih-alih memboroskan energi dengan menyalahkan pihak lain, lebih baik terus giat bekerja dan perbaiki cara presentasi. Jika satu ide ditolak, jangan pernah menyerah! Temukan cara lain agar gagasan tersebut gol. Sikap positif (positive attitude) dan kreatifitas menjadi rekan terbaik menuju sukses.

Selain itu, menurut penulis perencanaan ialah separuh jalan (menuju) keberhasilan. Ironisnya, banyak orang berdalih tidak punya waktu untuk melakukan persiapan. Pada bab 7, Nick McCormick membuka kartu rahasianya, “Saya pun tak suka merencanakan dan mengikuti proses tersebut, tapi akhirnya saya memahami kebutuhan untuk melakukannya. Inilah jalan untuk meningkatkan efektifitas. Saya juga menyadari bahwa jika saya mengharapkan tim untuk melakukan tersebut, saya musti melakukan hal serupa terlebih dahulu.” (halaman 34).

Contoh konkretnya, ia pernah menghadiri 6 sampai delapan rapat dalam sehari. Jadwalnya pun berurutan, sehingga kalau ada 1 rapat yang molor otomatis rapat selanjutnya pun tertunda. Menurut analisis Nick, salah satu alasan rapat tidak produktif karena peserta yang datang tak memersiapkan diri. Alhasil, mereka sekadar menyampaikan hal-hal klise di permukaan. Pun, tidak menindaklanjuti hasil keputusan rapat lewat aksi. Alasannya klasik, tidak ada waktu.

Pada titik ekstrim lain, ada orang yang ingin jadi pahlawan kesiangan. Ia memamerkan berapa banyak pekerjaan yang dihadapi, betapa seringnya dinas keluar kota, begitu banyak rapat yang harus dihadiri, dst. Prilaku “heroisme” tersebut justru kontraproduktif. Barangkali niat membantunya baik, tapi fakta membuktikan hasil pekerjaan ganda mayoritas buruk. Muaranya tentu tim, organisasi, perusahaan, dan diri sendiri yang menjadi korban.

Buku setebal 101 halaman ini mengingatkan pada dongeng Angsa Emas karya Aesop. Tatkala kemampuan produksi dan target perusahaan tidak berimbang niscaya hasilnya nihil. Peran pemimpin/manager ialah mengatur kinerja para pegawai dan memberi teladan nyata. Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris PKBM Angon (Sekolah Alam) http://www.angon.org/ , Ekskul Bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air, dan TK Pangudi Luhur, Yogyakarta)

 

Januari 17, 2013

Kisah Memikat 7 Manusia Berhati Malaikat

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, MJEDUCATION.CO, Kamis/17 Januari 2013
http://mjeducation.co/kisah-memikat-7-manusia-berhati-malaikat/

Judul: Hidden Heroes, Para Pahlawan Sunyi dengan Tindak Nyata
Penulis: Arif Koes dan Tim Kick Andy
Penyunting: Ikhdah Henny dan Ayu Windiyaningrum
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I/2012
Tebal: x + 238 halaman
ISBN: 978-602-8811-70-5
Harga: Rp49.000

Di sudut sunyi republik (res publica), jauh dari hingar-bingar arogansi kekuasaan, rakyat berjuang dengan penuh pengorbanan. Walau keterbatasan fisik dan kecingkrangan materi melilit urat nadi, toh mereka terus berkontribusi bagi negeri. Pengabdian mereka melahirkan secercah harapan, masa depan Indonesia niscaya lebih baik.

Buku “Hidden Heroes, Para Pahlawan Sunyi dengan Tindak Nyata” ini sebuah bukti bahwa masih ada cinta di antara sesama putra-putri Ibu Pertiwi. Budaya gotong-royong dan kesediaan berbagi belum sirna dari persada Nusantara.

Contohnya seperti termaktub dalam kisah “Semangat Baja Manusia Gua” Cak Pepeng. Kenapa disebut “Manusia Gua”? Karena sejak Ferrasta Soebardi mengalami Multiple Sclerosis (MS) pada Juli 2005 - MS ialah penyakit yang menyerang Sistem Saraf Pusat (SSP) – ia lebih sering berebahan di tempat tidur. Sekadar menegakkan tubuh saja Cak Pepeng butuh bantuan piranti mekanik. Kamar tidurnya tak begitu luas, hanya berukuran 5 x 4 meter, kemudian ia menamainya “Gua Cinere”.

Tapi dua acungan jempol bagi Cak Pepeng,  keterbatasan fisik tak memadamkan jiwa sosial pria kelahiran Sumenep, 23 September 1954 tersebut. Ia bertekad melestarikan kearifan lokal. Langkah awalnya, Cak Pepeng menggagas penelitian ilmiah di 118 titik, mulai dari Jawa, Batak, hingga Manado. “Riset ini untuk mengumpulkan dan mengidentifikasi semua local wisdom di Indonesia,” tandas komedian yang terkenal dengan gimmick khas “jaree-jareee” tersebut (halaman 30).

Tak sekadar berpangku tangan, eks personil Sersan Prambors ini segera menyiapkan kader yang bersedia tinggal selama minimal  3 bulan di sejumlah desa di pedalaman. Tujuannya menggali potensi dan kepemimpinan lokal (local leadership). Ia pun  mengkritisi sistem pendidikan konvensional. Kenapa? Karena sekolah umum cenderung mentransfer informasi saja. Sebagai solusi, pria yang pernah bekerja sebagai event organizer GM Selo ini menawarkan konsep local job for local boy.

Artinya, generasi muda setempat musti mengembangkan potensi desanya masing-masing. Misalnya dengan berwirausaha alias menjadi entrepreneur. Dalam konteks ini, pertumbuhan potensi lokal berbanding lurus dengan kemajuan ekonomi warga. Alhasil, terbuka aneka lapangan kerja sehingga tak usah lagi hijrah ke kota (urbanisasi).

Buku ini juga menyiratkan kecintaan Cak Pepeng pada ilmu pengetahuan (sains). Ia bersikukuh melanjutkan studi untuk meraih gelar Master di Fakultas Psikologi UI (Universitas Indonesia). Pun tatkala menggarap tesis, ia terjun langsung ke Desa Sumurugul, Purwokerto. Selama berhari-hari, salah satu penerima penghargaan Kick Andy Heroes (2011) tersebut mewawancarai dan memberikan training dari atas kursi roda.

Sang bed-man juga tak pernah kehilangan rasa humor. Salah satu yang paling dikenang warga Sumurugul ialah dagelan berikut, “Saya adalah manusia yang tak perlu berebut kursi dengan siapa pun. Karena saya sudah bawa kursi sendiri dari rumah (halaman 33).” Bahkan pada perayaaan malam pergantian tahun, ia juga melontarkan lawakan segar. Kata dia, ada selebritas yang terlebih dahulu terserang MS ketimbang dirinya, yakni Addie MS. Penonton pun sontak tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Apa resep Cak Pepang tetap ceria kendati hidup bersama penyakit langka tersebut? Ia berbagi tips di buku ini, caranya dengan memupuk innerchild. Tapi bukan childish alias kekanak-kanakan, menurutnya perilaku childish itu mudah marah, suka mengeluh, gampang menyerah, minta diperhatikan melulu, dan suka dilayani. Sebaliknya, innerchild ialah jiwa anak-anak yang ada dalam tubuh orang dewasa. “Coba perhatiin anak-anak kecil. Mereka pemaaf, enggak pernah jadi victim dari keadaannya,” ujarnya saat diwawancarai tim penulis (halaman 25).

Cak Pepeng juga menempuh jalur pengobatan alternatif. Lintah disebar sebanyak-banyaknya dari ujung kaki sampai kepala, mereka dibiarkan nacep dan menghisap sendiri. Lintah-lintah tersebut mengumpul di bagian tubuh yang darahnya paling kotor. Dari lintah yang hanya berukuran sekitar 2 ruas jari, bisa menjadi 20 cm dan membesar dengan diameter 2-3 cm. Menurut Cak Pepeng, seperti ada gelang-gelang di sekujur tubuhnya. Awalnya ia merasa pegal-pegal, tapi lebih baik ketimbang kemoterapi yang justru meninggalkan racun baru.

Pada aspek psikis, ia belajar merelaksasikan diri agar terhindar dari stres dan emosi berlebihan. Ia tak boleh terlalu senang atau pun terlalu sedih. Kemudian, Cak Pepeng mengikuti milis khusus dan saling berbalas e-mail dengan Gary Craigh, seorang pakar EFT (Emotional Freedom Technique). Intinya bagaimana senantiasa berbicara jujur dengan diri sendiri dan menerima segala sesuatunya dengan ikhlas (halaman 23). Dalam konteks ini, saraf boleh jadi tidak bekerja optimal tapi saraf semangat Pepeng sungguh terbuat dari baja.

Di Balik Sampul Merah Putih

Masih ada kisah 6 tokoh lainnya dalam buku bersampul merah putih ini. Antara lain, Andi Suhandi, pendiri Sanggar Anak Matahari untuk para anak jalanan (anjal). Mengapa Andi begitu perhatian kepada mereka? Karena anak kelima dari 6 bersaudara itu notabene juga pernah malang-melintang di jalanan. Ia berkomitmen mengentaskan anjal dari lingkaran setan kebodohan dan kemiskinan yang membelenggu jiwa mereka. Kisahnya termaktub dalam bab “Menerbitkan ‘Matahari’ dari Jalanan.”

Pria kelahiran Sukabumi ini sungguh telaten mendidik para anjal. Dia mengajarkan pendidikan karakter, keterampilan, seni, kemandirian, dan kepemimpinan. Sanggar yang terletak di Kampung Pintu Air, Bekasi tersebut menjadi tempat berkumpul, belajar, berkarya, dan berprestasi 100 anak binaannya. Kini, tidak hanya anjal yang berproses di sanggar, tapi juga anak yatim, golongan tidak mampu, dan putra-putri warga sekitar kampung.

Kisah selanjutnya tak kalah mengundang decak kagum. Sepasang suami istri; Priska dan Fandy turut “Menyalakan Asa dari Kegelapan.” Mereka merawat 80-an orang terbuang dengan aneka keterbatasan. Baik difabel secara fisik maupun mental-emosional. Kisaran usianya dari bayi, anak-anak, hingga kaum dewasa.

Ternyata, Priska pun tuna netra sejak lahir. Dulu ia pernah diacuhkan keluarganya. Alhasil, dia dapat berempati pada para penyandang disabilitas tersebut. Priska menamai tempat perawatannya sebagai School of Life (SOL) (halaman 76 – 103).

Keteladanan hidup demi sebuah perubahan lainnya datang dari Paris Sembiring. Awalnya, Direktur Bank Pohon ini dikenal sebagai seorang pengayuh becak. Mirip Archimides yang menemukan insight (pemahaman mendalam) saat sedang berendam di bak mandi. Eureka! Paris juga menemukan ide membuat bank pohon ketika berteduh di bawah pohon mahoni.

Alkisah, pada penghujung tahun 1970-an, siang itu kota Medan sedang panas-panasnya. Paska letih mengayuh becak, Paris Sembiring memarkirkan alat transportasi sumber periuk nasinya tersebut. Ia bernaung di bawah pohon sambil tidur-tiduran. “Siapa tahu, rejeki datang dan penumpang datang membutuhkan jasanya,” pikirnya.

Namun bukan penumpang yang datang, melainkan pluk! sebulir biji mahoni jatuh tepat mengenai wajahnya. Lantas, ia menebar pandangan ke sekitar. Ternyata biji-biji itu berserakan di mana-mana. “Biji mahoni itu saya ambil, saya tanam, berkembang besar seperti ini,” ujarnya saat diwawancarai tim penulis di rumah rindang berpepohonan lebat di Jalan Pijer Podi Nomor 36, Simpang Pos, Medan.

Uniknya, ia juga membagikan bibit-bibit pohonnya secara gratis kepada masyarakat. Paris mengatakan bahwa tema-tema besar seperti global warming dan green life style tak  hinggap di benak lulusan SD ini. “Pohon mahoni besar itu sudah memberiku keteduhan saat tidur siang. Jadi, tergerak hatiku membibitkan bijinya, menanamnya, dan membagi-bagikan bibitnya kepada sebanyak mungkin orang”  (halaman 109).

Hasilnya, ia tercatat 3 kali mendapat penghargaan sebagai penyumbang pohon terbanyak. Anugerah tersebut diberikan oleh Gubernur Sumatera Utara dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia (RI). Ada pula sekitar 45 piagam berkaitan kiprahnya memperbaiki ekosistem, salah satunya Piala Kalpataru 2003.

Menjadikan hidup lebih bermakna juga dilakukan “Sang Pendobrak Jeratan Adat” bernama Johannes Barnabas Ndolu. Ia berjuang untuk tanah leluhurnnya di Rote Ndao NTT (Nusa Tenggara Timur). Sehingga masyarakat setempat bisa terbebas dari lilitan hutang turun-temurun. Dulu mereka begitu loyal menghamburkan uang demi sebuah ritual adat, padahal ada 130.000 warga Rote Ndao yang belum sekolah dan masih buta huruf.

Sebagai solusi John menggagas “Mahar” alias Tu’u Pendidikan. Ia ingin generasi muda Rote mengikuti jejak langkah Prof. Dr. Adrianus Mooy, mantan gubernur Bank Indonesia (BI) dan Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, yang pernah menjabat sebagai Rektor UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta. “Sekalipun sebagai ketua forum adat tidak mendapatkan gaji dari pemerintah, tetapi ini merupakan tugas mulia. Oleh sebab itu, saya ikhlas mengabdikan hidup saya bagi masyarakat Rote Ndao tercinta” (halaman 160).

Selanjutnya, Lies Koesbiono menyediakan “Panggung Dunia untuk Penyandang Cacat”. Berkat dedikasi Lies, ia memberi  kaum difabel ruang untuk mengembangkan bakat lewat Yayasan GR Siswa Terpadu. Alhasil, pertunjukan mereka sungguh naik panggung di dalam dan luar negeri. Sejak 1994, mereka pernah pentas di Surabaya, Medan, Padang, Cirebon, Bali, Bandung, dan Pontianak. Setahun berselang, mereka juga merambah mancanegara di Beijing, China (halaman 183).

Terakhir tapi penting, kisah Robin Lim yang menyelamatkan kaum ibu dan para generasi baru. Berawal dari kehilangan ketiga perempuan terdekatnya, ia tergerak menolong ibu-ibu yang akan melahirkan. Sudah banyak sekali pasien yang ditolongnya, ia rela menjual rumah dan harta bendanya di Amerika Seriakat sana. Kini Robin tinggal di Indonesia, tepatnya di Banjar Nyuh Kuning, Ubud, Bali.

Menurutnya, risiko kematian saat persalinan dan komplikasi kehamilan perempuan di Indonesia 300 kali lebih besar ketimbang perempuan di negara maju, mayoritas disebabkan oleh masalah finansial. Tidak sekadar bermanis kata, Robin Lim bersama stafnya memfasilitasi proses persalinan sehat tanpa biaya. Selain itu, lewat Yayasan Bumi Sehat, Robin juga mempromosikan kehamilan sehat, alami, dan nyaman, salah satunya dengan proses bersalin di dalam air (waterbirth).

Tiada mawar tanpa duri, satu kelemahan buku ini ialah pada bagian foto-foto karena masih hitam-putih. Alangkah baiknya, jika pada edisi cetak selanjutnya juga menampilkan versi berwarna.

Terlepas dari kelemahan tersebut, buku setebal 238 halaman ini sukses mendokumentasikan semangat 7 manusia berhati malaikat. Akhir kata, sepakat dengan pendapat Andy F. Noya, “Besar harapan saya cerita tentang para pahlawan dalam buku ini dapat mendorong Anda – apa pun pekerjaan Anda – untuk berbuat sesuatu yang berarti bagi masyarakat di sekitar Anda. Dengan demikian suatu hari nanti saya berharap tidak lagi melihat tayangan kekerasan di televisi. Tidak lagi melihat antarsesama saling membantai. Tidak lagi melihat rumah-rumah yang dibakar hanya karena perkara kecil, tidak lagi melihat bentrokan berdarah antarwarga, dan tak lagi melihat kejahatan merajarela. Semua itu akan berganti dengan semangat berbagi, semangat saling menolong, dan semangat saling mencintai antarsesama manusia. Dan perubahan itu berawal dari diri Anda…” Selamat membaca!

Januari 16, 2013

Optimalisasi Dana Abadi Pendidikan


Dimuat di Rubrik Peduli Pendidikan, SKH Kedaulatan Rakyat, Rabu/16 Januari 2013

Tahun 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyiapkan anggaran sebesar Rp 780 miliar untuk program beasiswa S-2 dan S-3. Dana tersebut diambil dari Dana Abadi Pendidikan (DAP) yang kini sudah mencapai Rp 16 triliun. Pada hemat penulis, alih-alih dipergunakan untuk beasiswa S-2 dan S-3, baik juga DAP  dipakai untuk menyediakan bacaan bermutu bagi anak didik.

Ada kisah nyata dari Diastri Satriantini. Ia  pengajar muda dari kota Pahlawan yang mendampingi Alfonsina Melsasail belajar menulis cerita anak (cernak). Foni, nama panggilan siswi kelas 5 SD Lumasebu Maluku Tenggara Barat (MTB) itu. Ia hendak mengikuti Konferensi Anak Indonesia (2011). Panitia di Jakarta akan memilih 36 anak dari seluruh kepulauan Nusantara. Seleksinya dilakukan dengan cara mengirim karangan ihwal kejujuran.

Semula Diastri meminta seluruh murid dari kelas 5 dan 6 SD di Desa Lumasebu, Kecamatan Kormomolin, MTB menulis cerita pendek. Ia mau menganalisis sejauh mana kemampuan mengarang mereka. Hasilnya, membuat geleng-geleng kepala. Banyak yang belum kenal format S-P-O-K, bahkan ada yang tak bisa berbahasa Indonesia.

Selain itu, karena tidak ada buku cerita dalam bentuk hard file (cetak), alumnus Hubungan Internasional (HI) UNAIR terpaksa mencetak sendiri (print) kumpulan cerita anak dari buku digital e-book. Kemudian,  ia membagikan kepada anak didiknya. Agar mereka bisa melihat contoh penulisan cerita yang tepat (Indonesia Mengajar 2, Bentang Pustaka 2012).

Indiana Jones dari Indonesia

Selanjutnya, masih lekat dalam ingatan kita ihwal perjuangan anak-anak di Banten menyambung nyawa untuk ke sekolah. Generasi penerus bangsa itu harus meniti jembatan kayu dengan mengandalkan seutas tali yang masih membentang.

Daily Mail, sebuah kantor media internasional yang berkantor di Inggris memublikasikannya ke seantero dunia. Mereka menyamakan para pelajar peniti jembatan maut itu dengan stuntman adegan berbahaya dalam film Indiana Jones.

Akhir kata, DAP ialah hak anak didik. Para guru dan dosen bisa mencari uang sendiri untuk melanjutkan studi tanpa perlu menengadahkan tangan minta beasiswa dari pemerintah. Dana Abadi Pendidikan niscaya lebih bermanfaat untuk menyediakan buku-buku bacaan bermutu, merenovasi bangunan sekolah, infrastruktur, dan fasilitas pendidikan yang masih memprihatinkan kondisinya, terutama di daerah pedalaman. Salam Pendidikan! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air, dan TK Pangudi Luhur Yogyakarta)


 

Januari 11, 2013

Mendidik Generasi Gadget


Dimuat di Bisik, Minggu Pagi, Minggu II Januari 2013

J. Sumardianta, Guru Sosiologi di SMA Kolese de Britto, Yogyakarta berseloroh, "Ketika baru lahir pun anak zaman sekarang sudah berkalung HP." Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi berpengaruh pada mentalitas anak didik.

Analoginya ibarat speed boat, cepat meluncur di permukaan air. Padahal untuk mencecap kedalaman makna perlu menggunakan kapal selam. Sehingga, kecenderungan serba cepat, mau instan perlu diimbangi dengan filosofi alon-alon waton kelakon (pelan-pelan tapi pasti).

Tesis ini selaras dengan hasil pengamatan Prof. Paul Suparno SJ. Menurut pakar pendidikan Universitas Sanata Dharma (USD) tersebut, kita para guru harus menyediakan alternatif pola pembelajaran. Alhasil, siswa memiliki kebebasan memilih metode yang mereka sukai.

Mengacu pada teori Howard Gardner ihwal Multiple Intelligence misalnya, anak tipe visual suka dengan aneka warna dan gambar. Sehingga presentasi menggunakan power point lebih menarik dan tepat kena. Sedangkan anak dengan tipe auditory lebih nyaman belajar sembari mendengarkan musik instrumental. Seperti alunan simfoni Mozart, Beethoven, dll. Metode ini terinspirasi pula dari penelitian dr. Masaru Emoto. Bila anak mendengarkan musik yang ketukannya 50-60 kali permenit, 70% molekul air (H2O) dalam tubuh akan merespons secara positif.

Selanjutnya, anak-anak generasi gadget juga perlu diajak bersosialisasi, melakukan eksperimen bersama dan berefleksi. Dalam arti, berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat dan prinsipil.  Romo Magnis Suseno membagi klasifikasi tanya-jawab seturut cakupan waktu. Pertanyaan mengacu ke masa depan. Sedangkan jawaban menilik ke masa silam (Pendidikan Nasional Arah Ke Mana?, 2012).

Terakhir tapi penting, kemampuan wiweka anak pun perlu dilatih. Kenapa? Karena saat ini akses informasi begitu mudah diperoleh. Sehingga yang terjadi bukan kurang materi tapi justru kebanjiran topik bahasan. Sikap kritis ibarat sebuah saringan tepung. Tak semua informasi penting dan benar. Semua perlu ditelaah dengan bijak. Nah…peran guru lebih sebagai teman diskusi, tempat sharing untuk temukan solusi terbaik. (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) http://www.angon.org/ Yogyakarta)

Antologi Dongeng untuk Anak

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/11 Januari 2012
http://mjeducation.co/antologi-dongeng-untuk-anak/
 
13578241061564360207

Judul: Kumpulan Dongeng Motivasi (Stories of Great Virtue)
Penulis: Arleen Amidjaja dkk
Ilustrator: Sherly Gunawan dkk
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Cetakan: 1/Juni 2012
Tebal: iv + 200 halaman
ISBN:  979-974-906

Dewasa ini buku-buku bergenre self help bermunculan ibarat cendawan di musim hujan. Tapi dapat dihitung dengan jari buku yang memuat dongeng motivasi anak. Apalagi yang ditulis dengan dua bahasa (bilingual), yakni Indonesia dan Inggris. Jadi seperti kata pepatah, sekali mendayung dua pulau terlampaui, dengan membaca/dibacakan buku ini, sejak dini buah hati dapat belajar nilai-nilai budi pekerti sekaligus mengasah kemampuan verbal.
Stories of Great Virtue dilengkapi dengan ilustrasi gambar aneka warna pula, sehingga memudahkan pemahaman si kecil menangkap pesan cerita. Terdiri atas 10 dongeng  dari negeri antah-berantah, yang sejatinya cerminan dinamika sehari-hari manusia. Nilai-nilai keutamaan hidup termaktub di dalamnya. Kisah pembuka berjudul “Jujurlah dalam Segala Hal (Be Honest!) (halaman 1)”  dan dipungkasi dengan “Bersyukurlah Senantiasa (Be Grateful!) (halaman 181).”

Dalam bab “Berusahalah dengan Gigih” (Be Persistent!) misalnya, Arleen Amidjaja dan Antonius Agung Pranoto berduet mengisahkan perjuangan peri kecil bernama Fila. Sejak lahir, ia memiliki kelainan bawaan karena sepasang sayapnya terlalu mini, sehingga ia kesulitan untuk bisa terbang tinggi.

Tatkala hendak mendaftar ke sekolah formal, Fila ditolak mentah-mentah. “Maaf kami hanya menerima murid yang memenuhi standar kami,” ujar Bu Guru para bangsa peri (halaman 63). Peri-peri sebaya lainnya menyaksikan penolakan tersebut, mereka pun beramai-ramai mengejek Fila.

Hebatnya Fila, si peri bersayap mungil itu tetap tabah dan berbesar hati. Keesokan hari, ia datang lagi ke sekolah. Kali ini tidak mendaftar menjadi murid, melainkan sebagai petugas kebersihan (cleaning service). Karena tidak ada peraturan yang melarang peri bersayap cacat bekerja di sana, akhirnya ia diterima sebagai tukang sapu.

Proses belajar Fila nan unik pun dimulai. Sembari menyapu dan mengepel lantai koridor sekolah,  ia mengintip dari jendela ihwal teori terbang yang diajarkan para guru di kelas. Kemudian, saat peri-peri lainnya berlatih di lapangan, ia juga mengamati setiap gerakan kepakan sayap mereka secara seksama. Sepulang sekolah, saat sudah mulai sepi, ia belajar seorang diri. Selain itu, Fila juga berangkat lebih pagi, sehingga bisa berlatih sekali lagi tatkala para murid lainnya belum datang ke sekolah.

Ironisnya, ketika peri-peri lain sudah bisa terbang setinggi semak-semak, Fila  belum bisa melayang se-inci pun di atas tanah. Tapi ia terus gigih berlatih siang dan malam. Saat peri-peri lain sudah bisa terbang setinggi pohon, Fila baru bisa melayang setinggi semak-semak. Baginya, yang penting tetap ada kemajuan walau perlahan (alon-alon waton kelakon). Kendati demikian, peri-peri lain tetap memandang rendah Fila. Mereka menganggapnya seperti anak bawang, sehingga tak masuk dalam perhitungan.

Namun tibalah saat paling mendebarkan. Seorang peri muda terperosok ke dalam lubang yang dalam dan sempit. Kucing liar musuh bebuyutan bangsa peri menggali perangkap maut itu. Tak ada peri-peri lain yang bisa masuk ke lubang itu. Kenapa? karena rentangan sayap mereka terlalu besar dan lebar.

Kemudian tanpa diminta, syahdan Fila meloncat masuk tanpa ragu. Hanya dalam hitungan detik, ia berhasil menyelamatkan peri muda itu lolos keluar lubang sebelum si kucing datang menyergap. Ternyata, sayap mungilnya tetap berfungsi dengan baik walau berada di dalam lubang sempit sekalipun. Sejak saat itu, tiada lagi orang yang memandang remeh Fila. Kegigihannya selama ini berbuah manis.
Sederhana

Karena diperuntukkan bagi anak-anak, gaya bahasa dalam buku ini sangat sederhana, sehingga mudah sekali dipahami. Ada juga kisah seorang raksasa baik hati, namanya Gigi. Semula warga desa takut kepadanya. Tapi karena ia suka menolong dan membalas caci-maki dengan kebaikan, akhirnya Gigi diterima sebagai bagian dari keluarga besar mereka (halaman 39).

Sebenarnya dengan kekuatannya Gigi bisa menghancurkan seisi desa. Tapi ia lebih ingin bersahabat dengan bangsa manusia. Gigi sudi menjadi seorang baby sitter (pengasuh bayi), membantu warga menyeberang sungai yang ambrol jembatannya, mengeringkan jemuran pakaian dengan cara meniupnya, dan membuat bendungan penangkal banjir.

Tatkala menceritakan pengalaman tersebut kepada raksasa lain yang tinggal di atas gunung, Gigi ditertawai. “Mengapa kamu berbuat baik pada mereka? Mereka toh pernah berbuat buruk padamu. Jika aku jadi kamu, aku akan menghukum dan meluluhlantakkan seluruh isi desa.” Namun Gigi tak terpengaruh, ia yakin bahwa sekeras apapun hati seseorang bisa diluluhkan dengan tetesan air kebajikan nan tulus.

Pada setiap akhir cerita, penulis selalu menyelipkan wejangan kehidupan, sebagai benang merah dari rangkaian cerita sebelumnya. Misal pada bab “Setialah pada Janji (Be Loyal!) (halaman 60)”. Apakah arti menjadi setia? Menjadi setia artinya memberi dukungan kepada seseorang walaupun sulit. Teguh memegang janji yang telah kita buat, tidak pernah mengecewakan seseorang walau dalam keadaan sulit sekalipun.

Ada juga kisah tentang suksesi kepenyihiran. Fadra seorang penyihir kondang. Ia memiliki 2 orang murid, namanya Idri dan Odra. Karena Sang Guru semakin renta, ia hendak mencari penerus dari kalangan muda. Saat itu jabatan penyihir memang sangat penting. Mereka membantu warga desa memperbaiki atap yang bocor, mencari perabot yang hilang atau terselip dan aneka pekerjaan berguna lainnya, sehingga warga desa sangat menghormati para penyihir.
Romantis

Buku ini juga dibumbui dengan kisah romantis. Adalah seorang putri duyung bernama Sisi dengan Pangeran tampan dari Kerajaan Laut.  Daya tarik Sisi tidak semata secara fisik, tapi lebih pada inner beauty (kecantikan batin).

Sisi menjahit sendiri gaun malam untuk pesta dansa. Sisi memahat sendiri kerajinan ukiran kerang yang hendak dijadikan hadiah untuk Sang Pangeran. Sedangkan, putri-putri duyung lainnya cenderung malas dan mencari jalan pintas. Mereka cukup membelinya di butik dan toko souvenir kerajinan tangan.

Selain itu, tatkala putri-putri duyung lainnya beramai-ramai mengecat kuku-kuku mereka, Sisi justru asyik duduk diam membaca sendirian. Ia mencari buku-buku di perpustakaan, terutama yang terkait dengan sejarah kerajaan mereka, sehingga ketika berjumpa dengan Sang Pangeran, ia relatif memiliki cukup banyak materi pembicaraan. Alhasil, Sang Pangeran jatuh hati dan melamarnya menjadi permaisuri.

Tiada mawar tanpa duri, begitu pula buku ini. Alangkah lebih baik jika penulis juga menggali khasanah kearifan lokal. Cerita rakyat dari kepulauan Nusantara dapat dijadikan sumber referensi berharga karena memuat nilai-nilai keutamaan yang universal pula, misalnya kisah Malin Kundang, Dayang Sumbi, Timun Mas, dll.

Tokoh penyihir, raksasa, peri, putri duyung, dll terasa asing di telinga kita. Dalam konteks ini, perlu ada akulturasi dengan konteks Indonesia, semisal dalam bentuk wayang. Sukses (Alm) R.A Kosasih mengadaptasi kisah Ramayana dan Mahabarata dari India secara njawani dapat menjadi contoh nyata.

Terlepas dari kelemahan tersebut, buku setebal 200 halaman ini dapat menjadi pegangan bagi orang tua, pendidik, dan siapa saja yang peduli pada perkembangan generasi penerus bangsa. Tak hanya berkembang secara fisik tapi juga matang aspek mental, sosial dan emosionalnya.

Aktivitas mendongeng di kelas, di bawah pohon, di pos ronda, ataupun di rumah sendiri menjelang tidur dapat kembali digencarkan. Nilai-nilai budi pekerti memang sangat efektif disampaikan lewat media cerita. Selain menarik, juga jauh dari kesan menggurui. Sehingga dapat lebih mudah dicerna anak didik dan buah hati tercinta. Selamat membaca dan mendongeng!

Januari 04, 2013

Kasus Kontroversial Jaksa Nakal, dari Bambu sampai Tuntutan Palsu


Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Trimargono SH memancing kontroversi. Ia menuntut 2 terdakwa kasus pemotongan bambu tumbang Budi Hermawan (28) dan M Misbachul Munir (21) dengan hukuman bui satu bulan. Budi dan Munir dinilai JPU terbukti melakukan kekerasan terhadap barang. Sungguh ironis karena menurut kesaksian warga Desa Tampingan, Kecamatan Tegalrejo, keduanya justru berniat membantu warga yang rumahnya tertimpa pohon bambu tumbang.

Kendati demikian, dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (2/1/2012) silam, Trimargono tetap bersikukuh keduanya terbukti melakukan tindak pidana, “Kedua terdakwa kami nilai terbukti bersalah. Kami meminta majelis hakim menghukum selama satu bulan penjara dikurangi masa tahanan.”

Kadus Tampingan 1 Zazin memohon agar JPU tidak menuntut terdakwa satu bulan penjara. “Kami undang Trimargono untuk datang ke desa kami. Silahkan melihat sendiri fakta di lapangan, jangan hanya berdasarkan laporan saja. Dia sama sekali belum pernah melihat TKP. Silahkan melihat desa kami,” katanya (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/01/03/210590/Sidang-Bambu-Berakhir-Ricuh )

Pada hemat penulis, proses demokratisasi berbanding lurus dengan independensi lembaga kejaksaan. Investigasi khusus PBB (2002) menyatakan bahwa kemandirian para jaksa Indonesia paling buruk di dunia  (news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/2147019.stm). Rinciannya dapat dibaca di www.humanrights.asia/resources/journals-magazines/article2/0502/report-on-visit-to-indonesia-by-the-un-special-rapporteur-on-the-independence-of-judges-and-lawyers).

Tenyata ada oknum jaksa “hanky-panky” yang menjalankan profesinya secara korup, sarat intervensi, dan “hobi” menerima suap. Alhasil, ibarat kata pepatah akibat nila setitik rusak susu sebelanga, seluruh Korps Kejaksaaan dari Sabang sampai Merauke pun tercemar karena ulahnya.

Dua acungan jempol untuk Jaksa Agung Basrief Arief karena berani melakukan otokritik. Basrief Arief secara terbuka membeberkan jumlah personil yang dihukum sepanjang 2012. Totalnya ada 188 jaksa dan 109 pegawai Tata Usaha (TU). Total ada 15 orang jaksa dibebaskan dari jabatan fungsional jaksa, 17 pegawai TU dan dua orang jaksa dibebaskan dari jabatan struktural, 14 pegawai TU dan 8 jaksa dipecat.  Sebanyak satu pegawai TU dan 5 Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS (http://www.beritasatu.com/hukum/89665-delapan-jaksa-dipecat-sepanjang-2012.html)

Tuntutan Palsu
 
Yang paling heboh tentu kasus Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha Berliana Tobing. Martha telah melancarkan tuntutan palsu. Ia memasukkan kasus merek orang lain di Jawa Barat dalam berkas kasasi Anand Krishna. Andi Saputra menemukan kejanggalan dalam putusan kasasi MA terhadap Krishna Kumar Tolaram Gangtani alias Anand Krishna (56) itu. Dalam amar memori kasasi, JPU mencantumkan kasus pidana merek sebagai salah satu alasan kasasi.

Seperti termaktub dalam salinan putusan Anand Krishna yang diunduh Detikcom dari situs resmi MA (Rabu, 14/11/2012), pada halaman 38 muncul pertimbangan JPU mengajukan kasasi sbb:

“Bahwa sebagai bukti bagi Judex Juris tentang tidak pedulinya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap fakta hukum yang tertuang dalam tuntutan pidana kami dapat dilihat dari putusan yang dibuat oleh Judex Facti Nomor 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 yang tidak secuil pun menyinggung tuntutan pidana kami sehingga dengan demikian sungguh cukup beralasan demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum untuk menganulir putusan Nomor 20/Pid/2006/PT/Bdg tanggal 21 April 2006 yang dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat.”

Ternyata nomor perkara 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 adalah sengketa pidana merek. Dalam berkas perkara MA tersebut, duduk sebagai terdakwa Erik Mulya Wijaya. Erik didakwa atas perbuatan yang melanggar pasal 24 ayat 1 UU No 5/1984 tentang Perindustrian. Di tingkat kasasi, Erik dihukum 2 tahun penjara karena menggunakan merek yang sama dengan merek yang terdaftar milik pihak lain.

Anehnya, alasan kasasi JPU dalam perkara Anand Krishna ternyata muncul dalam salinan putusan Anand Krishna. Dalam salinan putusan Anand Krishna tersebut tertulis Panitera Pengganti adalah Dulhusin dan Panitera Muda Pidana MA Machmud Rachmi. Pertanyaannya, mengapa bisa muncul pertimbangan pidana merek versi JPU Martha Berliana? Kenapa pula Hakim Agung Sofyan Sitompul, salah satu anggota majelis kasasi MA yang menangani kasus Anand Krishna menyetujuinya? (http://news.detik.com/read/2012/11/14/100955/2091191/10/astaga-jaksa-pakai-kasus-pidana-merek-untuk-kasasi-anand-krishna)

Mahfud MD pun berpendapat bahwa kecerobohan semacam itu sudah menjadi modus operandi. Ada juga vonis seseorang dalam pidana umum yang pertimbangannya menggunakan kasus korupsi. Tragis bukan?

Dunia Memantau
 
Kedatangan pengacara dari Komisi Hukum Internasional Sir John Walsh dan Sekretaris Lewis Montaque menunjukkan bahwa sistem hukum nasional sedang berada dalam titik nadir. Sebab di seluruh dunia, putusan bebas tak bisa dikasasi oleh seorang jaksa. Tapi kenapa ada pengecualian untuk kasus Anand Krishna di Indonesia?

Kini Open Trial UK fokus menyoroti kejanggalan kasus baik secara formal acara maupun materi yang menimpa aktivis spiritualis lintas agama tersebut http://www.opentrial.org/legal-dysfunction/item/162-the-intriguing-case-of-anand-krishna-in-indonesia.

Open Trial
didirikan oleh Frank Richardson dengan motto “Seeing Justice Done”. Tujuannya untuk melawan secara sistematis ketidakadilan lembaga hukum yang bobrok lewat transparansi dan akuntabilitas. Caranya dengan mengadopsi metode lexpose, monitoring peradilan, dan mengungkap kedok oknum korup yang menggerogoti sistem yudisial.

Kemudian, Vishva Hindu Parishad atau Dewan Hindu Dunia juga mengirimkan surat resmi kepada Presiden Republik Indonesia (RI), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disampaikan kepada Kedubes RI di New Delhi. Dalam surat yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen)-nya, Swami Vigyananand meminta agar, “Otoritas Indonesia yang terkait untuk segera mengambil langkah-langkah untuk menegakkan dan memulihkan kebebasan Anand Krishna.”

Swami Vigyananand menandaskan agar para penjahat - termasuk oknum-oknum penegak hukum yang bertanggung jawab telah merongrong Hak Asasi Manusia (HAM) Anand Krishna - harus dituntut dan dijatuhi hukuman. Sehingga tidak ada orang lain lagi yang berani mengulangi (kejahatan) serupa di masa depan.

Vishva Hindu Parishad merupakan salah satu organisasi Hindu terbesar di dunia dan sangat berpengaruh secara politik di India. Organisasi ini didirikan tahun 1964 dan berpusat di New Delhi. Cabangnya ada di berbagai negara termasuk di Amerika Serikat (AS).

Sebelumnya lembaga internasional lain, Humanitad dan Natural World Organization (NWO) juga menunjukkan dukungan untuk Anand. Pendiri Humanitad, Sacha Stone yang juga Executive Director Program Millenium Development Goal (MDG) kala itu mengingatkan, “Ketika hukum telah dilecehkan, dan ketika integritas mereka-mereka yang bertanggung jawab untuk menegakkan hukum malah diragukan, maka adalah tanggung jawab setiap orang untuk membantu menegakkan hukum. Jika kita ingin mempertahankan kebebasan manusia yang paling sakral.”

Ada TTS Saat Sidang?

Attitude is a little thing that makes a big difference. Sikap ialah hal kecil yang membuat perbedaan besar. Begitu tandas Winston Churchill (30 November 1874 – 24 Januari 1965). Alkisah, M Irfan, pewarta foto harian Media Indonesia secara jeli berhasil mengabadikan seorang anggota DPR sedang menikmati film porno via Galaxy Tab saat sidang paripurna di Gedung Parlemen (8/4/2011). Anggota DPR tersebut bernama Arifinto. Aneka tanggapan negatif muncul terkait tindakan anggota DPR RI dari komisi 5  itu.

Ironisnya, peristiwa memalukan semacam itu kembali terjadi. Kali ini pelakunya ialah Jaksa Martha Berliana. Selain suka datang telat dan tidur saat sidang, ia juga tertangkap kamera mengisi TTS (Teka-Teki Silang) pada sidang Anand Krishna tanggal 15 November 2011 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Pada hemat penulis, kalau suka mengisi TTS silakan, toh itu hak dan selera pribadi. Tapi kenapa harus saat bersidang? Simak videonya yang sudah menyebarluas di http://www.youtube.com/watch?v=5Jd9kzwt8-E. Bukankah pejabat publik dibayar dengan uang pajak hasil keringat rakyat? Kami menggajimu bukan untuk mengisi TTS saat sidang.

Kelalaian fatal JPU Martha Berliana Tobing di atas menjadi tamparan keras bagi korps kejaksaan. Karena Kejaksaan Agung dan jajaran di bawahnya di daerah tengah melakukan pembenahan internal. Kendati demikian, di balik setiap kejadian, selalu ada hikmah yang bisa dipetik. Inilah momentum untuk becermin dan membersihkan diri, sekaligus menunjukkan konsistensi  Jaksa Agung Basrief Arief untuk menindak oknum jaksa nakal yang melanggar sumpah jabatan dan mengkhianati amanah penderitaan rakyat.

Pungkasnya, tahun 2013 bukan lagi zamannya semangat esprit de corps (kebersamaan satu korps) untuk menutup-nutupi tindakan tidak terpuji. Esprit de corps seyogianya diabdikan demi hal-hal yang lebih positif, produktif, dan proporsional sesuai dengan fungsi lembaga penegakan hukum di Indonesia. Salam keadilan!

13573506071431875011

Januari 03, 2013

Harga Mati Itu Bernama Rekonsiliasi

Dimuat di Tabloid Bola, Kamis-Jumat/3-4 Januari 2013
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi BOLA

Oposan - Tahun 2012 telah menjadi silam, ditandai dengan ritus pergantian kalender di rumah masing-masing. Setahun penuh lembar sejarah pesepakbolaan nasional dinodai kisruh antara PSSI dan KPSI. Kedua belah pihak bersikukuh dengan ego yang menjulang. Alhasil, prestasi timnas Merah-Putih anjlok. Tim Garuda kurang bertaji, walau hanya berlaga di kancah Asia Tenggara (AFF) sekalipun. Pertanyaannya, adakah semangat rekonsiliasi di tahun 2013 yang baru ini?

Mari sejenak kita urai akar dualisme kompetisi, klub, dan timnas di tanah air. Awalnya, publik menuntut Nurdin Halid lengser. Lantas, muncul kelompok K-78 yang mengusung Djohar Arifin Husein sebagai kandidat suksesor. Tapi paska terpilih, ia melanggar statuta, terutama terkait penentuan peserta liga IPL. Kongres PSSI semula menetapkan ada 18 kontestan, sebagai kelanjutan kompetisi ISL terdahulu. Tapi kemudian keputusan itu diubah secara sepihak menjadi 24 tim.

Akhirnya, kelompok K-78 yang dimotori La Nyalla Mattalitti pun meradang. Mereka menggelar kompetisi tandingan dan menggagas berdirinya Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). Alih-alih mencair, semakin lama konflik KPSI versus PSSI kian panas. Hingga berbuntut pada dualisme yang notabene menggembosi kekuatan timnas kebanggaan kita bersama.

Padahal gelaran paling dekat ialah ajang kualifikasi Piala Asia 2015. Indonesia berada di grup yang relatif berat. Kita harus bersaing ketat dengan Irak, Arab Saudi, dan China. Mereka itu tim-tim besar yang memiliki materi pemain berkualitas, tradisi, dan mental juara. Berdasar jadwal yang dirilis Konfederasi Sepak bola Asia, pada pertandingan pertama timnas akan bertandang ke markas juara Piala Asia 2007, Irak pada 6 Februari 2013 mendatang.

Dalam konteks ini, rekonsiliasi menjadi harga mati. Setidaknya dengan komposisi pemain gabungan dari kompetisi ISL dan IPL, kita bisa memberi perlawanan berarti. Tanpa bermaksud meremehkan, jika nekad bertarung dengan timnas yang saat ini diakui AFC dan FIFA, Indonesia bisa menjadi lumbung gol.

Otoritas sepakbola tertinggi dunia FIFA memang memerpanjang tenggat sampai Maret 2013 mendatang. Semula deadline PSSI dan KPSI untuk berdamai jatuh pada tanggal 10 Desember 2012 lalu. Untungnya, Zhang Jiong (Pelaksana Tugas Presiden AFC) berhasil melobi FIFA. Jadi menyitir pendapat Sarman El Hakim, “Indonesia lolos dari sanksi FIFA bukan atas jerih payah tim task force.” (Suara Merdeka: 30 Desember 2012).

Lebih lanjut, Ketua Masyarakat Sepak Bola Indonesia (MSBI) Pusat tersebut memaparkan rasionalisasinya. Ternyata beberapa bulan lagi akan digelar pemilihan Presiden AFC. Andai Indonesia dikenai sanksi FIFA, otomatis hak suara kita  hangus. Nah…kesempatan itu dipakai Zhang Jiong untuk membantu Indonesia. Harapannya, ketika pemilihan berlangusng, Indonesia sudi membalas budi.

Energi Perubahan

Menurut Anthony Giddens, ada 3 kekuatan yang menopang kehidupan sebuah negara. Komponen tersebut ialah pemerintah (state), pihak swasta (private), dan gerakan civil society (masyarakat madani). Sama halnya dalam sepak bola, jika menanti intervensi pemerintah ibarat pungguk merindukan bulan. Pembiaran oleh pemerintah (omission by state) masih terus berlanjut sampai detik ini. Selain itu, kepentingan politis dan bisnis begitu dominan menghegemoni ruh fair play yang seyogianya mengemuka di lapangan hijau.

Pada hemat penulis, guna menemukan solusi atas dualisme sepak bola Indonesia, kekuatan rakyat (people power) perlu lebih dioptimalkan. Konkritnya, harus ada gerakan massa(l) seperti saat kita menggulingkan Nurdin Halid. Tapi belajar dari pengalaman, sepak bola harus dijauhkan dari kepentingan sempit dan egoistik. Sebab raison d’etre PSSI yang digagas mendiang Ir. Soeratin ialah alat perjuangan untuk mempersatukan bangsa dari Sabang sampai Merauke dan mengharumkan nama Ibu Pertiwi di dunia internasional.

Alkisah, Soeratin melakukan pertemuan marathon dengan tokoh sepak bola pribumi di Solo, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, dan Bandung. Pertemuan itu diadakan secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari sergapan Intel Belanda (PID). Pada 19 April 1930, beberapa tokoh dari berbagai kota di Indonesia berkumpul di Yogyakarta. Mereka semua bersepakat mendirikan PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia).
 
Istilah “sepakraga” kemudian diganti dengan “sepakbola” dalam Kongres PSSI di Solo pada 1950. PSSI mulai melakukan kompetisi secara rutin sejak 1931. Hebatnya, ada instruksi lisan yang diberikan kepada para pengurus inti tatkala kita bertanding melawan klub Belanda, “Kalian harus menang!” Alhasil, Soeratin menjadi ketua umum organisasi ini 11 kali berturut-turut.

Tapi kesibukan mengurus PSSI menyebabkan Soeratin terpaksa keluar dari perusahaan Belanda tempat ia bekerja. Lantas, ia mendirikan usaha sendiri (enterpreneuship). Paska  Jepang menjajah Indonesia dan perang revolusi kemerdekaan berkecamuk, kehidupan ekonomi Soeratin menjadi semakin sulit. Rumahnya pun diobrak-abrik militer Belanda. Ia kemudian terjun menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR)  dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel (Letkol) (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Soeratin_Sosrosoegondo).

Akhir kata, energi perubahan itu bersifat netral. Alih-alih menggunakannya untuk berkonflik internal lebih baik dimaksimalkan guna mengelola pembinaan usia dini, kompetisi reguler, klub profesional, dan last but not least timnas yang solid. Bravo sepakbola Indonesia! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) Yogyakarta dan Pecinta Timnas Garuda)

Ir. Soeratin Sosrosoegondo (17 Desember 1898 – 1 Desember 1959)
Sumber Foto: Kamus Wikipedia Indonesia