Juni 29, 2013

Gerobak Sapi sebagai Kekuatan Budaya Kaum Tani, Liputan Festival Gerobak Sapi 2013 di Yogyakarta

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu/29 Juni 2013

Zaman terus bergulir, sarana transportasi pun kian berkembang pesat. Kini keberadaan gerobak sapi tergantikan oleh “kuda menggigit besi” alias truk atau pick up. Masyarakat modern jarang menjumpai gerobak sapi yang terbuat dari kayu, beratap anyaman daun aren, dan beroda kayu yang dibalut plat besi. Padahal sejatinya, gerobak sapi kendaraan yang ramah lingkungan dan tak butuh BBM (bahan bakar minyak). Kotoran sapinya pun bisa dijadikan pupuk organik untuk tanaman.

Dulu gerobak sapi sempat menjadi andalan alat angkut hasil bumi kaum petani. Tak jarang, para petani memasarkan produknya sampai ke luar kota. Perjalanan menuju tempat tujuan memakan waktu lama. Bahkan mereka sampai harus bermalam dan tidur di dalam gerobak. Para petani tak takut pada gelap dan dingin udara malam yang menusuk. Semua dilakukan untuk menafkahi keluarga di rumah.

Tapi tak hanya hujan, dingin malam, dan terik panas mentari yang dihadapi oleh para penarik gerobak sapi tersebut. Perampok bisa sewaktu-waktu muncul dan merampas seluruh hasil bumi mereka. Tak semua petani memiliki nyali untuk melawan sehingga mereka menyewa orang-orang yang berani dan jago berkelahi untuk mengamankan gerobak sapi. Orang-orang tersebut dijuluki bajingan. Maka tak heran kalau sampai sekarang sopir gerobak sapi tetap dipanggil bajingan.

Begitulah penjelasan dari Teguh Budianto selaku Dukuh Malangrejo, Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak dalam kata sambutan acara Festival Gerobak Sapi Rakyat Tani 2013,  Minggu (16/6) pukul 09.00 WIB - 14.00 WIB di utara kompleks Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Menurutnya, setahun terakhir banyak bermunculan kembali gerobak sapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kendati demikian, roda-rodanya sudah dimodifikasi dengan ban bekas mobil. “Setiap Minggu Wage, di lapangan Jangkang, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, sejak pagi hingga siang bisa disaksikan puluhan gerobak sapi berkumpul. Mereka saling memamerkan gerobaknya dan bertransaksi jual-beli gerobak serta sapi,” imbuhnya lagi.

Teguh Budianto mengatakan bahwa fenomena kelahiran kembali gerobak sapi itulah yang ditangkap oleh pemuda Karang Taruna Pedukuhan Malangrejo sebagai potensi sosiokultural yang bernilai tinggi. “Karenanya patut diapresiasi sebagai suatu usaha penggalian warisan budaya rakyat tani Jawa. Kami semua para bajingan adalah kaum tani. Gerobak sapi merupakan salah satu kekuatan budaya kami,” ujarnya di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.

Tatkala ditanya apakah tujuan dari Festival Gerobak Sapi Kaum Tani 2013 ini, Teguh Budianto menjelaskan dua poin. Pertama, untuk merevitalisasi keberadaan dan keberfungsian gerobak sapi. Sehingga dapat menggalakkan kembali moda transportasi tradisional kebanggaan kaum tani. Kedua, untuk menggali kembali daya-daya hidup dalam kebudayaan kaum tani. Sehingga dapat mengembangkan potensi, mengatasi masalah, serta mewariskan kepada generasi muda demi keberlanjutan hidup bangsa Indonesia.

Acara selanjutnya pawai gerobak sapi, ratusan bajingan dari Yogyakarta dan Jawa Tengah telah bersiap di atas kemudinya masing-masing. Mereka akan berkeliling dari Maguwoharjo menuju perempatan Tajem, lantas berbelok ke utara menuju perkebunan anggrek, lantas berbelok ke barat hingga akhirnya kembali ke selatan lagi berkumpul di lapangan sisi utara stadion sepakbola kebanggaan warga Sleman tersebut.

Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X berkenan mengibarkan bendera start. Ribuan penonton memadati sisi kiri dan kanan jalur yang akan dilewati rombongan pawai gerobak sapi aneka warna tersebut. Walau panas matahari menyengat ubun-ubun tak menyurutkan antusiasme mereka menyaksikan secara langsung alat transportasi andalan kaum tani tersebut.

Begitu bendera start dikibarkan oleh Ngarso Dalem, iring-iringan ratusan gerobak sapi bergerak perlahan keluar dari areal lapangan menuju jalan raya. Ada gerobak yang hanya ditarik satu sapi, tapi lebih banyak yang ditarik dengan dua ekor sapi. Suara gemerincing lonceng yang menggantung di leher sapi menambah meriah suasana. Aneka hasil bumi digantungkan sebagai aksesoris utama gerobak sapi. Ada padi, jagung, pete, nanas, dll. Ratusan juru foto tak mau melewatkan kesempatan langka untuk mengabadikan prosesi unik tersebut.

Sembari menanti para bajingan kembali ke lapangan beserta gerobak-gerobak sapinya, para penonton dihibur dengan aneka atraksi. Misalnya, pentas musik live dari grup band Low Budget, vokalisnya Krishna Encik, rektor Folks Mataram Institute (FMI) yang berambut gimbal. Mereka menyanyikan lagu-lagu ciptaan sendiri, salah satunya jingle Gerobak Sapi berirama etnik khas pedesaan. Selain itu, Paguyuban Karawitan Puspita Laras juga mendinginkan suasana panas siang itu dengan alunan gamelan. Di tengah lapangan tampak pula seekor sapi ditambatkan pada sebuah tiang. Beberapa seniman lukis seperti Bambang Herras dkk menggambari tubuh putih si sapi dengan pewarna yang biasa dipakai untuk mewarnai makanan.

Sajian paling heboh ialah tarian Jathilan dari puluhan tentara KODIM 0734 Yogyakarta. Mereka mengamuk memakan semangka dan menari liar sejadi-jadinya. Tapi begitu keluar Kelompok Tari “Poco-poco” dan “Gangnam Style” situasi kembali ger-ger-an. Bayangkan tentara mengenakan celana doreng, tapi atasannya memakai surjan coklat. Lantas, mereka menari poco-poco dan melonjak-lonjak ala gangnam style. Seluruh rangkaian gerak dan tari itu diberi judul “Rakyat dan TNI bersatu membangun peradaban baru.”

Tak berapa lama kemudian, rombongan pawai gerobak sapi telah kembali memasuki areal lapangan. Saatnya dewan juri menilai masing-masing peserta. Mereka berkeliling mencermati setiap sudut gerobak sapi. Ketua panitia, Bowo Hasto Nugroho mengatakan bahwa penilaian berdasarkan pada standar orisinalitas gerobak.

Pada festival ini dipilih tiga orang pemenang. Masing-masing mendapat uang pembinaan, dan khusus juara satu ditambah trofi Gubernur DIY. Peserta berkesempatan pula mendapat hadiah kejutan (door prize) berupa alat-alat pertanian. Humas panitia, Muhammad Syaifullah mengatakan bahwa kali ini gerobak sapi bukan sekadar pelengkap, festival yang diikuti oleh 179 pendaftar tersebut sungguh-sungguh menjadikan gerobak sapi sebagai ikon utama.

Wawancara dengan Bajingan

Sambil menanti hasil penjurian, penulis sempat mewawancarai seorang bajingan alias sopir gerobak sapi. Pak Wardoyo telah menekuni profesi tersebut selama 10 tahun. Beliau berasal dari Paguyuban Langgeng Sehati, Kebon Dalem Lor, Klaten, Jawa Tengah.

Menurut Pak Wardoyo, bagian-bagian dari satu gerobak sapi sangat beragam. Misalnya di sekitar roda namanya gonjo dan embanan. Lantas, bagian penutup gerobak di bagian belakang disebut tepong. Ibarat sebuah rumah, fondasi gerobak sapi namanya watonan. Sedangkan empat tiang penyangganya disebut drajung. Atap gerobak namanya payonan. Bagian yang tak kalah penting di sekitar sapi penarik gerobak. Di sana ada cancatan, angkul-angkul, sambilan, raco, dan manukan.

Ketika ditanya berapa biaya untuk membuat satu gerobak sapi, Pak Wardoyo mengatakan bahwa itu tergantung bahan. Bisa dari kayu jati atau kayu nangka, kisaran biayanya mencapai Rp 10-15 juta. Sedangkan untuk harga sapi pun beragam, sapi jantan ukuran besar bisa ditawar Rp 50 juta per ekor. Tapi rata-rata sapi penarik gerobak berharga Rp 10-15 juta per ekor. Sebagian besar sapi-sapi tersebut didatangkan dari Kulon Progo, Yogyakarta.

Terakhir tapi penting, bagaimana perawatan sapi-sapi agar tetap sehat dan kuat menarik gerobak, Menurut Pak Wardoyo cukup dengan memberi makan secara teratur. Sehari minimal dua kali, yakni pada pagi dan sore. “Menu makan sapi antara lain batang padi (damen), jagung, dedek, dan parutan ubi. Semua bahan itu diberi air lantas diaduk sampai merata,” ujarnya.

Ketika penulis mengunggah salah satu foto gerobak sapi di Facebook, ada salah seorang teman berkomentar unik. Agustinus Risanta menceritakan pengalaman masa kecil seorang temannya, “Zaman dia masih remaja, teman saya itu suka sekali iseng mengganggu gerobak sapi. Saat gerobak sudah berjalan - saisnya yang di Yogyakarta disebut bajingan - tidur nyenyak karena sapi sudah hafal jalan dari rumah ke ladang. Di tengah perjalanan, remaja-remaja iseng itu menghentikan gerobak, lalu memutar arah kembali ke rumah. Sapi pun membawa gerobak pulang. Sampai di rumah, sang bajingan terbangun, ia terheran-heran kok malah sampai di rumah lagi?”

Akhirnya sekitar pukul 13.00 WIB, dewan juri mengumumkan hasil penilaian mereka lewat pengeras suara (TOA). Ratusan bajingan berdebar-debar dan mendengarkan dengan saksama. Juara III jatuh pada peserta no. 73 dengan total nilai 260, juara II jatuh pada peserta no. 49 dengan total nilai 265, dan juara I jatuh pada peserta no. 54 dengan total nilai 270. Juara pertama berhak mendapat uang pembinaan sebesar Rp 1,5 juta.

Anggi Minarni, salah seorang anggota dewan juri merefleksikan acara Festival Gerobak Sapi 2013 ini di status Facebook-nya, “Hari ini aku jadi juri Gerobak Sapi bersama Ons Untoro dan Anissa. Ini proyek dahsyat, 113 gerobak sapi berhias warna-warni pun tampil lugu. Ah lumayan masih ada transportation heritage yang bisa kita warisi. Sejuk di mata setelah mlenger melihat hotel dan mini market yang menjamur di Yogyakarta. Jempol untuk FMI dan Karang Taruna Pedukuhan Malangrejo!”

Senada dengan pendapat Sri Hermandjoyo Joseph, salah seorang pengunjung yang datang dengan keluarganya, “Dalam Festival Gerobak Sapi 2013 ini sapi tidak untuk dikorupsi, tapi sapi adalah bagian dari peristiwa budaya.”

Sumber Foto: Dok. Pri

Juni 28, 2013

Mengenal Lebih Dekat Drijarkara lewat Kumpulan Surat-suratnya

Dimuat di Majalah Pendidikan Online, Jumat/28 Juni 2013

Pada saat-saat terakhir ziarah kehidupan beliau, Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara, S.J (13 Juni 1913-11 Februari  1967) secara rendah hati mengakui bahwa almarhum tak paham “filsafat” tapi  hanya tahu “pilsapi.” Begitulah salah satu paparan dari Dr. G. Budi Subanar, S.J dalam diskusi publik dan launching buku “Kumpulan Surat Romo Drijarkara” pada Jumat 14 Juni 2013 silam dalam rangka Perayaan 100 Tahun Drijarkara di Hall Kampus Universitas Sanata Dharma, Mrican, Yogyakarta.

Romo Banar juga mengisahkan metode produksi teks ala Drijarkara. Caranya sungguh unik, yakni dengan membaca koran-koran bekas bungkus kacang. Dari situ para mahasiswa menemukan kasus tentang Papua, nah tulisan tersebut lalu dijadikan bahan diskusi bersama di kelas.

Hal tersebut menginspirasi Romo Banar untuk menghebusi juga kertas-kertas yang dianggap tidak berharga. “Saya pernah ikut menyunting karya lengkap Drijarkara, tapi ternyata belum lengkap. Lalu, saya mengumpulkan teks-teks berbahasa Jawa tulisan Romo Drijarkara yang dimuat di Majalah Praba edisi 1952-1956. Totalnya ada 153 teks. Tapi karena saya bukan dari bidang bahasa Indonesia, saya konsultasikan dengan Pak Rahmanto. Sampai akhirnya ketemu judulnya, yakni Pendidikan ala Warung Pojok. Segmen pembaca buku tersebut memang orang-orang yang suka greneng-greneng (berdiskusi) di warung pojok,” ujarnya.

“Buku Pendidikan ala Warung Pojok dicetak ulang beberapa kali. Bahkan oleh Depag (Departemen Agama) didistribusikan ke seluruh Indonesia. Resensinya pun pernah dimuat di Majalah Femina yang notabene segmennya kaum perempuan ibu kota,” imbuhnya lagi.

Dari pembacaan karya-karya Drijarkara selama ini, Romo Banar menangkap kegelisahan mendalam, yakni tegangan antara yang modern dan tradisional. Misalnya bom atom disejajarkan dengan apem, coca cola disejajarkan dengan wedang ronde, sepatu hak tinggi untuk kalangan elit disejajarkan dengan obat cacing untuk orang miskin, dst. Uniknya, Drijarkara selalu menempatkan pengalaman yang lokal lebih unggul.

Lantas, Romo Banar membacakan salah satu bagian dari buku Kumpulan Surat Romo Drijarkara yang berjudul “Kalifornia dan Kalireja” (halaman 89). Surat tersebut ditulis Drijarkara di St. Louis, Amerika Serikat pada tahun 1964:
“Mahasiswa yang berasal dari Kalifornia suka membanggakan daerahnya. Menurut pandangannya di seluruh U.S.A tidak ada wilayah yang lebih indah! Pantaslah daerah itu disebut Kalifornia-hadiningrat….Tapi tentulah kalah cantik sama Kalireja-hayuningrat! Demikianlah reaksi saya!

Nah, itulah kalau mau banggan! Di manakah letak Kalireja! Di daerah perang Diponegoro, di pegunungan Menoreh. Pada zaman Diponegoro namanya Kalibawang. Pembaca di Yogya, yang ingin tahu, saya persilakan melihat ke Barat. Pandanglah gunung Kucir, yang puncaknya tajam itu! Nah, dari situ naik terus, beberapa jam; maka sampailah kita di desa Kalireja; daerah panili dan cengkeh, daerah yang selalu hijau dan asri.

Di pelosok itu saya pernah merayakan Pekan Suci dan Paskah, beberapa tahun yang lalu. Paskah di tengah-tengah rakyat gunung itu sangat mengesankan; lebih mengesankan dari paskah di Roma! Itulah sebabnya, sekarang ini, menjelang Pekan Suci dan Paskah, Kalireja selalu terkenang-kenang!”

Homo homini socius

Sebelumnya, Prof. Dr. Muji Sutrisno, S.J juga mengatakan bahwa Romo Drijarkara memang selalu menulis surat untuk merefleksikan pengalaman sehari-hari. “Beliau seorang cendekiawan yang mengkritisi keadaan negeri dengan nurani Kristiani,” ujarnya.

Menurut Romo Mudji, Drijarkara seorang manusia Indonesia yang sudah sampai kepada kemanusiaan sebagai warga negaranya. Ia telah melampaui kekatolikan. Inti ajarannya sangat manusiawi, yakni mengajak homo homini lupus (manusia sebagai srigala bagi sesamanya) menjadi homo homini socius (manusia sebagai kawan bagi sesamanya). Dengan kata lain, Romo Drijarkara juga mengajak segenap insan untuk keluar dari “pembuayaan” menuju “pembudayaan”. “Ia sungguh seorang pemikir, perenung sekaligus pejuang untuk bangsa ini,” imbuhnya lagi.

Sanaha Purba, M. Hum sempat merasa lemas karena semua sudah terbahas oleh Romo Mudji. Oleh sebab itu, ia hanya mau melihat Drijarkara lewat pola penulisannya pada sebelum dan sesudah tahun 1962.

“Pasca 1960-an, situasi nasional memanas. Karena ada blok kanan dan kiri, PKI dan Partai Katolik. Uniknya, Romo Drijarkara justru sangat menyenangi klonengan, dagelan mataram, dan seni tradisi lainnya. Sehingga ketegangan antara dua kutub tersebut bisa cair dan ada filsafat dagelan-nya. Pola ini tak hanya diterapkan di dunia pendidikan tapi juga di rumah sakit,” ujarnya.

Menurut Sanaha, Drijarkara ingin lepas dari anggapan yang terlalu serius. “Ia kalau menghadapi para pemikir selalu dengan dagelan. Lantas, dari segi bahasa, beliau ngomong dalam banyak bahasa seperti Jawa, Belanda, Italia, Inggris, dll. Kalau hendak mengkritik orang asing memakai  bahasa Belanda. Tapi kalau menulis sesuatu yang serius memakai bahasa Jawa. Walau sudah sampai ke mancanegara, Drijarkara itu tetap tokoh yang ndeso. Dalam pandangan subjektif saya, beliau ingin selalu dekat dengan semua orang,” imbuhnya lagi.

Susilo Nugroho atau lebih dikenal dengan nama Den Bagus Ing Ngarso yang bertindak sebagai moderator menanggapi secara positif, “Kalau yang kecil dan sedikit itu didalami hasilnya lumayan. Generasi sekarang memang banyak yang tak kenal dengan Drijarkara, tapi itu bukan salah generasi muda, tapi salahnya angkatan di bawah Romo Drijarkara yang tak pernah memperkenalkannya.” Komentar tersebut sontak mengundang tepuk tangan dan sorak-sorai dari para peserta diskusi.

Giliran selanjutnya jatuh pada Trias Kuncahyono, seorang wartawan Kompas yang baru mendarat dari Jakarta. “Mari memahami Romo Drijarkara tak hanya dari segi ide, tapi dari segi praktisnya juga,” ujar Den Bagus Ing Ngarso sembari mempersilakan.

“Saya kemarin sore baru mendarat di tanah air, kemudian malam hari saya ngebut membaca buku Kumpulan Surat Romo Drijarkara. Saat penerbangan dari Jakarta ke Yogyakarta tadi saya lanjutkan lagi,” kata pria yang telah 30 tahun menjadi jurnalis tersebut.

“Kalau kita membaca buku ini, kita seolah diajak ke tempat-tempat yang ada di dalamnya. Misalnya saat berdiri di Yerusalem lalu menulis surat, kalau orang yang membaca bisa merasa berada di sana juga, itu merupakan capaian dari segi jurnalistik yang tak mudah,” imbuhnya.

“Romo Drijarkara juga bisa mengaitkan peristiwa di Eropa dengan situasi di Indonesia lewat surat-suratnya. Ada perbandingan secara langsung yang diuraikan dengan sangat enak. Misalnya jarak dari Roma ke Netuno berapa kilometer? Seorang wartawan yang baik bisa menggambarkan lewat teknik komparasi, yakni seperti dari Yogyakarta ke Brosot. Karena kalau hanya nominal jarak 20 km saja itu tak terbayang di benak pembaca,” ujarnya.

Menurut Trias Kucahyono, catatan-catatan kecil dalam buku ini layak dibaca. Karena tak sekadar mereportase apa yang dilihat. Romo Drijarkara selalu menyampaikan pelajaran hidup lewat tulisannya. Misalnya saat bekerja di rumah sakit, seorang perawat ini homo homini socius alias kita adalah sahabat bagi manusia lain. Jadi seorang perawat tak cukup berbekal jarum suntik, tapi harus bisa melucu, membuat pasien senang, dan lebih cepat sembuh. “Uniknya, apa yang ditulis saat itu masih bisa diterapkan di zaman sekarang,” imbuhnya lagi.

Keunggulan tulisan Drijarkara lainnya ialah mampu menganalogikan hal rumit dengan contoh-contoh sederhana. Misalnya Romo hendak menjelaskan negara itu seperti apa. Ternyata negara itu ibarat gamelan. Ada banyak instrumen yang mengeluarkan suara sesuai kodratnya masing-masing. Tapi ketika bunyi bersama ada harmoni di situ. Nah negara juga seperti itu. “Perumpamaan itu ditulis pada bulan April 1951 tapi isinya tetap relevan hingga kini. Negara memang seperti gamelan. Kendang menjadi panglimanya,” pungkasnya.

Kalau keempat narasumber di atas lebih banyak menyoroti tulisan-tulisan Drijarkara, pihak panita juga menghadirkan mantan Guru Sejarah di SMA Loyola, Semarang. Albertus Mariman pernah bertemu secara langsung dengan beliau. “Saya  7 tahun kuliah di USD.  Bagi saya seorang mahasiswa dulu, Romo Drijarkara orangnya angker, kalau berjalan tegak dan jarang tersenyum. Saya paling ingat saat beliau mengajar mengenai ada di kelas. Ada itu apa? Tuhan itu adakah dan adanya di mana? Kalau Tuhan ada di mana-mana kok Dia tetap satu, bingung saya…” ujarnya yang disambut tepuk tangan peserta diskusi karena gaya bicaranya yang kocak.

Pada akhir acara Den Bagus Ing Ngarso meminta beberapa hadirin mengomentari paparan dalam diskusi dan launching buku “Kumpulan Surat Romo Drijarkara”. Masing-masing peserta juga mendapat bingkisan satu buku.

Menurut Prof. Sugihastuti dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), “Acara ini mentradisikan tradisi tulis lebih dari tradisi lisan. Melalui tradisi tulis kelisanan terkurangi dan mari kita baca Drijarkara lebih elok lagi.”

Salah seorang peserta lainnya berpendapat, “Hal-hal yang rumit ternyata sederhana. Hidup yang berliku-liku pun sederhana, kesederhanaan merupakan jalan mencapai kesempurnaan. Dengan menulis sesuatu yang abstrak bisa menjadi sederhana. Selamat membaca karya Drijarkara!”
13724234731082321761
Sumber Foto: Dok. Pri

Juni 25, 2013

Inspirasi Penggugah Semangat

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Rabu/26 Juni 2013

Johnny, seorang penyandang lemah mental. Kendati demikian, dia tetap bekerja di salah satu supermarket di Amerika. Dengan tekun, dia menjalankan tugas memasukkan barang-barang belanjaan pelanggan. Posisi dia berdiri tepat di belakang kasir. Ketekunan, kejujuran, dan keramahannya, menimbulkan kekaguman dalam diri para pelanggan. Alhasil, supermarket tersebut selalu dipenuhi pembeli. Pertanyaannya, kenapa para pelanggan begitu tertarik?

Ternyata sembari memasukkan barang-barang belanjaan pelanggan, Johnny memasukkan juga kertas warna-warni yang bertuliskan kata-kata inspiratif. Petuah-petuah bijak tersebut dia tulis di rumah. Lalu, dia bawa pada waktu bertugas jaga. Lambat laun para pelanggan merasa ada sesuatu yang menggugah seusai mereka belanja. Johnny berhasil berbagi semangat dan menorehkan kenangan yang tidak terlupakan.

Hal sederhana yang mempunyai dampak signifikan inilah yang saya terapkan juga seusai pembelajaran ekskul bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman. Selalu ada sebuah kata mutiara sebagai gong penutup pelajaran. Misalnya, kata-kata dari Plato (427-347 SM), ''Be kind, cause everyone you meet is fighting a hard battle''. Kemudian para siswa mengartikannya bersama, ''Berbaik hatilah, karena setiap orang yang engkau temui tengah berjuang keras dalam hidupnya''.

Uniknya, pada suatu ketika ada salah satu murid mengusulkan ide brilian, ''Pak, bagaimana kalau di setiap pemberhentian lampu merah dipasangi kata-kata mutiara juga?'' Alhasil, ruang-ruang publik tidak hanya dipenuhi iklan - meminjam istilah Sumbo Tinarbuko - sampah visual, tapi juga ada nilai-nilai keutamaan.

Saya berdecak kagum pada gagasan tersebut, tapi tentu para pengampu kebijakan publik yang memiliki otoritas untuk memberlakukan. Setidaknya, kami bisa mulai menempelkan kata-kata mutiara di ruang kelas. Senada dengan pendapat Aesop, ''No act of kindness, no matter how small, is ever wasted''. Tiada kebajikan, betapapun kecilnya, yang sia-sia.

Sumber Foto: www.live-life-abundance.com

Juni 21, 2013

Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa dalam Perayaan Peh Cun 2013 di Pantai Mancingan, Parangtritis Baru, Bantul, Yogyakarta

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/20 Juni 2013
http://mjeducation.co/akulturasi-budaya-tionghoa-dan-jawa-dalam-perayaan-peh-cun-2013-di-pantai-mancingan-parangtritis-baru-bantul-yogyakarta/


Tepat pukul 12.00 WIB, tanggal 5 bulan 5 tahun penanggalan Imlek atau Rabu siang (12/6/2013) ratusan telur mentah tegak berdiri di bibir pantai Mancingan, Parangtritis Baru, Bantul, Yogyakarta. Menurut Fantoni, salah seorang sesepuh komunitas Tionghoa di Kota Gudeg yang menjadi pemandu acara bersama komedian Wisben, saat itu jarak antara matahari sebagai pusat tata surya dengan planet bumi ialah yang terpendek. Sehingga daya tarik-menarik gravitasinya sangat kuat. Alhasil, telur-telur tersebut bisa berdiri tegak walau hembusan angin pantai relatif kencang menerpa.

Itulah salah satu acara hiburan dalam Perayaan Peh Cun yang menyedot ribuan penonton dari dalam maupun luar negeri. Sebelumnya, pada pukul 11.00 WIB telah dilakukan labuhan sesaji ke Laut Selatan (Segara Kidul) yang dikenal berpalung dalam dan berombak besar tersebut. Sesaji terdiri atas buah-buahan, bunga, dan bakcang. Hajatan budaya ini gratis dan terbuka untuk umum. Bagi peserta yang berboncengan membawa sepeda motor cukup membayar Rp 10.000 untuk retribusi masuk ke area Pantai Mancingan, Parangtritis Baru dan Rp 2.000 untuk ongkos parkir.

Lalu, dalam kata sambutannya, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengapresiasi akulturasi seni di abad ke-21 ini. Kenapa? Perayaan Peh Cun walau notabene sebuah Festival Budaya Tionghoa tapi menyediakan ruang bagi integrasi sosial masyarakat. Sehingga kita dapat menembus sekat-sekat perbedaan lewat pergelaran seni dan budaya.

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu juga ternyata fasih menceritakan asal-muasal perayaan Peh Cun. Xu Yuan (339 SM - 277 SM) adalah seorang menteri negara Chu. Ia seorang pejabat yang banyak memberikan ide untuk memajukan negara Chu dan bersatu dengan negara Qi untuk memerangi negara Qin. Namun sayang, ia difitnah oleh keluarga raja yang iri kepadanya. Kriminalisasi tersebut berujung dengan pengusirannya dari ibu kota negara Chu. Lalu, negarawan, filsuf sekaligus sastrawan dari dataran Tiongkok tersebut terjun bunuh diri ke sungai Miluo. Kisah ini tercatat dalam buku sejarah Shi Ji.


Rakyat pun merasa sedih,  kemudian mereka mencari jenazah sang menteri di sungai tersebut. Mereka juga melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang dalam sungai tidak mengganggu jenazah sang menteri. Kemudian untuk menghindari agar makanan tidak dilahap oleh naga di dalam sungai maka mereka membungkusnya dengan daun-daunan yang dikenal sebagai bakcang. Para nelayan yang mencari-cari jenazah sang menteri dengan berperahu akhirnya menjadi cikal-bakal dari perlombaan perahu naga.

Aksi heroik Xu Yuan tersebut merupakan sebuah bentuk protes terhadap pemerintahan yang korup. Selanjutnya, beliau juga menjelaskan kenapa dalam hampir setiap perayaan budaya Tionghoa barongsai selalu tampil. “Karena itu untuk mengusir setan. Dalam konteks sekarang, marilah kita berjuang bersama mengusir setan kemiskinan. Bagi para pengusaha di sini, dunia bisnis juga harus ada aspek temu dengan lingkungan sosial dan isu-isu kemasyarakatan,” ujarnya.

“11 tahun lalu, tepatnya tahun 2002, saya masih ingat dalam perayaan Peh Cun ada juga aksi penghijauan di Pantai Parangtritis ini. Hal semacam itu bisa dilakukan lagi. Tapi warga setempat juga harus dilibatkan agar bisa merawatnya, jadi tak sekadar ditanam dan ditinggal pergi,” imbuhnya lagi.

Secara lebih mendalam, Ngarso Dalem memaparkan etika religi Kong Hu Chu (551 SM – 479 SM). Esensinya ialah keseimbangan alam, harmoni antara unsur Yin-Yang. Dalam konteks masyarakat Indonesia, itu bisa berupa hubungan sosial yang ideal, pengabdian pada nilai-nilai kemanusiaan, sopan-santun (unggah-ungguh), politik yang berdasarkan pada kaidah etis, dan hidup damai dalam pergaulan antar sesama makhluk ciptaan-Nya.

“Oleh sebab itu, perayaan Peh Cun tahun 2013 ini merupakan sarana kontemplasi dan mawas diri untuk kita semua agar nilai-nilai keutamaan tersebut dapat kita terapkan dalam keseharian. Semoga Tien (Tuhan) yang maha kuasa memberkahi kita semua. Sekian dan terima kasih,” pungkasnya.



Piala Raja

Dalam acara ini menghadirkan Festival Barongsai Yogyakarta yang memperebutkan Piala Raja berlapis emas 24 karat. Piala tersebut berbentuk mahkota raja kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Juri yang menilai festival ini cukup kompeten, yakni dari Persatuan Seni dan Olahraga Barongsai Indonesia (Persobarin). Total pesertanya ada 10 grup, yakni dari Yogyakarta (Panber Beskalan, Isaku Iki, Naga Selatan), Magelang (Singa Mas, TITD Liong Hok Bio), Kudus (Satya Dharma: 2 grup), dan Semarang (Satya Budi Dharma: 2 grup, Taichi Master).

Di sela-sela acara, penulis sempat mewawancarai ketua grup barongsai Isaku Iki dari Yogyakarta. Menurut Lusia Sri, ST mereka datang ke Pantai Parangtritis Baru ini dari Dusun Sutodirjan di Yogyakarta dengan naik mobil pick up. “Karena kami harus membawa peralatan musik seperti bedug, kenung, simbal, dan 10 pemain barongsai,” ujarnya.


Ketika ditanya berapa kali latihan untuk mempersiapkan keterlibatan dalam festival ini, katanya hanya sekali saja. “Kami hanya berlatih untuk menyesuaikan waktu pentas yang disediakan panitia, yakni 10 menit. Selama ini kami memang sudah sering pentas jadi sudah hapal gerakannya dan lumayan kompak,” imbuhnya lagi.

Keunikan grup barongsai yang didirikan oleh Mbah M. Doel Wahab ini ialah rata-rata para pemainnya tergolong muda. Kebanyakan dari mereka adalah siswa-siswi sekolah menengah yang peduli dan mau melestarikan budaya bangsa. Walau sebagian besar kaum pribumi (baca: Jawa) tapi mereka mau belajar kesenian barongsai dari Tionghoa. Bahkan menurut Bu Lusia, ada juga grup anak-anak, mereka rata-rata masih duduk di bangku SD. “Tujuannya untuk regenerasi sekaligus belajar mengapresiasi perbedaan sejak usia dini,” pungkasnya.

Berhubung cuaca kurang mendukung dan hujan lebat mulai mengguyur, hanya 6 grup barongsai yang berhasil tampil. Mereka mempertunjukkan kebolehannya menari dan meloncat lincah di atas tiang-tiang besi setinggi 2 meter seturut irama tabuhan nan rancak. Kesulitan utamanya ialah faktor angin yang relatif kencang. Sehingga sangat sulit menjaga keseimbangan dan menopang berat topeng barongsai raksasa tersebut. Sebagai antisipasi pihak panitia memasang matras empuk di atas panggung konblok. Jadi kalau ada yang jatuh tak sampai cedera serius.

Akhirnya, berdasarkan kesepakatan dewan juri dan para manajer grup barongsai, total hadiah Rp 18 juta dibagi rata untuk 10 grup yang sudah datang. Jadi masing-masing memperoleh Rp 1,8 juta plus biaya transportasi masing-masing Rp 1 juta. Lalu, untuk piala Raja tetap diserahkan kepada grup yang memperoleh nilai tertinggi, yakni Satya Dharma dari Kudus. Untuk 2 piala lainnya diserahkan kepada Satya Budi Dharma Semarang dan Panber Beskalan Yogyakarta.

Berkah Sang Pemberi Kehidupan


Di sela-sela atraksi barongsai panitia juga menyelipkan pertunjukan seni tradisi lokal lainnya, antara lain tarian dari para ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok Fuqing. “Mereka itu sungguh masih gadis saat era 1970-an lho, tapi sekarang ya sudah tua,” ujar Wisben setengah bercanda dan sontak disambut gelak tawa para penonton.

Sajian yang tak kalah menarik ialah dari kelompok jathilan Pringgodani, Dusun Gading Sari, Sanden, Bantul karena sebagian besar penarinya masih anak-anak. Mereka dibina langsung oleh Ibu Bupati Bantul, Hj. Sri Suryawidati. Kendati hujan deras masih mengguyur, tak menyurutkan semangat generasi penerus bangsa itu untuk terus menari. Sebagai bentuk apresiasi dari Ngarso Dalem, seusai menari mereka diajak berfoto bersama Kanjeng Sultan. “Nanti fotonya akan kami pajang di sanggar agar lebih semangat latihan menari,” ujar mereka dengan sorot mata berbinar.


Anggi Minarni selaku ketua seksi acara menulis dalam status Facebook-nya, ”Hikmah yang kupetik dari Perayaan Peh Cun dan Festival Barongsai Yogyakarta ialah mendapat kebebasan untuk berekspresi seni dan melakukan ritual budaya adalah salah satu kebutuhan mendasar manusia.”

“Budaya adalah identitas, dan manusia ditandai karena identitasnya. Menghargai keberagaman budaya, memberi ruang kepada pengemban budaya dalam melakukan ritualnya adalah wujud menghargai kehidupan, memuliakan Sang Pemberi Kehidupan. Berbahagialah kita sebagai orang Indonesia karena kita hidup di negeri dengan budaya yang bhinneka,” imbuhnya lagi.

Sepulang meliput acara ini penulis sempat bermain air di Pantai Mancingan, Parangtritis Baru. Lalu, setelahnya menumpang mandi di sebuah warung milik warga setempat. Menurut Ibu Sukemi, “Kalau sering-sering ada acara budaya seperti ini, kami senang sekali Mas. Karena bisa menambah pemasukan masyarakat setempat. Pengunjungnya kan jadi ramai, mereka parkir kendaraan, ke kamar kecil, membeli oleh-oleh, dan jajan makanan atau minum kelapa muda di sini.”


Sumber Foto: Dok. Pri

Juni 20, 2013

Mengenal Lebih Dekat Y.B Mangunwijaya lewat Warisan Karya Sastra dan Bangunan Arsitekturnya

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/20 Juni 2013
http://mjeducation.co/mengenal-lebih-dekat-y-b-mangunwijaya-lewat-warisan-karya-sastra-dan-bangunan-arsitekturnya/

 
Rabu pagi itu (12/6/2013) matahari bersinar cerah, langit biru menaungi kota Gudeg.  Padahal beberapa hari belakangan Yogyakarta lebih sering digelayuti mendung tebal dan bahkan diguyur hujan deras. Tampaknya, alam turut menyambut antusias acara diskusi Great Thinkers di lantai V Gedung Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).

Ratusan peserta sudah berkumpul di depan ruangan sejak pukul 09.00 WIB, bagi yang sudah mendaftar mereka langsung melakukan registrasi ulang. Sedangkan bagi para hadirin yang belum mendaftar bisa mengisi buku tamu terlebih dulu.

Tatkala penulis memasuki ruangan seminar ternyata kedua pembicara sudah duduk di bangku barisan terdepan. Beliau berdua ialah Ir. Eko Agus Prawoto, M. Arch, IAI, Dosen Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta dan Prof. Dr. C. Bakdi Soemanto, SU, Budayawan dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Selaku moderator panitia meminta Emil Karmila, M.A untuk mengatur alur diskusi.

Menurut Emil Karmila, Dosen Studi Kebijakan Pascasarjana UGM, sosok Romo Mangun layak diulas dalam seri diskusi Great Thinkers kali ini. Mengapa? karena beliau merupakan seorang budayawan, sastrawan, aktivis kemanusiaan, rohaniwan, dan peraih penghargaan dalam bidang sastra maupun arsitektur.

Selain itu, mendiang Y.B Mangunwijaya juga concern pada pemberdayaan kaum miskin. Beliau berhasil merubah wajah bantaran kali Code yang semula kotor, kumuh, dan dikenal sebagai sarang pencopet menjadi indah, ramah, dan penuh sentuhan manusiawi. Perkampungan miskin di tepi kali Code tersebut kini menjadi lebih bermartabat.

Selanjutnya, pembicara pertama Bakdi Soemanto mengulas sosok Romo Mangun dari aspek sastra. Dosen FIB UGM dan budayawan Yogyakarta itu berpendapat bahwa Y.B. Mangunwijaya mirip dengan Rendra dan Umar Kayam. “Mereka seperti berada dalam satu front. Bahkan ketika Umar Kayam sakit, yang disebut-sebut selalu Rendra, Romo Mangun, dan Goenawan Mohamad,” ujarnya.

Menurut Bakdi Soemanto, nilai-nilai keutamaan hidup yang tertuang dalam karya sastra Romo Mangun terwujud pula dalam tindakan sehari-hari beliau. Kendati demikian, ada juga pihak-pihak yang tidak setuju dengan pemikiran Y.B. Mangunwijaya terutama terkait bidang pendidikan. Begitu beliau wafat, ada seorang Pastor yang berkata, “Tidak ada yang bisa dilanjutkan!”

“Gagasan Romo Mangun memang tak mudah dipahami karena selalu mempertanyakan hampir semua aspek kehidupan, beliau orangnya tidak mau lurus-lurus.  Oleh sebab itu, saya ingin mengajak teman-teman sekalian untuk bertanya juga, siapakah Romo Mangun itu?” katanya.

Dalam paparannya, Bakdi Soemanto menceritakan bahwa Romo Mangun dulu seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Ia pernah turut bertempur dalam perang Palagan Ambarawa karena memang wilayah tugasnya di sana. Lalu, Y.B Mangunwijaya melanjutkan studi di Seminari dan menjadi Romo Projo (Pr).

Selain itu, ada  banyak orang yang belum tahu bahwa saat meletus peristiwa Malari, singkatan dari Malapetaka Lima Belas Januari pada tahun 1974 di Jakarta, Romo Mangun juga mengorganisir 41 Pastor di Yogyakarta untuk mempertanyakan kebijakan penguasa orde baru di bidang politik dan ekonomi yang menyengsarakan rakyat. “Saat itu, saya masih muda, saya juga ikut membagi-bagi pamplet untuk memperjuangkan nasib kaum miskin yang lemah dan tertindas lho,” ujar Bakdi Soemanto sembari mengenang masa lalunya.

Berdasarkan interaksinya dengan Romo Mangun, Bakdi Soemanto menyadari bahwa beliau memang sangat mencintai orang miskin. Hidupnya pun begitu sederhana, kalau tidur di galar, yakni bambu yang dibelah untuk alasnya. Rantang untuk makan Romo Mangun hanya satu dan terbuat dari plastik. “Suatu hari rantang tersebut di-krikiti (dimakan) tikus, saat istri saya menjenguk dan hendak menggantinya dengan rantang yang baru dari seng, beliau tak mau. Saya kagum dengan konsistensi beliau,” imbuhnya lagi.

“Salah satu karya sastra Romo Mangun ialah novel Romo Rahadi. Pada terbitan pertama tahun 1981 beliau menggunakan nama samaran. Baru pada terbitan kedua tahun 1986 penulis menggunakan nama yang sebenarnya. Bagi saya, yang paling menarik dari novel ini adalah satu kutipan dari Ernest Renan:  Keragu-raguan adalah sebentuk penghargaan besar terhadap kebenaran,” ujarnya.

Menurut Bakdi Soemanto, kutipan Ernest Renan dalam novel tersebut mengingatkannya pada ungkapan yang dikemukanan Soren Kiekegard, seorang filsuf eksistensialis-religius berkebangsaan Denmark, adapun ungkapan itu berbunyi, “Fear and trembling, sickness unto death.”  

“Sementara itu, Albert Camus yang sedang dirawat di Sanatorium di Aljazair juga menulis di secarik kertas kepada Eliza, seorang wanita yang sering menemaninya, “It is not simply happiness that I wish for today rather a despair in grandeur.” Terjemahan dalam bahasa Indonesianya bisa berarti,” Bukan sekadar kebahagiaan murahan yang aku inginkan, tetapi suatu keputuasaan dalam kebesaran,” imbuhnya lagi.

Menurut analisis Bakdi Soemanto, apa yang ditulis oleh Renan, Kerkegard dan Camus di atas terjadi pula dalam diri Romo Mangun, bahkan berlangsung sepanjang hidup beliau. Y. B Mangunwijaya terus-menerus gelisah, tetapi sangat tenang dan tabah.

Arsitektur sebagai ekspresi relung jiwa

Selanjutnya pembicara kedua Ir. Eko Prawoto, Dosen Fakultas Teknik di UKDW Yogyakarta tersebut mengulas sosok Y.B. Mangunwijaya dari aspek arsitektur. Bagi  Eko Prawoto, rumah bukan sekadar tempat hunian tapi ekspresi relung jiwa yang terdalam. Ruang secara fisik tak cukup, jadi perlu ada nilai, pemikiran, dan dimensi lainnya.

“Dalam konteks ini menarik jika kita menengok kembali pemikiran dan karya arsitektur Romo Mangun. Di media massa kita bisa menyaksikan banyak bermunculan gedung-gedung secara suka-suka. Kini tak ada lagi idealisme, semua berlomba terjun ke modernisasi.  Dalam arsitektur modern, semua adalah komoditas atau dagangan. Kita pun menjadi riak atau gelombang dari yang tejadi di luar sana, entah itu Jakarta, Singapura, New York, dst,” ujarnya.

“Alhasil, terjadi reduksi kehidupan secara besar-besaran. Manusia hanya melihat yang fisik saja. Padahal substansi yang terutama adalah perkara nilai, gagasan atau sikap batin,” imbuhnya lagi. Menurut Eko Prawoto, Romo Mangun telah jauh lebih dulu berpikir ke depan dan berani berbuat  alternatif. Beliau menganalogikan Indonesia dalam masa transisi  ibarat ikan duyung. Bukan ikan tapi belum jadi manusia. Artinya tidak lagi tradisional tapi juga belum modern.

“Bagi Y.B Mangunwijaya, arsitektur ialah sarana untuk memanusiakan manusia, memerdekakan manusia, menyadari keadaan diri, harga diri, dan identitas diri sehingga kita bisa berkomunikasi dengan bangsa lain secara setara,” ujarnya.

“Sekarang bangunan dinilai bagus kalau mahal, sedangkan kalau murah itu selalu jelek. Inilah  kecenderungan komodikasi di bidang arsitektur. Akar masalahnya, karena pandangan hidup yang sepotong-sepotong dan tak utuh. Alhasil, perasaan batin, hubungan dengan alam, nilai-nilai tak terlihat (intangible values) tak mendapat ruang,” imbuhnya lagi.  


Kemudian, Eko Prowoto menampilkan gambar-gambar bangunan karya arsitektur Romo Mangun, antara lain Gereja Maria Asumpta di Klaten, Gua Maria Sendang Sono di Kulon Progo, dan Dinamika Edukasi Dasar (DED) di Jalan Kuwera Yogyakarta.

“Prinsip bersatu hukum dengan alam diterapkan di sana. Misalnya kalau kita sekarang sumuk (panas) langsung pasang AC, rumah kurang terang tambahi lampu. Padahal bangunan bukan suatu entitas lepas, tapi satu kesatuan dengan alam sekitar. Kan bisa ditambahi ventilasi udara dan dipasangi genteng kaca,” ujarnya.

Menurut Eko Prawoto Romo Mangun juga menghargai lokalitas. Batu kali, bambu, kayu ditempatkan sesuai fungsinya. Bambu yang bengkok dan lentur tak dipaksa jadi lurus dan keras seperti besi beton.

“Kaidah selanjutnya ialah hemat ruang dan biaya. Barang sekecil apapun dihargai oleh Romo Mangun. Bahkan di DED Kuwera ada gudang khusus, isinya potongan kayu 2x3 cm ditumpuk rapi, semuanya masih bernilai dan bisa dipakai lagi. Dari situ terbersit makna simbolis, apa yang semua dipandang hina dan dibuang, tapi bagi seorang arsitek andal itu semua tetap bermakna dan bermanfaat juga,” ujarnya.

Pada sesi tanya-jawab, salah satu peserta bertanya apakah konsep-konsep arsitektur tersebut juga diterapkan dalam pendidikan oleh Romo Mangun. Menurut Eko Prawoto, Y.B Mangunwijaya mengadakan eksperimen pembelajaran di SD Mangunan.  Beliau memang begitu perhatian pada pendidikan anak usia dini. Anak-anak tersebut dibiasakan berpikir kritis, kreatif, integratif, dan eksploratif.

Misalnya dengan melihat beberapa peristiwa secara simultan (sekaligus). Dalam pelajaran sejarah tentang perang Diponegoro tak hanya jatuh korban jiwa manusia, tapi ada jembatan yang rusak, harimau yang tertembak mati di hutan, dll. Intinya ada banyak kejadian yang serempak terjadi saat itu. Dari proses pembelajaran sederhana tersebut, anak-anak terbiasa berpikir secara tidak linear tapi holistik.

Di akhir acara, penulis sempat mewawancarai salah seorang peserta diskusi publik. Menurut Theo Rifai, Mahasiswa semester VI, Fakultas Teknik Jurusan Aristektur, Universitas Atma Jaya (UAJY) Yogyakarta itu ia mendapat sesuatu yang berbeda. “Romo Mangun berani berpikir dan bertindak melawan arus, ia juga berjuang bagi masyarakat kecil di tepi kali Code,” ujarnya. 

Sumber Foto: Dok. Pri

Juni 19, 2013

Bangkit dari Keterpurukan lewat Pendidikan

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/20 Juni 2013

Judul: Prof. Dr. Suharyadi, Mendidik Dengan Hati
Penulis: Alberthiene Endah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/2012
Tebal: 450 halaman
ISBN: 978-979-22-8678

Buku biografi Prof. Dr. Suharyadi ini memikat hati. Kenapa? Karena mengungkap hakikat pendidikan sepanjang hayat (long life learning). Benang merahnya sederhana tapi universal. Intinya proses pembelajaran eksis dalam kehangatan keluarga, dinamika ruang kelas, dan pengalaman hidup sehari-hari. Dalam kata pengantar, Rektor Universitas Mercu Buana (1997-2012) tersebut menulis, “Setiap detik, setiap waktu yang berjalan, ada banyak nilai yang bisa manusia hirup. Semua itu niscaya menjadikan pikiran lebih baik dan bijaksana.”

Tak sekadar beretorika, petuah tersebut sungguh dilakoni oleh Profesor Suharyadi. Pasca ibunda tercinta meninggal dunia, kehidupan keluarga mereka tiarap. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula sebab, “Tak ada lagi pemandangan wanita mumpuni yang mengurus kami dengan sangat cekatan. Tak ada lagi kehidupan dinamis yang diperlihatkan Ibu sebagai seorang pedagang batik yang sukses…” (halaman 83). Padahal penghasilan bapak relatif minim. Sebagai Kepala Sekolah (Kepsek) SD di pelosok desa Bener, Salatiga, Jawa Tengah, gaji beliau tak cukup untuk menafkahi 7 anak piatu yang belum mampu hidup mandiri.

Oleh sebab itu, mereka sekeluarga terpaksa makan seadanya. Hasil kebun begitu berharga karena setiap rupiah dapat dipakai untuk menyambung napas kehidupan. Suharyanto, Suharyono dan Suharyadi kecil sering mencari ikan di sungai. Mereka mencari tambahan gizi untuk lauk makan. Lalu, hasil tangkapan tersebut diberikan kepada kakak perempuan nomor dua yang bertugas menjadi koki di dapur.

Tatkala persediaan beras telah ludes, untuk mengenyangkan perut mereka makan tiwul. Panganan itu pun sejatinya masih lumayan. Pernah suatu ketika mereka harus menyantap ampas umbi yang biasa dipakai untuk pakan ternak. Mereka memakannya karena tak ada uang sepeser pun di kantong, padahal saat itu bapak belum gajian. Ampas lalu dibumbui dan dikukus. Kendati demikian, di meja makan yang dicahayai temaram lampu pelita, mereka mengunyah makanan dengan penuh rasa syukur (halaman 85).

Biografi ini memotret secara apik perjuangan seorang anak bangkit dari keterpurukan hidup. Kendati keterbatasan ekonomi melilit urat nadi, tak memadamkan asa untuk terus menuntut ilmu sampai jenjang tertinggi. Akhirnya berbuah manis, Prof. Dr. Suharyadi berhasil menyelesaikan SD, sekolah menengah pertama dan atas (SMP-SMA), kuliah S1, menyabet gelar S2, S3, dan bahkan sempat memegang tampuk tertinggi di sebuah universitas terkemuka di Indonesia. Dalam konteks ini pendapat Andy F. Noya sungguh relevan, “Kemiskinan memang bukan halangan untuk meraih kesuksesan.” Selamat membaca!

13717014411055550624
Sumber Foto: http://www.grazera.com/

Menyongsong Perubahan Kurikulum 2013

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Kamis/20 Juni 2013

Perubahan kurikulum Tahun Ajaran (TA) 2013-2014 telah berada di depan mata. Alasan utama pemerintah menggantinya karena KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dianggap terlalu membebani siswa. Dalam konteks ini, penulis lebih setuju dengan pendapat Prof Dr Djamaludin Ancok, ”kalau materi pembelajaran terlalu banyak, mestinya KTSP-nya saja yang direvisi, sehingga kita tidak perlu mengganti kurikulum secara keseluruhan”.

Selain itu, menurut hemat penulis, apa pun kurikulumnya ujung tombak pendidikan tetap para guru. Kenapa? Para guru adalah penentu utama transformasi kehidupan berbangsa. Bahkan setelah Hirosima dan Nagasaki hancur lebur dibom oleh Sekutu dalam Perang Dunia II, Sang Kaisar Jepang pun sontak bertanya: “Berapa guru yang masih kita miliki?” Artinya, kemajuan sebuah bangsa memang berbanding lurus dengan kualitas tenaga pengajar di sektor pendidikan.

Ironisnya, PGRI dan IKIP sebagai kawah candradimuka calon guru andal justru ditutup. Pada tahun 2013 ini genap 24 tahun sudah pembubaran Sekolah Pendidikan Guru (SPG), dan 17 tahun pascaperubahan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi universitas.

Menurut Darmaningtyas, aktivis pendidikan dari Taman Siswa, penutupan SPG dan perubahan IKIP merupakan desakan dari Bank Dunia (World Bank). Kenapa? Sebab Bank Dunia menganggap bahwa lulusan SPG dan IKIP walau memiliki keterampilan mengajar yang baik tapi minim penguasaan ilmu dasar.

Oleh sebab itu, guna menyongsong perubahan kurikulum 2013, pemerintah mesti membina secara intens 7 juta guru yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Caranya tentu dengan menggelar pelatihan (training) sehingga para pendidik mampu secara efektif mengajar bidang studi masing-masing.

Alhasil, kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa berkembang lebih optimal. Senada dengan tesis William W, “Guru medioker kerjanya berceramah. Guru superior kerjanya mende­monstrasikan otoritas. Guru terpuji kerjanya menjelaskan perkara rumit dengan cara simpel. Guru hebat kerjanya menginspirasi”. Salam pendidikan!

13716942571462738837
Sumber Foto: Sumber Foto: http://myindismart.blogspot.com/2011/10/sumarlan-guru-teladan-dikirim-untuk.html

Pancasila dalam Pemikiran dan Praktik Politik Tiga Presiden

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/19 Juni 2013
http://mjeducation.co/pancasila-dalam-pemikiran-dan-praktik-politik-tiga-presiden/


“Banyak sekali undangan dari instansi-instansi kalau bulan Juni seperti sekarang Mas. Saya diminta oleh mereka untuk berbicara tentang Pancasila,” ujar  Prof. Dr. Sudjito SH. MSi, Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta saat bersama penulis berada di dalam lift. Pagi itu, Senin (3/6/2013) pukul 09.00 WIB sampai selesai di ruang Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Atma Jaya Yogyakarta memang berlangsung seminar akademis bertajuk “Pancasila dalam Pemikiran dan Praktik Politik Tiga Presiden.”

Penyelenggaranya ialah Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Atma Jaya Yogyakarta. Lalu, sebagai keynote speecher, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) Republik Indonesia periode 2009-2014 berkenan menyampaikan pandangan beliau terkait dasar negara RI. Menurut Ratu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut, Pancasila ialah ideologi yang mempersatukan bangsa walau terdapat kemajemukan suku, agama, ras, etnis, dan lain sebagainya.

GKR Hemas juga menyoroti Undang-undang (UU) yang bertentangan dengan konsensus nasional kita, salah satunya UU Pornografi. “Itu merupakan kriminalisasi terhadap tubuh perempuan. Selain itu, UU Pornografi juga sebuah upaya penyeragaman budaya lokal. Masyarakat sudah beramai-ramai menolaknya, tapi UU tersebut tetap dipaksakan padahal bisa memecah-belah bangsa,” ujarnya.

Lantas, terkait Peraturan Daerah (Perda) Syariah di beberapa wilayah di tanah air, GKR Hemas berpendapat, “Perda-Perda yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa dan UUD sebagai sumber referensi utama produk hukum perlu ditinjau kembali. Dalam bahasa beliau, pihak-pihak yang menggunakan paradigma berpikir sempit itu justru terjebak dalam narsisme politik yang sangat pragmatis.


“Salah satu fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ialah menggelar sidang antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sekarang lembaga tertinggi seperti MPR perlu difungsikan secara optimal kembali agar tatanan negara menjadi lebih kuat,” imbuhnya.

Kepada seluruh panitia dan peserta yang hadir di pagi hari nan cerah tersebut, GKR Hemas menyampaikan apresiasi yang mendalam. “Terima kasih juga kepada LKiS dan FISIP UAJY yang telah mengadakan seminar Pancasila. Semoga seminar ini tak sekadar menguatkan pemahaman Pancasila sebagai ideologi bersama, tapi juga ideologi yang sudah final. Karena jika ada intervensi dari ideologi lain niscaya terjadi konflik yang berujung kekerasan mengatasnamakan agama,” paparnya.

Dalam konteks di atas, Perguruan Tinggi (PT) sungguh memiliki fungsi strategis bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila secara intensif. GKR Hemas menandaskan bahwa kampus sebagai lembaga tertinggi pendidikan di Indonesia harus berorientasi kebangsaan yang kuat. Para mahasiswa jangan hanya pintar tapi juga harus memiliki jiwa nasionalisme. “Seharusnya lebih banyak mahasiswa yang hadir di sini, karena merekalah penerus bangsa di masa depan,” pungkasnya. Seusai menyampaikan paparan tersebut, GKR Hemas langsung berpamitan kepada seluruh hadirin karena beliau harus segera terbang ke Jakarta lewat Bandara Adisucipto.


Selaku tuan rumah, Dr. Lukas S Ispandriarno, MA, Dekan FISIP UAJY menyampaikan dalam kata sambutan alasan kenapa dalam seminar ini hanya dipilih tiga presiden saja. Karena Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur memiliki keaslian, keunikan, dan kepeduliannya masing-masing dalam bentuk pemikiran, gagasan, nilai-nilai, dan praktik Pancasila.

Kita sebagai anggota masyarakat dari berbagai generasi tentu merasakan benar bahwa pemikiran dan pelaksanaan Pancasila di masa-masa tersebut sungguh menyentuh sendi-sendi kehidupan. “Lewat seminar ini kita merefleksikan semuanya itu sekaligus mengingatkan kepada presiden yang sedang menjabat dan terutama memberi bekal kepada presiden Republik Indonesia yang baru pada 2014 mendatang. Mari jadikan Pancasila sebagai pedoman hidup sehari-hari. Selamat berseminar dan jayalah Pancasila!” imbuhnya.

Selanjutnya, Hairus Salim, Direktur LKiS yang bertindak sebagai moderator mempersilakan ketiga narasumber maju ke depan dan menempati kursi masing-masing. Pertama, Prof. Dr. Sudjito SH. MSi, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM. Kedua, Drs. Untoro Hariadi, M.Si, mantan aktivis pergerakan di Kedung Ombo dan Konsultan Politik DPD Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) DIY. Ketiga, Nur Khaliq Ridwan, Aktivis Muda NU, seorang Gusdurian, dan penulis buku “Gus Dur dan Negara Pancasila.”

Pembicara pertama, Prof. Dr. Sudjito SH. MSi enggan terlalu menyanjung Soeharto. “Saya takut disebut mengkultuskan, saya ingin selamat dari kelompok-kelompok anti Orde Baru. Saya juga tak mau membicarakan keburukan-keburukan orang yang telah meninggal dunia, karena itu dilarang agama,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Prof. Sudjito lebih banyak mengungkap pemikiran Soeharto ihwal Pancasila. Intinya, ada tekad dan kehendak kuat dari Pak Harto untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tidak boleh ada perdebatan sedikit pun terkait kedua asas nasional tersebut. Alhasil, selama 32 tahun berkuasa, Pancasila melekat kuat dalam ucapan dan tindakan rezim Soeharto.


Lantas Prof. Sudjito menceritakan pengalaman pribadinya. Pada 19 Desember 1974, Pak Harto pernah berkunjung ke UGM, Yogyakarta dalam rangka merayakan HUT ke-25 UGM.  “Saat itu, saya masih mahasiswa di UGM,” katanya. Berikut ini kutipan pidato sambutan yang diberi judul “Pancasila sebagai Sistem Filsafat dan Masyarakat Perguruan Tinggi”:

“Seperti telah saya singgung di atas, Pancasila memberikan landasan falsafah yang mengusahakan dan memelihara keselarasan antara manusia dan masyarakatnya. Ajaran atau pandangan hidup mengenai keselarasan ini, bagi bangsa Indonesia telah tumbuh sejak berabad-abad yang lalu. Keselarasan antara hubungan manusia dengan masyarakatnya berpangkal dari sifat manusia yang universal, yakni ingin untuk mempertahankan hidup dan ikhtiar mengejar kehidupan yang lebih baik.”

Ironisnya, menurut Prof. Sudjito Pancasila kini dianggap jadul. Bahkan dianggap tidak ada apa-apanya dibanding ideologi-ideologi lainnya. Alhasil, kita hidup seolah-olah tanpa dasar dan pondasi sehingga apapun boleh dilakukan. “Situasi ini sangat berbahaya sekali,” ujarnya mengingatkan.

“Sebetulnya, Pancasila menjanjikan kehidupan yang selaras, dengan diri pribadi, dengan sesamanya, dengan Tuhan, serta seluruh alam semesta. Sehingga alam tak akan dieksploitasi sampai meninggalkan kerusakan yang luar biasa seperti sekarang,” imbuhnya lagi. Sebagai kesimpulan, Prof. Sudjito berpendapat Pancasila bukan verbalisme politis semata tapi sebuah tuntunan prilaku hidup sehari-hari. “Oleh sebab itu, Pancasila harus menjadi bagian dari kebudayaan kita,” pungkasnya.

Hari gini ngomongin Pancasila?

Narasumber kedua, Untoro Hariyadi menjelaskan kerangka dasar berpikirnya. “Kita akan melihat dan membedah bersama tentang Pancasila. Tapi agar tidak rancu karena politisasi makna Pancasila, rujukannya ialah pidato lisan Bung Karno pada 1 Juni 1945 silam,” ujarnya.

Menurut mantan aktivis Kedung Ombo tersebut, “Hari gini ngomongin Pancasila, diseminarkan lagi tentu tak menarik bagi adik-adik mahasiswa. Tapi itu bukan salah Anda, karena generasi kami yang ke atas tak memperkenalkannya kepada kalian semua. Salute untuk FISIP UAJY yang sampai sekarang masih mengajarkan mata kuliah Pancasila di kampus.”

Untoro juga menceritakan pengalamannya mendampingi masyarakat Kedung Ombo yang hendak digusur rezim Orde Baru. “Saat itu kami disebut anti Pancasila. Padahal kami memperjuangkan hak rakyat. Karena tanah mereka seharga Rp3.000/meter persegi hanya dibayar Rp750/meter persegi. Ini pengalaman empirik di lapangan. Saat itu, kami harus berhadap-hadapan dengan aparat,” ujarnya sembari berdiri seperti gaya orang berorasi.


“Zaman orba dulu tak boleh ada kumpul-kumpul dan diskusi seperti kita sekarang. Pasti ada intel dan sewaktu-waktu para aktivis bisa ditangkap dengan dalih melanggar Pancasila. Tapi apakah Pancasila senegatif itu?” imbuhnya lagi.

Menurut Untoro, sebagaimana tercatat dalam sejarah Pancasila memang dicetuskan oleh Bung Karno, beliau tak mau disebut penemu, ia hanya menggali. Sejak masih muda, selama 27 tahun Bung Karno telah memikirkan Pancasila. Analoginya sederhana sekali. Ibarat keluarga kalau keluarga sendiri sudah aman, baru bisa bergaul dengan keluarga lain, yakni untuk mencapai kesejahteraan bersama. Kalau hendak dijadikan Trisila namanya Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan. Kalau mau diperas jadi Ekasila namanya Gotong royong.

Berikut ini kutipan Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang sangat legendaris tersebut:

“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen untuk Indonesia, bukan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesumo buat Indonesia, bukan Van Eck Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua buat semua!”

Ironisnya, masih menurut analisis Untoro, lembaga pendidikan kini pun menjadi seperti pasar. Kemanusiaan seseorang dihitung dari berapa bahan yang melekat pada dirinya (nilai ekonomis). 240 juta penduduk Indonesia menjadi sekadar konsumen dan konstituen. “Sebenarnya, kita masih dijajah VOC tapi dengan baju yang beda,” ujarnya.

Sebagai solusi, Konsultan Politik DPD Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) DIY menyodorkan konsepsi konsolidasi nasional. “Kita butuh pemerintahan yang memiliki ideological governance. Sedangkan di tataran masyarakat, kita butuh Fundamentalisme Pancasila. Dalam pengertian mengupayakan suatu kesadaran baru di kalangan akar rumput terkait Pancasila.  Oleh sebab itu, literatur hukum, ekonomi, arsitektur, psikologi, budaya, teknik, dll juga yang Pancasilais.  Sehingga Pancasila sungguh mengalir dalam setiap urat nadi anak bangsa,” pungkasnya.

Menurut sang moderator, gaya Untoro tak banyak berubah, ”Dulu saat demonstrasi di Bundaran  UGM dan di dusun Kedung Ombo juga begitu, keras, tegas, dan lantang. Bedanya kini ia tak pakai ikat kepala saja.”

Pembicara ketiga ialah anak ideologis Gus Dur, yakni Nur Khalik Ridwan. Menurut aktivis muda Nahdatul Ulama (NU) Yogyakarta dan anggota Gusdurian tersebut, sikap politis Gus Dur terkait Pancasila sangat jelas:

“Tanpa Pancasila negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat azas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam (Douglas E Ramage, Percatiran Politik di Indonesia, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, halaman 80).”

Angkatan bersenjata dan umat Islam memang besar pengaruhnya saat itu. “Kalau kita membaca buku Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mereka mengkaitkan Pancasila dengan Zionisme. Kendati demikian, dulu Gus Dur pun pernah menjadi anggota Ikwanul Muslimin (IM) di Jombang, menurut dugaan saya itu karena beliau tak enak dengan pamannya saja,” ujarnya.


Lebih lanjut, menurut Nur Khalik Ridwan, Gur Dur mengalami semacam pertobatan pasca membaca buku-buku karangan Aristoteles tentang akhlak dan etika. “Di perpustakaan sambil membaca dan menangis Gus Dur mengakui bahwa mungkin kalau ia tak membaca buku tersebut, ia sudah menjadi fundamentalis. Tapi karena membaca buku di perpustakaan, ia kini dikenang sebagai pejuang kemanusiaan yang gigih,” imbuh Nur Khalik.

Berdasarkan pembacaan karya-karya Gur Dur, tulisan-tulisan beliau hendak mendekatkan para santri Muslim dengan kebangsaan. Bahkan tak hanya untuk umat Islam saja, tapi juga umat-umat beragama dan aliran kepercayaan lainnya. Sehingga segenap warga negara memiliki wawasan kebangsaan Pancasila seturut tradisi dan religiositasnya masing-masing.

Sumber Foto: Dok. Pri

Juni 16, 2013

Praksis Kepemimimpinan Kuno untuk Manusia Modern

Dimuat di HMINEWS.COM, Senin/17 Juni 2013

Judul: The Way of The Shepherd, Prinsip Sang Gembala, 7 Rahasia Kuno untuk Mengelola Orang Menjadi Lebih Produktif
Penulis: Dr. Kevin Leman dan William Pentak
Penerjemah: Denny Pranolo
Editor: James Yanuar
Penerbit: Visi Press Bandung
Cetakan: 1/ Juli 2010
Tebal: 116 halaman
ISBN: 9786028073332
Harga: Rp30.000

Ibarat tutup bertemu mulut botol, jika sidang pembaca sedang mencari jawaban atas pertanyaan, “Bagaimana cara memimpin bawahan agar tercipta satu tim yang kompak, loyal, dan produktif?” maka buku ini adalah jawabannya. “Prinsip Sang Gembala” berisi 7 pedoman kepemimpinan untuk mengelola individu-individu agar jadi lebih sinergis. Rumusannya sederhana, dalam ilmu managemen mutakhir 1 + 1  tidak selalu sama dengan 2, karena ternyata bisa menjadi 11 dan bahkan tak terhingga.

Salah satu prinsip utamanya ialah orang harus bebas dari rasa takut. Sehingga ia dapat berkreasi secara optimal. William Pentak pernah bekerja di sebuah bank selama 2 tahun pasca lulus kuliah S1. Tapi pada tahun kedua bank tersebut diguncang masalah keuangan. Setiap dua minggu sekali, ada  gosip beredar mengatakan bahwa bank tersebut akan memangkas jumlah pegawai. Alhasil, ia bekerja dengan penuh kekuatiran, pun takut kalau sewaktu-waktu dipecat. Penulis jadi tak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya di kantor.

Lantas, Dr. Newman selaku mentor Mc. Bride memberi alternatif solusi. Pemimpin harus bertindak seperti layaknya seorang gembala. Ia perlu memeriksa semua domba-dombanya. Bahkan dengan penuh kesabaran satu-persatu secara teliti. Dari kepala sampai kaki, apakah ada ulat di bulunya, apakah mereka sakit. Bagian kuku kaki domba juga diperiksa, apakah ada yang terkena infeksi. Selain itu, gembala yang baik senantiasa menyediakan padang rumput yang luas dan hijau. Ia pun memagari secara melingkar agar mereka terlindung dari ancaman binatang buas dan srigala jahat. Terakhir tapi penting, kolam air minum harus terisi penuh.

Ironisnya, dewasa ini banyak manager tidak bisa mengatur bawahan mereka. Sebab si gembala tak mengenal kawanan dombanya. “Jadi seorang pemimpin harus tahu bukan hanya status kerja mereka, tapi kondisi pribadi mereka. Banyak manager yang terlalu berfokus pada proyek bukan pada manusianya. Mereka hanya sibuk dengan pekerjaan bukan dengan pekerjanya.” (halaman 26). Padahal para pegawai ingin diperlakukan sebagai individu bukan sekadar angka statistik.

Tapi bukankah di era globalisasi yang sarat kompetisi ini target dan pekerjaan begitu penting? Berikut ini penjelasan yang masuk akal dari Dr. Newman, “Ya, memang benar demikian. Tapi ingat selalu bahwa pegawai kamu yang mengerjakan dan mencapai target-target tersebut. Mereka itu bukan benda mati, tapi makhluk hidup dan merupakan potensi terbesar dalam perusahaan.” (halaman 26). Banyak manager mengamini tesis tersebut, tapi berapa banyak yang sungguh melakoninya di lokus bisnis mereka?

Sistematika buku ini terdiri atas 7 bab. Mulai dari “Kenali Kondisi Domba Anda”, “Temukan SHAPE Kawanan Domba Anda”, “Tongkat Arahan”, sampai “Hati Gembala”. Semua dipaparkan lewat story telling (bercerita). Sehingga mudah mencerna pesan yang terkandung di dalamnya. Selain itu, tak ada kesan menggurui karena sekadar sharing pengalaman. Referensi utamanya ialah wawancara eksklusif antara penulis dan McBride, CEO General Technologies pada 12 April 1957. Kendati sudah lewat 6 dekade lebih, isinya tetap relevan diterapkan di abad ke-21 ini.

Salah satu istilah yang unik ialah SHAPE (Strength, Heart, Attitude, Personality, Experiences) alias kekuatan, hati, sikap, kepribadian, dan pengalaman-pengalaman. Kalau kekuatan lebih merupakan kemampuan (skill) maka hati (heart) merepresentasikan niat. Dr. Neuman menjelaskan secara gamblang, “Perusahaan yang penuh dengan orang pintar dan berbakat tapi tidak memiliki hasrat untuk bekerja sama saja bohong. Tak peduli seberapa berbakatnya orang tersebut, kalau ia tak memiliki komitmen untuk memanfaatkan bakatnya, percuma saja. Jadi saya selalu mencari orang yang memiliki hasrat. Kalau saya mempekerjakan mereka pada posisi yang tepat, mereka akan seperti peluru meriam yang melesat. Mereka akan melihat pekerjaan sebagai hidup itu sendiri dan bukan sekadar tempat mencari nafkah. Hal ini yang akan memberi perbedaan besar!” (halaman 33).

Khusus terkait kepribadian (personality), ada orang introvert ada juga yang extrovert, bukan? Begitupula dalam diri para pekerja, ada yang suka tantangan baru, ada yang tidak suka dengan perubahan. Sehingga apabila sebuah perusahaan sering merubah segala sesuatunya setiap 6 bulan sebagai proses rotasi, maka dalam seleksi karyawan harus dicari orang-orang yang suka tantangan baru dan siap menyongsong angin perubahan.

Buku setebal 116 halaman ini mengingatkan kita semua pada prinsip golden rule (aturan emas). Kalau kita mengharapkan yang terbaik dari bawahan, maka kita pun harus memberikan yang terbaik pada mereka terlebih dahulu. Sebab, “We get what we give,” kita senantiasa memperoleh apa yang kita berikan. Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Kontributor Tetap di Majalah Pendidikan Online Indonesia http://mjeducation.co/)

1371434291835506142
Sumber Foto: visipress@visi-bookstore.com