Februari 27, 2014

Karakter Itu Soal Sikap


13935062301490054810

Dimuat di Okezone.com, Kamis/27 Februari 2014



Judul: 34 Karakter Mulia Yang Menggugah Dunia, Character is Destiny
Penulis: John McCain dan Mark Salter
Penerjemah: T. Harmaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: III/Maret 2013
Tebal: xix + 435 halaman
ISBN: 9789792294347
Harga: Rp78.000

Bala tentara Nazi telah merampas semua dari Viktor Frankl. Mereka merenggut kebebasan, mimpi, dan keluarganya. Mereka membuatnya kelaparan, menyumpahi, memfitnah, dan menyiksa hingga melampaui batas kemanusiaan.

Bahkan mereka pernah menggantungkan hidup Viktor Frankl di atas tebing curam. Bila mau, dari sana mereka tinggal mendepaknya seperti terjadi pada ribuan tawanan lainnya.

Tapi di pagi musim dingin itu, tatkala mereka menggiringnya ke ladang seperti binatang, memukuli punggungnya dengan popor senapan, pikiran justru Viktor Frankl terbang tinggi, melayang melebihi siksaan dari para penindas. Selama beberapa saat segala kekejaman mereka terlupakan, ia beralih merenungkan gambaran istrinya.

Padahal entah apakah istrinya masih hidup atau sudah mati waktu itu. Yang jelas dalam batin ia mendengar bait kedelapan Kidung Solomon, “Tempatkan aku dalam hatimu, cinta sama kuatnya seperti kematian (halaman 43).”

Buku ini memuat pula kesaksian menggetarkan Viktor Frankl dalam karya Man’s Search for Meaning, “Pikiran saya terpaku pada sosok istri, membayangkannya dengan sangat nyata…Entah nyata atau tidak, pandangannya lebih bercahaya daripada matahari yang mulai terbit…Saat itulah saya menangkap makna rahasia terbesar yang terpatri pada puisi, pikiran, dan keyakinan manusia: keselamatan manusia ialah melalui cinta dan di dalam cinta.”

Dalam penawanan dan penyiksaan yang sangat melecehkan nilai kemanusiaan di kamp Auschwitz tersebut, memang api asmara Viktor kepada Tilly istrinya tak pernah padam. Berbekal cinta itulah, ia mampu mempertahankan sesuatu yang menurut asumsi musuh sudah berhasil dimusnahkan. Padahal satu harta intangible (tak tersentuh) tersebut tidak pernah dapat direnggut oleh orang lain, yakni martabat.

Tak kenal maka tak sayang, begitu kata pepatah. Siapakah Viktor Frankl? Lewat buku ini John McCain dan Mark Salter mengisahkan kehidupan masa lalu pria kelahiran Wina, Austria itu.

Viktor Frankl anak kedua dari ayah yang mandiri, tegas, dan berprinsip. Sebuah kombinasi apik karena sang ibu senantiasa mendidiknya dengan penuh cinta. Pada usia 4 tahun, Viktor kecil sudah mantap dengan pilihan cita-citanya. Ia hendak menjadi dokter agar bisa menyembuhkan akal manusia.

Viktor Frankl tinggal di satu daerah yang sama dengan Sigmund Freud. Pada usia 16 tahun, ia pernah mengirimi Freud esai tentang pemahamannya. Freud membalas surat itu dan mengatakan bahwa ia sangat terkesan dengan esai Frankl. Lalu, ia merekomendasikan sebuah jurnal untuk memuat dan memublikasikan esai tersebut.

Setelah lulus dari Universitas Wina sebagai seorang dokter muda pada 1930, Viktor Frankl mulai berpraktik psikiatri. Walau sangat menghormati Freud, kesimpulannya terkait penyakit mental berbeda dengan teori Freud. Kalau Freud percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh konflik antara dorongan dan naluri bawah sadar seseorang dengan kebiasaan dan norma sosial di masyarakat, sementara ia meyakini bahwa kepuasan emosional seseorang tergantung pada kemampuannya menemukan makna hidup yang lebih besar ketimbang dorongan naluriah.

Viktor Frankl juga melihat pencarian makna hidup memungkinkan seseorang mengangkat diri lebih tinggi, tidak saja dari hasrat egoismenya, tetapi juga melampaui kemalangan dan kekejaman. Pandangan tersebut didukung oleh kajian filsafat maupun analisi klinis. Tapi siapa sangka ternyata beberapa tahun kemudian ia mengalami langsung pergulatan memaknai kehidupan dalam situasi kemanusiaan yang sedemikan keji.

Kamp Auschwitz

Sebagai keturunan Yahudi, saat Jerman menyerbu Austria pada 1938, semua keluarga Yahudi-Austria mendapat perlakukan keji dari Nazi. Awalnya, Viktor Frankl masih dizinkan bekerja di satu-satunya rumah sakit. Ia khusus merawat orang Yahudi saja. Viktor Frankl menyelamatkan para pasien dari aturan tentara Nazi yang mengharuskan penderita sakit mental dikirim ke kamp konsentrasi. Selain itu, Viktor Frankl juga mulai menulis buku berjudul The Doctor and the Soul.

Suatu ketika, ia melamar pindah ke Amerika. Tujuannya agar bisa mengejar jenjang karier profesional tanpa direcoki dengan rasisme sebagaimana terjadi di Wina. Setelah menunggu beberapa lama, ia berhasil mendapat visa. Tapi visa tersebut hanya berlaku untuk sendiri. Ia harus meninggalkan keluarganya terancam kekejaman tentara Nazi di kampung halaman. Saat berjalan pulang dari konsulat Amerika, ia memohon petunjuk dari Tuhan. Begitu masuk rumah, ayahnya mengambil sepotong marmer dari seruntuhan sinagoga yang telah diluluhlantakkan Nazi, di potongan marmer tersebut terukir kalimat: Hormati ayah dan ibumu.

Alhasil, Viktor Frankl membiarkan visanya kadaluarsa. Ia memilih tinggal bersama ayah, ibu, dan saudaranya untuk bersama-sama menghadapi genosida. Dalam reruntuhan puing-pung akibat perang, masih bermekaran bunga-bunga cinta. Ia jatuh hati pada seorang perawat cantik, Mathilde “Tilly” Grosser. Mereka akhirnya menikah pada Deesember 1941, sebagai pasangan Yahudi terakhir yang dibolehkan menikah.

Sembilan bulan kemudian seluruh keluarga Viktor Frankl dan Tilly dikirim ke kamp konsentrasi Theresienstadt, dekat Praha. Walau di sana lebih baik kondisinya ketimbang kamp-kamp konsentrasi lain karena tidak ada ruang gas dan krematorium, tapi ayah Viktor Frankl meninggal dunia dalam pelukannya. Selanjutnya, keluarga yang tersisa dipindah ke kamp yang paling terkenal, Auschwitz.

Ketika tiba, ia dan Tilly segera dipisahkan dalam kamp untuk laki-laki dan perempuan. Itulah pertemuan terakhir mereka. Usai perang, Viktor Frankl baru tahu bahwa Tilly telah meninggal dunia di kamp lain, Bergen-Belsen.

Dalam buku ini terungkap bagaimana perjuangan Viktor Frankl agar bisa tetap hidup. Ia mengingat istrinya, membayangkan hari ketika mereka bisa berkumpul kembali. Ia mengamini kebijaksanaan Nietzche, “Yang punya alasan untuk hidup dapat menanggung setiap cara hidup.”

Selama tiga tahun ia terus menerima kekejaman, penghinaan, dan aneka tindakan biadab lainnya. Ia menyadari bahwa mustahil mengandalkan keadilan atau sekadar belas-kasihan dari orang lain. Tapi ia tetap mempertahankan harapan, bahkan ketika tubuhnya tertular tifus, akhirnya pun bisa sembuh kembali.

Viktor Frankl juga dipaksa bekerja keras dengan sedikit roti dan semangkuk sup encer untuk bertahan hidup. Ia mengamati rekan-rekan sesama tahanan lainnya, ternyata mereka yang melepas harapan, bahkan bila fisiknya lebih sehat sekalipun, jadi musnah. Kenapa? Karena mereka mengharap sesuatu dari hidup, dan ketika hidup tidak memberi apa-apa kecuali hanya kekejaman, mereka menyerah.

Artinya, ketahanan hidup bergantung pada pemahaman dan penerimaan atas eksistensi harapan hidup. Dengan menerapkannya dalam tahanan, kita bisa menemukan makna hidup bahkan dalam penderitaan yang terburuk dan menikmati beberapa harta karun pemberian-Nya yang masih kita miliki: keramahan dari orang lain, keindahan matahari terbit, keanggunan pohon yang tumbuh di musim semi (halaman 47).

Secara lebih mendalam, dari pengalaman tersebut Viktor Frankl menyimpulkan bahwa makna hidup dapat dicapai dengan tiga cara. Pertama, dengan menciptakan karya atau melakukan tindakan. Kedua, dengan mengalami dan berefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, dengan sikap yang kita ambil dalam menghadapi penderitaan. Karena kebebasan terakhir manusia terletak pada pilihan sikapnya dalam situasi apa pun.

Akhirnya ujung penderitaan pun tiba, perang pun usai. Tawanan yang masih hidup berjalan menuju kebebasan. Tapi banyak yang belum bebas dari penderitaan. Termasuk Viktor Frankl, karena ia baru tahu bahwa orang-orang yang dicintainya seperti Tilly telah meninggal dunia. Satu baris kalimat yang tetap menguatkan Viktor, “Seluruh dunia berputar karena cinta.” Kata mutiara tersebut terpatri di mata kalung peninggalan Tilly.

Viktor Frankl menerima fakta tersebut dan tetap hidup. Ia menjalani hari-hari baru dengan penuh harapan dan bermartabat. Ia diberi posisi sebagai dokter di sebuah rumah sakit. Ia kembali melakukan praktik psikiatri dengan keyakinan lebih mendalam daripada sebelum mengalami penderitaan. Ia memberi konseling seperti dulu ia menguatkan teman-temannya di tahanan kamp konsentrasi.

Intinya, kebahagiaan mustahil dikejar. Kebahagiaan, menurut Viktor Frankl, muncul secara alamiah dari hidup bermakna, dari pemilihan keputusan moral yang tepat, dan mencintai seseorang secara tulus. Ia mencintai wanita lain, Elly. Pasangan bahagia tersebut dikarunia seorang putri dan tetap setia pada pernikahan sampai pesta emas 50 tahun.

Viktor Frankl juga menyelesaikan naskahnya dan menerbitkan 20 buku lebih. Termasuk salah satu master piece, Man’s Seacrh for Meaning. Tak kurang dari sepuluh juta buku tersebut telah terjual dan memberi makna bagi banyak orang. Ia tetap mendaki gunung dan belajar terbang dengan parasut pada usia 67 tahun. Ia hidup sejahtera dan bahagia sampai usia sembilan puluhan dan tak pernah pensiun (halaman 50).

Inspirasi Segar

Salah seorang penulis buku “34 Karakter Mulia yang Menggugah Dunia, Character is Destiny” ini John McCain. Ia Senator Amerika Serikat yang pernah menjadi pesaing tangguh Barack Obama dalam Pilpres USA. Selain berkecimpung pada ranah politik, ternyata Purnawirawan Angkatan Laut (AL) tersebut juga piawai menulis.

Tandemnya kali ini dalam merampungkan buku setebal 435 halaman ialah Mark Salter, pengarang buku-buku laris: Why Courage Matter (Pentingnya Keberanian), Faith of My Father (Keyakinan Ayah Saya), dan Worth the Fighting For (Nilai sebuah Perjuangan).

Total buku ini memuat 34 kisah inspiratif tokoh besar kaliber dunia. Secara struktural terbagi atas 7 bab. Masing-masing bagian mengupas sebuah nilai keutamaan. Misalnya pada bab 6: Kreativitas, kualitas tersebut tercermin dalam diri Ferdinand Magellan, Leonardo da Vinci, Charles Darwin, Theodore Roosevelt, dan Wilma Rudolfh.

Silakan buka secara acak, niscaya sidang pembaca menemukan hikmah pelajaran hidup yang bermakna. Bukan berupa serangkaian kotbah dari puncak menara gading, tapi pengalaman hidup yang riil dan membumi. Tiap lembarnya mengungkap secara luwes lika-liku pergulatan para tokoh hebat. Lengkap dengan suka-duka yang mengiringi sepanjang perlintasan ziarah hidupnya.

Ibarat menemukan oase di padang gersang, membaca buku ini menjadi sebuah aktivitas menyegarkan. Sebab kita bisa meneladani pengalaman hidup sesama umat manusia. Terutama dari karakter-karakter mulia yang telah mengubah alur sejarah dunia lewat teladan nyata. Antara lain Mahatma Gandhi, Thomas More, Winston Churchill, Nelson Mandela, Mark Twain, Bunda Teresa, dll.

Kelemahan minor buku ini karena mayoritas tokoh berasal dari luar negeri. Alangkah indahnya bila suatu saat, ada seorang penulis lokal yang mengggali kehidupan para tokoh nasional yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Selamat membaca!

Peresensi: T. Nugroho Angkasa S.Pd
Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta. Blog: http://local-wisdom.blogspot.com

Februari 18, 2014

Terapi Pemulihan Stres dan Trauma Pascabencana

Dimuat di Harian Jogja, Rabu/19 Februari 2014 

Akhir-akhir ini aneka bencana alam kembali menaungi negeri ini. Empat anasir alam telah menunjukkan keperkasaannya. Mulai dari banjir (air), kebakaran hutan dan gunung meletus (api), topan dan puting beliung (angin), hingga tanah longsor dan gempa bumi (tanah). Rentetan bencana alam tersebut tentu berdampak pada kehidupan manusia. Termasuk dalam ranah psikologis.

Menurut Albert Maramis, pakar kesehatan dari WHO, pada setiap kejadian bencana alam, rata-rata penduduk yang mengalami masalah kejiwaan mencapai 50%. Oleh sebab itu, selain membutuhkan pasokan logistik, para korban bencana alam juga memerlukan terapi pemulihan stres dan trauma. Terlebih bagi anak-anak. Kenapa? Karena mereka sempat terkurung di barak-barak pengungsian dan tak bisa kemana-mana (termasuk bersekolah) selama bencana alam menerjang.

Maya Safira, terapis kesehatan holistik L’Ayurveda menjelaskan bahwa gangguan stres pascatrauma disebut Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pengalaman menakutkan itu berulang secara terus-menerus (re-experience). Bentuknya berupa khayalan, mimpi, halusinasi, dan flash back. Seolah peristiwa tersebut sungguh terulang kembali di benaknya. Alhasil, korban akan bereaksi panik. Lama-kelamaan tekanan batin/depresi tersebut dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang, termasuk anak-anak.

Dari aspek psikologis, anak-anak memang rentan gangguan psikis. Memori-memori traumatis saat bencana datang niscaya mengendap di alam bawah sadar mereka. Gejalanya berupa rasa murung, susah tidur (insomnia), dan nafsu makan berkurang. Bila tak segera mendapatkan terapi, dampaknya bisa terbawa hingga generasi penerus bangsa itu beranjak dewasa.

Dalam konteks ini, rekomendasi Seto Mulyadi menjadi kian relevan. Ada beragam teknik permainan untuk mengatasi trauma anak. Antara lain bermain pasif, bermain aktif motorik halus, dan bermain aktif motorik kasar.

Bermain pasif misalnya seperti menyaksikan pertunjukan sulap dan mendengarkan dongeng. Bermain aktif motorik contohnya menulis, menggambar, mewarnai, menari, berpuisi, menyanyi, bermain teater, dll. Bermain motorik kasar dengan berteriak ekspresif. Tujuannya agar dapat mengeluarkan perasaan sedih di alam bawah sadar mereka. Begitulah pendapat Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Republik Indonesia (RI) tersebut.

Lebih lanjut, menurut Kak Seto, pendampingan langsung ke anak memang penting. Tapi bimbingan konseling untuk atasi trauma para orangtua mereka juga sangat urgen. Kenapa? Karena orangtua yang depresi niscaya menularkan stresnya kepada anak-anak mereka juga.

Trauma Healing

Sebagai ilustasi, berikut ini salah satu contoh di lapangan. Kota Semarang dan sekitarnya selama beberapa pekan terakhir terendam banjir. Salah satu daerah yang mengalami dampak relatif parah ialah RW 3 Dusun Kebonharjo, Kelurahan Tawang Mas, Kecamatan Semarang Utara. Menurut Lurah setempat, Mardiyono, selama bertahun-tahun ia berdomisili di Kelurahan Tawang Mas, banjir tahun 2014 ini yang tingkat ketinggian airnya paling mengkhawatirkan.

Pada Minggu (2/2/2014) pukul 08.00 – 12.00 WIB, Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) bekerjasama dengan Apotik Srikandi Babarsari, Jogjakarta terjun langsung mengadakan program PPSTK (Pusat Pemulihan Stres dan Trauma Keliling). Triwidodo sebagai Ketua Anand Krishna Center (AKC) Joglosemar memamparkan bahwa musibah banjir yang menimpa warga telah menimbulkan stres dan tekanan mental. Oleh karena itu, dampak stres tersebut perlu dikurangi dengan terapi  trauma healing (pemulihan trauma) (Sumber: http://blog.anandashram.or.id/.

Di samping memberikan terapi trauma healing tim relawan PPSTK dari Jogjakarta, Solo, dan Semarang juga memberikan terapi Neo Zen Reiki bagi warga setempat. Terapi kesehatan holisik lewat sentuhan telapak tangan tersebut dipopulerkan oleh Sensei Usui dari Jepang (Seni Memberdaya Diri I dan Neo Zen Reiki, Gramedia Pustaka Utama, 2014).

Menurut Elizabeth Santosa, seorang psikolog, terapi untuk orang dewasa dan anak-anak harus dibedakan. Kenapa? Karena perlu penanganan yang berbeda sesuai perkembangan psikososialnya. Khusus untuk anak-anak, tim relawan memberikan aneka terapi ceria. Puluhan anak SD dari wilayah setempat yang terkena banjir merasa terhibur. Sebab acara terapi ceria tersebut diisi dengan lagu-lagu ceria, tarian, permainan, dan simulasi menjaga kebersihan dengan mempraktekkan mencuci tangan serta membuang sampah pada tempatnya.

Dari aspek medis, tim dokter dan perawat juga sangat dibutuhkan. Mereka bisa melaksanakan pelayanan kesehatan gratis bagi warga. Kondisi barak pengungsian yang serba terbatas menyebabkan gangguan pada ksehatan fisik. Mulai dari pusing, diare, demam hingga  turunnya imunitas tubuh. Bagi warga yang terlalu tua atau sedang sakit parah, perlu juga layanan kesehatan dari rumah ke rumah (home visit).

Pemerintah, akademisi, dan pihak swasta perlu lebih bersinergi dengan aktivis gerakan masyarakat madani (civil society) untuk memfasilitasi pemulihan stres dan trauma pascabencana. Misalnya dengan menggandeng Dinas Kesehatan (Dinkes) untuk membantu pelayanan medis dan Dinas Pendidikan (Diknas) untuk memberikan terapi ceria bagi anak anak.

Sedikit sharing pengalaman, penulis pernah menjadi relawan PPSTK yang digagas oleh Anand Krishna di Jogjakarta. Saat itu yang terjadi bukan bencana banjir melainkan gempa bumi (2006). Salah satu programnya ialah lomba menulis (SMA), melukis (SMP) dan pidato kebangsaan (TK-SD). Anak-anak korban yang mengungsi di titik-titik pengungsian mengikuti kegiatan tersebut di gedung UC Universitas Gadjah Mada (UGM).

Para jurinya ialah kaum akademisi dan budayawan. Salah satunya St. Kartono, Guru Bahasa Indonesia di SMA Kolese De Britto, Jogja. Buah penanya kerap menghiasi lembaran media cetak, baik lokal maupun nasional. Tujuan aktivitas menulis tersebut tak lain untuk menyalurkan energi trauma menjadi daya kreativitas.

Kembali ke topik awal aspirasi ini, masyarakat yang mengalami musibah sungguh membutuhkan terapi pemulihan stres dan trauma. Agar sedikit meringankan beban psikologis. Alhasil, mereka kelak dapat menjalani kehidupan sehari-hari pascabencana reda dengan lebih baik. (T. Nugroho Angkasa, Guru Privat Bahasa Inggris di Jogja)

Februari 16, 2014

Di Balik Selembar Batik

Dimuat di Suara Merdeka, Minggu/16 Februari 2014

Sejak prosesi siraman, midodaren hingga hari H resepsi pernikahan kain batik selalu dipakai oleh kedua mempelai. Batik memang peninggalan budaya leluhur yang adiluhung. Namun, masyarakat masih kurang mengerti makna filosofis motif-motif batik. Padahal ada nilai spiritual di balik selembar kain batik.

Motif batik cakar, misalnya. Simbol cakar representasi ayam yang notabene hewan paling rajin. Sejak pukul 04.00, ayam-ayam sudah bangun dan mulai mencari makan di pekarangan. Pesan tersirat bagi kedua pengantin, kelak  mereka harus  rajin mencari nafkah juga. Sebab, mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.

Selanjutnya, motif batik sidomukti. Sida berarti jadi dan mukti sendiri berarti sukses secara duniawi. Namun sang pengantin hendaknya tak dikuasai oleh kesuksesan tersebut. Kain motif batik untuk mengingatkan raison d’etre berumah tangga, yakni meraih ke-mukti-an hidup bersama.

Motif lain yang tak kalah penting adalah truntum. Menurut pendapat Norma Harsono, seorang kolektor dan pemerhati kain batik, ada sejarah pemilihan nama tersebut. Dulu, permaisuri Mangkunegara III pernah di-kebon-kan (dikucilkan) di Keputren.  Kenapa? Karena sang permaisuri tak bisa melahirkan putra mahkota. Untuk mengisi waktu dalam masa pengasingannya, sang permaisuri melakukan tirakat dan melukis di atas selembar kain batik.

Tiga kali raja datang dan bertanya kepada sang permaisuri. Apakah kain batik tersebut sudah jadi? Ternyata raja masih mencintainya. Akhirnya, sang permaisuri boleh kembali ke istana. Batik hasil tirakat itu pun sudah jadi, tapi belum diberi nama. Lantas, raja memberi nama motif batik itu truntum. Artinya cinta yang bersemi kembali. Dikisahkan, bahwa setelah sang permaisuri mengenakan batik truntum, tak lama berselang ia mengandung seorang putra mahkota.

Menuju Keberhasilan

Pada hari H resepsi pernikahan di masyarakat Jawa, jaringan keluarga dan handai-tolan datang mengucapkan selamat. Orang tua pengantin biasanya memakai kain batik bermotif sidodrajad. Itulah kumpulan dari motif cakar, truntum, sidomukti, dan sidomulyo. Motif ini mengandung arti, manusia yang memiliki derajat itu rajin mencari uang (cakar). Namun bukan sekadar mencari uang, melainkan juga piawai membina keharmonisan keluarga (truntum). Nah, kalau sebuah keluarga harmonis baru bisa mencapai sidomukti.

Dalam tradisi Kejawen ada juga paribasan, melik (tanpa) nggendong lali - meraih keberhasilan tanpa dikuasai oleh harta duniawi. Oleh sebab itu, boleh meraih kesuksesan materiil tapi jangan sampai dikuasai oleh harta duniawi tersebut. Dengan harapan, pada akhir ziarah hidup manusia mencapai Sidomulyo. Bagi masyarakat Jawa, orang yang telah mencapai kemuliaan punya tugas dan tanggungjawab.  Dan, tugas mereka adalah membawa kebermanfaatan bagi sebanyak mungkin orang dan segenap ciptaan Tuhan.

Petuah-petuah bijak di atas perlu didiseminasikan ke generasi masa depan.  Menyitir pendapat Guruh Soekarnoputra, saat ini banyak penerus bangsa yang kehilangan jati diri. Namun, toh itu bukan seratus persen kesalahan kaum muda. Karena, generasi di atasnya tidak pernah berbagi informasi memadai ihwal keberagaman budaya Nusantara. Salah satunya berkait dengan nilai kearifan di balik selembar kain batik. (T. Nugroho Angkasa, editor dan penerjemah lepas, tinggal di Yogyakarta).

Februari 13, 2014

Hujan Abu sampai ke Jogja

Kamis jelang tengah malam (13/2/2014) suara letusan Gunung Kelud terdengar sampai ke Kampung Nyutran, Yogyakarta. Jumat pagi (14/2/2014) hujan abu pun masih terus turun dengan derasnya di Kota Gudeg.

Padahal jarak dari pusat erupsi di Kediri, Jawa Timur mencapai 300 kilometer lebih. Tak terbayangkan hujan abu dan material vulkanik di radius yang lebih dekat.

Bagi warga yang wilayahnya diselimuti abu, lebih baik tetap di dalam rumah saja. Kecuali ada urusan yang sangat mendesak. Kalau terpaksa harus keluar pakailah masker.

Karena kadar silika di abu vulkanik mencapai lebih dari 50 %. Silika ialah semacam bahan pembuat kaca. Sehingga amat tajam, berbahaya bila masuk ke paru-paru, mata ataupun organ tubuh lainnya. Tak hanya mengancam keselamatan manusia, tapi juga tumbuhan, ternak, dan binatang peliharaan.

Kalau sudah terlanjur terkena mata segera tetesi obat mata. Atau segera rendam dengan air bersih. Lebih bagus bila menggunakan air rebusan daun sirih.

Kemudian untuk mengeluarkan/detoksifikasi abu yang terlanjur masuk ke dalam paru-paru. Dokter Hardhi Pranata SpS, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) menganjurkan, “Minum ramuan-ramuan herbal asli Indonesia yang mudah dijumpai seperti kapulaga, meniran, dan jahe bisa membantu mengeluarkannya.”

“Kencur dan kunyit dicampur jeruk nipis dan satu sendok kecap juga efektif mengeluarkan dahak dan riak dari saluran pernapasan. Ramuan ini bisa mengeluarkan debu-debu yang masuk saluran pernapasan,” imbuh dr. Hardhi. (Sumber: http://www.detikhealth.com/read/2010/11/05/175540/1487554/766/ramuan-herbal-untuk-keluarkan-debu-dari-paru-paru)

Kekuatan alam sungguh dahsyat. Semoga semua baik-baik saja. Amin..
13923313991580528987
Hujan Abu di Jogja pasca Letusan Gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur
1392331520913725655
Dok. Pri
13923421121367759703
Dok. Pri
1392332479150087090

Februari 06, 2014

Peluncuran CD Audio Babad Suci Prajanjian Lawas

Dimuat di Majalah Salam Damai, Edisi Februari 2014 

Komunitas Saung Jogja (KSJ) dan Pusaka Institute meluncurkan CD Audio Babad Suci Prajanjian Lawas (BSPL) di Wisma Mahasiswa, Klitren Lor, Yogyakarta. Aula disulap layaknya sebuah gedung kesenian. Kotak-kotak pelita warna-warni menjadi sumber penerangan utama. Di pintu masuk tampak sebuah gunungan Jawa lengkap dengan sesaji bunga tujuh rupa dan dupa aroma terapi. Simbol salib terpampang pada gunungan tersebut.

Kutipan Babad Suci Prajanjian Lawas sempat diperdengarkan dengan diiringi alunan gamelan Jawa dan ilustrasi gambar artistik. Antara lain kisah penciptaan Adam dan Hawa di Taman Firdaus dan kisah tentang Nabi Yakob. Bagi yang tak paham bahasa Jawa, di layar juga dituliskan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Usai menyimak petikan isi CD Audio Babad Suci Prajanjian Lawas tersebut. Kresna Duta memandu sesi diskusi yang menampilkan narasumber, Ketua Komisi Sosial Keuskupan Agung Semarang, Rama Petrus Noegroho Agoeng Pr, Rama Bagus Aris SJ selaku tuan rumah dari Wisma Mahasiswa, Leonardo Budi Setiawan dari Pusaka Institute, dan Wawan Probo Sulistyo dari perwakilan KSJ.

Rama Noegroho Agoeng menyebut karya ini sebagai gaweane wong edan (hasil karya orang gila). Kata “edan” di sini tentu dalam pengertian positif. Ia juga mengomentari ilustrasi gambar yang luar biasa bagus. Rama Bagus Aris turut menyampaikan apresiasinya. CD Audio Babad Suci Prajanjian Lawas bisa menjadi alternatif. Sebab selama ini budaya mendengarkan terkalahkan oleh budaya visual.

Menurut Leonardo Budi Setiawan dari Pusaka Institute, Babad Suci Prajanjian Lawas adalah sebuah naskah hasil tafsiran ulang terhadap Kitab Suci Perjanjian Lama. Intepretasi itu ditulis oleh para leluhur dalam bahasa Jawa dengan bentuk babad (kisah).

Menurut Wawan Probo Sulistyo dari KSJ, karya ini merupakan sebuah upaya kecil untuk mendokumentasikan naskah. Sebab selama ini banyak karya sastra kita yang hilang dan dibawa orang. (T. Nugroho Angkasa S.Pd)