Asian Reader's Digest edisi Agustus 2007 memuat artikel menarik. Berjudul Celebrate Human Spirit! Tulisan itu memuat penelitian seputar kejujuran. Bayangkan bila kita melihat HP tergeletak di meja restoran. Syahdan cell phone itu berdering. Apa yang akan kita lakukan? Menjawab panggilan dan berharap itu dari Sang Empunya? atau segera memasukkannya ke saku celana? Hasilnya menakjubkan karena 2/3 responden dari seluruh penjuru Asia memilih The Right Thing alias mengembalikan HP tersebut.
Beberapa hari lalu penulis mengantre di bank. Tiba-tiba seorang Bapak berteriak di tengah keramaian. "Adakah yang kehilangan HP?" Ternyata ada nasabah yang lupa mengambil cell phone-nya setelah mengisi blangko tabungan. Ibu tadi bergegas menghampiri Sang Bapak sembari mengucapkan banyak terimakasih. Kejadian ini memverifikasi penelitian di muka.
Ironisnya, dunia pendidikan kita justru melupakan nilai keutamaan tersebut. Misal, menjelang Ujian Nasional (UN) kunci jawaban beredar via sms, para siswa menuliskannya di kertas-kertas kecil yang terselip di bawah rok/celana bahkan para guru mendiktekannya di muka kelas.
Menurut hemat penulis, sistem UN memang berpotensi menyebabkan disintegrasi dunia pendidikan secara keseluruhan. Kenapa? karena untuk mencapai hasil akhir (baca lulus UN), para murid cenderung tidak menghargai proses. Mereka asyik berleha-leha sebab berasumsi kelak akan menerima bocoran. Anak-anak bangsa ini melupakan petuah leluhur, "Jer basuki Mawa bea". Dalam konteks persekolahan berarti kalau ingin sukses dalam belajar ya musti berkorban waktu, energi dan biaya dong.
Sebaliknya, para pengajar pun melupakan amanah UU Guru dan Dosen No. 44/2005 butir 9. Yakni untuk meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu (baca:jujur). Kenapa? karena gaji mereka mepet sehingga terpaksa nyambi di luar. Apalagi ditambah prilaku anak yang bandel dan malas mengerjakan tugas karena lebih senang nonton sinetron dan kartun Naruto.
Situasi ini bila terus berlanjut bisa menimbulkan stres dan menyebabkan depresi dalam diri para guru/dosen sehingga tidak mampu berfikir jernih dan fokus mendampingi para murid/mahasiswa. Padahal dalam institusi pendidikan - meminjam istilah Lawrence Kohlberg - guru/dosen ialah ujung tombak moralisasi anak.
Sedikit sharing, penulis rutin menjadi sukarelawan dalam acara Mengajar Tanpa Dihajar Stres (MTDS) yang diadakan oleh Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ). Pelatihan management stres ini digagas oleh Anand Krishna dan diampu para fasilitator yang berpengalaman di bidangnya masing-masing. Terakhir program sosial tersebut digelar di Surakarta pada 27 Januari 2008 silam dan dikuti puluhan guru dan dosen.
Melalui latihan praktis yang tertuang dalam buku Self Empowerment (PT. One Earth Media, 2005) para guru/dosen peserta MTDS difasilitasi untuk memberdaya diri dan mengubah pola hidup sehari-hari agar lebih kreatif, inovatif dan tas-tes (baca: efektif-efisien). Langkah kecil ini sekedar persembahan bagi para guru dan dosen yang telah mendidik anak-anak bangsa hingga menjadi dewasa seperti saat ini.