Penulis: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2007
Tebal: vi + 312 Halaman
Harga: Rp50.000
"Indoktrinasi yang dilakukan terhadap anak-anak kita sejak usia dini menciptakan konflik di dalam diri mereka. Doktrin yang mereka peroleh - termasuk cara makan, berpakaian dan lain sebagainya - membuat mereka tertutup" (hal 255)
Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma untuk mengkritik Gajah Mada. Saat itu fondasi yang dipakai oleh Sang Maha Patih guna menyatukan Nusantara begitu rapuh. Deklarator Sumpah Palapa tersebut menggunakan strategi militer, ekonomi dan agama. Sebagai alternatif, Sang Mpu menawarkan pendekatan budaya untuk mengatasi krisis multidimensi yang mendera Majapahit.
Pangeran Sutasoma lahir di India. Saat itu kepulauan Dwipantara masih menyatu dengan daratan Jambudwipa, sehingga wajar bila banyak kemiripan antara Indonesia dan India. Dari seni pewayangan sampai dengan teknik bercocok tanam. Kenapa? karena akar budayanya satu. Yakni peradaban subur di sekitar Sungai Sindhu yang membentang dari Gandhaar (sekarang Kandahar di Afganistan) hingga perbatasan Astraalaya (kini Australia).
Ibunya bernama Prajnadhari, seorang permaisuri kerajaan Hastina, sedangkan ayahnya bernama Mahaketu, raja bijak yang berkuasa atas sebagian besar wilayah Jambudwipa. Kelahiran Sang Putra Mahkota disambut gembira oleh keluarga, kerabat istana, dan seluruh rakyat. Yang mencolok ialah kulit si bayi mungil ini bersih nyaris tanpa noda. Suta berarti anak dan soma berarti bulan. Para astronom memprediksi kelak Sutasoma akan bertabiat ibarat rembulan nan lembut dan melembutkan (hal 65).
Anehnya begitu menginjak usia remaja Sang Pangeran enggan mendalami ilmu ekonomi-politik. Ia justru lebih suka mendengarkan wejangan para biku dan pertapa, baik yang menganut ajaran Budha maupun Tantra Shiva. Hingga akhirnya pada suatu malam tanpa bekal sepeserpun Sutasoma kabur dari istana menggembara untuk menemukan makna sejati kehidupan (sejatine urip).
Setelah keluar-masuk hutan Sutasoma bertemu dengan Biku Sumitra yang ternyata kakeknya sendiri. Dulu si eyang bernama Jayatsena, nama barunya itu hadiah dari Sang Guru. Su-Mitra artinya sahabat yang baik, beliau berusaha menjalin persahabatan dengan siapa saja tanpa pandang bulu.
Ada dua hal penting yang disampaikan, pertama Sutasoma kelak akan menikah dengan putri pamannya sendiri, Chandrawati akan menjadi pendamping setia sekaligus sumber inspirasi dalam pelayanan pada sesama. Kedua, ia musti "menaklukkan" Purushaada, raja lalim yang selama ini menindas rakyat.
Purushaada berasal dari kata purusha atau manusia yang belum sempurna (hal 181). Ia yang masih setengah-setengah. Purushaada merindukan kehadiran Sutasoma alias kehangatan belaian Rembulan. Kini pun masih banyak orang bertubuh manusia yang kelakuannya sub-human karena kerap menindas orang lain.
Akhirnya Keberadaan (baca: Tuhan) mempertemukan Sutasoma dan Purushaada, tepatnya di kuil Batara Kala. Tatkala insting hewani (ego) Purushaada larut dalam kehangatan cinta Sutasoma secara alamiah terjadi phenomena Kawula Manunggaling Gusti - Tauhid! Dalam bahasa Mpu Tantular berbunyi, "Rwaaneka dhaatu winuwus Buddha Wishwa bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, mankaang Jinatwa kalawan Shivatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa." (Kakawin Sutasoma atau Purushaada Shantaa, CXXXIX:5 diterjemahkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa)
Buku ini ialah yantra atau alat untuk membangkitkan kembali ruh ke-empu-an dalam diri kita, sebagaimana Mpu Tantular pernah merasuki Bung Karno, Hatta, Dewantoro, dll. Kini tugas sejarah generasi abad ke-21 untuk mendengungkan kembali pesan persatuan, "Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa" di bumi Nusantara tercinta.
Sumber: http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/03/18/285/202518/membangkitkan-kembali-ruh-mpu-tantular
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/03/18/11093748/resensi.membangkitkan.kembali.ruh.mpu.tantular