http://rimanews.com/read/20110311/19755/mensinergikan-sains-dan-spiritualitas
Spiritualitas dan sains ibarat sepasang suami-istri. Yang satu merasa belum utuh tanpa kehadiran yang lain. Hubungan keduanya bersifat komplementer alias saling melengkapi. Ranah spiritual lebih melibatkan rasa, sedangkan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) lebih mengandalkan logika berpikir.
Leluhur kita melukiskan sinergi ini dengan simbol ”Lingga” dan ”Yoni”. Kita acapkali menjumpai bangunan seperti tugu di desa-desa terpencil. Tugu Yogyakarta merupakan salah satu contoh monumen peringatan tersebut. Ironisnya, saat ini bangunan bersejarah itu dipugar secara serampangan. Makna filosofis di baliknya terabaikan sama sekali.
Kemajuan iptek tanpa diimbangi penyelaman spiritual sangatlah berbahaya. Saat ini terdapat ribuan senjata nuklir berkekuatan 100x lipat dari bom yang dijatuhkan di Hirosima-Nagasaki. Hanya dengan menekan satu tombol seluruh spesies di muka bumi ini musnah dalam hitungan detik.
Selain itu, eksploitasi terhadap Ibu Bumi secara membabi buta juga menyebabkan kerusakan alam dan pemanasan global. Kota-kota besar di dunia seperti New York, Tokyo dan Jakarta rawan tenggelam. Kelik "Pelipur Lara" menanggapinya dengan dagelan, ”Kenapa musti panik, bukankah banjirnya hanya selutut?” ”Karena tinggi banjirnya selutut Patung Liberty.”
Intisari buku ini ialah pentingnya laku spiritual demi peningkatan kesadaran umat manusia secara kolektif. Mekarnya benih cinta di dalam diri manusia ialah solusi untuk mengatasi kegersangan peradaban kita saat ini. Caranya dengan ”mirsani” alias berupaya melihat diri sendiri di dalam diri sesama titah ciptaan. Dalam tradisi Kejawen terdapat paribasan, ”Memayu hayuning pribadi, memayu hayuning kulawarga, memayu hayuning sesama, memayu hayuning bawana.” Artinya, "Berbuatlah baik terhadap diri sendiri, keluarga, sesama dan alam semesta."
Secara ilmiah, Albert Einstein mengatakan, ”Kita semua bermain di lapangan energi yang sama (Unified Field of Energy).” Ibarat sebuah lagu, kearifan lokal dan sains modern sejatinya senada dan seirama.
Anand Krishna dan Dr. Bambang Setawan (almarhum) berduet menulis karya apik ini. Yang satu dikenal sebagai aktivis spiritual lintas agama, sedangkan yang satunya ialah ahli bedah syaraf otak (Neurosurgeon). Dokter Setiawan termasuk angkatan pertama ahli bedah syaraf di Indonesia. Walau begitu kondang ia lebih memilih bekerja di daerah terpencil ketimbang hijrah ke Jakarta. Baru pada masa akhir hidupnya kembali ke Ibu Kota. Pada tanggal 29 Oktober 2009 Sang Resi Dokter menutup usia karena serangan stroke.
Buku ini juga memuat fakta yang menohok sistem pendidikan kita (halaman 48-49). Semboyan pendidikan di Finlandia ialah Quality (Mutu), Efficiency (Efisiensi), Equality (Kesetaraan) dan Internasionalisation (Berwawasan Internasional/Kemanusiaan) (Sumber: www.edu.fi/english).
Pada bidang Matematika, Finlandia menempati peringkat 1, sedangkan Indonesia menduduki urutan ke-40 (paling akhir). Pada bidang Kesetaraan Gender, Finlandia berada di no. 1, sedangkan Indonesia berada di no. 40 (juga paling akhir). Kedua mata pelajaran di muka mewakili kualitas otak kiri dan kanan manusia. Menyitir Ki Hadjar Dewantara, keseimbangan antara cipta, rasa dan karsa ialah solusi atas penyakit kronis yang mengerogoti dunia pendidikan kita.
Einstein bukan lulusan pendidikan formal, tapi ia menjadi tokoh fenomenal di abad ke-20 versi majalah Time. Kenapa? Karena ia mampu mensinergikan spiritualitas dan sains lewat rumusan ilmiah E=Mc2. Massa atau zat padat yang bergerak dengan kecepatan cahaya juga berubah menjadi energi. Perbedaan benda mati dan benda hidup menjadi kadaluarsa. Buku ini ialah sarana untuk menyadari kesatuan semacam itu.
______________________________
Peresensi: T. Nugroho Angkasa S.Pd
Judul: Neospirituality and Neuroscience, Puncak Evolusi Kemanusiaan
Penulis: Anand Krishna dan Dr. Bambang Setiawan
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, April 2010
Tebal: xxviii + 115 Halaman