Dimuat di Koran Lampung, Selasa, 25 01 2011
Sumber: http://www.koranlampung.co.id/detail_berita.php?module=detailberita&id=2600&id_kategori=26
Leluhur kita tak menyalahgunakan tampuk kepemimpinan untuk menindas rakyat jelata. Pada masa penjajahan Jepang, almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX sengaja memerintahkan pembuatan kanal Selokan Mataram. Agar aliran sungai Progo bisa mengairi lahan pertanian di daerah Kulon Progo sampai ke Kalasan Yogyakarta. Sekaligus supaya warga desa setempat terhindar dari kerja rodi (romusa) yang tak mengenal peri kemanusiaan.
Demikian pula keteladanan para bapa bangsa. Mereka memaknai kepemimpinan nasional sebagai amanah untuk mewujudkan kemerdekaan RI. Para pemimpin tersebut dihormati dan dicintai rakyat bukan karena pangkat semata. Tapi berkat dedikasi dan pengorbanan mereka memperjuangkan keadilan bagi semua.
Dari Sabang sampai Merauke perbedaan suku, agama, ras, dan golongan memang eksis. Tapi kemajemukan tersebut tak pernah dipersoalkan secara berlebihan. Apalagi dipolitisir demi memuaskan ego pribadi. Keberagaman cara pandang dan cara bertindak justru menjadi modal utama untuk bergotong-royong mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi.
Menurut Anand Krishna, sebelum menjadi pejabat publik, harus terlebih dahulu membangkitkan jiwa kepemimpinan di dalam diri (Self Leadership, 2004). Tokoh humanis lintas agama tersebut menandaskan bahwa siapapun yang terpilih menjadi pejabat publik otomatis memiliki tanggung jawab ganda. Yakni pelayanan terhadap bangsa dan negara.
Sebaliknya, kita yang belum terpilih toh tetap bisa melayani negeri tercinta. Sehingga tidak perlu mengamuk, berputus asa ataupun patah arang. Bidang pelayanan sosial bukan monopoli para pejabat ataupun wakil rakyat. Pelayanan terhadap sesama anak bangsa merupakan tanggung jawab setiap warga negara. Tentunya sesuai kapasitas setiap individu di lingkar pengaruhnya masing-masing.
Secara lebih mendalam, putra-putri Ibu Bumi tidak membutuhkan jabatan dan status tertentu untuk melayani Ibu Pertiwi (Motherland). Ia terlahir untuk melayani (born to serve). Seorang pemimpin sejati tidak pernah bisa mati. Dia melayani selama hayat masih di kandung badan, lantas setelah kematian pun ia tetap menjadi sumber inspirasi bagi generasi penerus. Mahatma Gandhi, walaupun beliau ditembak mati oleh pengikutnya sendiri, hingga kini ajaran ahimsa tetap menjadi warisan abadi bagi setiap orang yang gandrung keadilan dan cinta perdamaian.
Ada sebuah versi Ashta Brata dari Kitab Pedoman Hukum bagi Manusia gubahan Manu, judulnya Manusmriti atau Manawardharma Shastra. Konon berasal dari India dan telah berusia 5.000 tahun. Kemudian, ada sebuah versi yang lebih muda, yakni rumusan Mpu Yogishwara, disampaikan lewat Kakawin Ramayana, usia karya tersebut kurang lebih 1.000 tahun. Terakhir yang paling aktual ialah versi Keraton Surakarta, merupakan adaptasi dari kedua Kitab terdahulu, tapi sudah di-update sesuai perkembangan zaman dan kondisi setempat. Versi tersebut ini dipopulerkan oleh almarhum Sri Paku Buwono III sekitar 125 tahun silam.
Intinya sederhana tapi mendalam, pemimpin adalah pelayan (a leader is a servant). Uniknya, nilai-nilai luhur tersebut dianalogikan laksana delapan kelopak bunga teratai yang berkembang di atas lumpur kehidupan. Setiap helai kelopaknya indah dan signifikan.
Kelopak pertama: Matahari. Ia memberikan cahaya kepada semua makhluk tanpa pandang bulu. Ia juga merupakan sumber energi utama bagi segenap titah ciptaan. Kendati demikian, ia tidak pernah mengagungkan diri dan mengharapkan pamrih apapun.
Kita tak perlu merayu dan memuji-muji Matahari, toh setiap pagi ia selalu terbit di ufuk timur menyinari dunia sepanjang hari hingga senja tiba. Para pemimpin perlu belajar mengasihi, peduli dan berbagi tanpa diskriminasi dari Matahari.
Khusus untuk dinas perpajakan, ada pelajaran tambahan. Ketika mengumpulkan pajak, tirulah cara Matahari menyerap air dari lautan. Begitu halus prosesnya. Sehingga lautan itu sendiri tidak berkurang, demikian juga masyarakat tidak merasa terbebani oleh pungutan liar. Matahari kemudian mendaur-ulang air laut tersebut. Ia mengembalikannya dalam bentuk air hujan. Artinya, dinas perpajakan harus memastikan bahwa uang rakyat dimanfaatkan secara bijak demi kesejahteraan umum, bukan untuk memenuhi kantong segelintir oknum tertentu.
Kelopak kedua: Bulan. Ia bersinar menerangi gulita kegelapan malam. Meskipun terjadi krisis, ketegangan dan konflik, seorang pemimpin sejati harus tetap bersinar dan melayani masyarakat. Bukan justru melarikan diri.
Kelopak ketiga: Bintang. Ibarat Bintang Kutub, ia menjadi pandu bagi pelaut yang tersesat. Para pemimpin sejati harus tegas menyikapi arogansi sekelompok orang yang merasa punya hak mencap orang lain “sesat”.
Sedikit intermezo, bukankah kalau memang “tersesat” musti dipandu, dibimbing agar kembali ke jalan yang benar? Tentu dengan diajak berdialog secara baik-baik, bukan dengan intimidasi dan teror. Cara-cara kekerasan sungguh merendahkan intelegensia manusia dan mencoreng wajah Indonesia.
Sebelum diandalkan sebagai Bintang Pedoman, seorang pemimpin harus terlebih dahulu mempercayai intuisi, kecerdasan dan kekuatannya sendiri. Ironisnya, saat ini banyak pejabat kita yang melulu bersandar pada interpretasi pinjaman dan donasi asing.
Kelopak keempat: Api. Ia membakar ego, arogansi, keangkuhan, kesombongan, keegoisan, syak wasangka dan sederet sifat destruktif lainnya. Inilah “jihad” akbar yang harus dilakukan seumur hidup oleh seorang pemimpin sejati.
Ia membakar pula ketidakadilan, benih-benih perpecahan, dan ilalang fanatisme sempit, demi terciptanya harmoni dalam kebhinekaan. Kerendahan hati dan sikap apresiatif menjadi syarat utama.
Kelopak kelima: Angin. Ia bersifat halus, lembut, tak terlihat, tetapi kuat dan berada di mana-mana. Tak ada yang bisa menghalangi penetrasi Sang Angin. Walau dibatasi tembok beton sekalipun.
Seorang pemimpin sejati harus trengginas, lincah dan mampu bergerak bebas laksana Angin. Ia tidak terlalu diproteksi oleh para pembantu di Istana. Hendaknya ia sedikit lebih peka terhadap kondisi riil yang dialami rakyat di akar rumput (grass root). Jangan hanya mendengarkan bisikan bawahan yang cenderung bernada minor ABS (Asal Bapak Senang).
Kelopak keenam: Bumi. Walau ia diinjak-injak, dieksplotitasi, dilecehkan...Ibu Bumi terus memberi dan memaafkan. Sebagai pelayan publik, seorang pemimpin sejati harus bersedia menerima segala macam kritikan dan resiko. Tidak perlu terlalu emosional menyikapi kekritisan masyarakat. Pemimpin yang suka curhat di depan publik, melakukan somasi, membredel atau membawa masalah ke meja hijau bukanlah pemimpin yang jantan.
Kelopak ketujuh: Air. Ia mengingatkan kita akan alirannya yang kontinyu, berbagi hidup dan kehidupan dengan semua di mana saja. Ketika aliran terhambat oleh sebuah bukit misalnya, ia tak akan kemrungsung menabraknya, ia justru sabar mengitarinya dan terus mengalir meneruskan perjalanan dengan penuh keyakinan.
Air mengandung listrik. Ia merupakan energi kedua setelah udara yang kita hirup. Seorang pemimpin sejati juga merupakan sumber energi. Ia berbagi semangat dan inspirasi kepada setiap orang yang ditemuinya.
Air juga tidak pernah pilih kasih. Saat mengalir di Timur Tengah ia tak menjadi Arab dan memberi kehidupan pada orang Arab saja. Ketika mengalir di India, ia tidak menjadi Hindu dan menjadi sumber kehidupan bagi orang Hindu saja. Saat mengalir di Barat, ia tidak menjadi bule dan menganggap dirinya lebih beradab ketimbang kita yang tinggal di kepulauan Nusantara ini.
Terakhir tapi penting, kelopak kedelapan: Samudera. Ia melambangkan keluasan. Ia juga memiliki kemampuan untuk menyerap, membersihkan dan mempersiapkan air kotor untuk diuapkan menjadi awan. Kemudian mengembalikan air tersebut dalam bentuk tetes-tetes air hujan yang memberi kehidupan.
Seorang pemimpin harus seperti Samudera, luas pengetahuannya, pecinta buku dan suka membaca. Seperti para bapa bangsa, terutama Sukarno dan Hatta. Mereka berdua pembaca jempolan. Uniknya, BUKU atau BOOK dalam bahasa Inggris merupakan singkatan dari Broad Ocean of Knowledge atau Pengetahuan yang luas, seluas Samudera.
Kebijaksanaan terlahir dari pengetahuan luas. Samudera memiliki kemampuan mendaur-ulang segala yang kotor, tidak berharga dan tidak berguna. Demikian pula seorang pemimpin sejati, ia tidak mengumpulkan pengikut yang hanya bisa membeo, tapi justru mendorong setiap orang untuk menemukan ruh kepemimpinan di dalam diri masing-masing.
Itulah Ashta Brata, praksis kepemimpinan ala Nusantara. Leluhur kita tidak mengimpor kearifan hidup tersebut dari luar, tapi titen mengamati lingkungan alam sekitar. Ibarat pepatah lama, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Selamat merenungkan dan melakoninya dalam keseharian urip mung mampir ngombe ini.