Walau sudah sejak sekolah SMA, kuliah, dan kini bekerja di Yogyakarta, saya belum pernah sekalipun berkunjung ke Candi Plaosan. Padahal jaraknya hanya 16 km dari pusat Gudeg City. Beruntung sore itu National Integration Movement (NIM) menggelar acara Orasi Budaya dan Doa Bersama: Menyambut Ramadhan dalam Kebhinekaan pada Kamis (28/7/2011). Sehingga saya dapat menyaksikan langsung karya agung leluhur tersebut.
Menurut kamus Wikipedia, Candi Plaosan merupakan kompleks percandian yang terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan. Jaraknya hanya 1,5 km ke arah timur-laut Candi Prambanan yang notabene bercorak Hindu. Kendati demikian, Candi Plaosan yang berarsitektur Buddhis dapat berdiri saling berdampingan dalam damai. Hal ini menunjukkan bahwa para leluhur kita begitu mengapresiasi kebhinekaan.
Sejarah mencatat kompleks percandian ini dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. Masyarakat sekitar lebih mengenalnya sebagai peninggalan Kerajaan Medang/Mataram Kuno. Candi Induk Selatan Plaosan Lor dipugar pada 1962 oleh Dinas Purbakala. Sementara itu, Candi Induk Selatan direnovasi pada 1990-an oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.
Acara orasi budaya dan doa bersama ini terselengggara berkat kerjasama Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA), National Integration Movement (NIM), Lingkar Pelangi Nusantara, Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai), Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila, Lembaga Studi Islam dan Politik (LSIP), AFSC (American Friends Service Committee), dan Paguyuban Tri Tunggal.
Ramadhan merupakan bulan suci umat Islam. Sebagai sarana kembali ke dalam diri. Sebuah momentum untuk melihat kembali perjalanan kita selama ini. Apakah sudah tepat atau belum? Begitulah kata sambutan dari dr. Wayan Sayoga, selaku Direktur Eksekutif NIM saat membuka acara. Pria asal Bali tersebut mengingatkan pula bahwa prinsip dasar Pancasila tetap dapat diterapkan hingga kini. Bahkan di mana saja, tak hanya di Indonesia.
Lebih lanjut dr. Sayoga mengingatkan bahwa fundamentalisme yang merebak belakangan ini tidak sesuai dengan cita-cita para founding fathers. Kebanggaan pada budaya Nusantara menjadi kata kunci. Pada masa Sriwijaya leluhur kita memiliki maskapai pelayaran sendiri untuk mengekspor rempah-rempah ke Madagaskar, bahkan semua itu dilakukan demi kesejahteraan rakyat. “Kita perlu meneguhkan persatuan dan kecintaan pada bangsa ini kembali, ” ujarnya.
Seorang rohaniwan muda, Romo Agus Pr dari perwakilan umat Kristiani menyambut baik peristiwa budaya semacam ini. Dalam orasinya, Pastor Paroki Bintaran dan Pringgolayan tersebut mengajak seluruh peserta saling meneguhkan kebhinekaan di antara sesama anak bangsa.
“Perbedaan sebagai suatu kenisacayaan menambah keindahan hidup ini. Sebagai wong Jawa, Ibarat simponi musik gamelan, masing-masing instrumen saling bersinergi menyajikan satu harmoni,” tandasnya.
Lebih lanjut, menurut Dosen Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma ini, memang dalam tataran ritual, setiap umat beragama menjalankan ibadah sesuai ajarannya masing-masing. Kendati demikian, ada ajaran universal yang menyatukan kita semua, seperti misalnya cinta kasih. Entah itu terhadap Tuhan maupun sesama. Apapun agama, suku, bahasa, dan latar belakang kita memiliki misi yang sama, yakni kebersamaan dan kerukunan.
Ia menganalogikannya ibarat ruji sepeda, semakin dekat dengan As atau Pusat, semakin kita dekat dengan sesama yang lainnya. Bulan Ramadhan menjadi momentum untuk menyucikan diri dan mendekatkan diri pada Tuhan. Sehingga kita dapat melayani sesama, hidup rukun dan damai dalam keberagaman.
Kyai Jadul Maulana dari perwakilan umat Islam berpendapat senada, “Setiap manusia sedang mengejar kesempurnaannya sebagai manusia”. Menurut pengasuh Pondok Pesanteren Kali Opak, Bantul ini lakon perwayangan merupakan simbolisasi proses tersebut.
Ia sedikit terkejut karena tema acara ini sama dengan tema peringatan 500 tahun Sunan Kalijogo. Yakni meneguhkan jati diri bangsa dan kebhinekaan. Saat ini digelar selama 11 malam di Alun-alun Utara Yogyakarta oleh Nahdatul Ulama (NU).
Mereka menggunakan wahana wayang golek untuk menyajikan tontonan yang mengandung tuntunan. Pada malam penutupan, Sabtu (30/7/2011) akan dihadiri oleh Ngarso Dalem HB X dan Prof. KH Said Agil Siraq, MA. Beliau mengundang semua peserta yang hadir sore itu untuk berpartisipasi.
Kyai mengungkapkan bahwa dalam kitab Mutiara (nasehat-nasehat), bulan Ramadhan dimaknai sebagai bulan penuh kemuliaan, pintu rahmat dan ampunan di buka selebar-lebarnya.
Secara lebih mendalam, pendiri Yayasan LKiS ini melihat perbedaaan agama sebagai sesuatu yang relatif. Ia menceritakan kisah seorang Yahudi yang tinggal di lingkungan umat Muslim. Ada orang Islam yang berpuasa, tetapi saat berbuka ia tak mempunyai makanan. Lantas, orang Yahudi tersebut menyuguhkan hidangan untuk berbuka. Padahal ia sendiri tidak berpuasa. Keesokan harinya, orang Yahudi itu wafat dan ada Kyai yang bermimpi bahwa orang Yahudi tersebut sudah ke dalam surga.
Intinya, para santri kini cenderung diajar secara dogmatis. Sehingga mereka menutup mata terhadap kebenaran lain. Selain itu, Fiqh juga menjadi ekslusif. “Padahal sejatinya pengelolaan keimanan dan metode lainnya musti diabdikan untuk ketulusan hubungan dengan Tuhan dan sesama,” imbuhnya
Kyai Jadul memaparkan pula bahwa sejatinya ibadah pusa merupakan ajaran luhur para Nabi. Untuk meruhanikan diri. Pada bulan Ramadhan kita mengambil jarak dari materi. Tujuannya agar kesadaran kita total beriman pada-Nya.
Acara ini, menurutnya, ibarat Telaga Al Kautsar. Sarana untuk menyadari bahwa Hyang Satu melahirkan keberagaman dan keberagaman tersebut pada akhirnya juga menuju kembali pada Hyang Satu. Bila kita meminum setetes air dari sini maka kita tidak akan merasa haus lagi. Hidup menjadi tentram, damai, dan tidak lagi mempersoalkan perbedaan duniawi.
Bhiku Sasana Bodhitera dari Vihara Gunung Kidul
“Salam damai, senang sekali bisa hadir di sini,”" sapa Bhiku mengawali orasi budayanya. Ia mengaku suka membaca buku-buku Anand Krishna, sering melihatnya di televisi, tapi baru sekarang dapat bertemu langsung. “Sungguh membahagiakan sekali. Suasana ini memberi pengharapan pada bangsa yang besar, plural, dan majemuk,” ujarnya.
Ia tetap optimis, aalaupun peserta yang hadir tidak banyak tetapi mewakili seluruh komponen bangsa. Kita bisa membawa pesan ini ke komunitas kita masing-masing.
Bhiku juga berpendapat bahwa para bapa bagsa kita sangat visioner. Mereka bukan sekedar pujangga, negeri kita sungguh gemah ripah loh jinawi, bahkan ibarat surga di bumi. Tanahnya subur, aneka bunga, buah-buahan, rerumputan tumbuh di sini. Emas dan permata terkandung di dalam bumi Pertiwi.
Tapi ada beberapa anak nakal yang mengadu domba dan hendak menikmati sendiri anugerah tersebut. Khususnya pada beberapa dekade terakhir. Kita berebutan menjadi pejabat, padahal perlu ada juga yang menjadi anggota masyarakat kan?
Bhiku mengajak seluruh peserta yang hadir bertanya pada diri sendiri, “Jangan hanya bertanya pada rumput yang bergoyang, karena jawabannya juga hanya goyangan,” ujarnya dengan penuh canda. Mari bertanya pada diri masing-masing, “Persembahan apa yang telah kita berikan pada Ibu Pertiwi sebagai seorang anak bangsa?”
Selanjutnya dari perwakilan umat Hindu. I Wayan Sumerta, selaku Ketua PHDI Yogyakarta menyampaikan dalam orasinya bahwa dalam Hindu ada istilah Brata. Mirip seperti puasa, intinya ialah mawas diri untuk kembali pada Sang Pencipta.
Anand Krishna juga turut menyampaikan orasi budaya. Tokoh humanis lintas agama ini menyatakan tak perlu berkecil hati walau peserta yang hadir sedikit. Ibarat membuat yoghurt, kita hanya membutuhkan 1 sendok teh kecil untuk merubah 1 liter susu. Kalau terlalu banyak malah terlalu asam.
Sama halnya kalau jumlah kita terlalu besar kita akan ribut sendiri. Dulu hanya 2 orang yang berani memproklamirkan kemerdekaan Indonesia atas nama bangsa Indonesia (Soekarno Hatta). Kurawa juga banyak, Pandawa hanya 5. Saat dikejar-kejar suku Quraish, Nabi Muhammad SAW hijrah dengan belasan orang saja. Tapi Beliau dikenang dalam sejarah umat manusia.
Menurut Anand Krishna, bangsa Eropa tak akan mengenal peradaban tanpa adanya Islam. Saat itu sungguh sulit menuliskan bilangan Romawi. Angka O (Nol/Sunya) berasal dari peradaban Sindhu (dari Gandahar, sekarang Afganistan sampai Astaraley, kini Australia, termasuk kepulauan Nusantara), lantas dibawa ke Arab dan akhirnya sampai ke Eropa. Ironisnya, kita lupa pada itu semua.
Bahkan seorang pejabat, di sebuah acara formal yang dihadiri ratusan orang berkata bahwa kita tak memiliki budaya Nusantara. Padahal Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa Pancasila merupakan nilai-nilai luhur budaya yang berasal dari seluruh kepulauan di Indonesia.
Almarhum ayahanda Anand Krishna berasal dari Pakistan. Pada 1947 Baba Tolaram menjual semua harta miliknya, ia pindah dari Surakarta kembali ke tanah kelahirannya. Keluarganya di sana ada yang beragama Islam, Sikh, Hindu, dll.
Mereka tinggal di satu rumah besar, tapi masih sering bertengkar sendiri. Oleh sebab itulah, ia memilih Indonesia lagi. Ada 2 hal yang menyebabkanya: Bung Karno dan Pancasila. Padahal saat itu ia diberi kebebasan untuk memilih kewarganegaraan. Entah itu Inggris, Pakistan, atau India.
Oleh sebab itulah, saat menjadi duta bangsa dalam forum internasional Parliament of the World’s Religions di Melbourne, Australia pada 2009, Anand menawarkan Pancasila sebagai solusi bagi dunia. Menurutnya, Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangrwa berarti tampaknya berbeda tapi esensinya sama (Appearing many but essentially one).
Dalam orasi budayanya sore itu, Anand juga bercerita tentang Sang Ibu. Bahasa ibunya bahasa Arab. Sehingga ia sedikit-banyak bisa membaca Al-Quran. Bahkan Gurunya, Sheikh Baba yang berprofesi sebagai penjual es balok di Lucknow, India begitu “fanatik” dengan sebuah hadis, berikut ini tafsiran bebasnya, “Bila engkau membiarkan tetanggamu tidur dengan perut kosong, maka engkau belum menjadi seorang Mukmin.”
Senada dengan apa yang disabdakan Yesus, “Cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri”. Di dalam kitab suci Al-Quran juga disampaikan bahwa siapapun yang beramal saleh dan bertakwa maka tak ada kekhawatiran dalam dirinya. Seperti wejangan Sang Buddha, “”Batu-batupun pada akhirnya akan menjadi Buddha.”"
Memang dalam hal akidah, teologi kita tak bisa bersatu. Tapi bukan perbedaan itu yang kita kedepankan, apalagi untuk memicu konflik. Kita musti mengumandangkan kesamaan nilai-nilai universal yang terkandung dalam setiap ajaran agama dan kepercayaan.
Acara di Candi Plaosan ini diakhiri dengan doa bersama. Masing-masing tokoh agama memimpin prosesi sakral tersebut. Ratusan peserta yang hadir berdiri dan memejamkan mata dengan penuh hikmat. Meski berdoa dengan cara berbeda, tapi sejatinya semua berdoa pada Ia Hyang Satu adanya. Saling apresiasi kebhinekaan? Di sini kita sudah praksiskan!
Fotografer:
Ni Wayan Suriastini
Agung Kurniawan
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.2081613133187.115088.1630856758&type=1
Suryaning Dewanti Sudharmadi
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10150262336382662.338021.687112661
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/29/saling-apresiasi-kebhinekaan-di-sini-kita-sudah-praksiskan/