Dimuat di Jawapos, Minggu/25 Desember 2011
Judul : The Happiness Trap
Penulis : Dr. Russ Harris, M.D
Alih Bahasa : C. Krismariana W
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, 2011
Tebal : 320 halaman
ISBN : 978-979-21-2412-5
Harga : Rp 50.000
Buku ini menegaskan bahwa negativitas hendaknya dirangkul, diberi ruang, dan jangan malah disangkal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap fakta mengejutkan. Satu dari 2 orang dewasa sempat serius berpikir untuk bunuh diri. Para responden itu bergumul dengan perasaan itu selama seminggu atau lebih. Depresi juga merupakan penyakit ke-4 terbesar dunia. Bahkan para ahli memprediksi stres kelak menjadi penyakit kedua terbesar (2020).
Buku ini memuat ketrampilan untuk melemahkan pergulatan dalam diri. Penulisnya, Dr. Russ Harris, MD lahir di Liverpool, Inggris. Ia lulus sebagai dokter (1989) dari Universitas Newcastle di Inggris. Lantas, Dr. Russ hijrah ke Negeri Kangguru (1991) dan berpraktik sebagai dokter keluarga. Ia sering berkeliling Australia dan ke negeri manca memberi terapi stres.
Bersama Steven Hayes dan Kelly Wilson dari Amerika Serikat, Dr. Russ meneliti 2 fakultas dalam diri kita.Yakni diri berpikir dan diri mengobservasi. Tugas divisi pertama antara lain berpikir, membuat rencana, dan membandingkan. Sedangkan, diri mengobservasi bertanggungjawab agar fokus, memberi perhatian, dan sadar.
Contohnya tatkala menyaksikan matahari tenggelam. Ada momen saat subjek sekedar mengagumi, “Betapa indahnya…” Sejenak hening, tak ada pikiran berseliweran. Hanya merekam spektrum warna di langit senja. Saat itu diri mengobservasi yang bekerja.
Tetapi, kemudian diri berpikir masuk, “Wow lihatlah warna-warni itu! Ah seandainya aku membawa kamera.” Semakin diri mengobservasi menaruh perhatian pada komentar diri berpikir, kita kian kehilangan kontak dengan matahari terbenam itu sendiri.
Diri berpikir mirip siaran radio 24 jam nonstop. Isinya acara masa depan suram. Selain itu, ia juga mengingatkan trauma masa lampau. Kadang radio itu berhenti beberapa detik.
Para Master Zen menguasai ketrampilan tersebut. Pikiran seolah menjadi sepotong bahasa. Biarkan ia datang dan pergi. Salah satu tekniknya dengan, “Berterimakasih pada Pikiran” (hlm 67).
Dr. Russ mengajak sidang pembaca mengakui eksistensi pikiran yang tak menyenangkan (negative thinking). Berterimakasihlah padanya, dan kembalikan perhatian pada apa yang sedang kita kerjakan. ACT (Acceptance and Commitment Therapy) berbeda dengan teori pikiran positif. Metode postitive thinking ibarat menyalakan siaran radio kedua.
ACT berbeda pula dengan menafikan siaran radio pertama. Semakin kita menghindar, kian terasa sangat mengganggu suara itu. Penerimaan ialah kuncinya. Ada teknik pernafasan sederhana untuk melatih keterampilan tersebut (hlm 88).
Secara lebih mendalam, diulas pula 6 prinsip ACT. Antara lain: Ekspansi, yakni memberi ruang bagi perasaan tidak menyenangkan. Bukan menekan atau menyingkirkannya. Kalau kita memberi ruang bagi emosi negatif, mereka akan segera pergi dan tak terlalu mengganggu.
Selanjutnya adalah keterhubungan, yakni hidup di masa sekarang. Alih-alih berkubang di masa lalu atau mengkhawatirkan masa depan, lebih baik terhubung dengan apa yang sedang terjadi. Seperti petuah Master Shifu dalam film Kung Fu Panda I, “Masa lalu ialah sejarah, masa depan masih misterius. Hari ini ialah berkah. Itulah kenapa disebut hadiah.”
Pelayaran
Keunggulan buku ini mampu menggambarkan teori rumit dengan analogi sederhana. Ihwal dikotomi kesadaran dan emosi bawah sadar (subconscious), Harris mengilustrasikan lewat adegan pelayaran. Bayangkan kita mengemudi kapal di tengah lautan. Pada lambung kapal mendekam segerombolan iblis. Mereka bercakar runcing, bergigi tajam. Wujud setan itu beraneka ragam. Berupa emosi rasa bersalah, marah, takut, dan tak berpengharapan (hopelessness).
Selama kita menjaga kapal tetap berlayar di lautan, para iblis tetap tinggal di bawah. Tapi ketika kita mulai mengarahkan kapal menuju daratan, mereka akan naik ke dek, mengepak-ngepakkan sayap, memamerkan gigi tajamnya, dan mengancam akan menyobek-nyobek kita jadi serpihan kecil.
Tapi bila diamati secara cermat, iblis-iblis itu tidak pernah bisa menyakiti secara fisik. Mereka hanya bisa menggeram dan melambaikan cakarnya. Sejatinya, kita bebas selama kita bersedia menerima keberadaan mereka. Biarkan para iblis melolong, toh mereka tidak punya kekuatan apa pun atas diri. Energi iblis berbanding lurus dengan kepercayaan kita terhadap mereka.
Russ melihatnya sebagai konsekuensi evolusi. Spesies Homo Sapiens berumur ratusan ribu tahun. Manusia awal hidupnya masih nomaden, berburu, dan mengumpulkan makanan. Pikiran leluhur kita mengingat satu instruksi, “Jangan terbunuh!” Faktor penting agar tetap survive ialah mengenali lingkungan sekitar. Sebab, mungkin ada buaya di kolam itu.
Ternyata pada zamam modern, pikiran kita juga melakukan hal serupa. Bedanya bukan srigala berbobot 200 kg ancaman kita, tapi kehilangan pekerjaan, ditilang polisi, tak bisa membayar tagihan listrik, demam panggung, terserang kanker, dan ketakutan ditolak. Tak peduli seberapa kuat para iblis mengancam. Biarkan mereka berputar-putar.
Buku ini bisa menjadi bacaan alternatif. Tatkala rak-rak toko buku mengerang menahan beban tumpukan buku motivasi berdasarkan pernyangkalan emosi negatif. Dr. Russ Harris memberi resep sederhana, “Rangkul negativitas sebagai keniscayaan hidup. Penerimaan ialah langkah pertama untuk merubahnya menjadi energi kreativitas.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris PKBM Angon (Sekolah Alam) Jogjakarta)