Dimuat di Koran Merapi, Rabu/17 Oktober 2012
Kemajemukan merupakan modal utama untuk saling menyempurnakan.
Ibarat semburat warna-warni pelangi yang indah. Ironisnya, masih
terjadi tindak kekerasan karena perbedaan cara pandang terhadap Tuhan
Hyang Maha Esa. Kekerasan politis-ekonomis berkedok suku, ras, agama,
antargolongan (SARA) terus menghantui kerukunan hidup umat beragama dan
kepercayaan di Indonesia.
Berdasarkan data Wahid Institute, tahun 2011 terjadi 92
kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah tersebut
meningkat 18% dari tahun sebelumnya, 62 kasus. Bahkan, pada medio Mei
2012, PBB melansir Indonesia sebagai negara yang kehidupan beragamanya
rawan konflik.
Akarnya tentu arogansi manusia yang merasa diri paling benar. Dalam tradisi Kejawen disebut Rumangsa Bisa - Nanging Ora Bisa Rumangsa.
Bahkan walau itu terkait misteri Ketuhanan sekalipun, padahal jumlah
helai rambut sendiri di kepala masih belum tahu pasti. Menurut hemat
penulis, kecenderungan tersebut berkelindan erat dengan sistem
pendidikan nasional.
Dalam konteks ini, pendidikan budi pekerti menjadi urgen. Australia
menjadi satu dari 10 negara yang memiliki tingkat kriminalitas terendah.
Sebaliknya, Indonesia justru rawan menjadi negara gagal dengan tingkat
tindak kekerasan duduk di no. 3 dunia. Ternyata, para pendidik di
Australia lebih khawatir jika murid mereka tidak jujur, tidak mau
mengantri dengan baik, tidak memiliki rasa empati pada orang lain, dan
nilai-nilai keutamaan (virtue values) lainnya. Ketimbang anak didik tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Dalam konteks calistung atau menaikkan nilai akademik (grade),
hanya perlu waktu 3-6 bulan. Namun untuk mendidik karakter dan budi
pekerti seorang anak, butuh waktu lebih dari 15 tahun. Para pelaku
tindak kekerasan verbal dan fisik berkedok SARA tidak lahir kemarin
sore. Mereka merupakan “buah” dari metode pembelajaran yang satu arah,
cenderung dogmatis, dan fanatis di kelas.
Ironisnya, untuk mengubah perilaku orang dewasa yang terlanjur
"rusak", tak semudah membalik telapak tangan, butuh tekad dan upaya
keras. Menurut riset para psikolog, mengajarkan budi pekerti dan
multikultural waktunya sangat terbatas. Dimulai saat balita dan berakhir
ketika mereka duduk di bangku kuliah. Sedangkan, untuk mengajarkan
calistung bisa diajarkan kapan saja.
Selain itu, membangun keharmonisan peri kehidupan beragama musti
dilakukan secara sadar dan terpadu. Caranya lewat gotong-royong
melibatkan semua komponen bangsa. Baik pemerintah, tokoh masyarakat,
tokoh agama, keluarga, dan last but least, lembaga pendidikan.
Ki Hadjar Dewantara pun menandaskan, “Alam hidup manusia adalah alam
hidup berbulatan. Kita hidup dalam alam-alam khusus yang saling
berhubungan dan mempengaruhi. Alam khusus tersebut adalah alam diri,
alam bangsa, dan alam kemanusiaan.” (Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara, 2004)
Minat Baca
Jika ditelisik lebih dalam, tingkat fanatisme berbanding terbalik
dengan ketekunan membaca buku. Kenapa? Sebab seperti kata pepatah, buku
merupakan jendela dunia dan gudang ilmu. Dalam bahasa Inggris pun,
menurut Maya Safira Muchtar kepanjangan akronim Book ialah (Broad ocean of knowledge) alias samudera pengetahuan yang begitu luas.
Hasil survei UNESCO sangat mengejutkan. Badan PBB yang mengurusi
bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya tersebut menyatakan
Indonesia merupakan negara di ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang minat baca masyarakatnya paling rendah (Warta Online: 2011). Bahkan tahun 2012 ini kian merosot lagi.
Indeks membaca masyarakat Indonesia hanya berada pada kisaran 0,001.
Artinya dari 1000 penduduk, hanya ada 1 orang yang masih memiliki minat
baca tinggi. Angka tersebut masih sangat jauh dibanding angka minat
baca di Singapura. Indeks membaca negeri bekas jajahan Inggris tersebut
mencapai 0,45.
Anjloknya minat baca masyarakat terjadi karena maraknya media
elektronik (baca: televisi dan internet). Padahal kedua media tersebut
kebanyakan berisi tayangan hiburan (infotainment) dan iklan komersial (advertisement). Sehingga kian menjauhkan masyarakat dari budaya (mem)baca.
Faktor lain yang menyebabkan rendahnya minat baca masyarakat
Indonesia ialah keterbatasan ekonomi. Sehingga akses masyarakat terhadap
buku semakin langka. Kenapa? karena untuk memenuhi kebutuhan pangan
sehari-hari saja sudah mepet. Apalagi untuk membeli koran, buku, atau
bahan bacaan lain.
Dalam konteks ini, komitmen pemerintah untuk menyediakan bacaan
berkualitas dan murah menjadi signifikan. Keberadaan koran bersama di
pos kamling, perpustakaan umum, dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) juga
perlu terus digencarkan.
Khusus sebagai pendidik, kita juga bisa turut terlibat meningkatkan
minat baca di kelas. Tentu bukan sekadar bacaan yang terkait mata
pelajaran yang kita ampu, tapi juga buku-buku ilmu pengetahuan lainnya.
Salah satu yang paling menarik ialah lewat media buku cerita. Misalnya
komik pewayangan karya (alm) R.A. Kosasih ataupun cerita rakyat dari
pelbagai wilayah Nusantara.
Sedikit sharing, dalam mengajar bahasa Inggris penulis menggunakan referensi Kumpulan Dongeng Motivasi, Stories of Great Virtue (Arleen A, BIP: 2012). Setiap
akhir pelajaran cukup dibacakan 1 dongeng. Ibarat pepatah, sekali
mendayung dua tiga pulau terlampaui, selain belajar kosakata bahasa
Inggris, anak didik juga belajar nilai-nilai budi pekerti. Antara lain
seperti kejujuran (honesty), kegigihan (persistent), kesetiaan (loyalty), pengampunan (forgiveness), dll. Dengan teknik mendongeng, kesannya tidak menggurui. Sehingga lebih mudah dicerna anak didik. Wewarah tersebut merupakan makanan batin yang bergizi.
Pungkasnya, membaca pun merupakan jurus ampuh untuk terus belajar dalam hidup (long life learning).
Bila pada era revolusi kemerdekaan para pejuang mengangkat senjata
demi meraih kemerdekaan politis. Saatnya kini segenap putra-putri Ibu
Pertiwi menyelami alam pikir demi meraih pencerahan budi. Tapi bukan
dengan pedang, pentungan dan bom melainkan menyitir pendapat Dr. DJ
Schwartz, "Kita harus terus belajar, terus membaca, banyak membaca,
untuk bisa belajar dari orang lain, belajarlah dari pengalaman orang
lain, dengan belajar kita bisa melipatgandakan produktivitas dan
kreativitas kita."