Dimuat di Pedoman News, Rabu/15 Februari 2012
http://www.pedomannews.com/opini/berita-opini/politik/10839-mendesak-dpr-segera-naik-kelas
Pada suatu pagi seorang Guru SD bertanya kepada para murid, "Anak-anak, kalau sebuah pesawat Boeing 747 mengangkut 560 anggota DPR dan terjatuh dari ketinggian 2.000 kaki, berapa orang kemungkinan yang selamat?" Mereka serempak menjawab, "250 Juta penduduk Indonesia yang selamat!" Anekdot ini marak beredar di dunia maya. Sebuah ekspresi kritis terhadap perilaku anggota perlemen yang lupa pada amanah penderitaan rakyat.
Dari kalangan akademisi, Dr. W Riawan Tjandra juga menyoroti tingkah-polah anggota DPR dewasa ini. Karena penghuni Senayan itu tak kunjung beranjak dari masalah toilet. Yang paling aktual ialah ulah Kesekretariatan Jenderal (Setjen). Mereka hendak merenovasi ruang Badan Anggaran (Banggar) dengan anggaran Rp20 Miliar. Seperti termaktub dalam surat pengumuman Setjen DPR-RI No. 523111/MUM_U/BANGGAR/03/GP/2011.
Menurut analisis Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini, besar kemungkinan "kebijakan" ini merupakan strategi merenovasi gedung DPR secara satu-persatu. Karena sebelumnya rencana pembangunan "istana" Senayan secara keseluruhan - dengan model gedung parlemen Chili - mendapat kecaman keras dari publik.
Associate Researcher Institute for Research and Empowerment (IRE) ini juga menandaskan bahwa seharusnya kinerja DPR lebih pada peningkatan kualitas pola checks and balances antarporos kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Penulis sepakat dengan pendapat Dosen Fakultas Hukum (FH) tersebut. Dalam fase konsolidasi demokrasi, peran DPR memang sebagai artikulator kepentingan konstituen.
Indikator
Apakah indikatornya? Menurut Riawan ada 2 hal. Pertama: secara substansial, kinerja DPR harus mampu melindungi hak dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedua: secara prosedural, berbagai keputusan politik haruslah partisipatif. Ironisnya, semua tolok ukur tersebut dikesampingkan.
Salah satunya ihwal terjaminnya hak setiap warga negara. DPR bungkam tatkala terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) - terutama yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat Komisioner HAM telah menyampaikan surat diplomasi kepada Kementerian Luar Negeri pada April 2011 silam.
Menurut UN Program Manager Human Rights Working Group (HRWG) Ali Akbar Tanjung, PBB meminta pemerintah memerangi segala jenis tindakan intoleran, diskriminatif, dan kekerasan terhadap kaum minoritas. Dalam konteks ini, peran DPR menjadi signifikan. Yakni untuk mendesak pemerintah agar menanggapi surat diplomasi tersebut lewat tindakan nyata. Sehingga masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan - khususnya konflik GKI Yasmin dan Ahmadiyah - dapat segera dituntaskan.
Jika surat tersebut tak ditanggapi, Indonesia akan dilaporkan pada sidang dewan HAM PBB pada Maret 2012 mendatang. Sikap acuh DPR dan kelambanan pemerintah niscaya memperburuk citra Indonesia di dunia internasional. Yang lebih parah, konflik horisontal di akar rumput akan semakin panas.
Misalnya berupa insiden pembubaran Pengajian Tahunan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) di Kompleks Sekolah PIRI Baciro (13/1) di Yogyakarta. Padahal selama 84 tahun penyelenggaraan pengajian rutin itu, tidak pernah terjadi kericuhan.
Kesejahteraan
Parameter substansial lainnya ialah peningkatan kesejahteraan. Muhammad Yunus dalam upacara wisuda di MIT tertanggal 6 Juni 2008 mengungkap teladan nyata. Sang pelopor mikrokredit ini mengatakan, "Kami menciptakan perusahaan untuk menghasilkan air minum berkualitas di sebuah dusun di Bangladesh. Kami berkolaborasi dengan perusahaan air terkemuka."
Bangladesh memang memiliki masalah air minum. Di sebagian besar wilayah, sumber air terkontaminasi arsenik. Perusahaan bisnis sosial ini akan menjadi prototipe penyuplai air bersih murah secara berkelanjutan. Selain itu, mereka juga mendirikan rumah sakit mata spesialis operasi katarak. Setiap tahun mampu melayani 10.000 pasien.
Sedangkan dalam bidang TIK (Teknologi Informasi Komunikasi) mereka menandatangani kesepakatan dengan sebuah pabrikan komputer. Sehingga pelayanan berbasis IT kepada masyarakat miskin terakomodir. Proses pemasaran, pendidikan, dan pengiriman uang berjalan dengan lancar. Bahkan sebuah perusahaan sepatu terkemuka ingin membuka bisnis sosial. Mereka hendak memastikan tidak ada orang bepergian tanpa sepatu.
Last but not least (terakhir tapi penting) sebuah perusahaan farmasi terkemuka berencana memproduksi suplemen gizi. Sehingga para ibu hamil bisa membelinya dengan harga murah (http://aditya87.wordpress.com/2008/10/08/m-yunus-change-the-world). Kalau di Bangladesh saja bisa, DPR RI pun dapat menginisiasi hal serupa di Indonesia.
Partisipatif
Selain 2 masalah subtansial di atas. Perlu kita cermati prosedurnya. Kata kuncinya ialah partisipatif. Faktor transparasi menjadi syarat utama. Sebelum mengambil keputusan DPR harus mensosialisasikannya kepada publik. Sebab mereka hanya wakil, rakyatlah yang menjadi "bos".
Penulis memberi contoh dari pengalaman sehari-hari di kelas. Bersama para murid kami menentukan aturan main selama proses pembelajaran. Semua anak dilibatkan, ditanya apa pendapatnya? Hingga sampailah pada kata mufakat. Sehingga suasana di kelas terasa begitu menyenangkan.
Menarik juga apa yang diusulkan Hendra Sugiantoro. Intelektual muda ini menyampaikan gagasan demi terwujudnya parlemen yang bersih, bertanggung jawab, profesional, dan kontributif. Sebagai metafornya dinamai ”DPR Lebah”. Ada beberapa sifat lebah yang perlu dimiliki wakil rakyat.
Antara lain, lebah tidak merusak dan tidak melukai jika tidak diganggu. Lebah tidak mematahkan ranting yang dihinggapinya dan tidak melakukan perusakan. Artinya, anggota DPR harus terus mendorong transformasi, menentang kezaliman, dan menghentikan korupsi sistemik. Bukan justru sebaliknya.
Selain itu, lebah hanya menyerang jika diganggu, anggota parlemen pun siap menangkal setiap tindakan yang merugikan bangsa dan negara. Wakil rakyat harus mempertahankan aset-aset strategis agar bisa dimanfaatkan sebesar-sebesar untuk kepentingan anak bangsa. Lebah juga mampu bekerjasama dan tidak mementingkan ego.
Artinya, anggota DPR harus bekerja demi kepentingan yang lebih luas. Jangan terpecah-belah karena agenda tertentu. Flatform bersama kita ialah mewujudkan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur (http://pena-profetik.blogspot.com/2009_10_20_archive.html)
Dalam kitab kearifan China "I Ching" ada petuah "Shih" alias Kepemimpinan. "Seorang pemimpin yang bijak akan turun ke lapangan. Ia tidak hanya memerintah, ia juga akan ikut berkarya." (I Ching - Bagi Orang Modern, Anand Krishna : 2002). Selama 5 tahun masa jabatan, anggota parlemen musti dekat dengan para konstituen.
Mereka harus rela blusukan ke akar rumput (grassroot). Sehingga dapat merasakan jantung berdegup kencang tatkala bergelayutan di jembatan "Indiana Jones" seperti anak-anak di dusun Sahiang Tanjung, Lebak, Banten.
Akhir kata, penulis teringat sindiran (almarhum) Gus Dur. Beliau mengatakan anggota DPR mirip Taman Kanak-kanak (TK). Konon kritik pedas ini yang membuat wakil rakyat berang dan bersekongkol melengserkanya dari kursi kepresidenan. Sikap reaktif semacam ini mesti dihilangkan. Saatnya DPR bermawas diri dan segeralah naik kelas.
T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Ekskul Bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman, Yogyakarta