Dimuat di Flyer Majalah Pendidikan Online Indonesia, MJEDUCATION.CO edisi Februari 2013
http://mjeducation.co/cooperative-learning-sekolah-sebagai-fasilitator/
Wawancara dengan T. Nugroho Angkasa, S.Pd - Guru Sekolah Alam
Cooperative Learning: Sekolah sebagai Fasilitator
Pewawancara: Madeline Lu, seorang ibu satu anak yang cukup
health-conscious, punya big passion di bidang baking, tarik suara.
dan scrapbooking. Lulusan Food Science yang terlanjur jatuh cinta
dengan dunia tulis menulis.
Wah, ternyata sekolah alam memiliki konsep yang cukup menarik ya?
Untuk mengetahui lebih dalam tentang sekolah alam, reporter
MJEDUCATION.CO telah mewawancarai Bapak T. Nugroho Angkasa S.Pd. Beliau
adalah salah satu tenaga pendidik Sekolah Alam PKBM Angon, Yogyakarta.
Yuk, kita ikuti hasil wawancara tersebut!
Apa arti dan tujuan didirikan sekolah alam?
Sekolah Alam PKBM Angon digagas oleh Drs. Istoto Suharyoto MM. C.Ht
http://www.istotosuharyoto.com/
pada tahun 2010 di Maguwoharjo, Yogyakarta. Beliau semula bekerja
dalam bidang pemasaran di sebuah penerbitan buku, tapi kemudian banting
setir menjadi seorang
trainer dan
life coaching berbasis NLP
(Neuro Linguistic Programming).
Kecintaan ayah 3 anak pada dunia pendidikan dan lingkungan hidup
mendorong alumnus Pendidikan Guru Teknik dan Magister Managemen
tersebut mendirikan Sekolah Alam PKBM Angon. Berhubung kesibukannya
lebih banyak di luar kota, untuk urusan operasional sehari-hari,
administrasi, dan kurikulum dipercayakan kepada Bu Susan, Bu Valensia
Ng, dan Bu Yulia Loekito. Saya sendiri mulai bergabung sebagai
fasilitator di Angon sejak Agustus 2011.
“Angon” dalam bahasa Jawa berarti “menggembalakan”. Wong angon senantiasa bersikap membimbing, ngemong,
membebaskan tapi tetap menjaga dan waspada. Penggembala juga memunyai
sifat welas asih dan menentramkan hati. Tujuan pendirian sekolah alam
PKBM Angon ada 2. Pertama, untuk mengembangkan karakter/sikap. Kedua, untuk memupuk kecintaan pada lingkungan sekitar.
Sekolah Alam PKBM Angon atau lebih sering disingkat Bale Belajar
Angon sejak awal tidak berpretensi menjadi substitusi sekolah
konvensional. Kami memilih peran sebagai penyeimbang saja. Sebab dewasa
ini pendidikan formal sekadar berfokus pada ranah pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill). Padahal ada satu lokus yang tak kalah penting, yakni sikap (attitude). Dalam konteks pendidikan, tentu sikap positif dan konstruktiflah yang dioptimalkan.
Bale Belajar Angon terletak di daerah pedesaan di Dusun Stan,
Maguwoharjo. Hamparan ladang hijau masih membentang, sejuk semilir
angin menemani di pagi dan sore hari, suara gemericik air sungai,
riuh-rendah nyanyian ternak menjadi semacam musik alam. Ironisnya,
ancaman pemanasan global (global warming) kini berada di depan mata.
Oleh sebab itu, semua sivitas akademika Angon berkontribusi lewat
tindakan nyata. Antara lain dengan menanam pohon jabon (jati kebon),
sengon, buah-buahan (jambu air, jambu biji, rambutan, kelengkeng,
mangga, markisa, talok, sirsak, pisang, dll) berkebun sayur-mayur
organik (bayam, kangkung, loncang, seledri, terong, cabai, kacang
panjang, tomat, dll) memelihara kambing, ikan, ayam, kalkun, dll.
Silakan lihat foto-fotonya di
http://www.angon.org/
Memilih sekolah selalu menjadi problema klasik bagi setiap
orang tua di Indonesia. Untuk memilih sekolah konvensional saja, orang
tua harus menimbang dengan hati-hati, terlebih dengan pilihan sekolah
alternatif seperti sekolah alam. Menurut Anda, apa yang menjadi alasan
para orang tua memasukkan anak2 ke sekolah alam?
Menurut saya karena sebuah ironi, tatkala kemajuan teknologi ITC (Information Technology Communication)
begitu pesat, anak-anak justru kian jauh dari alam. Misalnya, anak-anak
lebih betah berlama-lama duduk di depan layar kaca bermain PS (Play Station)
ketimbang bermain layang-layang di tanah lapang. Kemudian, anak hanya
tahu minuman sari buah-buahan yang sudah dalam kemasan, padahal ada
sensasi tersendiri saat memetik langsung di pohonnya.
Selain itu, menurut pengamatan saya selama menjadi guru, anak-anak
cenderung jadi lebih individualistik. Di satu sisi bagus karena
mendongkrak prestasi pribadinya, namun di sisi lain jadi kurang bisa
bersosialisasi. Nah sekolah alam menawarkan solusinya, yakni
dengan membawa anak belajar langsung di alam dan memfasilitasi dengan
aneka dinamika kelompok serta permainan tradisional.
Menurut Anda, apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dari sekolah alam dibandingkan sekolah konvensional?
Kelebihan sekolah alam tentu terletak pada lokasinya. Alangkah
mengasyikkan, saat anak belajar di tengah areal persawahan, menghirup
udara segar yang masih belum terpapar CO2 berlebih, sembari duduk
lesehan di joglo bambu yang relatif terbuka, sehingga semilir angin
membelai rambut, gemericik air sungai juga menjadi musik latar (back sound)
guru yang menerangkan pelajaran. Saat anak merasa nyaman dan bahagia,
materi otomatis lebih mudah dicerna. Saat istirahat, mereka juga bisa
bermain di atas rerumputan, boleh tak mengenakan alas kaki.
Kekurangannya? apa ya...hehe sampai saat ini, saya begitu menikmati
proses pembelajaran di sekolah alam.
Sedikit sharing, sebelumnya saya juga pernah mengajar
bahasa Inggris di sekolah menengah pertama dan atas (SMP dan SMA)
konvensional. Rasanya memang sangat berbeda, mengajar di dalam kelas
yang tertutup rapat bahkan kadang ber-AC dengan mengajar anak-anak di
tengah alam terbuka. Apalagi saya termasuk orang yang naturalis. Dalam
arti, suka sekali berada di alam. Kalau ada waktu senggang, saya juga
suka hiking ke gunung.
Bale Belajar Angon juga menyusun kurikulum berdasarkan NLP. Sampai
pada silabus pun harus detail dan padu. Intinya bagaimana kita
memaksimalkan anugerah Tuhan yang paling dahsyat, yakni inteligensia.
Lantas, potensi tersebut diabdikan demi kemuliaan segenap titah
ciptaan-Nya.
Berapa perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk dapat
bersekolah di sekolah alam? relatif lebih murah/mahalkah dibandingkan
dengan sekolah konvensional?
Di Bale Belajar Angon, besaran biaya tergantung pada subjek apa yang
diambil oleh anak didik. Mereka (tentu didampingi orang tua) bebas
memilih sendiri. Antara lain belajar menyemai biji-bijian, menanam di
bedengan, menyirami tanaman, membuat pupuk organik (cair dan padat),
membuat fermentasi pakan ternak, membuat telur asin, membatik dengan
pewarna natural, membuat layang-layang, memberi makan ternak, out bound,
dinamika kelompok, memilah sampah, membuat kerajinan dari
barang-barang bekas, membuat anyaman dari daun pisang, merakit mainan
dari pelepah pisang, memanen buah-buahan dan sayur-mayur, meracik dan
memasaknya sendiri, permainan tradisional egrang, benthik, petak umpet,
bakiak, dakon, hola hoop, karet, bahasa Inggris, dll.
Kalau dibandingkan dengan sekolah konvensional relatif lebih murah.
Selain itu, untuk menulis dan membuat refleksi pembelajaran, anak-anak
boleh menggunakan boleh menggunakan kertas bekas. Kami juga belajar
membuat kertas daur ulang sendiri. Untuk makan, kami juga lebih banyak
memetik dari hasil kebun dan sawah sendiri.
Bisa jelaskan secara singkat mengenai metode pengajaran dan jam belajar di sekolah alam?
Metode pembelajaran di Angon dengan Cooperative Learning.
Oleh sebab itu, kami lebih suka disebut fasilitator. Sejak dari awal
anak memilih sendiri apa yang hendak mereka pelajari. Jadi proses
pembelajaran lebih lancar. Karena anak memang niat belajar materi
tersebut. Para fasilitator sebagian besar lulusan Pendidikan Bahasa
Inggris (PBI), jadi anak bisa memilih mau belajar menggunakan pengantar
bahasa Indonesia atau bahasa Inggris (bilingual).
Kami juga menghindari proses belajar satu arah. Guru berceramah di
depan kemudian anak-anak sekadar mendengarkan. Selain sangat
membosankan, juga menafikan kemampuan anak-anak. Prinsipnya, baik
fasilitator dan peserta didik sama-sama belajar.
Jam belajar aktif di Angon mulai pagi 08.00-11.00 WIB dan sore
15.00-17.00 WIB. Waktu tersebut dipilih karena sinar matahari relatif
teduh. Selain jam-jam tersebut, anak-anak boleh bermain, makan, membaca
di perpustakaan, atau pun tidur siang.
Lalu bagaimana juga dengan sistem penilaian di sekolah alam?
apa yang menjadi parameter kelulusan? bagaimana dengan rapor? lalu
apakah ada istilah “tinggal kelas” untuk para siswanya?
Rapor diberikan setiap akhir semester (Juni dan Desember). Ada 3 parameter penilaian di sekolah Alam Angon. Pertama, terkait penguasaan materi yang diberikan. Misalnya, saat belajar bahasa Inggris, bagaimana pronunciation (pelafalan), penguasaan kosakata (vocabulary), kefasihan menggunakannya dalam kalimat tertulis maupun lisan, dst. Kedua,
terkait sikapnya selama proses belajar. Misalnya, apakah anak
tersebut mandiri, percaya diri, proaktif, bisa bekerjasama dengan
teman, menghormati orang yang lebih tua dan ngemong adik yang lebih
muda, dst. Ketiga, terkait niat, apakah anak memiliki determinasi tinggi dalam belajar?
Selain itu, kami juga menggunakan MI Observed berdasarkan
teori Howard Gardner. Setiap anak unik, mereka memiliki kecenderungan
visual, kinestetik, musikal, interpersonal, naturalis, intrapersonal,
verbal, dll. Pengamatan tersebut memudahkan proses pembelajaran dan
pemilihan media ajar secara tepat.
Tak ada istilah tinggal kelas, semua naik kelas. Satu prinsip yang
dipegang oleh para fasilitator, semua anak cerdas, kalau ada yang belum
bisa, kamilah yang harus bertanya pada diri sendiri, “Cara apa lagi
yang harus aku pakai agar anak didik bisa?”
Adakah kriteria/ syarat khusus untuk dapat diterima di
sekolah alam? Apakah sekolah alam hanya untuk lingkup target market
tertentu?
Tak ada kriteria khusus, semua anak-anak yang mau belajar di tengah
alam dan mengembangkan sikap/karakter diterima. Tak ada target market
tertentu, terbuka untuk umum.
Apakah sekolah alam menerima anak-anak miskin dan terlantar serta anak-anak berkebutuhan khusus?
Ya, siswa-siswi dari Panti Asuhan Ganjuran, Bantul, Yogyakarta
pernah belajar bersama di Angon. Ada cerita unik. Salah satu anak
memiliki kemampuan khusus. Ia dapat menangkap ular. Seperti Panji di
serial televisi. Selain itu, anak-anak warga sekitar di Dusun Stan juga
rutin mengikuti les bahasa Inggris.
Nah kalau anak-anak berkebutuhan khusus, kami belum pernah
mendampingi. Tapi tak menutup kemungkinan bila ada yang mendaftar,
sebab Bu Yulia Loekito pernah memiliki pengalaman mengajar anak-anak
berkebutuhan khusus sebelum bekerja di Bale Belajar Angon.
Berkliblat kemanakah sistem pendidikan sekolah alam?
Pendidikan Karakter dan Kesadaran Ekologis.
Siswa-siswi seperti apa yang sudah ‘dihasilkan’ oleh sekolah
alam? Apakah saat ini ‘produk’ siswanya sesuai dengan harapan para
pendiri sekolah alam?
Ya bahkan lebih dari ekspektasi awal. Karena ada ikatan batin yang
kuat selama belajar di sini. Misalnya, para alumnus selalu menyempatkan
diri datang lagi ke Angon. Selain rindu dengan suasana pedesaan,
mereka juga ingin melihat tanaman yang mereka tanam apakah sudah
berbuah, sudah sebesar apa ternaknya sekarang, apa sudah
beranak/bertelur? dst.
Satu hal yang mencolok dari alumnus Angon ialah mau menghargai
proses. Seturut hukum alam, tiada yang instan di dunia ini. Misalnya
saat menanam benih cabai, minimal harus menunggu 3 bulan untuk memanen
hasilnya. Itu pun harus rajin merawat, memupuk, dan menyiraminya jika
tak musim hujan.
Selain itu, mereka juga jadi lebih mandiri, bertanggungjawab dan
berani. Beberapa waktu lalu, 100 siswa-siswi kelas 5 SDN Karang Turi
Semarang berkunjung ke Angon. Mereka menginap selama 2 malam 3 hari.
Karena terlalu banyak, maka dibagi menjadi dua gelombang. Yang
perempuan menginap di rumah-rumah penduduk, jadi semacam live in. Sedangkan yang laki-laki tidur di joglo bambu beralaskan tikar.
Selama berada di Angon mereka harus membantu memasak di dapur,
mencuci piring, membersihkan kamar mandi dan WC, memberi makan ternak,
menyirami tanaman, menyapu halaman, dll. Awalnya terasa berat, namun
saat akan pulang banyak yang menangis karena masih ingin berada di
Angon.
Sekolah alam di Indonesia hanya ada di tingkat sekolah
dasar? Apakah anak-anak sekolah alam yang nantinya akan bersekolah di
tingkat lanjutan dapat menyesuaikan diri dengan kurikulum dan metode
pendidikan yang berbeda?
Topik ini masih jadi perbincangan serius di kalangan para praktisi
di sekolah alam. Di satu sisi, ada yang berpendapat karena
diperkenalkan pada alam sejak masa golden age, otomatis
kecintaan pada lingkungan tersebut akan terus tertanam hingga mereka
dewasa. Namun ada juga yang berargumen alangkah baiknya jika ada juga
sekolah alam tingkat menengah pertama, menengah atas, dan bahkan
universitas.
Bagaimana menurut pandangan Anda sebagai tenaga pendidik
sekolah alam menyangkut perubahan kurikulum di tahun mendatang ?
Apakah akan ada pengaruh yang dramatis dalam pengajaran di sekolah
alam dengan adanya kurikulum baru ini?
Menurut saya penyeragaman kurikulum nasional dari Sabang sampai
Merauke, di satu sisi memudahkan standarisasi. Tapi di sisi lain
menafikan kekhasan lingkungan setempat. Pemerintah harus memberi ruang
yang lebih luas untuk muatan lokal dan pembelajaran berperspektif
ekologis. Materi permainan tradisional dan menanam pohon sebaiknya
masuk ke dalam kurikulum. Sekadar ide, bagaimana kalau setiap satu
semester setiap anak dan guru wajib menanam pohon di pekarangan
sekolah?
Perubahan kurikulum nasional tak banyak berpengaruh. Karena selama
ini kami di sekolah alam membuat program pembelajaran sendiri berbasis
NLP dan perspektif ekologis.
Fotografer: Gala Duta, Siswi kelas 3 SMA Stella Duce I Yogyakarta
Siswi SD Karang Turi Semarang Berkunjung ke Angon Yogyakarta