Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/1 Maret 2013
http://mjeducation.co/ menjadi-saksi-keluasan-cakr awala-hidup/
http://mjeducation.co/
Judul: Di Simpang Peristiwa, Mencatat Peristiwa Menuai Hikmah
Penulis: Friedz Meko, SVD
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/ Juli 2012
Tebal: xxxiii + 249 halaman
ISBN: 978-979-22-8590-1
Harga: Rp63.000
Alkisah,
hiduplah seorang nenek berusia 70 tahun. Ia mempunyai tujuh orang anak,
tiga putri dan empat putra. Suaminya sudah meninggal 38 tahun silam.
Pasca menikah, mereka hanya sempat hidup bersama selama 18 tahun.
Tatkala sang suami wafat, anak-anaknya masih kecil, tapi kini mereka
sudah besar dan menjadi orang sukses. Ada yang punya jabatan di
pemerintahan, ada yang menjadi pengusaha, ada yang menjadi dosen, dan
ada pula yang jadi tentara.
Tak dapat dipungkiri, nenek tersebut merasakan kegetiran di tahun
pertama pasca suami tercinta meninggal dunia. Hampir setiap malam ia
menangis dan larut dalam kesedihan. Acap kali ia terbangun di tengah
malam karena mimpi bertemu dengan arwah sang suami. Bahkan hingga pagi
ia tak dapat tidur dan akhirnya memutuskan berdoa di depan arca Bunda
Maria.
“Saat-saat hening berdiam diri di depan patung Bunda Maria, saya
mengalami keteguhan hati. Saya memang merasa sendirian, tetapi
sesungguhnya Bunda senantiasa menemani saya. Sehingga perlahan seiring
bergulirnya waktu, saya mempunyai keberanian dan rasa optimis untuk
berjuang membesarkan anak-anak sambil terus bekerja sebagai perawat.”
(halaman 47)
Menurut Romo Freidz, nenek tersebut ialah profil single parent yang kuat dan beriman. Mereka bertemu di stasiun kereta api di Dublin. Saat itu, beliau sedang asyik membaca buku Saying YES to Life
karya Catherine McCann. Walau mengenakan kacamata tebal, nenek itu
tekun membaca seperti layaknya seorang mahasiswa. Setiba di kota Cork,
sang nenek turun dari kereta. Perjumpaan singkat tersebut diabadikan
dalam artikel, “Saya Tidak Sendirian (renungan no. 8)”.
Buku “Di Simpang Peristiwa, Mencatat Peristiwa Menuai Hikmah” memang
mengisahkan perkara-perkara sederhana. Kemudian ibarat koki, penulis
meramunya dengan rasa religiositas. Dr. Paul Budi Kleden, SVD turut
membubuhkan apresiasi pada kata pengantar, “Saat berada di simpang
peristiwa, Freids Meko, SVD tidak hanyut di dalamnya ataupun terseret
oleh arus. Ia sanggup mengambil jarak imajiner, memandang dari tempat
tertentu, dan piawai memberi penilaian yang mendalam” (halaman xxxiii).
Sistematika buku ini terdiri atas 4 bab, yakni “Memaknai Realitas
Sekitar”, “Memahami Raut Negeriku Merah Darahku”, dan “Membaca Pesan
dari Langit Suci”. Sebagian besar artikel pernah dimuat di Majalah
Bentara, Majalah Kana, Majalah Hidup, Majalah Cermin, dan Dian Ende.
Total ada 44 renungan. Rentang waktu penulisannya relatif lama, yakni
dari tahun 1993-2011 (18 tahun). Ada 3 seri buku lainnya yang masih
dalam proses penggarapan, “Aku Terkenang Borneo, Yesus Sang Proklamator,
dan Tobat di Gerbang Doa.”
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Ledalero Maumere,
Flores tersebut juga memaparkan keintiman hubungan manusia dengan bumi.
Contoh-contoh keintiman yang dimaksud antara lain karena darah pertama
yang membalut manusia ketika keluar dari rahim bunda lantas meresap
dalam rahim bumi. Air seni dan kotoran yang manusia buang diterima
dengan rela oleh bumi, kemudian diolah menjadi pupuk alami. Selain itu,
manusia juga bertahan hidup karena mengonsumsi tanaman yang tumbuh di
atas bumi dan memuaskan dahaga dari air yang mengalir dari dalam perut
bumi.
Kemudian, Vikaris Episcopalis Religius (Vikep Religius) Surabaya ini menguraikan evolusi batin manusia ke dalam 3 tahapan. Homo Orans,
artinya manusia menyadari bahwa hidupnya dipinjamkan oleh Tuhan.
Hendaknya, manusia selalu bersyukur dan mohon berkat Allah agar dapat
memanfaatkan hidup bagi kebaikan diri sendiri dan sesama yang menderita.
Homo Faber, artinya manusia hanya berguna jika dan hanya jika bekerja dengan jujur dan bertanggung jawab. Homo Amans,
artinya manusia tidak melulu berdoa dan bekerja, tetapi juga wajib
mengasihi diri, sesama, dan Tuhan Sang Pemberi Hidup (halaman 19).
Uniknya, secara khusus pria kelahiran Manamas, Timor, 21 Juni 1963
tersebut memaparkan dimensi kerja secara holistik yang bersumber dari
Ensiklik Laborem Exercens. Untuk menyelami spiritualitas kerja,
dalam dimensi ekonomi, manusia perlu memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, misalnya menyekolahkan anak, membeli barang-barang,
membangun rumah, dll. Selain itu, dalam dimensi sosial, kehadiran
seseorang dalam masyarakat untuk mengisi orang lain dengan potensi dan
kemampuan yang ada dalam dirinya. Terakhir tapi penting, dalam dimensi
spiritual, paderi dari Serikat Sabda Allah (SVD) tersebut menandaskan
bahwa mandat kultural manusia ialah sebagai cultivator, yakni setiap pekerjaan diabdikan demi kemuliaan nama-Nya (Labore Orare).
Buku setebal 249 halaman ini merupakan sharing sekaligus
kesaksian Romo Freidz. Berkat Sang Sabda Kehidupan, hidupnya kini
berubah dari tawanan keterbatasan menjadi saksi cakrawala kehidupan nan
begitu luas. Selamat membaca!