Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Selasa/30 April 2013
http://mjeducation.co/menjelajahi-pemikiran-budaya-umar-kayam-dan-kuntowijoyo-bagian-2/
http://mjeducation.co/menjelajahi-pemikiran-budaya-umar-kayam-dan-kuntowijoyo-bagian-2/
Dialog
Selanjutnya, B. Rahmanto menjadikan pidato pengukuhan Guru Besar Umar
Kayam di Fakultas Sastra UGM pada 19 Mei 1989 yang berjudul
Transformasi Budaya Kita untuk belajar dari sejarah masa lalu. Ternyata
dialog budaya masyarakat etnik dengan agama-agama besar seperti Budha,
Hindu, dan Islam menciptakan sintesis yang mengagumkan. Misalnya
dialog budaya dengan agama Budha, Hindu, dan Islam sejak era Sriwijaya,
Mataram I, Singosari, Majapahit, Aceh, Makassar, Bone, kemudian
Mataram II hingga Demak dan Pajang.
Dialog budaya tersebut menghasilkan arsitektur fisik seperti Borobudur, Mendut, Panataran dan juga arsitektur “dalam” seperti state-craft, kiat dan seni memerintah, konsep-konsep baru tentang kesenian: seni tari, seni pertunjukan, kesusastraan, dll.
Tapi pertanyaannya ialah mengapa
masyarakat etnik yang sanggup dan mampu mengembangkan dialog budaya
yang sedemikian kreatif sehingga menghasilkan karya monumental yang
sampai saat ini masih tegak berdiri, tidak mampu bahkan bisa dikatakan
tak berdaya menghadapi kebudayaan Barat yang direpresentasikan oleh
Portugis, Belanda, Inggris, dll?
Pak Kayam dalam pidato tersebut
menjelaskan alasannya. Karena peradaban Budha, Hindu dan Islam datang
lewat jalur-jalur perdagangan yang konvensional sesuai kaidah yang
dikenal dan diterima di Asia Timur dan Asia Tenggara, mereka masuk
secara bertahap dan relatif damai. Perembesan budaya secara perlahan
tersebut merupakan faktor signifikan terciptanya sintesis budaya.
Sedangkan pedagang Barat datang dengan perang, penaklukan, dan
kolonialisme. Mereka haus wilayah, doyan jalur perdagangan, dan
memaksakan agama baru. Oleh sebab itu, satu per satu negara-negara di
kawasan Asia Tenggara ditaklukkan dan dijajah.
Dalam situasi terpuruk tersebut,
generasi muda merintis kemerdekaan Indonesia. Mereka melakukan
terobosan-terobosan menembus setiap kendala yang membelenggu vitalitas.
Karena penjajahan memang terbukti telah mencegah dan mengurung
perkembangan budaya kita sendiri.
Artinya, bangsa ini membutuhkan
kepercayaan diri terhadap masa depan, kebanggaan pada kebudayaan kita
sendiri, keberanian bersikap terbuka terhadap kultur lain, kepercayaan
kepada kekuatan rakyatnya sendiri, sikap jatmika dan penuh simpati
kepada masyarakat pinggiran. Bukankah mayoritas rakyat kita yang harus
mengambil bagian dalam transisi sosial dan budaya bangsa?
Terakhir, B. Rahmanto menguraikan
gagasan yang ada dalam novel Para Priyayi. Intinya ada proses
transformasi konsep pengabdian Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam Tripama. Selain itu, novel tersebut juga memuat transformasi konsep ngenger/penghambaan para priyayi pinggiran dan redefinisi konsep pasrah dan sumarah.
Adaptasi
Selanjutnya, giliran Partiningsih untuk urun rembug.
Mahasiswi S2 Fakultas Ilmu Budaya UGM menyebut Kuntowijoyo sebagai
akademisi sekaligus sastrawan. Karya beliau di dunia ilmu dan sastra
sebanding jumlahnya. Karya ilmiah Kuntowijoyo fokus di bidang sejarah
dan budaya (10 buku dan 50 judul tulisan). Tapi dalam diskusi kali ini,
Partiningsih hanya membahas 4 novel, yakni Pasar (1972), Kotbah di Atas Bukit (1976), Mantra Penjinak Ular (2000), dan Waspirin dan Satinah (2003).
Novel Pasar menggambarkan
manusia Jawa dan perubahan sosial budaya dalam hidupnya. Pak Mantri,
tokoh utamanya, merupakan sosok priyayi Jawa yang terpelajar, memiliki
sopan santun, dan memegang erat tata karma. Kendati demikian,
nilai-nilai tersebut justru menghambat kepemimpinannya sebagai petugas
pasar, karena pasar mulai beranjak menuju alam modern.
Akhirnya Pak Mantri menyerahkan tampuk
kepemimpinan kepada Paijo. Suksesi berlangsung lancar dan damai. Paijo
dipilih karena dirinya merupakan representasi dari sintesis antara
manusia Jawa dan kemodernan. Selain itu, usianya masih relatif muda,
sehingga dapat mengikuti derap perubahan jaman.
Menurut pengamatan Partiningsih,
keempat novel Kuntowijoyo di atas melukiskan kegelisahan antara tegangan
dua kubu yang berbeda: desa-kota, jasmani-rohani, material-spiritual,
modern-tradisi, dll. Novel Khotbah di Atas Bukit menggambarkan
pergulatan dunia kota (mesin) dengan keadaan bukit yang tenang dan sunyi
yang mampu membawa manusia pada perenungan hakikat kehidupan.
Novel Mantra Penjinak Ular mengetengahkan kesenian wayang yang menggeliat di tengah situasi politik Orde Baru. Novel Waspirin dan Warsinah mengabadikan
perjuangan kaum miskin yang tak berdaya menghadapi rezim yang tak
manusiawi dan menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya.
Terakhir, Partiningsih menyimpulkan
sikap budaya Kuntowijoyo, “Nilai-nilai Barat atau modernisasi-lah yang
harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai Islam dan budaya Jawa, bukan
Islam dan Jawa yang harus menyesuaikan diri dengan selera Barat,“ ujar
perempuan yang berkerudung tersebut.
Relevansi
Pada sesi tanya jawab, Afif mahasiswa S2 Fakultas Ilmu Budaya
(FIB) UGM mengatakan bahwa pemikiran Umar Kayam mirip dengan gagasannya
Romo Mangun, yakni tentang Generasi Pasca Indonesia. Beliau menggali konsep ini dari nasionalisme ala Syahrir.
Seyogyanya, masyarakat pasca
reformasi menjadikan ide-ide Syahrir tersebut sebagai rujukan. Tapi
tampaknya secara sosiologis ada anomali di sini. Karena pemikiran Umar
Kayam, Romo Mangun dan Syahrir tak laku di Indonesia. Kenapa bisa
seperti itu?
B. Rahmanto menanggapi begini, “Aneka
perbedaan pendapat di era pasca reformasi ini kian mengukuhkan bahwa
dialog itu memang sangat penting. Sebab menyitir pendapat Umar Kayam,
“…selama dialog tidak ada, yang terjadi adalah hukum rimba. Siapa yang
kuat dia yang menang.”
Menurut Dr. Aprinus, Kepala Pusat
Studi Kebudayaan UGM, acara diskusi ini juga untuk memperingati hari
kelahiran Pak Kayam, 30 April mendatang. Tapi ternyata mencari
pembicara yang mempelajari tokoh-tokoh intelektual dan budaya Indonesia
relatif sulit, karena akademisi kita lebih banyak mempelajari
tokoh-tokoh luar negeri. Selain itu, acara ini juga untuk menggairahkan
kembali budaya berdiskusi di kota pendidikan ini. Dewasa ini, orang
cenderung sibuk dengan perlengkapan gadget-nya masing-masing. “Ngobrol tentang nilai-nilai dan kemudian disosialisasikan ke masyarakat, itu yang penting,” ujarnya.