Dimuat di Radar Surabaya, Rabu/11 Juni 2014
Hajatan pesta demokrasi 2014 memasuki separuh jalan. Pasca-memilih para wakil rakyat, kita akan memiliki presiden dan wakil presiden baru. Pertanyaannya, apa kriteria dalam memilih pemimpin?
Sederet referensi luar negeri dapat dijadikan rujukan. Salah satunya buku "The Leader in Me" (Stephen R. Covey, Gramedia Pustaka Utama, 2009). Stephen R. Covey dikenal luas berkat buku bestseller “The 7 Habits of Highly Effective People.” Majalah Times mengukuhkan Covey sebagai salah satu tokoh terbesar abad ini.
Tapi sesungguhnya dari bumi Nusantara kita pun bisa menggali inspirasi terkait kepemimpinan. Dalam catatan sejarah, leluhur bangsa ini memiliki filosofi Asta Brata. Kitab pedoman hukum manusia gubahan Manu tersebut berjudul Manusmriti atau Manawardharma Shastra. Para ahli memerkirakan usianya mencapai 5.000 tahun lebih.
Ada juga rumusan Mpu Yogishwara yang relatif lebih muda. Wejangan tersebut dikemas dalam bentuk Kakawin Ramayana. Usia karya itu sekitar sepuluh abad. Yang paling mutakhir tentu Asta Brata versi Keraton Surakarta. Karya tersebut diadaptasi dari kedua kitab terdahulu. Isinya telah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Almarhum Sri Paku Buwono III memopulerkan versi ini sekitar 125 tahun silam. Kebijaksanaan adiluhung tersebut dianalogikan laksana delapan kelopak bunga teratai. Setiap helai kelopaknya mengandung nilai-nilai filosofi kepemimpinan (Anand Krishna dkk, One Earth Media, 2004).
Kelopak pertama, matahari. Matahari memberikan cahaya kepada semua makhluk. Walau matahari merupakan sumber energi utama segenap ciptaan Tuhan di muka bumi ini, tapi matahari tidak pernah menyombongkan dirinya. Setiap hari matahari tepat waktu terbit di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Seorang pemimpin juga perlu belajar dari matahari. Ia berkarya tanpa pamrih (rame ing gawe sepi ing pamrih). Ia bersinar dan berbagi sinar. Ia cerah dan berbagi pencerahan kepada semua tanpa pilih kasih.
Kelopak kedua, bulan. Bulan bersinar menerangi pekat gulita malam. Meski terjadi krisis dan konflik seorang pemimpin tetap selalu memandu. Ia tidak melarikan diri atau mencari kambing hitam. Ketika manusia letih dan memilih untuk tidur, bulan tetap menunggui dengan penuh kesabaran. Dengan sinarnya yang lembut, bulan mengantar kita ke alam mimpi. Dalam alam mimpi itulah Bung Karno, Bung Hatta, Romo Mangun, Gus Dur, Cak Nur, Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Luther King Jr, Nelson Mandela, dan lain-lain memimpikan kemerdekaan. Dalam alam jaga mereka pun mewujudkan mimpi itu demi bangsa dan kemanusiaan
Kelopak ketiga, bintang. Bintang kutub (pole star) menjadi pandu bagi para pelaut yang tersesat. Artinya, seorang pemimpin selalu siap hadir tanpa diminta. Ia senantiasa menuntun, mengarahkan, dan tidak mengharapkan ucapan terima kasih sekalipun. (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Penerjemah dan Guru Privat Bahasa Inggris)
Hajatan pesta demokrasi 2014 memasuki separuh jalan. Pasca-memilih para wakil rakyat, kita akan memiliki presiden dan wakil presiden baru. Pertanyaannya, apa kriteria dalam memilih pemimpin?
Sederet referensi luar negeri dapat dijadikan rujukan. Salah satunya buku "The Leader in Me" (Stephen R. Covey, Gramedia Pustaka Utama, 2009). Stephen R. Covey dikenal luas berkat buku bestseller “The 7 Habits of Highly Effective People.” Majalah Times mengukuhkan Covey sebagai salah satu tokoh terbesar abad ini.
Tapi sesungguhnya dari bumi Nusantara kita pun bisa menggali inspirasi terkait kepemimpinan. Dalam catatan sejarah, leluhur bangsa ini memiliki filosofi Asta Brata. Kitab pedoman hukum manusia gubahan Manu tersebut berjudul Manusmriti atau Manawardharma Shastra. Para ahli memerkirakan usianya mencapai 5.000 tahun lebih.
Ada juga rumusan Mpu Yogishwara yang relatif lebih muda. Wejangan tersebut dikemas dalam bentuk Kakawin Ramayana. Usia karya itu sekitar sepuluh abad. Yang paling mutakhir tentu Asta Brata versi Keraton Surakarta. Karya tersebut diadaptasi dari kedua kitab terdahulu. Isinya telah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Almarhum Sri Paku Buwono III memopulerkan versi ini sekitar 125 tahun silam. Kebijaksanaan adiluhung tersebut dianalogikan laksana delapan kelopak bunga teratai. Setiap helai kelopaknya mengandung nilai-nilai filosofi kepemimpinan (Anand Krishna dkk, One Earth Media, 2004).
Kelopak pertama, matahari. Matahari memberikan cahaya kepada semua makhluk. Walau matahari merupakan sumber energi utama segenap ciptaan Tuhan di muka bumi ini, tapi matahari tidak pernah menyombongkan dirinya. Setiap hari matahari tepat waktu terbit di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Seorang pemimpin juga perlu belajar dari matahari. Ia berkarya tanpa pamrih (rame ing gawe sepi ing pamrih). Ia bersinar dan berbagi sinar. Ia cerah dan berbagi pencerahan kepada semua tanpa pilih kasih.
Kelopak kedua, bulan. Bulan bersinar menerangi pekat gulita malam. Meski terjadi krisis dan konflik seorang pemimpin tetap selalu memandu. Ia tidak melarikan diri atau mencari kambing hitam. Ketika manusia letih dan memilih untuk tidur, bulan tetap menunggui dengan penuh kesabaran. Dengan sinarnya yang lembut, bulan mengantar kita ke alam mimpi. Dalam alam mimpi itulah Bung Karno, Bung Hatta, Romo Mangun, Gus Dur, Cak Nur, Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Luther King Jr, Nelson Mandela, dan lain-lain memimpikan kemerdekaan. Dalam alam jaga mereka pun mewujudkan mimpi itu demi bangsa dan kemanusiaan
Kelopak ketiga, bintang. Bintang kutub (pole star) menjadi pandu bagi para pelaut yang tersesat. Artinya, seorang pemimpin selalu siap hadir tanpa diminta. Ia senantiasa menuntun, mengarahkan, dan tidak mengharapkan ucapan terima kasih sekalipun. (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Penerjemah dan Guru Privat Bahasa Inggris)