Dimuat di Tribun Jogja, 14 Desember 2014
Judul: Sukarno Undercover, Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen
Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge
Penerbit: Galang Pustaka
Cetakan: 1/Oktober 2013
Tebal: ix + 209 halaman
ISBN: 978-602-9431-29-2
Walentina
Waluyanti de Jonge, perempuan kelahiran Makassar yang kini hijrah ke
Belanda. Alumna Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini sempat
mengikuti program studi Pendidikan Managemen di ROC Flevoland,
Netherland. Lalu, ibu beranak satu ini menjadi dosen bahasa Indonesia di
Volsuniversiteit Belanda. Ia bekerja juga sebagai peneliti independen.
Fokus kajiannya seputar sejarah dan budaya Indonesia.
Kegemarannya
mengoleksi buku langka bergenre sejarah membuahkan dua buku dan sederet
artikel di sebuah situs jurnalisme warga. “Sukarno Undercover, Tembak
Bung Karno Rugi 30 Sen” merupakan buku kedua pasca “Hindia Belanda
Tumbang di Depan Mata”. Pilihannya jatuh pada Sukarno karena Putra Sang
Fajar sosok pemersatu di zamannya. Menyatukan berbagai perbedaan suku,
agama, warna kulit, golongan, budaya, dan juga belasan ribu pulau, ke
dalam sebuah republik bukan pekerjaan yang bisa dipandang remeh.
Di
bagian pengantar, eks pemimpin “Stiching SEBARI” yang bergerak di
ranah pendidikan tersebut menulis, “Saya akui, buku ini terlahir dari
kekaguman atas peran Sukarno yang telah melekatkan kehormatan pada
bangsa Indonesia hingga berdiri sejajar dengan negara-negara lain di
seluruh dunia. Namun demikian, pemujaan berlebihan terhadap Sukarno
bukanlah hal yang perlu. Pemujaan secara fanatik berpeluang melunturkan
objektivitas.” (halaman viii)
Lewat buku ini, penulis jeli
menyoroti sejarah Indonesia - khususnya Soekarno - dari jendela luar
sana (baca: Belanda). Sebelumnya, selama masih tinggal di Indonesia, ia
acap mendengar cerita sejarah dari pihak yang dijajah. Dalam konteks
ini, memang diperlukan jarak untuk menilai sejarah Indonesia secara
netral. Sehingga “History” tidak menjelma jadi “His Story.” Terlebih
pada masa Orde Baru, sisi positif Bung Karno dan nilai-nilai
kepahlawananya cenderung ditutup-tutupi.
Lebih lanjut,
sejak era revolusi kemerdekaan ternyata situasi nasional Indonesia tak
kunjung steril dari campur tangan pihak asing. Fakta tersebut diungkap
secara gamblang dalam esai “Bung Karno Geram, Ike dan John Repot”. Hari
itu, 18 Mei 1958, sedang terjadi pertempuran udara melawan pemberontakan
separatis: Permesta, Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII), dan
Republik Maluku Selatan (RMS). Di atas perairan Ambon, Kapten Ignatius
Dewanto, pilot pesawat Mustang P-51, menembak jatuh pesawat B-26.
Pesawat tempur yang jatuh tersebut dipiloti Allen Pope. Pilot itu
selamat, dibekuk, dan dinterogasi. Pun terkuaklah bahwa Allen Pope
seorang agen CIA.
“Sebelumnya pada bulan April 1958, pilot
asal Amerika Serikat itu telah mengebom gereja di Ambon yang dipenuhi
umat yang sedang beribadah. Gerejanya hancur, semua umat di gereja itu
meninggal dunia. Demikian juga dengan kapal Indonesia penuh penumpang
yang berada di pelabuhan Ambon, turut pula terkena bom, dan semua
penumpangnya menjadi korban. Peristiwa pengeboman tersebut mengakibatkan
lebih dari 700 nyawa melayang.” (halaman 140).
Bung
Karno berang karena Amerika tak mau mengakui tindakan keji tersebut.
Empat hari pasca-peristiwa pengeboman oleh Pope, Sukarno diundang oleh
Howard Jones ke Kedutaan Besar Amerika di Indonesia. Tanpa rasa bersalah
Pemerintah Amerika meminta Allen Pope tetap harus dibebaskan. Bung
Karno menyadari Allen Pope ialah kartu truf-nya. Ia tegas menuntut
permintaan maaf secara terbuka dari Amerika.
Namun Ike –
nama panggilan presiden Eisenhower - bersikukuh menyangkal tuduhan
Amerika terlibat dalam aksi CIA itu. Tapi, akhirnya 5 hari sesudah
insiden pengangkapan Pope, Amerika setuju mengirimkan 37.000 ton beras,
pencabutan embargo, bantuan pesawat, dan bantuan peralatan sistem radio
komunikasi untuk Indonesia. Lalu, bagaimana komentar Pope sendiri?
Pilot pesawat B-26 itu mengatakan, “Biasanya negara saya yang menang,
tapi kali ini kalian yang menang.” (halaman 148).
Sistematika
buku ini terdiri atas 3 bab. Penulis menganalogikannya laksana hari.
Mulai dari “Sang Fajar Terbit”, “Sang Fajar Bersinar”, hingga “Sang
Fajar Terbenam.” Masing-masing bab memuat esai-esai yang mengungkap sisi
lain Bung Karno yang selama ini jarang diekspose ke khalayak ramai.
Oleh sebab itu, di pojok kanan sampul buku tertera stempel “Soekarno
Undercover”.
Salah satunya ihwal keprihatinan mendalam
Bung Karno atas tragedi 1965. Dalam Pidato Presiden di Istana Bogor, 18
Desember 1965, ia sampai mengatakan,”Misalnya, ya, misalnya di Jawa
Timur. Demikian dilaporkan oleh Gubernur Jawa Timur, oleh Panglima Jawa
Timur, dan juga dari pengetahuan informasi kami sendiri, di Jawa Timur
atau Jawa Tengah itu banyak sekali Pemuda Rakyat atau anggota PKI atau
orang yang hanya simpati saja kepada PKI dibunuh, disembelih, atau
ditikam atau dipentungi, dikepruki sampai pecah kepalanya; itu satu kejadian. Tapi kemudian itu jenasah yang lehernya tergorok, yang kepalanya pecah dikepruk, karena perutnya keluar ia punya usus karena ditikam, jenasah itu kalau ada orang yang mau ngerumat, ngerumat itu bahasa Jawa Timur. Apa ngerumat, mengurus, ngerumat jenasah itu, awas, engkau pun akan kami bunuh. Malah banyak jenazah itu di-keleler-kan begitu saja.”
Lalu,
Walentina Waluyanti de Jonge mengafirmasi pendapat sejarawan Asvi
Warman Adam, tanggal 30 September memang “malam terkutuk dan laknat”.
Namun patut juga dipertanyakan, “….bukankah malam-malam sesudahnya dan
berlangsung selama beberapa bulan tatkala terjadi pembunuhan sesama
bangsa sendiri – minimal 500.000 jiwa jadi korban – itu secara
keseluruhan jauh lebih “jahanam”?” (halaman 173). Dalam konteks ini,
wejangan ahimsa Mahatma Gandhi kian menemukan relevansinya, “Jika mata diganti mata maka semua manusia akan menjadi buta.”
Buku
setebal 209 ini tak hanya memuat teori konspirasi dan narasi besar
sejarah Indonesia di tahun 1965, ada juga sisi-sisi jenaka sebagai ekses
kebijakan politik Bung Karno. Antara lain terjadi pada tahun 1964. Ia
pernah memerintahkan polisi untuk membawa anak-anak muda berambut model
Beatles ke tukang cukur. Ini sebuah pidato resmi presiden.
Siapapun
yang berambut gondrong harus diplontos. Kenyataannya di lapangan memang
polisi tidak perlu membawa “pasukan gondrong” ke tukang cukur. Karena
aparat keamanan sendirilah yang menjadi tukang cukurnya. Mungkin itulah
razia paling konyol dalam sejarah bangsa Indonesia. Orang-orang yang
terkena razia, terpaksa manut saja model rambut di kepalanya dibuat jadi
mirip batok kelapa. Langsung dipangkas di tengah jalan dan jadi
tontonan orang banyak (halaman 52).
Buku ini sebuah oase
segar di tengah tumpukan buku-buku sejarah yang kering. Gaya penulisan
yang santai, bahasa yang mengalir lancar, dan materi yang mudah dicerna
menyajikan kenikmatan tersendiri. Belajar sejarah tak melulu harus
mengeryitkan dahi, belajar (dari) sejarah bisa menjadi penjelajahan
penuh kejutan. Selamat membaca!