Dimuat di Majalah Utusan edisi April 2015
Sejak awal Januari 2014, saya dan istri merintis usaha
bakulan (berdagang) produk pangan sehat-alami secara
online. Tetapi, saat itu aktivitas berjualan dengan bendera Dapur Sehat Alami (DSA) masih sambil lalu saja
(part time) karena saya masih aktif menulis di media massa.
Lalu pada awal Juni 2014, saya memutuskan cuti menulis dan mulai bekerja penuh waktu (
full time) sebagai pedagang di dunia maya. Sarana promosi dan transaksi yang saya optimalkan saat itu ialah
Facebook, SMS/telpon dan nomor rekening bank. Saya menangani bagian marketing, pengiriman dan pengantaran
(delivery). Sedangkan, istri mengurus bagian pengepakan
(packing), pembukuan dan administrasi keuangan.
Alasan
utama kami memilih membuka usaha di rumah agar bisa lebih banyak
bekerja bersama. Kami sudah hampir empat tahun menikah tapi belum
dikaruniai momongan oleh Tuhan. Jadi, sembari terus berusaha dan berdoa
agar segera mendapatkan buah hati tercinta, kami menjadikan DSA ini
layaknya “anak”. Energi, waktu, dan modal kami curahkan untuk merawat
dan membesarkannya.
Selain itu, usaha di DSA juga kami maknai sebagai
green business alias
bakulan
ramah lingkungan. Maka, kami hanya menjual produk pangan sehat-alami,
misalnya beras (putih, coklat, merah, hitam) organik, kacang hijau dan
kacang merah organik, mi sayur (buah naga, bayam merah, bayam hijau,
wortel) organik tanpa MSG, pengawet dan pewarna sintetis, kaldu sehat
(rasa jamur, ayam, sapi) non MSG; mi lethek; mi ganyong; mi aren;
wedang uwuh,
dan lain sebagainya. Keyakinan kami, kalau dalam berbisnis turut
menjaga kesehatan tubuh, keluarga, dan lingkungan sekitar niscaya
dilancarkan oleh-Nya.
Usaha berdagang
online di
dunia maya ini terbilang sederhana. Awalnya, kami blusukan mencari aneka
produk pangan sehat-alami dan/atau berbincang-bincang langsung dengan
petani serta pengrajin di desa. Lalu, saya mengambil foto produknya
serta menanyakan berapa harga kulakan dari mereka. Kami menekankan agar
harga jual dari petani dan pengrajin harus menguntungkan. Ini sebuah
apresiasi konkret atas kerja keras petani dan pengrajin yang telah
menghasilkan beragam produk pangan sehat-alami bagi penduduk di kota.
Setelah itu, saya mengunggah foto-foto produk dagangan sehat-alami tersebut di dinding
Facebook. Kebetulan jumlah teman di
Facebook hampir 5.000 orang dari dalam dan luar negeri. Jika ada yang berminat,
bisa berkomunikasi lebih detail lewat
inbox. Saya tak pernah
nyang-nyangan harga di dinding FB. Kalau sudah setuju
(deal) di
inbox,
untuk pembeli yang berasal dari luar kota, pesanan akan dikirim lewat
pos atau jasa ekspedisi lainnya. Kalau pembelinya berdomisili di dalam
kota Yogyakarta, pesanan bisa diantar langsung. Ongkos kirim atau antar
ditanggung pembeli. Pembayaran bisa ditransfer lewat rekening bank atau
COD
(cash on delivery).
Setahun lebih
menjalankan usaha bakulan di DSS banyak sukanya. Terutama karena kami
bisa menjalin relasi dengan petani dan pengrajin. Selama ini mereka
memang agak kesulitan memasarkan produknya secara masif. Kami sekadar
mengambil peran untuk mendongkrak angka penjualan lewat sistem pemasaran
online. Jumlah laba yang kami ambil selaku distributor sewajarnya saja.
Konsumen
pun menarik manfaat karena mereka tak perlu boros waktu dan tenaga
keluar rumah untuk berbelanja. Cukup dengan memesan secara
online,
barang sudah dikirim/diantar sampai ke depan pintu di seluruh pelosok
Nusantara. Bahkan kami pernah juga mengirim pesanan hingga ke luar
negeri
via jasa pos. Jadi, prinsipnya produsen dan konsumen sama-sama senang.
Laba
bersih berjualan aneka produk pangan sehat-alami tergolong lumayan,
lebih tinggi dibanding UMP (Upah Minimum Provinsi) per bulan. Untuk
keluarga kecil seperti kami jumlah ini bisa mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Nominal pastinya tersebut tergantung sepi-ramainya
transaksi. Dalam sebulan berkisar antara 50-100
deals jual-beli.
Sejak
awal berdirinya hingga kini, DSA menargetkan harus ada (minimal) satu
transaksi setiap hari. Memilih membuka usaha sendiri berarti menjadi bos
atas diri sendiri. Tak ada lagi yang akan menggaji kami setiap
bulannya. Kalau tidak ada transaksi dan pemasukan dalam sehari bisa
tidak makan. Dalam konteks ini, filosofi Kejawen
omah mamah (bergerak agar bisa makan) dan
ubet ngliwet (aktif agar bisa memasak) kian menemukan relevansinya.
Sejak
berwirausaha mandiri kami juga berkomitmen menyisihkan 10% pemasukan
sebulan untuk ditabung, 10% lagi untuk amal/dana sosial dan 10% lainnya
untuk mencicil utang di Credit Union Cindelaras Tumangkar (CUCT). Baru
kemudian sisanya 70% dipakai untuk belanja kebutuhan bulanan. Jangan
pernah dibalik karena tak akan tersisa anggaran untuk menabung,
beramal/sosial dan mencicil utang.
Analoginya seperti mengisi akuarium.
Pertama, masukkan dulu batu karangnya.
Kedua, masukkan pasir-pasir lembut.
Terakhir,
baru diisi air. Kalau dibalik niscaya akan tumpah meluber airnya. Dalam
lingkup ekonomi keluarga, ini berarti besar pasak daripada tiang, lebih
banyak pengeluaran ketimbang pemasukan. Jadi, mau pemasukan
Rp500.000/bulan atau Rp5 milyar per bulan, ingat selalu rumus
10:10:10:70%.
Dalam usaha bisnis, baik
online maupun
offline,
tentu ada pasang-surutnya. Kalau sedang sepi pembeli di dunia maya,
saya gencarkan promosi. Caranya dengan berselancar ke grup-grup Facebook
dan menawarkan dagangan DSA di situ. Selain itu, saya dan istri juga
acap blusukan mencari produk pangan sehat-alami yang baru di desa.
Sedapat mungkin mendapatkan langsung dari petani/pengrajinnya langsung
karena dengan menyaksikan proses produksi pangan sehat-alami niscaya
membuat kami lebih semangat memasarkannya secara
on line.
Bagaimana memulainya?
Saya
pernah mengalami menjadi pegawai (sebagai guru Bahasa Inggris di SMP),
begitu juga istri saya (sebagai ahli gizi di rumah sakit). Tetapi kini
kami bersepakat untuk berwirausaha
(entrepreneur) secara
mandiri. Harapannya, semoga usaha DSA kian maju dan bisa membuka
lapangan kerja baru. Maka, kini promosi dan pemasaran tak lagi hanya
lewat Facebook tapi juga lewat WA, Line, BBM, Twitter, olx.co.id, dan
media sosial lainnya.
Bagi kaum muda yang tidak ingin
bekerja formal tetapi ingin membuka usaha sendiri yang kadang mendapat
tentangan dari orang tua, solusinya sederhana saja. Silakan tunjukkan
dengan bukti pencapaian. Sebab, setiap orang tua mau anaknya bahagia dan
sukses. Masih banyak orang tua yang memegang pola pikir lama, yaitu
menganggap menjadi pegawai ialah satu-satunya cara untuk hidup layak dan
bisa menjamin hari tua. Padahal, di era digital seperti ini terbuka
aneka kesempatan bisnis.
Tetapi, sebelum berwirausaha
mandiri bergabunglah terlebih dahulu dengan Credit Union (CU). Bagi
kami, CU merupakan lembaga keuangan yang (lebih) adil dan manusiawi.
Maka, jadikan CU sebagai mitra usaha. Ikutilah kelas-kelas pendidikan
dasar dan lanjutan di CU sehingga bisa belajar dan semakin bijak
mengelola finansial.
Setelah itu bergabung dengan CU,
mulailah usaha dari apa yang disukai. Saya dan istri mencintai dunia
pertanian organik dan makanan sehat-alami, oleh sebab itu DSA menjadi
pilihan usaha kami di dunia maya. Setialah dan tekuni pilihan usaha
tersebut. Pada saat yang sama, tetaplah membuka diri terhadap segala
kemungkinan. Kalau target satu hari satu transaksi sudah terpenuhi,
bidik juga peluang untuk
deal satu transaksi yang nominal keuntungannya relatif besar.
Selama ini, saya dan istri menjual sepeda
onthel, lukisan artistik, produk kerajinan tangan, furniture antik, tas rajut, dan sebagainya. Tak jarang saya menjual pula jasa
guiding turis domestik atau manca negara bersepeda
onthel
keliling desa dan tempat-tempat wisata cantik lainnya yang ada di
Yogyakarta. Memang, tidak setiap hari ada transaksi barang atau jasa.
Tetapi tapi sekali ada satu transaksi, pemasukannya lumayan besar.
Terakhir tapi penting, kenalilah hukum distribusi barang/jasa sebelum memulai usaha. Saya banyak belajar dari Wiyadi S.Ag,
owner
PT. Bumi Wira Muda dan Nabura Grup. Misalnya, kalau menjual ternak dari
daerah surplus pakan ke daerah minus pakan atau kulakan ayam dari desa
lalu dijual di kota niscaya akan untung.
Hukum distribusi
barang/jasa lainnya ialah kulakan produk dari daerah industri, lalu
menjualnya di daerah konsumtif. Intinya, jangan asal spekulasi tanpa
kalkulasi matang dalam berbisnis. Sebab, seperti kata pepatah, "Orang
yang gagal membuat perencanaan adalah orang yang sedang merencanakan
kegagalannya sendiri."