Dimuat di Majalah Utusan edisi Oktober 2014
Tidak seperti biasanya, pagi itu Tiwi datang ke sekolah dengan wajah cemberut. Tidak ada senyum sama sekali. Santi yang duduk di sebelahnya sampai bingung. Mau menegur, ia takut Tiwi sedang tidak ingin ditegur. Mau mendiamkan, hmmm… kok sepertinya tidak enak diam-diaman terus.
“Kamu bawa bekal apa hari ini Wi?” tanya Santi ketika bel tanda istirahat berbunyi.
“Aku tidak bawa bekal, San. Adi tadi pagi rewel. Jadi, ibu tidak sempat menyiapkan bekal untukku,” jelas Tiwi dengan nada kesal.
Adi itu adik Tiwi. Tampangnya lucu dan imut-imut sekali. Usianya baru tiga tahun. Santi suka sekali menggendong Adi bila bermain ke rumah Tiwi.
"Apa Adi sakit, Wi?" tanya Santi lirih.
Tiwi mengangguk. “Iya, Adi demam.”
“Oh, pantas sejak tadi kamu murung. Yuk aku temani kamu ke kantin,” ajak Santi.
Sambil berjalan bersisian, mereka melangkah menuju ke kantin yang terletak di pojok sekolah.
“Aku sebel. Kalau sedang sakit, Adi pasti rewel. Ibu jadi tidak lagi memperhatikan aku,” keluh Tiwi.
“Kamu sih enak, San. Tidak punya adik, tidak punya kakak jadi selalu diperhatikan oleh mama dan papamu."
Santi tidak menjawab. Namun ia tetap ikut menemani Tiwi membeli arem-arem di kantin. Setelah itu, mereka bergegas kembali ke dalam kelas.
Di kelas, Santi mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya.
“Ini buat kamu dan Adi,” kata Santi sambil menyodorkan bungkusan itu.
“Apa ini?” tanya Tiwi.
“Kue lapis legit,” jawab Santi.
“Kemarin papaku baru pulang dinas dari luar kota. Papa membawa oleh-oleh, tapi terlalu banyak kalau harus kuhabiskan sendiri.”
"Mm...makasih ya, San," ucap Tiwi senang. “Enak ya kalau tidak punya adik atau kakak. Tidak harus berbagi.”
“Iya memang.. tapi juga tidak ada yang diajak main, tidak ada teman bercanda, tidak ada yang suka menyambut dan mencium kalau aku pulang sekolah,” tanggap Santi.
Mendengar itu, sekarang giliran Tiwi yang terdiam. Tak ada lagi percakapan di antara mereka berdua. Masing-masing asyik menikmati makanan di jam istirahat pertama itu sampai akhirnya bel masuk berbunyi dan pelajaran pun dilanjutkan kembali.
“Hari ini kamu langsung pulang, Wi? tanya Santi sambil membereskan tas dan buku-buku setelah bel tanda berakhirnya jam sekolah berbunyi.
“Iya,” jawab Tiwi pendek.
“Jangan sampai lupa menyampaikan titipanku buat Adi, ya,” ujar Santi sambil berjalan keluar kelas.
“Iya,” lagi-lagi Tiwi menjawab pendek
“Jangan dimakan sendiri lho,” pesan Santi lagi.
“Iyaaaa…” Tiwi menjawab dengan gemas.
Beberapa siswa yang kebetulan berdekatan dengan mereka berdua saat turun tangga menoleh ke arah mereka dengan pandangan heran.
Setiba di rumah, Tiwi langsung diberi tugas menjaga Adi karena Ibu pergi berbelanja ke warung.
Adi merengek-rengek mengajak Tiwi bermain sepeda keliling kompleks. Kebetulan demamnya sudah reda. Nah, saat bermain sepeda itu, Tiwi kurang berhati-hati sehingga terjatuh karena tersandung batu. Untung, Adi tidak terluka, karena mendarat di atas rerumputan empuk. Tapi nahas bagi Tiwi, lututnya tergores besi di ujung stang sepeda.
"Kak Tiwi, di situ saja. Nanti sakit kalau jalan," kata Adi kepada kakaknya.
Tiwi hanya mengangguk dan menahan perih. Adi kemudian pergi entah kemana dengan langkah kecilnya.
Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara. "Kak Tiwi... ini obatnya…," seru Adi sambil memberikan betadine kepada kakaknya.
Tiwi mengambilnya dari tangan Adi, lalu mengoleskannya pada luka di kakinya yang berdarah itu. Saat itu juga ia baru sadar ternyata Adi sangat baik dan sayang kepadanya.
Kemudian, Tiwi teringat kue lapis legit titipan Santi. Semula, ia ingin memakannya sendiri. Tetapi, kini ia hendak berbagi dengan Adi, sang adik tersayang.
Tidak seperti biasanya, pagi itu Tiwi datang ke sekolah dengan wajah cemberut. Tidak ada senyum sama sekali. Santi yang duduk di sebelahnya sampai bingung. Mau menegur, ia takut Tiwi sedang tidak ingin ditegur. Mau mendiamkan, hmmm… kok sepertinya tidak enak diam-diaman terus.
“Kamu bawa bekal apa hari ini Wi?” tanya Santi ketika bel tanda istirahat berbunyi.
“Aku tidak bawa bekal, San. Adi tadi pagi rewel. Jadi, ibu tidak sempat menyiapkan bekal untukku,” jelas Tiwi dengan nada kesal.
Adi itu adik Tiwi. Tampangnya lucu dan imut-imut sekali. Usianya baru tiga tahun. Santi suka sekali menggendong Adi bila bermain ke rumah Tiwi.
"Apa Adi sakit, Wi?" tanya Santi lirih.
Tiwi mengangguk. “Iya, Adi demam.”
“Oh, pantas sejak tadi kamu murung. Yuk aku temani kamu ke kantin,” ajak Santi.
Sambil berjalan bersisian, mereka melangkah menuju ke kantin yang terletak di pojok sekolah.
“Aku sebel. Kalau sedang sakit, Adi pasti rewel. Ibu jadi tidak lagi memperhatikan aku,” keluh Tiwi.
“Kamu sih enak, San. Tidak punya adik, tidak punya kakak jadi selalu diperhatikan oleh mama dan papamu."
Santi tidak menjawab. Namun ia tetap ikut menemani Tiwi membeli arem-arem di kantin. Setelah itu, mereka bergegas kembali ke dalam kelas.
Di kelas, Santi mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya.
“Ini buat kamu dan Adi,” kata Santi sambil menyodorkan bungkusan itu.
“Apa ini?” tanya Tiwi.
“Kue lapis legit,” jawab Santi.
“Kemarin papaku baru pulang dinas dari luar kota. Papa membawa oleh-oleh, tapi terlalu banyak kalau harus kuhabiskan sendiri.”
"Mm...makasih ya, San," ucap Tiwi senang. “Enak ya kalau tidak punya adik atau kakak. Tidak harus berbagi.”
“Iya memang.. tapi juga tidak ada yang diajak main, tidak ada teman bercanda, tidak ada yang suka menyambut dan mencium kalau aku pulang sekolah,” tanggap Santi.
Mendengar itu, sekarang giliran Tiwi yang terdiam. Tak ada lagi percakapan di antara mereka berdua. Masing-masing asyik menikmati makanan di jam istirahat pertama itu sampai akhirnya bel masuk berbunyi dan pelajaran pun dilanjutkan kembali.
“Hari ini kamu langsung pulang, Wi? tanya Santi sambil membereskan tas dan buku-buku setelah bel tanda berakhirnya jam sekolah berbunyi.
“Iya,” jawab Tiwi pendek.
“Jangan sampai lupa menyampaikan titipanku buat Adi, ya,” ujar Santi sambil berjalan keluar kelas.
“Iya,” lagi-lagi Tiwi menjawab pendek
“Jangan dimakan sendiri lho,” pesan Santi lagi.
“Iyaaaa…” Tiwi menjawab dengan gemas.
Beberapa siswa yang kebetulan berdekatan dengan mereka berdua saat turun tangga menoleh ke arah mereka dengan pandangan heran.
Setiba di rumah, Tiwi langsung diberi tugas menjaga Adi karena Ibu pergi berbelanja ke warung.
Adi merengek-rengek mengajak Tiwi bermain sepeda keliling kompleks. Kebetulan demamnya sudah reda. Nah, saat bermain sepeda itu, Tiwi kurang berhati-hati sehingga terjatuh karena tersandung batu. Untung, Adi tidak terluka, karena mendarat di atas rerumputan empuk. Tapi nahas bagi Tiwi, lututnya tergores besi di ujung stang sepeda.
"Kak Tiwi, di situ saja. Nanti sakit kalau jalan," kata Adi kepada kakaknya.
Tiwi hanya mengangguk dan menahan perih. Adi kemudian pergi entah kemana dengan langkah kecilnya.
Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara. "Kak Tiwi... ini obatnya…," seru Adi sambil memberikan betadine kepada kakaknya.
Tiwi mengambilnya dari tangan Adi, lalu mengoleskannya pada luka di kakinya yang berdarah itu. Saat itu juga ia baru sadar ternyata Adi sangat baik dan sayang kepadanya.
Kemudian, Tiwi teringat kue lapis legit titipan Santi. Semula, ia ingin memakannya sendiri. Tetapi, kini ia hendak berbagi dengan Adi, sang adik tersayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar