Dimuat di Jawapos, Minggu/1 Juli 2012
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur.
Judul: Berjalan Menembus Batas
Penulis: A. Fuadi, dkk
Penyunting: M. Iqbal Dawami dan Ikhdah Henny
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: II/Maret 2012
Tebal: xvi +172 halaman
Harga: Rp39.000
ISBN: 978-602-8811-62-0
Batasan hanya ada dalam pikiran yang sempit. Manusia sendirilah yang menciptakan limit (garis pembatas) tersebut dalam benaknya. Tak heran dalam bahasa Inggris ada istilah, “Sky is the limit." Lewat
buku ini A. Fuadi dkk membongkar mitos tersebut. Batasnya bukan lagi
langit, tapi berbanding lurus dengan spirit untuk terus berjuang.
“Berjalan
Menembus Batas” berisi 13 kisah nyata. Semula naskah yang masuk ke
meja redaksi mencapai 80 artikel. Sebuah angka yang fantastis. Kenapa?
karena rencana penerbitannya kurang dari sebulan. Buku ini terbagi atas
3 bab: Melawan Keterbatasan Hidup, Menahan Rasa Sakit, dan Menembus
Batas Usaha. Lakon-nya bukan politisi atau selebritis yang
jadi sorotan media karena ketahuan korupsi dan kawin-cerai, tapi rakyat
jelata kebanyakan. Wong cilik yang legowo hidup apa-adanya.
Salah satunya bernama Rina Shu. Wanita ini terlahir dengan penyakit muscular dystrophy. Sepasang
kakinya lumpuh. Akibat kelainan genetik yang menyerang fungsi otot.
Ketika balita lain mulai merangkak, Rina tak pernah mengalami langkah
kaki pertama di tanah. Untungnya, kedua orang tua Rina bersikap nrimo
saja. Mereka tetap mengupayakan si kecil merasakan hidup
senormal-normalnya. Bapak dan ibu tak pernah malu dengan keberadaannya.
Bahkan Rina acapkali diajak ke kantor. Mereka membanggakannya di depan
para rekan kerja. Hal ini membuat Rina tumbuh menjadi remaja yang penuh
percaya diri.
Kendati demikian, saat duduk di bangku
SMA, tubuh ringkihnya tak kuasa menahan himpitan beban fisik dan
mental. Akibat tanggungjawab besar sebagai seorang pelajar. Penyakit
asmanya pun sering kambuh. Alhasil, ia menjadi langganan rumah sakit.
Setiap bulan Rina keluar-masuk untuk berobat. Bahkan bukan hanya dia
yang sakit-sakitan, ibunya juga terserang stroke. Sehingga terpaksa
beraktivitas di atas kursi roda.
Di negeri ini tak ada
makan siang gratis. Biaya rumah sakit pun begitu mahal. Kondisi
keuangan keluarga kian terpuruk. Uang pensiunan sekadar untuk
menyambung hidup. Tabungan sudah ludes. Karena harus membayar ongkos
operasi kanker usus ayah. Dengan berat hati, Rina memilih berhenti
sekolah. Terbayang cita-citanya mau jadi ahli bahasa dan psikolog. Saat
itu, gambarannya kian memudar. Namun, itulah keputusan yang terbaik.
Teman-teman
datang menjenguk ke rumah. Mereka mengucapkan kata perpisahan sembari
melinangkan air mata. Para guru menggenggam jemari tangan Rina. Mereka
memberi dukungan bahwa hidup tetap bisa maju walau tanpa ijasah.
Menulis
Hari-hari permulaan di rumah sungguh membosankan. Rina tak mau
hidupnya berakhir seperti ini. Alpa memberi makna pada dunia. Betapa
nista hidup ini, ibarat seonggok daging yang tercampak di atas bumi,
lalu hilang ditelan waktu. Ia bertekad untuk berbuat sesuatu (halaman
105).
Kemudian Rina teringat kegemaran lamanya, yakni
menulis. Ia mulai berpikir untuk memberi arti pada eksistensi. Caranya
lewat merangkai kata di atas selembar kertas. Rina berinisiatif menulis
cerpen dan mengirimnya ke majalah remaja. Namun berkali-kali ia
menelan kekecewaan. Karena naskahnya dikembalikan bersama surat
penolakan. Rina sempat ngambek dan mogok menulis. Ia merasa terlalu memaksakan diri dan berharap banyak dari dunia jurnalistik.
Akibatnya,
ia kian terbenam dalam lembah keputusasaan, “Barangkali aku memang
diciptakan untuk jadi manusia yang sekadar bernapas. Tanpa perlu
memberi sumbangsih bagi dunia yang sudah mengijinkan aku tinggal di
dalamnya (halaman 106).” Singkat cerita, tiada yang abadi, pun termasuk
kemalangan hidup. Rina kembali bangkit. Kecintaannya pada aksara -
ditambah kondisi keluarga yang kian terpuruk - memaksanya untuk kembali
bertekun dalam jagat kata.
Ternyata, ia menemukan
ketenangan dan rasa aman saat menulis. Pena dan kertas menjadi sahabat
terbaik. Rina bisa mencurahkan segala duka, suka, dan kecewa pada
mereka.Tapi sekarang ada sedikit perubahan, ia tak lagi menulis cerpen.
Rina memberanikan diri menulis novel. Setiap hari ia menulis kata demi
kata, kalimat demi kalimat di atas lembaran kertas folio bergaris.
Saat itu, ia tak memiliki komputer. Alhasil, prosesnya relatif lebih
lama.
Namum Rina percaya pada pepatah lama. Tak ada rotan
akar pun jadi. Tak ada komputer pena pun oke. Alasannya masuk akal,
kalau meununggu sampai ada komputer, waktunya akan terbuang sia-sia.
Ada satu kisah menggetarkan. Sang ayah merasa bersalah karena tak bisa
membelikan laptop. Di tengah penderitaan merasakan nyeri akibat kanker
paru-paru, ayahnya menghampiri Rina di kamar. Beliau meminta maaf.
Hal
itu kian memacu semangat Rina untuk menyelesaikan novelnya. Sehingga
bisa membahagiakan keluarga dan mendapat penghasilan tambahan untuk
mereka. Ironisnya, sang ayah terlebih dahulu dipanggil Tuhan. Sebelum
novel itu terbit. Untuk mengenang kasih beliau, Rina menambahkan nama
“Shu” di sampul buku. “Shu” merupakan modifikasi dari kata
“Soerachmad”, nama belakang ayahnya (halaman 108).
Pada Januari 2011 Rina Shu menerbitkan novel pertama Kimi Shinjeteru
secara independen (indie). Banyak komentar positif dari sidang pembaca.
Ia berharap karyanya tak hanya memberi hiburan, tapi juga menyuntikkan
inspirasi.
Hebatnya, pasca menjadi penulis terkenal,
Rina Shu tetap rendah hati. Ia justru teringat pada teman-teman difabel
lainnya. Menurut analisis dan pengalaman pribadinya, kaum difabel
sungguh sulit meraih kesejahteraan hidup. Namun sejatinya kendala itu
bukan terletak pada keterbatasan fisik, melainkan pada kekurangseriusan
pemerintah dalam menjamin apa yang seharusnya menjadi hak setiap warga
negara. Dalam hati, Rina Shu berjanji untuk mengangkat harkat hidup
para difabel. Ia hendak membuktikan pada dunia bahwa mereka dapat
memberi arti besar dalam hidup ini.
“Kaki ini boleh
lumpuh, dan tak bisa membawaku ke tempat-tempat yang kuinginkan. Namun
untuk melangkah sesungguhnya tidak memerlukan kaki. Yang diperlukan
untuk melangkah adalah semangat yang besar…” (halaman 111).
Ugahari
Buku
ini juga memuat petuah Kyai Imam Zarkasyi. Beliaulah pendiri Pondok
Pesantren Gontor di Jawa Timur. Pak Kyai pernah menampilkan simulasi
unik untuk para santrinya. Dengan menggunakan alat peraga berupa 2
bilah golok. Yang satu tajam berkilau karena baru saja diasah.
Sedangkan
yang satu tumpul dan sudah berkarat. Sembari mengobrol santai di depan
kelas, Pak Kyai menggenggam golok yang tajam di tangan kanan. Lantas
menebaskannya tepat ke sepotong kayu. Tapi, seinchi sebelum menyentuh
kayu, syahdan ayunan golok terhenti. Alhasil, kayu tersebut tetap utuh
dan tidak terpotong sama sekali.
Lantas, beliau beralih
menghunus golok tumpul yang sudah karatan. Kali ini, ekspresi wajahnya
sangat serius. Dengan sekuat tenaga, beliau mengayunkan ke arah balok
kayu itu. Duk! Golok menghajar balok. Tapi tak terjadi apa pun. Pak Kiai mengulangi berkali-kali sampai akhirnya Plar! Balok kayu terbelah menjadi 2 dihantam golok karatan dan tumpul (halaman xiv).
Lewat
kisah tersebut, A. Fuadi hendak mengenang petuah Pak Kyai. Orang
pintar bagai sebilah golok tajam. Tapi kalau tidak serius dan
malas-malasan, belum tentu bisa menebas kayu. Kepintaran sia-sia tanpa
dibarengi tindakan nyata. Sementara itu, orang yang biasa-biasa saja
ibarat sebuah golok tumpul dan karatan. Walau otak tak begitu cemerlang,
kalau terus bekerja keras dan tak pernah menyerah asa lambat laun
pasti berhasil.
Bayangkan kalau golok karatan terus
diasah dengan rajin. Ibarat keahlian yang terus dilatih. Abraham
Lincoln pun mengatakan, “Kalau saya punya 8 jam untuk menebang pohon,
saya akan gunakan 6 jam pertama untuk mengasah kapak.” Dalam konteks
ini, persiapan merupakan setengah perjalanan menuju keberhasilan.
Ada satu kesaksian unik lainnya. J. Sumardianta menuliskan kisah dalam Blind Spot
(halaman 65). Ia guru sosiologi di SMA swasta khusus laki-laki di
Yogyakarta, yang memperbolehkan para murid berambut gondrong (panjang).
Selain itu, Sumardianta juga menekuni profesi sebagai penulis lepas.
Esai, opini dan resensi pria berusia 45 tahun tersebut acapkali
menghiasi lembaran koran lokal dan nasional.
Ironisnya,
sejak Oktober 2006 silam, ayah 3 putri ini tak kuat lagi berlama-lama
di depan layar komputer. Pun kalau dipaksakan, huruf-huruf di monitor
seperti bisa melonjak dan menari-nari. Pasca berkonsultasi dengan
dokter, semuanya menjadi gamblang. Ternyata ia mengidap penyakit
hipertensi mata (ocular hypertension). Lazimnya, tekanan bola mata seseorang ada pada kisaran 10-20 mmHg. Pada diri Sumardianta, tekanan bola mata mencapai 21 mmHg.
Alhasil, aliran cairan bola mata (aqueous humar)
dari balik mata depan ke lapisan luar mata tersendat. Sebagai solusi,
ia menjalani terapi dengan 2 obat mata sekaligus. Satu untuk mengairi
mata. Satu lagi untuk mengendurkan tekanan bola mata.
Mata yang bermasalah menyadarkan dirinya untuk memohon rahmat Tuhan (nyuwun pangertosan menggah winatesing diri).
Secara jujur, ia mengakui, “Dulu saya sempat menolak dan menyangkal
memiliki mata yang bermasalah. Kini, saya merasakan bahwa kebahagiaan
itu justru ditemukan dalam kenyataan hidup yang memprihatinkan dan serba
kekurangan (halaman 70).
Hebatnya, kendala fisik
tersebut tak membuat Sumardianta menyerah pada nasib. Ia malah semakin
rajin membaca buku. Sebab dengan mengirim resensi ke redaksi surat
kabar tertentu pada tanggal muda, biasanya akan dimuat pada tanggal
tua. Inilah resep cespleng (mujarab) untuk memelihara
profesionalisme di tengah fakta cekaknya penghargaan finansial bagi
para pendidik. Menurutnya, honor sebuah resensi dari media cetak
nasional ditambah insentif dari penerbit (tak jarang) lebih besar
ketimbang gaji yang ia bawa pulang setiap bulan (halaman 72).
Lantas, guna mensiasati kinerja bola matanya yang terus menurun, Sumardianta menggunakan teknik membaca cepat (speed reading) dan melompat-lompat (skimming). Kelelahan mata tatkala menulis di depan layar laptop diakali dengan istirahat rutin setiap 10-15 menit. Baginya, menulis harus ugahari alias tidak terburu nafsu. Senada dengan pepatah Kejawen, “Alon-alon waton kelakon.”
Tak
ada gading yang tak retak. Kelemahan buku ini hanya membatasi diri
pada masalah finansial, kesehatan, dan ketiadaan pekerjaan. Padahal
masih banyak aspek lain yang bisa dieksplorasi. Sebagai rekomendasi, ke
depannya, bisa dilengkapi dengan pengalaman bagaimana mengatasi
keterbatasan relasi. Misalnya kisah mantan tapol yang dikucilkan oleh
masyarakat. Sehingga ia bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitar dst.
Terlepas dari kelemahan tersebut, kisah-kisah dalam
buku setebal 172 halaman ini sungguh membuktikan keampuhan mantra,
“Siapa bersungguh-sungguh pasti akan berhasil (man jadda wajada)."
Sepakat dengan pendapat A. Fuadi, Sesungguhnya, setelah kesulitan itu
selalu ada kemudahan. Setelah kita jatuh, ruangan yang kosong hanya ke
atas. Yakni untuk menjadi lebih baik dan lebih kuat.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) Jogjakarta)