Dimuat di Rubrik Nguda Rasa, Koran Merapi, Selasa/26 Juni 2012
Pernyataan Richard Carlson, Ph.D ada benarnya. Penulis buku Don't Sweat the Small Stuff (2000) itu mengingatkan satu fakta penting. Tatkala suasana hati sedang buruk, itu bukan saat tepat untuk menganalisis hidup. Dalam situasi batin negatif, apapun relatif terasa berat. Karena perspektif cenderung menyempit.
Dalam konteks pembelajaran di kelas, penulis menerapkan tesis di atas dengan melakukan ice breaking
 (pemecah kebuntuan). Terutama saat sebelum memulai pelajaran. Tujuannya
  menciptakan suasana hati ceria. Sehingga para murid siap belajar 
materi  baru. Ada 1001 macam metode. Sumber referensinya antara lain 103 Additional Training Games  (Kroehnert :2 006).
Ada
 teknik favorit kami. Yakni, bertepuk-tangan dan tertawa bersama.  
Dengan bertepuk tangan, menurut Maya Safira Muchtar, titik-titik syaraf 
 di telapak tangan niscaya terstimuli. Otomatis peredaran darah di  
sekujur tubuh menjadi lancar. Otak pun jadi segar.
Agar 
lebih efektif dan terasa manfaatnya perlu dilakukan sambil  berdiri. 
Selain itu, kita para guru bisa kreatif membagi kelas menjadi  beberapa 
kelompok. Masing-masing grup bertepuk tangan dengan cara dan  ritme 
berbeda. Sehingga dapat tercipta suara harmoni tepuk tangan nan  indah. 
Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan tertawa bersama, "Ha ha ha ho ho ho he he he hi hi hi...". Menurut
  Madam Katrina, pelopor klub tawa di India, 1 menit terbahak-bahak  
setara efeknya dengan 20 menit olahraga ringan (sumber: 
http://circleoflaughter.com/).
Tim ilmuwan dari Loma Linda University Schools of Allied Health
 (SAHP) di Amerika Serikat telah membuktikan asumsi ini. Tertawa tidak  
hanya membuat perasaan menjadi lebih positif, tetapi juga menurunkan  
tingkat stres, meningkatkan imunitas tubuh, menurunkan kolesterol, dan  
menormalkan tekanan darah. 
14 responden diminta menonton 
video komedi berdurasi 20 menit.  Sebelum dan pasca menonton, mereka 
diukur tekanan darah dan diambil  sampel darahnya. "Tertawa menyebabkan 
berbagai modulasi dan respons  positif dari tubuh," kata Dr. Lee S. 
Berk, salah satu peneliti, seperti  dikutip Times of India. Dr.
 Berk juga melihat terapi tawa sebagai  alternatif untuk meningkatkan 
nafsu makan. Hasil penelitian ini pernah  dipresentasikan dalam 
konferensi Biologi Eksperimental (2010).
Kembali ke lokus 
pembelajaran di sekolah. Tak ada salahnya, para guru  datang ke kantor 
lebih awal. Pasca berdoa pagi bersama dapat pula  ditambah dengan 
prosesi tertawa terbahak-bahak 1 menit. Sehingga tatkala  para pendidik 
memasuki ruang kelas, kita tak hanya siap berbagi ilmu,  tapi juga 
keceriaan.
Memerdekakan
Menurut
 Ki Tyasno Sudarto, tujuan  pendidikan tak lain untuk mendidik anak 
bangsa menjadi manusia yang  merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan 
tenaganya. Meminjam metafor Ki  Hadjar, "Bukan manusia nunggang motor mrebes mili (naik motor dengan menangis), tetapi mikul dawet rengeng-rengeng (memikul cendol yang berat dengan menyanyi)." (Pendidikan Modern dan Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara, 2008)
Salah satu tolok ukurnya ialah faktor kemandirian. Dewasa ini, para lulusan kita cenderung mau cemanthel.
 Alias bergantung pada orang lain. Ketergantungan tersebut sangat  
berbahaya. Kenapa? Karena kalau induk tempat bergantung ambruk, maka  
orang yang bersandar tadi juga akan roboh. Dalam konteks ini, pendidikan
  kewirausahaan (enterpreneurship) kian relevan. Sehingga para siswa belajar berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).
Analogi
 yang digunakan Ki Hadjar Dewantara sangat menarik. Pendiri  Tamansiswa 
tersebut mengajak segenap sivitas akademika belajar dari  cicak. Si 
cicak tak pernah sekolah, bahkan tidak mengantongi gelar  sarjana, akan 
tetapi cicak tak pernah menganggur. "Ia" tahu di mana  tempat mencari 
makan. Jika ada lampu terang, maka di situ niscaya banyak  nyamuk 
berdatangan. Merayaplah si cicak ke sana, menangkapi  nyamuk-nyamuk 
sebagai santapan lezatnya.
Sungguh ironis, saat ini tatkala sebuah institusi pendidikan menggelar job fair, ribuan
  lulusan universitas dan sekolah menengah antri sejak pagi hari. Badan 
 Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah angkatan kerja pada Februari 2012
  mencapai 120,4 juta orang. Angka ini naik sebesar 3 juta orang 
dibanding  Agustus 2011 yang notabene berjumlah 117,4 juta. Sedangkan 
tingkat  pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,61 juta orang atau
 6,32%  (Februari 2012).
Solusinya ialah dengan 
menggalakkan wirausaha dalam segala lini  kehidupan. Usah menunggu 
mendapat pekerjaan tertentu. Mari ciptakan  lapangan pekerjaan sendiri. 
Kembali menyitir petuah Ki Hadjar. Begawan  pendidikan nasional tersebut
 memperkenalkan filosofi opor bebek. Ibarat  menggoreng dan memasak 
tanpa minyak. Pada sajian opor bebek yang  mematangkan masakan ialah 
minyak yang ada pada tubuh bebek itu sendiri (opor bebek mateng saka awake dewe).
Sedikit sharing
 pengalaman di lapangan, sejak 2005 hingga  kini, penulis acapkali 
mengirim tulisan ke media massa. Baik lokal,  nasional maupun 
internasional. Tak semuanya dimuat, beberapa mungkin  langsung di di-delete (hapus) dari inbox
 (kotak masuk)  redaktur surat kabar. Kendati demikian, tetap ada 500-an
 artikel dan  resensi buku yang pernah dimuat. Dari situ, penulis 
mendapat honorarium.  Selain itu, kita bisa belajar menyampaikan gagasan
 dan mengolah  kreativitas.
Pungkasnya resep ning, ning, nung, nang ala Ki Hadjar Dewatara sungguh cespleng (mujarab). Dengan meneng, neng alias tenteram lahir batin kita menjadi ning, wening. Pikran menjadi jernih dan bening. Sehingga dapat membedakan mana yang tepat dan tidak tepat. Lantas kita menjadi nung, hanung alias kuat dan penuh semangat meraih cita-cita. Akhirnya nang, menang diamanahi wewenang untuk melayani sesama. Salam Pendidikan! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, guru sekolah alam Angon Yogyakarta dan ektrakurikuler bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar