Kamis pagi (18/10/2012) cuaca di sekitar
 gedung UC Universitas  Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta cerah. Di sisi 
utara, gunung Merapi tampak  menjulang tinggi. Meski acara eksaminasi 
publik terkait kontroversi  putusan Mahkamah Agung (MA) dalam kasus 
Anand Krishna baru akan dimulai  pukul 09.30 WIB, beberapa rekan 
wartawan dan peserta sudah berada di  lokasi sejak jam 08.30 WIB.
Mereka menanti di ruang Humaniora lantai
 2 UC UGM, sembari berbincang  santai dengan panitia dari Komunitas 
Pecinta Anand Ashram (KPAA).  Beberapa orang di antaranya baru mendarat 
dari Bali dan Jakarta pagi itu  di bandara Adisucipto.
Tiga narasumber dari kalangan akademisi 
siap memaparkan tinjauan  ilmiah mereka. Yakni, Guru Besar Hukum Pidana 
Universitas Diponegoro  (UNDIP) Semarang; Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra
 Jaya S.H., MH, Guru  Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) 
Yogyakarta; Prof. Dr.  Edward O.S. Hiariej S.H., M. Hum, dan Advokat 
Ketua Dewan Pimpinan  Cabang PERADI Yogyakarta; Nur Ismanto SH, MSi.
Hasil eksaminasi publik akan diserahkan 
ke Mahkamah Agung (MA),  Komisi Yudisial (KY) dan lembaga negara 
lainnya. Yakni, sebagai masukan  dari masyarakat terkait kontroversi 
 dalam kasus Anand Krishna. Menurut  Dr. Wayan Suriastini, salah satu 
perwakilan penyelenggara, eksaminasi  ialah bentuk partisipasi publik 
untuk memberi penilaian dan pengujian  atas putusan hakim di pengadilan 
dan Hakim Agung di MA.
“Ketika keputusan terhadap Warga Negara 
Indonesia (WNI) Anand Krishna  kontroversial dan melukai rasa keadilan 
masyarakat, maka upaya  eksaminasi publik harus ditempuh. Yakni, demi 
akuntabilitas dan  pendidikan kepada masyarakat terkait kualitas tata 
peradilan dan MA di  Indonesia,” ujarnya.
Sebelum acara eksaminasi, panitia 
memutarkan video profil Yayasan  Anand Ashram (YAA). Organisasi 
spiritual lintas agama tersebut telah  berafiliasi dengan PBB (2006). 
Peletakan batu pertamanya dilakukan di  Sunter, Jakarta Utara pada 14 
Januari 1991. Pendiri pusat kesehatan  holistik dan meditasi tersebut 
ialah aktivis spiritual, tokoh humanis,  dan penulis 150 buku lebih, 
Anand Krishna http://www.anandkrishna.org/id/.
Memperkenalkan dan menyebarluaskan cara 
hidup meditatif menjadi misi  YAA. Alhasil, terciptalah masyarakat yang 
cerah dan sadar berdasarkan  nilai-nilai universal Inner Peace, Communal Love dan Global Harmony. Sedangkan visinya ialah Satu Bumi, Satu Langit, dan Satu Umat Manusia (One Earth, One Sky and One Humankind).
Kegiatan YAA berupa pemberdayaan diri untuk kesehatan holistik dan meditasi. Ada lebih dari 300 metode latihan. Open House
 gratis setiap 2 minggu sekali digelar untuk pembaca buku dan masyarakat
  luas. Sehingga  kesadaran hidup meditatif kian tersebarluas. Jutaan  
orang sudah merasakan manfaat latihan sederhana ini.
Wadahnya berupa padepokan Anand Krishna Centre (AKC) di Bali http://www.akcbali.org dan AKC Joglosemar http://www.akcjoglosemar.org/, Anand Ashram Sunter Jakarta Utara, One Earth Retreat Centre di Ciawi, Bogor http://www.oneearthretreat.com/ dan Anand Ashram Ubud Asia http://www.ubud.anandashram.asia/.
Sayap-sayap kegiatan YAA juga bermunculan. Antara lain National Integration Movement
 (NIM) di bidang kebangsaan, Koperasi Global Anand Krishna di bidang  
ekonomi, Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ) yang telah mengadakan MTDS  
(Mengajar Tanpa Dihajar Stres) untuk 20 ribu guru lebih dan Berkarya  
Tanpa Beban Stres (BTBS) untuk para profesional di Jakarta, Lampung,  
Jateng-DIY, Bali, dll.
Selain itu, masih ada Foradoksi (Forum 
Pengajar, Dokter, dan Psikolog  bagi Ibu Pertiwi) dan Yayasan Pendidikan
 Anand Krishna yang terakhir  melahirkan One Earth School. Sekolah pertama di Indonesia yang mengajarkan history of religions (sejarah agama-agama di dunia).
Kemudian contoh lainnya NIM. Organisasi 
nonpartisan tertebut  bertujuan untuk membangkitkan jiwa Nusantara. 
Yakni, lewat simposium,  temu hati, diskusi kebangsaan, dan pesta 
rakyat. Agar anak bangsa lebih  mencintai tanah air Indonesia.
Kini pesta rakyat di Monas 
bermetamorfosis menjadi KTCS (Klub Tawa  Ceria, Sehat). Pesertanya 
berasal dari pelbagai kalangan, lintas suku,  agama, ras, dan golongan 
sosial ekonomi http://circleoflaughter.com/ .
dr. Wayan Sayoga
Kronologi Singkat 
Di awal sesi eksaminasi, dr. Wayan 
Sayoga selaku moderator memaparkan  tujuan besar acara ini. Yakni, 
penyadaran kehidupan bermasyarakat  terkait tata hukum di Indonesia. 
Lantas, dokter yang sehari-hari praktek  di Bali tersebut menjelaskan 
kronologi singkat kasus Anand Krishna.  Hingga kini hampir 3 tahun 
belangsung.
Pada 12 Februari 2010, Tara Pradipta Laksmi cs melapor ke Komnas Perempuan. Terjadi juga black campaign
 di salah satu TV nasional. Dari pagi, siang, sore, sampai malam diputar
  ulang terus. Intinya, mau menunjukkan bahwa Anand Krishna telah  
melakukan pelecehan seksual. Pertanyaannya, kenapa melaporkan kasus ke  
Komnas Perempuan dan stasiun TV Nasional dulu, bukan langsung ke Polisi?
15 Februari 2010, mereka melapor ke 
Mabes Polri. Katanya ada puluhan  korban, tapi ternyata hanya ada satu 
pelapor saja hingga kini. Ini jelas  merupakan pembohongan publik.
Pada 25 Februari 2012, Agung Mattauch mengatakan di media massa bahwa pelecehan seksual hanya entry gate, pintu masuk untuk menjerat Anand Krishna dengan penodaan agama (Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2010/02/25/064228390/Anand-Krishna-Dituding-Sebarkan-Ajaran-Sesat )
Sepanjang Agustus 2010 - April 2011 
proses persidangan Anand Krishna  dipimpin oleh ketua majelis hakim Hari
 Sasangka. Ternyata berdasarkan  rekaman di ruang sidang, hanya 10 
persen terkait pelecehan seksual.  Selebihnya, 90 persen menghakimi 
pemikiran, buku-buku, dan kegiatan  Anand Krishna di YAA.
Khusus terkait alibi. Pada 21 Maret 200 
katanya pelecehan terjadi di  Padepokan One Earth, Ciawi, Bogor. 
Padahal  alibi Anand Krishna kuat.  Sebab pada hari tersebut, ia berada 
di Sunter sedang berceramah dalam  program Open House. Ada 
bukti berupa daftar hadir dan tanda  peserta para peserta. Selanjutnya, 
Mei 2009 katanya pelecehan juga  terjadi di Bali. Padahal saat itu Anand
 Krishna sedang menjadi pembicara  di Singapura.
Anehnya, alibi yang kuat ini tak 
dihiraukan oleh Hari Sasangka.  Kemudian ia malah memerintahkan 
penahanan. Anand Krishna terus melakukan  perlawanan dari balik jeruji 
besi.  “Saya berhak atas badan saya, walau  tak ada penegakan hukum sama
 sekali di negeri ini,” ujarnya. Selama 49  hari mogok makan, ia hanya 
minum air putih. Apakah Jaksa Penuntut Umum  (JPU) Martha Berliana 
Tobing dan hakim Hari Sasangka mau dan mampu  bertahan walau hanya 
sehari mogok makan?
Nah saat itulah, ketahuan belangnya  Hari Sasangka. Ia menjalin affair
 dengan Shinta Kencana Kheng di dalam mobil pada malam hari. Foto-foto  
dan rekamannya sudah diserahkan ke KY dan MA. Alhasil, pada Juni 2011 MA
  mengeluarkan putusan mengganti semua majelis hakim.
Sejak saat itu, Albertina Ho memimpin 
sidang Anand Krishna. Lantas,  ia memanggil ulang para saksi dan 
mendengarkan kembali keterangan  saksi  ahli. Singkat cerita, pada 22 
November 2011 Albertina Ho dan majelis  hakim lain bersepakat menyatakan
 Anand Krishna bebas karena terbukti tak  bersalah. Anehnya, JPU boleh 
mengajukan kasasi, dan pada  24 Juli 2012  kasasi “kilat” tersebut 
dikabulkan MA.
Eksaminasi 
Tujuannya tak lain untuk mendengarkan 
pendapat para ahli dan praktisi  hukum. Kemudian, memeriksa dan menguji 
putusan MA tersebut dari aspek  cara. Narasumbernya 3 pakar yang 
kompeten di bidangnya masing-masing. 
Sebagai pengantar dr. Sayoga mengatakan,
 “Kasus ini penuh kejanggalan  dan dagelan. Karena gosip bisa dijadikan 
fakta hukum dalam  persidangan.” Dalam konteks ini, penyadaran dan 
pencerahan baru dalam  ranah hukum di negeri ini menjadi urgen.
Prof. Dr. Edward O.S. Hiariej S.H., M. Hum
Tanpa tedeng aling-aling, Prof. Dr. 
Edward O.S. Hiariej S.H., M. Hum  langsung tancap gas. Menurut Guru 
Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah  Mada (UGM) Yogyakarta tersebut, 
Putusan bebas haram hukumnya dikasasi.  Penulis buku “Pengantar Hukum 
Pidana Internasional” tersebut melihat  tata peradilan di Indonesia 
berbanding terbalik dengan di negara  komunis. Kalau di negara komunis 
apa-apa dilarang. Sedangkan, di  Indonesia apa-apa boleh. Ini yang 
membuat karut-marut penegakan hukum  kita.
“MA singkatan dari Mahkamah Ajaib. 
Karena tiba-tiba MA mengamini  memori kasasi JPU dengan alasan ini bebas
 tidak murni. Putusan bebas  tidak ada bedanya dengan susu. Padahal 
dalam KUHAP tak ada embel-embel  murni atau tidak murni. MA ikut-ikutan 
gila seperti JPU, harus ada  perlawanan terhadap putusan ini,” 
tandasnya.
Ia memang menjadi menjadi saksi ahli dua
 kali di Pengadilan Negeri  (PN) Jakarta Selatan. Saat persidangan Anand
 Krishna dipimpin majelis  hakim Hari Sasangka maupun Albertina Ho. 
“Jadi ini tanggungjawab saya  untuk mengkritisi dari aspek hukum,” 
imbuhnya. Selain itu, penulis buku  “Pengadilan atas Kejahatan HAM” 
tersebut juga menyoroti Hari Sasangka  yang ketahuan menjalin affair dengan saksi pelapor. Ia membandingkan dengan track record Albertina Ho yang sudah terkenal integritasnya.
Lantas, ia menjadikan dirinya sebagai 
ilustrasi. “Saya mengaku  dilecehkan, tak ada saksi tak bukti apa pun. 
Satu saksi bukanlah saksi.  Pembuktian awal saja sudah tidak memenuhi. 
Itulah kenapa Aannd harus  dibebaskan. Dari sisi pembuktian sudah sangat
 lemah.
Kinerja Hakim Agung di MA dalam kasus 
ini kembali disorotinya.   Karena tidak memperhatikan kontra memori dari
 pihak Anand Krishna.  Mereka bersikap subjektif, tanpa memperhitungkan 
apa yang meringankan.
Dr. Sayoga menambahkan sebelum beranjak 
ke narasumber berikutnya,  “Tara mengaku dilecehkan 2-4 jam sehari oleh 
Pak Anand, padahal hasil  visum membuktikan ia masih perawan, tak ada 
tanda-tanda kekerasan  seksual sama sekali.
Nur Ismanto SH, MSi
Nur Ismanto SH, MSi melihat pula 
kejanggalan putusan MA tersebut.  “Kok bisa  dan berkebalikan 180 
derajat dengan putusan PN Jaksel,”  tanyanya.
Advokat Ketua Dewan Pimpinan Cabang 
Peradi Yogyakarta tersebut  menyoroti pula kesaksian absurd para saksi. 
“Kalau mereka terbukti  memberikan kesaksian palsu bisa dijerat pasal 
hukuman,“ ujarnya  memperingatkan.
Sebagai pengacara yang sering melakukan 
advokasi bersama para aktivis  LSM. Gerakan legal dan ektra legal memang
 harus terus dilakukan.  Langkah kreatif untuk membangun opini, 
memengaruhi penegak hukum dan  para pemegang kekuasaan harus ditempuh.
“Kita gugat terus lewat gerakan yang 
tidak melalui saluran hukum tapi  tidak melanggar hukum juga. Setiap 
perjuangan tak akan sia-sia,“  imbuhnya. Pria kelahiran Gunung Kidul 
tersebut mengacu pada perjuangan  mendiang Romo Mangun dkk. Saat itu, 
beliau memperjuangkan hak-hak warga  Kedung Ombo yang dirampas oleh 
penguasa.
Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya S.H., MH
Narasumber ketiga Prof. Nyoman membuka 
dengan canda. Membaca putusan  MA ini saya saja bingung, padahal sudah 
profesor. Secara jeli Prof. Dr.  Nyoman Serikat Putra Jaya S.H., MH 
mempertanyakan apa hubungan antara  Jakarta Selatan dan Jawa Barat? 
Sebab dalam memori kasasi dari JPU ada  kasus yang terjadi di Jawa 
Barat. “Anehnya kok disetujui oleh MA,”  ujarnya disambut tepuk tangan 
para peserta.
Lebih lanjut pria kelahiran Buleleng 
Bali tersebut mengkaji lagi  surat putusan MA. Seharusnya  MA 
menguraikan pendapat atas keberatan  JPU. Tapi itu semua tak dilakukan 
MA. Mereka langsung membenarkan begitu  saja. “Padahal banyak 
kekeliruan, kalau mahasiswa saya pasti tak  lulus,” tandas Guru Besar 
Hukum Pidana Universitas Diponegoro (UNDIP)  Semarang tersebut.
“Kalau tak terbukti harusnya ya bebas. 
Bukannya justru mereka-reka  dan memasukkan kasus orang lain dalam 
memori kasasi Anand Krishna,”  imbuhnya. Ia juga berpesan agar KPAA dan 
pihak keluarga jangan patah  arang. Selain terus berjuang, “Minta dan 
berdoa pada Dia Hyang Di Atas,”  pesannya.
Prashant Gangtani
Selanjutnya, Prashant Gangtani, putra Anand Krishna juga menyampaikan pendapat. UU
  tak bisa diganggu gugat. Yurisprudensi boleh kalau tak ada UU. Tapi  
jelas ada KUHAP 244 dan 67. Di dalamnya jelas tertulis bahwa keputusan  
bebas tidak bisa dikasasi.
“Kalau MA melanggar UU apalagi rakyat. 
Jangan jadi seperti saya, jadi  korban. Baru bangkit saat itu terjadi 
pada orang tua saya sendiri.  Kalau tak terjadi pada saya, saya diam 
saja,“ ujarnya. 
Kemudian ia 
menambahkan, “Yurisprudensi kemudian dipakai di  mana-mana. Kumpulkan 4 
orang tak perlu ada saksi, untuk menjatuhkan  orang lain. Ini kan 
berbahaya sekali.”
Ia juga memaparkan sikap sang ayah, 
“Bapak sudah tegas tidak akan  terima putusan kasasi ini. Sekarang 
beliau di Ubud, Bali. Kalau mau  dieksekusi hanya bisa membawa mayat, 
kalau kematian ayah saya membuat  rakyat bangun dan sadar, beliau siap 
dan rela.” (Bersambung…)
(Fotografer: Tunggul Setiawan, Primadi Aryandika, Rio)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar