Zaman terus bergulir, sarana transportasi pun kian berkembang pesat.
Kini keberadaan gerobak sapi tergantikan oleh “kuda menggigit besi”
alias truk atau pick up. Masyarakat modern jarang menjumpai
gerobak sapi yang terbuat dari kayu, beratap anyaman daun aren, dan
beroda kayu yang dibalut plat besi. Padahal sejatinya, gerobak sapi
kendaraan yang ramah lingkungan dan tak butuh BBM (bahan bakar
minyak). Kotoran sapinya pun bisa dijadikan pupuk organik untuk
tanaman.
Dulu gerobak sapi sempat menjadi andalan alat angkut hasil bumi kaum
petani. Tak jarang, para petani memasarkan produknya sampai ke luar
kota. Perjalanan menuju tempat tujuan memakan waktu lama. Bahkan mereka
sampai harus bermalam dan tidur di dalam gerobak. Para petani tak
takut pada gelap dan dingin udara malam yang menusuk. Semua dilakukan
untuk menafkahi keluarga di rumah.
Tapi tak hanya hujan, dingin malam, dan terik panas mentari yang
dihadapi oleh para penarik gerobak sapi tersebut. Perampok bisa
sewaktu-waktu muncul dan merampas seluruh hasil bumi mereka. Tak semua
petani memiliki nyali untuk melawan sehingga mereka menyewa
orang-orang yang berani dan jago berkelahi untuk mengamankan gerobak
sapi. Orang-orang tersebut dijuluki bajingan. Maka tak heran kalau sampai sekarang sopir gerobak sapi tetap dipanggil bajingan.
Begitulah penjelasan dari Teguh Budianto selaku Dukuh Malangrejo, Desa
Wedomartani, Kecamatan Ngemplak dalam kata sambutan acara Festival
Gerobak Sapi Rakyat Tani 2013, Minggu (16/6) pukul 09.00 WIB - 14.00
WIB di utara kompleks Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta.
Menurutnya, setahun terakhir banyak bermunculan kembali gerobak sapi di
Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kendati demikian, roda-rodanya sudah
dimodifikasi dengan ban bekas mobil. “Setiap Minggu Wage, di lapangan
Jangkang, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, sejak pagi hingga siang bisa
disaksikan puluhan gerobak sapi berkumpul. Mereka saling memamerkan
gerobaknya dan bertransaksi jual-beli gerobak serta sapi,” imbuhnya
lagi.
Teguh Budianto mengatakan bahwa fenomena kelahiran kembali gerobak
sapi itulah yang ditangkap oleh pemuda Karang Taruna Pedukuhan
Malangrejo sebagai potensi sosiokultural yang bernilai tinggi.
“Karenanya patut diapresiasi sebagai suatu usaha penggalian warisan
budaya rakyat tani Jawa. Kami semua para bajingan adalah kaum
tani. Gerobak sapi merupakan salah satu kekuatan budaya kami,”
ujarnya di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Gusti Kanjeng
Ratu (GKR) Hemas.
Tatkala ditanya apakah tujuan dari Festival Gerobak Sapi Kaum Tani 2013 ini, Teguh Budianto menjelaskan dua poin. Pertama,
untuk merevitalisasi keberadaan dan keberfungsian gerobak sapi.
Sehingga dapat menggalakkan kembali moda transportasi tradisional
kebanggaan kaum tani. Kedua, untuk menggali kembali daya-daya
hidup dalam kebudayaan kaum tani. Sehingga dapat mengembangkan
potensi, mengatasi masalah, serta mewariskan kepada generasi muda demi
keberlanjutan hidup bangsa Indonesia.
Acara selanjutnya pawai gerobak sapi, ratusan bajingan dari
Yogyakarta dan Jawa Tengah telah bersiap di atas kemudinya
masing-masing. Mereka akan berkeliling dari Maguwoharjo menuju
perempatan Tajem, lantas berbelok ke utara menuju perkebunan anggrek,
lantas berbelok ke barat hingga akhirnya kembali ke selatan lagi
berkumpul di lapangan sisi utara stadion sepakbola kebanggaan warga
Sleman tersebut.
Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X berkenan mengibarkan bendera start.
Ribuan penonton memadati sisi kiri dan kanan jalur yang akan dilewati
rombongan pawai gerobak sapi aneka warna tersebut. Walau panas matahari
menyengat ubun-ubun tak menyurutkan antusiasme mereka menyaksikan
secara langsung alat transportasi andalan kaum tani tersebut.
Begitu bendera start dikibarkan oleh Ngarso Dalem,
iring-iringan ratusan gerobak sapi bergerak perlahan keluar dari areal
lapangan menuju jalan raya. Ada gerobak yang hanya ditarik satu sapi,
tapi lebih banyak yang ditarik dengan dua ekor sapi. Suara gemerincing
lonceng yang menggantung di leher sapi menambah meriah suasana. Aneka
hasil bumi digantungkan sebagai aksesoris utama gerobak sapi. Ada
padi, jagung, pete, nanas, dll. Ratusan juru foto tak mau melewatkan
kesempatan langka untuk mengabadikan prosesi unik tersebut.
Sembari menanti para bajingan kembali ke lapangan beserta gerobak-gerobak sapinya, para penonton dihibur dengan aneka atraksi. Misalnya, pentas musik live dari grup band Low Budget, vokalisnya Krishna Encik, rektor Folks Mataram Institute (FMI) yang berambut gimbal. Mereka menyanyikan lagu-lagu ciptaan sendiri, salah satunya jingle Gerobak
Sapi berirama etnik khas pedesaan. Selain itu, Paguyuban Karawitan
Puspita Laras juga mendinginkan suasana panas siang itu dengan alunan
gamelan. Di tengah lapangan tampak pula seekor sapi ditambatkan pada
sebuah tiang. Beberapa seniman lukis seperti Bambang Herras dkk
menggambari tubuh putih si sapi dengan pewarna yang biasa dipakai untuk
mewarnai makanan.
Sajian paling heboh ialah tarian Jathilan dari puluhan tentara KODIM
0734 Yogyakarta. Mereka mengamuk memakan semangka dan menari liar
sejadi-jadinya. Tapi begitu keluar Kelompok Tari “Poco-poco” dan
“Gangnam Style” situasi kembali ger-ger-an. Bayangkan tentara
mengenakan celana doreng, tapi atasannya memakai surjan coklat.
Lantas, mereka menari poco-poco dan melonjak-lonjak ala gangnam style. Seluruh rangkaian gerak dan tari itu diberi judul “Rakyat dan TNI bersatu membangun peradaban baru.”
Tak berapa lama kemudian, rombongan pawai gerobak sapi telah kembali
memasuki areal lapangan. Saatnya dewan juri menilai masing-masing
peserta. Mereka berkeliling mencermati setiap sudut gerobak sapi. Ketua
panitia, Bowo Hasto Nugroho mengatakan bahwa penilaian berdasarkan
pada standar orisinalitas gerobak.
Pada festival ini dipilih tiga orang pemenang. Masing-masing mendapat
uang pembinaan, dan khusus juara satu ditambah trofi Gubernur DIY.
Peserta berkesempatan pula mendapat hadiah kejutan (door prize)
berupa alat-alat pertanian. Humas panitia, Muhammad Syaifullah
mengatakan bahwa kali ini gerobak sapi bukan sekadar pelengkap,
festival yang diikuti oleh 179 pendaftar tersebut sungguh-sungguh
menjadikan gerobak sapi sebagai ikon utama.
Wawancara dengan Bajingan
Sambil menanti hasil penjurian, penulis sempat mewawancarai seorang
bajingan alias sopir gerobak sapi. Pak Wardoyo telah menekuni profesi
tersebut selama 10 tahun. Beliau berasal dari Paguyuban Langgeng
Sehati, Kebon Dalem Lor, Klaten, Jawa Tengah.
Menurut Pak Wardoyo, bagian-bagian dari satu gerobak sapi sangat beragam. Misalnya di sekitar roda namanya gonjo dan embanan. Lantas, bagian penutup gerobak di bagian belakang disebut tepong. Ibarat sebuah rumah, fondasi gerobak sapi namanya watonan. Sedangkan empat tiang penyangganya disebut drajung. Atap gerobak namanya payonan. Bagian yang tak kalah penting di sekitar sapi penarik gerobak. Di sana ada cancatan, angkul-angkul, sambilan, raco, dan manukan.
Ketika ditanya berapa biaya untuk membuat satu gerobak sapi, Pak
Wardoyo mengatakan bahwa itu tergantung bahan. Bisa dari kayu jati
atau kayu nangka, kisaran biayanya mencapai Rp 10-15 juta. Sedangkan
untuk harga sapi pun beragam, sapi jantan ukuran besar bisa ditawar Rp
50 juta per ekor. Tapi rata-rata sapi penarik gerobak berharga Rp
10-15 juta per ekor. Sebagian besar sapi-sapi tersebut didatangkan
dari Kulon Progo, Yogyakarta.
Terakhir tapi penting, bagaimana perawatan sapi-sapi agar tetap sehat
dan kuat menarik gerobak, Menurut Pak Wardoyo cukup dengan memberi
makan secara teratur. Sehari minimal dua kali, yakni pada pagi dan
sore. “Menu makan sapi antara lain batang padi (damen), jagung, dedek, dan parutan ubi. Semua bahan itu diberi air lantas diaduk sampai merata,” ujarnya.
Ketika penulis mengunggah salah satu foto gerobak sapi di Facebook,
ada salah seorang teman berkomentar unik. Agustinus Risanta
menceritakan pengalaman masa kecil seorang temannya, “Zaman dia masih
remaja, teman saya itu suka sekali iseng mengganggu gerobak sapi. Saat
gerobak sudah berjalan - saisnya yang di Yogyakarta disebut bajingan
- tidur nyenyak karena sapi sudah hafal jalan dari rumah ke ladang. Di
tengah perjalanan, remaja-remaja iseng itu menghentikan gerobak, lalu
memutar arah kembali ke rumah. Sapi pun membawa gerobak pulang. Sampai
di rumah, sang bajingan terbangun, ia terheran-heran kok malah sampai di rumah lagi?”
Akhirnya sekitar pukul 13.00 WIB, dewan juri mengumumkan hasil penilaian mereka lewat pengeras suara (TOA). Ratusan bajingan
berdebar-debar dan mendengarkan dengan saksama. Juara III jatuh pada
peserta no. 73 dengan total nilai 260, juara II jatuh pada peserta no.
49 dengan total nilai 265, dan juara I jatuh pada peserta no. 54
dengan total nilai 270. Juara pertama berhak mendapat uang pembinaan
sebesar Rp 1,5 juta.
Anggi Minarni, salah seorang anggota dewan juri merefleksikan acara Festival Gerobak Sapi 2013 ini di status Facebook-nya,
“Hari ini aku jadi juri Gerobak Sapi bersama Ons Untoro dan Anissa.
Ini proyek dahsyat, 113 gerobak sapi berhias warna-warni pun tampil
lugu. Ah lumayan masih ada transportation heritage yang bisa kita warisi. Sejuk di mata setelah mlenger melihat hotel dan mini market yang menjamur di Yogyakarta. Jempol untuk FMI dan Karang Taruna Pedukuhan Malangrejo!”
Senada dengan pendapat Sri Hermandjoyo Joseph, salah seorang
pengunjung yang datang dengan keluarganya, “Dalam Festival Gerobak
Sapi 2013 ini sapi tidak untuk dikorupsi, tapi sapi adalah bagian dari
peristiwa budaya.”
Sumber Foto: Dok. Pri