Krisis multifaset yang melanda bangsa ini dapat ditelisik akarnya dari struktur otak manusia. Selain otak kiri yang rasional dan otak kanan yang intuitif, ada satu bagian otak yang kerap terlupakan, yakni lymbic section. Bila pusat insting hewani yang mengkoordinasi kedua batang otak tadi jarang dibersihkan, keliaran dalam diri kita ini tetap eksis. Turunannya, banyak pemimpin yang kendati terkesan santun di hadapan publik, namun di belakang meja masih rakus memakan uang rakyat, bahkan mejanyapun dimakan.
Dokter Bambang Setiawan, seorang ahli bedah syaraf melihat carut-marutnya kondisi negeri ini karena mayoritas pemimpin melulu mengejar kenyamanan diri dan mengutamakan kepentingan kelompok/partainya.Karena itu, mereka kurang peka terhadap amanah penderitaan rakyat (Otak para Pemimpin Kita, PT One Earth Media Jakarta, Anand Krishna, Didik Nini Thowok, dan dr Bambang Setiawan, 2005)
Lebih lanjut, sistem pendidikan kita pun cuma mengurusi otak kiri. Hasilnya, banyak orang pinter minteri alias memakai ilmunya untuk mengeksploitasi orang lain dan alam sekitar secara membabi buta. Ironisnya, saat kecenderungan egoistik tadi berkolaborasi dengan otak kanan, egosentrisme tersebut dibungkus dengan kata-kata manis sehingga terkesan suci-sumuci.
Bukankah pola semacam ini acapkali dilakukan para politisi kita? Mereka mengumbar janji saat kampanye pemilu, tapi setelah berkuasa dan duduk di kursi empuk, justru melik nggendong lali alias lupa pada amanah menyuarakan aspirasi rakyat dan konstituennya. Secara lebih mendalam, mari kita berefleksi dan bertanya pada diri sendiri. Bukankah kita yang memilih atau bagi yang golput - memilih untuk tidak memilih - para pemimpin bangsa ini? Konsekuensinya, kita pun bertanggungjawab dan musti bergotong-royong membongkar kebobrokan mental tersebut.
Solusi praktis ialah dengan t'laten alias rajin membersihkan lymbic section dari sampah pikiran, karat emosi, trauma masa lalu, dan nafsu menguasai yang terpendam dalam subconcious mind alias gudang bawah sadar kita. Tujuannya, agar kita bisa menjadi tuan atas diri sendiri. Artinya, mampu mengenali kecenderungan hewaniah tersebut dan mentransformasikannya menjadi lebih manusiawi. Sehingga keberadaan kita bisa menjadi berkah bagi sesama dan lingkungan sekitar.
Adakah public figure yang, meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tulodo, yang piawai menyinergikan otak kiri-kanan serta mengendalikan lymbic section-nya? Berikut ini beberapa alternatif nama.
Pertama, Didi Nini Thowok, seorang penari dan aktivis budaya. Beliau menciptakan aneka genre tarian kontemporer yang dikawinkan dengan tradisi masyarakat lokal. Hebatnya, walau diimingi bayaran selangit, seniman kelahiran Temanggung itu secara tegas menolak tawaran mengajar di universitas terkemuka di luar negeri. Kenapa? karena putra Ibu Pertiwi itu lebih suka membuka sanggar tari di pelosok Yogyakarta, visinya sederhana, yakni mengajak anak-anak setempat mengenal, mengapresiasi, dan mencintai budaya luhur Nusantara.
Kedua, Anand Krishna, seorang penulis produktif yang dalam satu dasawarsa terakhir telah menulis 100 buku lebih. Selain itu, pria keturunan India kelahiran Surakarta itu senantiasa menyuarakan semangat persatuan dan tekad Bende Mataram (Sembah Bhakti bagi Ibu Pertiwi). Yakni lewat simposium kebangsaan, pesta rakyat, kuliah umum, penulisan artikel di pelbagai mdedia dan last but not least, program mengajar tanpa dihajar stress (MTDS) bagi para guru dan dosen.
Ketiga, Minto, seorang guru SD di Prambon, Madiun. Beliau mengembangkan teknologi alternatif ramah lingkungan, yakni rumah surya. Mapit seluruh perabot rumahnya, dari kompor sampai televisi, menggunakan energi listrik tenaga surya alias cahaya matahari.
Akhirulkalam, menyitir kata-kata almarhum Romo Mangunwijaya, "Semakin kita memberi, semakin kita kaya. Bila kita memberikan hati, pengorbanan, dan segala yang indah pada orang lain, terutama kepada yang lemah-miskin-tertindas, kita tidak akan kekurangan, tetapi sebaliknya kita akan senantiasa kaya!" Adakah mentalitas berkelimpahan macam ini sempat melintas dalam benak pemimpin kita tercinta? Only God knows!