Tampilkan postingan dengan label Ibu Pertiwi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ibu Pertiwi. Tampilkan semua postingan

Desember 23, 2007

Tolak Renovasi Rumah DPR!

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia 19 Desember 2007.

Rencana anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) merenovasi rumah dinas di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan sungguh kerterlaluan. Betapa tidak, sembari menunggu perbaikan selesai para "wakil" Rakyat tersebut akan menerima tunjangan Rp 13 juta perbulan. Padahal seorang Guru SMP di pelosok Magelang sana musti nyambi menjadi bakul kupat tahu dan numpang di bekas ruang kelas untuk sekedar berteduh dari hujan dan sengatan terik mentari.

Di manakah sensitifitas anggota dewan kita? Bukankah lebih baik total dana 107 Milyar tersebut dipakai untuk membenahi struktur sosial-kemasyarakatan yang porak-poranda dihantam badai inflasi sembako, kenaikan harga minyak dunia dan pelbagai ekses negatif pemanasan bumi? Tingkah-pongah mereka kian mencuatkan image DPR sebagai lembaga – meminjam istilah Bung Ariel Heryanto – 3 D: Duduk, Dengar, Duit! Padahal menurut Undang-Undang No 22/2003, tugas utama DPR ialah untuk menyerap, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi konstituennya. Sumpah jabatan tersebut diikrarkan di hadirat Tuhan Yang Maha Esa serta 220 juta Rakyat Indonesia!

Ternyata ide renovasi tersebut berasal dari Ketua DPR-RI sendiri, Agung Laksono. Beliau menyatakn bahwa setiap bulan anggaran dana perawatan rumah kian membengkak. Dengan mempertimbangkan kondisi kompleks bangunan yang dibangun awal 1980-an itu, beliau merekomendasikan agar rumah dinas tersebut direnovasi.

Interupsi Pak Ketua! Apakah untuk mengatasi masalah sepele, misalnya menambal atap yang bocor atau membetulkan saluran pembuangan air yang mampat, anggota dewan musti 'mengemis' uang Rakyat? Bukankah sudah semestinya kalian merogoh kocek sendiri dari gaji bulanan guna memperbaiki rumah dinas yang ditempati? Lebih lanjut, berapa persen sih dari total 550 anggota DPR yang sudi tinggal di sana? Bukankah beliau-beliau lebih suka menyewa apartemen dan membangun vila-vila pribadi nan mewah di Puncak dan Pulau Dewata?

Dalam kitab kearifan China "I Ching" ada petuah "Shih" alias Kepemimpinan. "Seorang pemimpin yang bijak akan turun ke lapangan. Ia tidak hanya memerintah, ia juga akan ikut berkarya." (baca: I Ching - Bagi Orang Modern, Anand Krishna, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002). Seyogianya selama 5 tahun masa jabatan, anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD musti relatif dekat dengan para konstituen, ia harus berani blusukan berada di tengah-tengah massa rakyat alias nyawiji dalam bahasa Jawanya.

Seorang pemimpin perlu memahami dan merasakan betul apa yang menjadi aspirasi rakyat di akar rumput? Kalau memang masih enggan berpihak pada rakyat (prorakyat) sebaiknya jangan menjadi pejabat publik dulu. Lebih baik kita dipimpin oleh seorang yang bijak daripada menjadi pemimpin yang kurang bijak. Senada dengan tembang "Bung Hatta"-nya Iwan Fals, "... terbayang bhaktimu, terbayang jasamu, terbayang jelas jiwa sederhanamu.... bernisan bangga, berkafan doa, dari kami yang merindukan orang sepertimu..."

Bukan harta, wanita, ataupun takhta yang Proklamator RI tercinta itu warihkan pada putra-putri Ibu Pertiwi dari Sabang sampai Merauke, melainkan bhakti, pengorbanan, dan kesederhanaan jiwa! Semoga uswatun hasanah alias suri tauladan para founding fathers tersebut dilihat dan dipraktikkan oleh para pelayan publik abad -21 ini. Konkretnya, mulai dengan mengatakan tidak untuk renovasi rumah dinas DPR!

Zaman Edan?

Dimuat di Rubrik Masalah Kita SKH Kedaulatan Rakyat 26 November 2006.

Kebijakan impor beras jelas-jelas irasional dan tidak populis! Hal ini tepat benar seperti yang digambarkan oleh pujangga besar Nusantara yang pernah menembangkan syair profetis, "Zamanne zaman edan/ nak ora edan ora komanan!"

Bagaimana ndak edan? Tatkala musim panen raya tiba pemerintah justru berencana mengimpor beras dari luar negri melalui perum bulog. Dalih pemerintah memperlakukan policy ini ialah untuk menjaga stabilitas harga. Tapi realitasnya justru berbanding terbalik. Tatkala rencana impor beras baru menjadi wacana saja, para tengkulak telah menekan harga gabah di kalangan petani, kini harga beras berada pada kisaran Rp 3.000 per kg, penurunan harga ini jelas merugikan petani.

Jika dicermati, kebijakan ini merupakan turunan dari sitem ekonomi neoliberal yang mengedepankan nafsu ekonomis kelompok tertentu ketimbang analisis mendalam dan akal sehat dalam rangka mencapai keadilan sosial bagi semua. Ironisnya, pemerintah justru melupakan alasan berdirnya suaru negara seperi yang termaktub dalam mukadimah UUD 1945 dan pasal 33. Ada dua kemungkinan, pertama karena kekurang jelian para pakar ekonomi kita, dan/atau mereka tak tahan akan godaan meraup fulus.

Meski konsekuensinya petani kita yang bekerja keras di bawah terik mentai dari saat menabur benih hingga menggiling gabah, justru kian menderita. Inilah tugas kita untuk membuat mereka ingat pada amanah pemderitaan sesama putra-putri Ibu Pertiwi. Masih terngiang tembang Ki Ronggowarsito,"Nanging luwih becik menungso sing eling lan waspodo!"

Ada Apa di Balik RUU APP?

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa SKH Kedaulatan Rakyat 16 Maret 2006.

Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) telah memancing kontroversi yang kian meluas dan memanas. Topik ini menjadi perbincangan bahkan menjurus ke perseteruan sengit di program diskusi live di televisi maupun di bawah temaram lampu senthir angkringan.

Secara pribadi, penulis menolak tegas pemberlakukan RUU APP ini karena perundangan tersebut akan merampas kebebasan individu, utamanya kaum perempuan. Masalah seksualitas ialah urusan personal, sehingga tidaklah tepat dan sehat bila pemerintah, pemuka agama dan tokoh masyarakat terlalu jauh campur tangan. Senada dengan syair profetis Iwan Fals dalam lagu "Manusia Setengah Dewa", "Masalah moral, masalah akhlak biar kami cari sendiri/ urus saja moralmu, urus saja akhlakmu/ peraturan yang sehat yang kami mau!"

Budaya asli Indonesia telah melihat perempuan sebagai Shakti. Yakni sumber energi feminin yang inklusif, merangkul semua elemen bangsa, putra-putri Ibu Pertiwi. Sehingga kita tak memerlukan perundangan impor yang justru membungkus tubuh perempuan secara ketat dan menyesakkan. Menyadur kata-kata Shakespeare, "Kebesaran sebuah bangsa, berbanding lurus dengan tingkat apresiasi dan penghargaan pada perempuan!"

Negara beserta seluruh aparatusnya, termasuk tokoh masyarakat dan pemuka agama ialah pengabdi dan pelayan umat. A leader is a server! Tugasnya apa? yakni memfasilitasi setiap orang mencecap kesejahteraan lahir-batin. Sungguh ironis tatkala rakyat dipaksa secara sistemik struktural mengikat pinggang lebih kencang sedangakan para wakil rakyat justru menuntut kenaikan gaji. Apakah masih layak menyandang gelar mulia "wakil" rakyat? Sebuah strategi politik tingkat tinggi tapi jelas tidak berlandaskan nurani!

Lantas, secara "cerdas" perhatian masyarakat dialihkan ke masalah sensitif dan sensual lewat RUU APP ini. Padahal ada problem kebangsaan yang lebih urgen untuk dituntaskan apabila kita tak ingin bangsa ini tergadaikan. Misalnya, konspirasi segelintir elit politik dan para kapitalis alia cukong berduit tuk mengeksploitasi perut Bumi Papua, Cepu, Bojonegoro, dst. Juga jangan pernah lupa pada kasus korupsi berjamaah BLBI yang meraibkan uang rakyat trilyunan rupiah. Masih ditambah awan mendung yang menutupi dunia pendidikan nasional karena anggaran hanya 7 persen dari total APBN.

Segenap Civil Society, elemen masyarakat, utamanya kaum akademisi perlu secara berani dan kritis menyikapi situasi ekonomi, politik nasional tersebut. Dengan berbekal empati dan budi pekerti yang bening maka kita bisa melihat motivasi kunci di balik skenario dagelan RUU APP tersebut. Yakni keserakahan segelintir orang pada fulus, pangkat dan gengsi. Ini berarti mereka telah mengkhianati cita-cita luhur para pejuang dan founding fathers yang termaktub dalam Mukadimah UUD 1945!