Dimuat di Rubrik Pustaka, Bernas Jogja, Jumat/11 April 2014
Judul: Kreativitas Itu “Dipraktekin”
Penulis: Tim Wesfix
Penerbit: Grasindo
Cetakan: 1/September 2013
Tebal: x + 144 halaman
ISBN: 978-602-251-216-5
Budaya instan mengkondisikan orang ingin meraih hasil serba cepat. Padahal semua membutuhkan proses. Mustahil saat menanam padi langsung bisa menikmati sepiring nasi, bukan? Artinya, manusia memang harus taat pada kuasa sang waktu.
Sama halnya dalam melatih otot-otot kreativitas, sekadar mengetahui teori belum memadai. Di bahasa Inggris ada istilah practice makes perfect. Latihanlah yang mendekatkan orang pada kesempurnaan. Buku bersampul kuning ini memuat aneka cara untuk menjadikan kreativitas sebagai gaya hidup sehari-hari.
Misalnya, dengan memanfaatkan kanal di sosial media (sosmed). Saat seorang teman meng-update statusnya - baik lewat Facebook, Twitter, atau Path - jadikan itu ajang untuk mengasah kreativitas. Jangan hanya membubuhkan “like” (jempol). Tapi, tuliskan juga komentar lucu sehingga dapat mengundang senyum dan gelak tawa pembaca (halaman 67).
Selain itu, Tim Wesfix juga memaparkan bahwa inovasi tampak keren kalau sudah jadi. Tapi, pada awalnya sering dianggap aneh (freak). Ada kisah unik di balik model celana 3/4 ala Michael Jordan. Ia pebasket pertama yang memopulerkan tren celana pendek yang melebihi lutut. Ternyata, Jordan mencari cara agar tetap bisa memakai celana basket kesayangannya. Jadi, ia selalu memakai celana yang melebihi lutut sehingga celana double yang dipakai sebelumnya tidak kelihatan (halaman 50).
Sistematika buku ini terdiri atas 12 subbab. Seluruhnya mengupas serba-serbi seputar kreativitas. Mulai dari mengukur level kreatif seseorang, membangkitkan motivasi dari dalam diri, mengeksplorasi keunikan pribadi, sabar menanti masa inkubasi, hingga (checklist) daftar untuk mengabadikan temuan terbaru. Yakni, dengan meminta pembaca menuliskan 10 inovasi mutakhir pada 1.000 tahun ke depan.
Selanjutnya, ada juga analisis menarik terkait mekanisme kerja otak manusia. Ternyata, saat seseorang memaksa dirinya sendiri untuk menghasilkan sesuatu, alam bawah sadarnya justru mengalami kemacetan berpikir (mental block). Alhasil, semua usahanya sia-sia. Ia tak mampu menciptakan apapun.
Artinya, ketika otak tahu bahwa tuannya terlalu over alias berlebihan (dan itu berarti melenceng dari apa yang alami dan diyakini baik bagi dirinya) otak segera memerintahkan untuk berhenti berpikir. Menyikapi kondisi macet (stuck) semacam itu, petuah Paul Alen menemukan relevansinya, “Tidak perlu terlalu pusing dengan produktivitas. Fokuslah pada pertanyaan, apakah aku sudah memiliki tujuan jelas?”
Inilah yang disebut living purposely (halaman 105). Salah satu resep mujarab untuk memiliki tujuan hidup yang jelas ialah dengan menuliskan obituari (pidato kematian). Riwayat hidup semacam apa yang mau diwariskan pada anak-cucu dan generasi selanjutnya? Lazimnya, para tokoh besar telah menyiapkan obituari jauh hari sebelum mereka meninggal dunia. Bukan karena mereka bosan hidup, tapi untuk merangsang antusiasme.
Obituary juga dapat mendekatkan seseorang dengan pedalaman seluk-beluk batinnya. Manusia jadi lebih mengenal dirinya sendiri. Mengetahui apa cita-citanya dan makna kehadirannya bagi sesama makhluk ciptaan Tuhan. Monggo, silakan berimajinasi sebebas mungkin saat menyusun obituari, tapi yang terpenting jangan lupa untuk mewujudkannya selama nafas masih dikandung badan.
Lalu, penulis merekomendasikan model belajar ala anak kecil. Mereka bisa sangat terperinci melukiskan apa yang baru saja dilihat. Dari detail yang dicermati dengan penuh rasa takjub tersebut, para pekerja kreatif juga dapat menimba inspirasi segar. Alhasil, ia tidak sekadar mencipta secara mekanis tapi juga bisa menangkap spiritnya.
Keunggulan buku Kreativitas Itu “Dipraktekin” terletak pada pilihan gaya bahasa. Pembahasan di dalamnya singkat, padat, dan jelas. Tampilannya juga full color (penuh warna-warni) cerah. Daya visualisasi pembaca niscaya terstimuli setiap kali membolak-balik halamannya. Namun, kritik pedas perlu dilayangkan untuk tim editor. Sebab, acapkali dijumpai kesalahan ketik. Hal ini sedikit mengganggu kenikmatan membaca.
Terlepas dari kelemahan minor tersebut, buku setebal 144 halaman ini sebuah referensi berharga. Karena dapat menjadi sarana untuk membengkokkan logika yang kaku. Menyitir tesis Picasso, “Musuh utama kreativitas ialah terlalu berpikir rasional.” Selamat membaca dan salam kreatif!
Judul: Kreativitas Itu “Dipraktekin”
Penulis: Tim Wesfix
Penerbit: Grasindo
Cetakan: 1/September 2013
Tebal: x + 144 halaman
ISBN: 978-602-251-216-5
Budaya instan mengkondisikan orang ingin meraih hasil serba cepat. Padahal semua membutuhkan proses. Mustahil saat menanam padi langsung bisa menikmati sepiring nasi, bukan? Artinya, manusia memang harus taat pada kuasa sang waktu.
Sama halnya dalam melatih otot-otot kreativitas, sekadar mengetahui teori belum memadai. Di bahasa Inggris ada istilah practice makes perfect. Latihanlah yang mendekatkan orang pada kesempurnaan. Buku bersampul kuning ini memuat aneka cara untuk menjadikan kreativitas sebagai gaya hidup sehari-hari.
Misalnya, dengan memanfaatkan kanal di sosial media (sosmed). Saat seorang teman meng-update statusnya - baik lewat Facebook, Twitter, atau Path - jadikan itu ajang untuk mengasah kreativitas. Jangan hanya membubuhkan “like” (jempol). Tapi, tuliskan juga komentar lucu sehingga dapat mengundang senyum dan gelak tawa pembaca (halaman 67).
Selain itu, Tim Wesfix juga memaparkan bahwa inovasi tampak keren kalau sudah jadi. Tapi, pada awalnya sering dianggap aneh (freak). Ada kisah unik di balik model celana 3/4 ala Michael Jordan. Ia pebasket pertama yang memopulerkan tren celana pendek yang melebihi lutut. Ternyata, Jordan mencari cara agar tetap bisa memakai celana basket kesayangannya. Jadi, ia selalu memakai celana yang melebihi lutut sehingga celana double yang dipakai sebelumnya tidak kelihatan (halaman 50).
Sistematika buku ini terdiri atas 12 subbab. Seluruhnya mengupas serba-serbi seputar kreativitas. Mulai dari mengukur level kreatif seseorang, membangkitkan motivasi dari dalam diri, mengeksplorasi keunikan pribadi, sabar menanti masa inkubasi, hingga (checklist) daftar untuk mengabadikan temuan terbaru. Yakni, dengan meminta pembaca menuliskan 10 inovasi mutakhir pada 1.000 tahun ke depan.
Selanjutnya, ada juga analisis menarik terkait mekanisme kerja otak manusia. Ternyata, saat seseorang memaksa dirinya sendiri untuk menghasilkan sesuatu, alam bawah sadarnya justru mengalami kemacetan berpikir (mental block). Alhasil, semua usahanya sia-sia. Ia tak mampu menciptakan apapun.
Artinya, ketika otak tahu bahwa tuannya terlalu over alias berlebihan (dan itu berarti melenceng dari apa yang alami dan diyakini baik bagi dirinya) otak segera memerintahkan untuk berhenti berpikir. Menyikapi kondisi macet (stuck) semacam itu, petuah Paul Alen menemukan relevansinya, “Tidak perlu terlalu pusing dengan produktivitas. Fokuslah pada pertanyaan, apakah aku sudah memiliki tujuan jelas?”
Inilah yang disebut living purposely (halaman 105). Salah satu resep mujarab untuk memiliki tujuan hidup yang jelas ialah dengan menuliskan obituari (pidato kematian). Riwayat hidup semacam apa yang mau diwariskan pada anak-cucu dan generasi selanjutnya? Lazimnya, para tokoh besar telah menyiapkan obituari jauh hari sebelum mereka meninggal dunia. Bukan karena mereka bosan hidup, tapi untuk merangsang antusiasme.
Obituary juga dapat mendekatkan seseorang dengan pedalaman seluk-beluk batinnya. Manusia jadi lebih mengenal dirinya sendiri. Mengetahui apa cita-citanya dan makna kehadirannya bagi sesama makhluk ciptaan Tuhan. Monggo, silakan berimajinasi sebebas mungkin saat menyusun obituari, tapi yang terpenting jangan lupa untuk mewujudkannya selama nafas masih dikandung badan.
Lalu, penulis merekomendasikan model belajar ala anak kecil. Mereka bisa sangat terperinci melukiskan apa yang baru saja dilihat. Dari detail yang dicermati dengan penuh rasa takjub tersebut, para pekerja kreatif juga dapat menimba inspirasi segar. Alhasil, ia tidak sekadar mencipta secara mekanis tapi juga bisa menangkap spiritnya.
Keunggulan buku Kreativitas Itu “Dipraktekin” terletak pada pilihan gaya bahasa. Pembahasan di dalamnya singkat, padat, dan jelas. Tampilannya juga full color (penuh warna-warni) cerah. Daya visualisasi pembaca niscaya terstimuli setiap kali membolak-balik halamannya. Namun, kritik pedas perlu dilayangkan untuk tim editor. Sebab, acapkali dijumpai kesalahan ketik. Hal ini sedikit mengganggu kenikmatan membaca.
Terlepas dari kelemahan minor tersebut, buku setebal 144 halaman ini sebuah referensi berharga. Karena dapat menjadi sarana untuk membengkokkan logika yang kaku. Menyitir tesis Picasso, “Musuh utama kreativitas ialah terlalu berpikir rasional.” Selamat membaca dan salam kreatif!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar