Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Kamis/3 April 2014
Hari Air Sedunia (World Day for Water) bertujuan untuk menarik perhatian publik terkait pentingnya air bersih. Selain itu, juga untuk melindungi pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan (sustainable) sampai anak dan cucu di masa depan. Inisiatif tersebut resmi diumumkan saat sidang umum PBB ke-47 di Rio de Janeiro, Brasil. Resolusi nomor 147/1993 menetapkan pelaksanaan peringatan Hari Air Sedunia setiap 22 Maret dan mulai diperingati pertama kali pada 1993.
Pertanyaannya, bagaimana cara menanamkan rasa cinta air dalam konteks pendidikan? Tak sekadar beretorika, Oppie Andaresta memberikan solusi praktis. Ia menggagas gerakan sederhana. Penyanyi kondang itu mengajak para pendengarnya, ”Hidup Hijau Sekarang Juga”. Sejak dini, dia mengajari anak-anak cara menyikat gigi yang ramah lingkungan.
Pertama, siapkan dulu sikat dan pasta giginya. Kedua, selama menyikat gigi keran air wajib dimatikan. Ketiga, saat berkumur wadahi air di dalam cangkir agar tidak boros air. Tak hanya di rumah, cara tersebut juga bisa diterapkan di sekolah bukan?
Secara lebih mendalam, dalam buku Mengungkap Misteri Air Mengubah Dunia dengan Kesadaran Baru (One Earth Media, 2005), Ir Triwidodo Djokorahardjo, M.Eng Nina Natalia, Ir Gede Merada, dan Anand Krishna PhD memaparkan sebuah keajaiban air. Menurut Ir. Triwidodo, zaman dulu belum banyak teknologi canggih. Tapi, orang tua yang hendak memanggil anaknya yang berada di luar kota bisa melakukan dengan memanggil-manggil nama sang anak lewat gentong berisi air. Lewat medium air tersebut, komunikasi antarmanusia dapat terjadi. Itulah handphone untuk zaman baheula.
Dr Masaru Emoto lewat bukunya Messages From Water juga memberikan kabar baik pada dunia. Lewat serangkaian riset panjang, dia menemukan bahwa molekul-molekul air dapat terpengaruh oleh pikiran, perasaan, perkataan, dan tindakan manusia. Ilmuwan Jepang dan tim penelitinya tersebut melakukan eksperimen di laboratorium. Caranya dengan memakai cawan petri. Lalu mereka membekukannya selama 3 jam dalam suhu -20 derajat selsius. Hasilnya, terbentuklah butiran es di permukaan cawan petri setebal 1 milimeter. Bentuk kristal baru akan terlihat saat ada cahaya pada bagian mahkota dari butiran es tadi.
Ternyata, tak semua cawan petri menghasilkan bentuk kristal yang sama. Bahkan ada yang tidak membentuk kristal sama sekali. Air keran dari Tokyo, hasilnya begitu mengecewakan. Tak ada satu pun kristal yang terbentuk. Menurut Emoto, penggunaan chlorine dalam dosis tinggi justru menghancurkan struktur alami air. Sebaliknya, air dari sumber alami seperti air zam-zam, Lourdes, Sungai Gangga, senantiasa menampilkan bentuk-bentuk kristal heksagonal yang indah.
Salah satu percobaan lainnya dengan memerdengarkan musik ke sebotol air minum dalam kemasan. Ia menaruhnya di atas meja yang diapit oleh dua pengeras suara (speakers). Lantas, dia memutar musik dengan volume normal seperti yang diperdengarkan kepada manusia.
Hasilnya sungguh menakjubkan. Pastoral Symphony karya Beethoven, dengan alunan nada yang jelas dan bening, menghasilkan kristal-kristal sempurna. Begitu pula dengan Symphony No 40 karya Mozart, yang merupakan puji-pujian untuk keindahan, membentuk kristal-kristal yang halus dan elegan. Sementara Etitude in E, Op. 10 no 3 karya Chopin menampilkan detail-detail yang presisinya tinggi.
Artinya, musik-musik klasik karya para maestro dunia memang menghasilkan bentuk-bentuk kristal yang eksotis. Alunannya cocok untuk mengiringi siswa belajar. Berdasarkan penelitian Emoto dkk, ungkapan cinta (love) dan syukur (gratitude) niscaya menghasilkan struktur kristal yang indah.
Ada sebuah kisah unik lainnya dalam peringatan 15 tahun wafatnya YB Mangunwijaya di Seminari Kentungan, Yogyakarta (9/2/2014). Menurut Romo Yatno, dulu almarhum Romo Mangun sangat tidak setuju kalau ada areal tanah yang di-corblok.
Kenapa? Karena air hujan tak bisa meresap ke dalam tanah. Alhasil, air langsung mengalir ke selokan dan kalau meluber akan menyebabkan banjir di mana-mana. Romo Mangun juga suka membuat kolam ikan di pekarangan. Karena itu merupakan pendingin alami. Kalau orang marah, melihat ikan-ikan berenang di kolam sontak bisa mereda tensi darahnya. Selain itu, air kolam juga bisa untuk menyirami tanaman dan memberi kesegaran bagi lingkungan di sekitarnya.
Akhir kata, peringatan Hari Air Sedunia 2014 dapat menjadi tonggak awal kesadaran bersama untuk lebih mencintai air. Tiga hal sederhana namun berdampak besar yang bisa dilakukan ialah hemat air, mengurangi pencemaran air, dan membuat kolam ikan di lingkungan sekitar. Kalau bukan kita lantas siapa? Kalau bukan sekarang lalu kapan?
Hari Air Sedunia (World Day for Water) bertujuan untuk menarik perhatian publik terkait pentingnya air bersih. Selain itu, juga untuk melindungi pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan (sustainable) sampai anak dan cucu di masa depan. Inisiatif tersebut resmi diumumkan saat sidang umum PBB ke-47 di Rio de Janeiro, Brasil. Resolusi nomor 147/1993 menetapkan pelaksanaan peringatan Hari Air Sedunia setiap 22 Maret dan mulai diperingati pertama kali pada 1993.
Pertanyaannya, bagaimana cara menanamkan rasa cinta air dalam konteks pendidikan? Tak sekadar beretorika, Oppie Andaresta memberikan solusi praktis. Ia menggagas gerakan sederhana. Penyanyi kondang itu mengajak para pendengarnya, ”Hidup Hijau Sekarang Juga”. Sejak dini, dia mengajari anak-anak cara menyikat gigi yang ramah lingkungan.
Pertama, siapkan dulu sikat dan pasta giginya. Kedua, selama menyikat gigi keran air wajib dimatikan. Ketiga, saat berkumur wadahi air di dalam cangkir agar tidak boros air. Tak hanya di rumah, cara tersebut juga bisa diterapkan di sekolah bukan?
Secara lebih mendalam, dalam buku Mengungkap Misteri Air Mengubah Dunia dengan Kesadaran Baru (One Earth Media, 2005), Ir Triwidodo Djokorahardjo, M.Eng Nina Natalia, Ir Gede Merada, dan Anand Krishna PhD memaparkan sebuah keajaiban air. Menurut Ir. Triwidodo, zaman dulu belum banyak teknologi canggih. Tapi, orang tua yang hendak memanggil anaknya yang berada di luar kota bisa melakukan dengan memanggil-manggil nama sang anak lewat gentong berisi air. Lewat medium air tersebut, komunikasi antarmanusia dapat terjadi. Itulah handphone untuk zaman baheula.
Dr Masaru Emoto lewat bukunya Messages From Water juga memberikan kabar baik pada dunia. Lewat serangkaian riset panjang, dia menemukan bahwa molekul-molekul air dapat terpengaruh oleh pikiran, perasaan, perkataan, dan tindakan manusia. Ilmuwan Jepang dan tim penelitinya tersebut melakukan eksperimen di laboratorium. Caranya dengan memakai cawan petri. Lalu mereka membekukannya selama 3 jam dalam suhu -20 derajat selsius. Hasilnya, terbentuklah butiran es di permukaan cawan petri setebal 1 milimeter. Bentuk kristal baru akan terlihat saat ada cahaya pada bagian mahkota dari butiran es tadi.
Ternyata, tak semua cawan petri menghasilkan bentuk kristal yang sama. Bahkan ada yang tidak membentuk kristal sama sekali. Air keran dari Tokyo, hasilnya begitu mengecewakan. Tak ada satu pun kristal yang terbentuk. Menurut Emoto, penggunaan chlorine dalam dosis tinggi justru menghancurkan struktur alami air. Sebaliknya, air dari sumber alami seperti air zam-zam, Lourdes, Sungai Gangga, senantiasa menampilkan bentuk-bentuk kristal heksagonal yang indah.
Salah satu percobaan lainnya dengan memerdengarkan musik ke sebotol air minum dalam kemasan. Ia menaruhnya di atas meja yang diapit oleh dua pengeras suara (speakers). Lantas, dia memutar musik dengan volume normal seperti yang diperdengarkan kepada manusia.
Hasilnya sungguh menakjubkan. Pastoral Symphony karya Beethoven, dengan alunan nada yang jelas dan bening, menghasilkan kristal-kristal sempurna. Begitu pula dengan Symphony No 40 karya Mozart, yang merupakan puji-pujian untuk keindahan, membentuk kristal-kristal yang halus dan elegan. Sementara Etitude in E, Op. 10 no 3 karya Chopin menampilkan detail-detail yang presisinya tinggi.
Artinya, musik-musik klasik karya para maestro dunia memang menghasilkan bentuk-bentuk kristal yang eksotis. Alunannya cocok untuk mengiringi siswa belajar. Berdasarkan penelitian Emoto dkk, ungkapan cinta (love) dan syukur (gratitude) niscaya menghasilkan struktur kristal yang indah.
Ada sebuah kisah unik lainnya dalam peringatan 15 tahun wafatnya YB Mangunwijaya di Seminari Kentungan, Yogyakarta (9/2/2014). Menurut Romo Yatno, dulu almarhum Romo Mangun sangat tidak setuju kalau ada areal tanah yang di-corblok.
Kenapa? Karena air hujan tak bisa meresap ke dalam tanah. Alhasil, air langsung mengalir ke selokan dan kalau meluber akan menyebabkan banjir di mana-mana. Romo Mangun juga suka membuat kolam ikan di pekarangan. Karena itu merupakan pendingin alami. Kalau orang marah, melihat ikan-ikan berenang di kolam sontak bisa mereda tensi darahnya. Selain itu, air kolam juga bisa untuk menyirami tanaman dan memberi kesegaran bagi lingkungan di sekitarnya.
Akhir kata, peringatan Hari Air Sedunia 2014 dapat menjadi tonggak awal kesadaran bersama untuk lebih mencintai air. Tiga hal sederhana namun berdampak besar yang bisa dilakukan ialah hemat air, mengurangi pencemaran air, dan membuat kolam ikan di lingkungan sekitar. Kalau bukan kita lantas siapa? Kalau bukan sekarang lalu kapan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar