Dimuat di Harian Jogja, Rabu/19 Februari 2014
Akhir-akhir ini aneka bencana alam kembali menaungi negeri ini. Empat anasir alam telah menunjukkan keperkasaannya. Mulai dari banjir (air), kebakaran hutan dan gunung meletus (api), topan dan puting beliung (angin), hingga tanah longsor dan gempa bumi (tanah). Rentetan bencana alam tersebut tentu berdampak pada kehidupan manusia. Termasuk dalam ranah psikologis.
Menurut Albert Maramis, pakar kesehatan dari WHO, pada setiap kejadian bencana alam, rata-rata penduduk yang mengalami masalah kejiwaan mencapai 50%. Oleh sebab itu, selain membutuhkan pasokan logistik, para korban bencana alam juga memerlukan terapi pemulihan stres dan trauma. Terlebih bagi anak-anak. Kenapa? Karena mereka sempat terkurung di barak-barak pengungsian dan tak bisa kemana-mana (termasuk bersekolah) selama bencana alam menerjang.
Maya Safira, terapis kesehatan holistik L’Ayurveda menjelaskan bahwa gangguan stres pascatrauma disebut Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pengalaman menakutkan itu berulang secara terus-menerus (re-experience). Bentuknya berupa khayalan, mimpi, halusinasi, dan flash back. Seolah peristiwa tersebut sungguh terulang kembali di benaknya. Alhasil, korban akan bereaksi panik. Lama-kelamaan tekanan batin/depresi tersebut dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang, termasuk anak-anak.
Dari aspek psikologis, anak-anak memang rentan gangguan psikis. Memori-memori traumatis saat bencana datang niscaya mengendap di alam bawah sadar mereka. Gejalanya berupa rasa murung, susah tidur (insomnia), dan nafsu makan berkurang. Bila tak segera mendapatkan terapi, dampaknya bisa terbawa hingga generasi penerus bangsa itu beranjak dewasa.
Dalam konteks ini, rekomendasi Seto Mulyadi menjadi kian relevan. Ada beragam teknik permainan untuk mengatasi trauma anak. Antara lain bermain pasif, bermain aktif motorik halus, dan bermain aktif motorik kasar.
Bermain pasif misalnya seperti menyaksikan pertunjukan sulap dan mendengarkan dongeng. Bermain aktif motorik contohnya menulis, menggambar, mewarnai, menari, berpuisi, menyanyi, bermain teater, dll. Bermain motorik kasar dengan berteriak ekspresif. Tujuannya agar dapat mengeluarkan perasaan sedih di alam bawah sadar mereka. Begitulah pendapat Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Republik Indonesia (RI) tersebut.
Lebih lanjut, menurut Kak Seto, pendampingan langsung ke anak memang penting. Tapi bimbingan konseling untuk atasi trauma para orangtua mereka juga sangat urgen. Kenapa? Karena orangtua yang depresi niscaya menularkan stresnya kepada anak-anak mereka juga.
Trauma Healing
Sebagai ilustasi, berikut ini salah satu contoh di lapangan. Kota Semarang dan sekitarnya selama beberapa pekan terakhir terendam banjir. Salah satu daerah yang mengalami dampak relatif parah ialah RW 3 Dusun Kebonharjo, Kelurahan Tawang Mas, Kecamatan Semarang Utara. Menurut Lurah setempat, Mardiyono, selama bertahun-tahun ia berdomisili di Kelurahan Tawang Mas, banjir tahun 2014 ini yang tingkat ketinggian airnya paling mengkhawatirkan.
Pada Minggu (2/2/2014) pukul 08.00 – 12.00 WIB, Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) bekerjasama dengan Apotik Srikandi Babarsari, Jogjakarta terjun langsung mengadakan program PPSTK (Pusat Pemulihan Stres dan Trauma Keliling). Triwidodo sebagai Ketua Anand Krishna Center (AKC) Joglosemar memamparkan bahwa musibah banjir yang menimpa warga telah menimbulkan stres dan tekanan mental. Oleh karena itu, dampak stres tersebut perlu dikurangi dengan terapi trauma healing (pemulihan trauma) (Sumber: http://blog.anandashram.or.id/.
Di samping memberikan terapi trauma healing tim relawan PPSTK dari Jogjakarta, Solo, dan Semarang juga memberikan terapi Neo Zen Reiki bagi warga setempat. Terapi kesehatan holisik lewat sentuhan telapak tangan tersebut dipopulerkan oleh Sensei Usui dari Jepang (Seni Memberdaya Diri I dan Neo Zen Reiki, Gramedia Pustaka Utama, 2014).
Menurut Elizabeth Santosa, seorang psikolog, terapi untuk orang dewasa dan anak-anak harus dibedakan. Kenapa? Karena perlu penanganan yang berbeda sesuai perkembangan psikososialnya. Khusus untuk anak-anak, tim relawan memberikan aneka terapi ceria. Puluhan anak SD dari wilayah setempat yang terkena banjir merasa terhibur. Sebab acara terapi ceria tersebut diisi dengan lagu-lagu ceria, tarian, permainan, dan simulasi menjaga kebersihan dengan mempraktekkan mencuci tangan serta membuang sampah pada tempatnya.
Dari aspek medis, tim dokter dan perawat juga sangat dibutuhkan. Mereka bisa melaksanakan pelayanan kesehatan gratis bagi warga. Kondisi barak pengungsian yang serba terbatas menyebabkan gangguan pada ksehatan fisik. Mulai dari pusing, diare, demam hingga turunnya imunitas tubuh. Bagi warga yang terlalu tua atau sedang sakit parah, perlu juga layanan kesehatan dari rumah ke rumah (home visit).
Pemerintah, akademisi, dan pihak swasta perlu lebih bersinergi dengan aktivis gerakan masyarakat madani (civil society) untuk memfasilitasi pemulihan stres dan trauma pascabencana. Misalnya dengan menggandeng Dinas Kesehatan (Dinkes) untuk membantu pelayanan medis dan Dinas Pendidikan (Diknas) untuk memberikan terapi ceria bagi anak anak.
Sedikit sharing pengalaman, penulis pernah menjadi relawan PPSTK yang digagas oleh Anand Krishna di Jogjakarta. Saat itu yang terjadi bukan bencana banjir melainkan gempa bumi (2006). Salah satu programnya ialah lomba menulis (SMA), melukis (SMP) dan pidato kebangsaan (TK-SD). Anak-anak korban yang mengungsi di titik-titik pengungsian mengikuti kegiatan tersebut di gedung UC Universitas Gadjah Mada (UGM).
Para jurinya ialah kaum akademisi dan budayawan. Salah satunya St. Kartono, Guru Bahasa Indonesia di SMA Kolese De Britto, Jogja. Buah penanya kerap menghiasi lembaran media cetak, baik lokal maupun nasional. Tujuan aktivitas menulis tersebut tak lain untuk menyalurkan energi trauma menjadi daya kreativitas.
Kembali ke topik awal aspirasi ini, masyarakat yang mengalami musibah sungguh membutuhkan terapi pemulihan stres dan trauma. Agar sedikit meringankan beban psikologis. Alhasil, mereka kelak dapat menjalani kehidupan sehari-hari pascabencana reda dengan lebih baik. (T. Nugroho Angkasa, Guru Privat Bahasa Inggris di Jogja)
Akhir-akhir ini aneka bencana alam kembali menaungi negeri ini. Empat anasir alam telah menunjukkan keperkasaannya. Mulai dari banjir (air), kebakaran hutan dan gunung meletus (api), topan dan puting beliung (angin), hingga tanah longsor dan gempa bumi (tanah). Rentetan bencana alam tersebut tentu berdampak pada kehidupan manusia. Termasuk dalam ranah psikologis.
Menurut Albert Maramis, pakar kesehatan dari WHO, pada setiap kejadian bencana alam, rata-rata penduduk yang mengalami masalah kejiwaan mencapai 50%. Oleh sebab itu, selain membutuhkan pasokan logistik, para korban bencana alam juga memerlukan terapi pemulihan stres dan trauma. Terlebih bagi anak-anak. Kenapa? Karena mereka sempat terkurung di barak-barak pengungsian dan tak bisa kemana-mana (termasuk bersekolah) selama bencana alam menerjang.
Maya Safira, terapis kesehatan holistik L’Ayurveda menjelaskan bahwa gangguan stres pascatrauma disebut Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pengalaman menakutkan itu berulang secara terus-menerus (re-experience). Bentuknya berupa khayalan, mimpi, halusinasi, dan flash back. Seolah peristiwa tersebut sungguh terulang kembali di benaknya. Alhasil, korban akan bereaksi panik. Lama-kelamaan tekanan batin/depresi tersebut dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang, termasuk anak-anak.
Dari aspek psikologis, anak-anak memang rentan gangguan psikis. Memori-memori traumatis saat bencana datang niscaya mengendap di alam bawah sadar mereka. Gejalanya berupa rasa murung, susah tidur (insomnia), dan nafsu makan berkurang. Bila tak segera mendapatkan terapi, dampaknya bisa terbawa hingga generasi penerus bangsa itu beranjak dewasa.
Dalam konteks ini, rekomendasi Seto Mulyadi menjadi kian relevan. Ada beragam teknik permainan untuk mengatasi trauma anak. Antara lain bermain pasif, bermain aktif motorik halus, dan bermain aktif motorik kasar.
Bermain pasif misalnya seperti menyaksikan pertunjukan sulap dan mendengarkan dongeng. Bermain aktif motorik contohnya menulis, menggambar, mewarnai, menari, berpuisi, menyanyi, bermain teater, dll. Bermain motorik kasar dengan berteriak ekspresif. Tujuannya agar dapat mengeluarkan perasaan sedih di alam bawah sadar mereka. Begitulah pendapat Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Republik Indonesia (RI) tersebut.
Lebih lanjut, menurut Kak Seto, pendampingan langsung ke anak memang penting. Tapi bimbingan konseling untuk atasi trauma para orangtua mereka juga sangat urgen. Kenapa? Karena orangtua yang depresi niscaya menularkan stresnya kepada anak-anak mereka juga.
Trauma Healing
Sebagai ilustasi, berikut ini salah satu contoh di lapangan. Kota Semarang dan sekitarnya selama beberapa pekan terakhir terendam banjir. Salah satu daerah yang mengalami dampak relatif parah ialah RW 3 Dusun Kebonharjo, Kelurahan Tawang Mas, Kecamatan Semarang Utara. Menurut Lurah setempat, Mardiyono, selama bertahun-tahun ia berdomisili di Kelurahan Tawang Mas, banjir tahun 2014 ini yang tingkat ketinggian airnya paling mengkhawatirkan.
Pada Minggu (2/2/2014) pukul 08.00 – 12.00 WIB, Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) bekerjasama dengan Apotik Srikandi Babarsari, Jogjakarta terjun langsung mengadakan program PPSTK (Pusat Pemulihan Stres dan Trauma Keliling). Triwidodo sebagai Ketua Anand Krishna Center (AKC) Joglosemar memamparkan bahwa musibah banjir yang menimpa warga telah menimbulkan stres dan tekanan mental. Oleh karena itu, dampak stres tersebut perlu dikurangi dengan terapi trauma healing (pemulihan trauma) (Sumber: http://blog.anandashram.or.id/.
Di samping memberikan terapi trauma healing tim relawan PPSTK dari Jogjakarta, Solo, dan Semarang juga memberikan terapi Neo Zen Reiki bagi warga setempat. Terapi kesehatan holisik lewat sentuhan telapak tangan tersebut dipopulerkan oleh Sensei Usui dari Jepang (Seni Memberdaya Diri I dan Neo Zen Reiki, Gramedia Pustaka Utama, 2014).
Menurut Elizabeth Santosa, seorang psikolog, terapi untuk orang dewasa dan anak-anak harus dibedakan. Kenapa? Karena perlu penanganan yang berbeda sesuai perkembangan psikososialnya. Khusus untuk anak-anak, tim relawan memberikan aneka terapi ceria. Puluhan anak SD dari wilayah setempat yang terkena banjir merasa terhibur. Sebab acara terapi ceria tersebut diisi dengan lagu-lagu ceria, tarian, permainan, dan simulasi menjaga kebersihan dengan mempraktekkan mencuci tangan serta membuang sampah pada tempatnya.
Dari aspek medis, tim dokter dan perawat juga sangat dibutuhkan. Mereka bisa melaksanakan pelayanan kesehatan gratis bagi warga. Kondisi barak pengungsian yang serba terbatas menyebabkan gangguan pada ksehatan fisik. Mulai dari pusing, diare, demam hingga turunnya imunitas tubuh. Bagi warga yang terlalu tua atau sedang sakit parah, perlu juga layanan kesehatan dari rumah ke rumah (home visit).
Pemerintah, akademisi, dan pihak swasta perlu lebih bersinergi dengan aktivis gerakan masyarakat madani (civil society) untuk memfasilitasi pemulihan stres dan trauma pascabencana. Misalnya dengan menggandeng Dinas Kesehatan (Dinkes) untuk membantu pelayanan medis dan Dinas Pendidikan (Diknas) untuk memberikan terapi ceria bagi anak anak.
Sedikit sharing pengalaman, penulis pernah menjadi relawan PPSTK yang digagas oleh Anand Krishna di Jogjakarta. Saat itu yang terjadi bukan bencana banjir melainkan gempa bumi (2006). Salah satu programnya ialah lomba menulis (SMA), melukis (SMP) dan pidato kebangsaan (TK-SD). Anak-anak korban yang mengungsi di titik-titik pengungsian mengikuti kegiatan tersebut di gedung UC Universitas Gadjah Mada (UGM).
Para jurinya ialah kaum akademisi dan budayawan. Salah satunya St. Kartono, Guru Bahasa Indonesia di SMA Kolese De Britto, Jogja. Buah penanya kerap menghiasi lembaran media cetak, baik lokal maupun nasional. Tujuan aktivitas menulis tersebut tak lain untuk menyalurkan energi trauma menjadi daya kreativitas.
Kembali ke topik awal aspirasi ini, masyarakat yang mengalami musibah sungguh membutuhkan terapi pemulihan stres dan trauma. Agar sedikit meringankan beban psikologis. Alhasil, mereka kelak dapat menjalani kehidupan sehari-hari pascabencana reda dengan lebih baik. (T. Nugroho Angkasa, Guru Privat Bahasa Inggris di Jogja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar