Dimuat di Okezone.com, Kamis/27 Februari 2014
See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/02/27/285/947411/karakter-itu-soal-sikap#sthash.B1tmLH1P.dpuf
Judul: 34 Karakter Mulia Yang Menggugah Dunia, Character is Destiny
Penulis: John McCain dan Mark Salter
Penerjemah: T. Harmaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: III/Maret 2013
Tebal: xix + 435 halaman
ISBN: 9789792294347
Harga: Rp78.000
Bala tentara Nazi telah merampas
semua dari Viktor Frankl. Mereka merenggut kebebasan, mimpi, dan
keluarganya. Mereka membuatnya kelaparan, menyumpahi, memfitnah, dan
menyiksa hingga melampaui batas kemanusiaan.
Bahkan mereka pernah menggantungkan
hidup Viktor Frankl di atas tebing curam. Bila mau, dari sana mereka
tinggal mendepaknya seperti terjadi pada ribuan tawanan lainnya.
Tapi di pagi musim dingin itu,
tatkala mereka menggiringnya ke ladang seperti binatang, memukuli
punggungnya dengan popor senapan, pikiran justru Viktor Frankl terbang
tinggi, melayang melebihi siksaan dari para penindas. Selama beberapa
saat segala kekejaman mereka terlupakan, ia beralih merenungkan
gambaran istrinya.
Padahal entah apakah istrinya masih
hidup atau sudah mati waktu itu. Yang jelas dalam batin ia mendengar
bait kedelapan Kidung Solomon, “Tempatkan aku dalam hatimu, cinta sama
kuatnya seperti kematian (halaman 43).”
Buku ini memuat pula kesaksian menggetarkan Viktor Frankl dalam karya Man’s Search for Meaning,
“Pikiran saya terpaku pada sosok istri, membayangkannya dengan sangat
nyata…Entah nyata atau tidak, pandangannya lebih bercahaya daripada
matahari yang mulai terbit…Saat itulah saya menangkap makna rahasia
terbesar yang terpatri pada puisi, pikiran, dan keyakinan manusia:
keselamatan manusia ialah melalui cinta dan di dalam cinta.”
Dalam penawanan dan penyiksaan yang
sangat melecehkan nilai kemanusiaan di kamp Auschwitz tersebut,
memang api asmara Viktor kepada Tilly istrinya tak pernah padam.
Berbekal cinta itulah, ia mampu mempertahankan sesuatu yang menurut
asumsi musuh sudah berhasil dimusnahkan. Padahal satu harta intangible (tak tersentuh) tersebut tidak pernah dapat direnggut oleh orang lain, yakni martabat.
Tak kenal maka tak sayang, begitu
kata pepatah. Siapakah Viktor Frankl? Lewat buku ini John McCain dan
Mark Salter mengisahkan kehidupan masa lalu pria kelahiran Wina,
Austria itu.
Viktor Frankl anak kedua dari ayah
yang mandiri, tegas, dan berprinsip. Sebuah kombinasi apik karena
sang ibu senantiasa mendidiknya dengan penuh cinta. Pada usia 4 tahun,
Viktor kecil sudah mantap dengan pilihan cita-citanya. Ia hendak
menjadi dokter agar bisa menyembuhkan akal manusia.
Viktor Frankl tinggal di satu
daerah yang sama dengan Sigmund Freud. Pada usia 16 tahun, ia pernah
mengirimi Freud esai tentang pemahamannya. Freud membalas surat itu
dan mengatakan bahwa ia sangat terkesan dengan esai Frankl. Lalu, ia
merekomendasikan sebuah jurnal untuk memuat dan memublikasikan esai
tersebut.
Setelah lulus dari Universitas Wina
sebagai seorang dokter muda pada 1930, Viktor Frankl mulai berpraktik
psikiatri. Walau sangat menghormati Freud, kesimpulannya terkait
penyakit mental berbeda dengan teori Freud. Kalau Freud percaya bahwa
penyakit mental disebabkan oleh konflik antara dorongan dan naluri
bawah sadar seseorang dengan kebiasaan dan norma sosial di masyarakat,
sementara ia meyakini bahwa kepuasan emosional seseorang tergantung
pada kemampuannya menemukan makna hidup yang lebih besar ketimbang
dorongan naluriah.
Viktor Frankl juga melihat
pencarian makna hidup memungkinkan seseorang mengangkat diri lebih
tinggi, tidak saja dari hasrat egoismenya, tetapi juga melampaui
kemalangan dan kekejaman. Pandangan tersebut didukung oleh kajian
filsafat maupun analisi klinis. Tapi siapa sangka ternyata beberapa
tahun kemudian ia mengalami langsung pergulatan memaknai kehidupan
dalam situasi kemanusiaan yang sedemikan keji.
Kamp Auschwitz
Sebagai keturunan Yahudi, saat
Jerman menyerbu Austria pada 1938, semua keluarga Yahudi-Austria
mendapat perlakukan keji dari Nazi. Awalnya, Viktor Frankl masih
dizinkan bekerja di satu-satunya rumah sakit. Ia khusus merawat orang
Yahudi saja. Viktor Frankl menyelamatkan para pasien dari aturan
tentara Nazi yang mengharuskan penderita sakit mental dikirim ke kamp
konsentrasi. Selain itu, Viktor Frankl juga mulai menulis buku
berjudul The Doctor and the Soul.
Suatu ketika, ia melamar pindah ke
Amerika. Tujuannya agar bisa mengejar jenjang karier profesional
tanpa direcoki dengan rasisme sebagaimana terjadi di Wina. Setelah
menunggu beberapa lama, ia berhasil mendapat visa. Tapi visa tersebut
hanya berlaku untuk sendiri. Ia harus meninggalkan keluarganya terancam
kekejaman tentara Nazi di kampung halaman. Saat berjalan pulang dari
konsulat Amerika, ia memohon petunjuk dari Tuhan. Begitu masuk rumah,
ayahnya mengambil sepotong marmer dari seruntuhan sinagoga yang telah
diluluhlantakkan Nazi, di potongan marmer tersebut terukir kalimat:
Hormati ayah dan ibumu.
Alhasil, Viktor Frankl membiarkan
visanya kadaluarsa. Ia memilih tinggal bersama ayah, ibu, dan
saudaranya untuk bersama-sama menghadapi genosida. Dalam reruntuhan
puing-pung akibat perang, masih bermekaran bunga-bunga cinta. Ia jatuh
hati pada seorang perawat cantik, Mathilde “Tilly” Grosser. Mereka
akhirnya menikah pada Deesember 1941, sebagai pasangan Yahudi terakhir
yang dibolehkan menikah.
Sembilan bulan kemudian seluruh
keluarga Viktor Frankl dan Tilly dikirim ke kamp konsentrasi
Theresienstadt, dekat Praha. Walau di sana lebih baik kondisinya
ketimbang kamp-kamp konsentrasi lain karena tidak ada ruang gas dan
krematorium, tapi ayah Viktor Frankl meninggal dunia dalam pelukannya.
Selanjutnya, keluarga yang tersisa dipindah ke kamp yang paling
terkenal, Auschwitz.
Ketika tiba, ia dan Tilly segera
dipisahkan dalam kamp untuk laki-laki dan perempuan. Itulah pertemuan
terakhir mereka. Usai perang, Viktor Frankl baru tahu bahwa Tilly
telah meninggal dunia di kamp lain, Bergen-Belsen.
Dalam buku ini terungkap bagaimana
perjuangan Viktor Frankl agar bisa tetap hidup. Ia mengingat
istrinya, membayangkan hari ketika mereka bisa berkumpul kembali. Ia
mengamini kebijaksanaan Nietzche, “Yang punya alasan untuk hidup dapat
menanggung setiap cara hidup.”
Selama tiga tahun ia terus
menerima kekejaman, penghinaan, dan aneka tindakan biadab lainnya. Ia
menyadari bahwa mustahil mengandalkan keadilan atau sekadar
belas-kasihan dari orang lain. Tapi ia tetap mempertahankan harapan,
bahkan ketika tubuhnya tertular tifus, akhirnya pun bisa sembuh
kembali.
Viktor Frankl juga dipaksa bekerja
keras dengan sedikit roti dan semangkuk sup encer untuk bertahan
hidup. Ia mengamati rekan-rekan sesama tahanan lainnya, ternyata
mereka yang melepas harapan, bahkan bila fisiknya lebih sehat
sekalipun, jadi musnah. Kenapa? Karena mereka mengharap sesuatu dari
hidup, dan ketika hidup tidak memberi apa-apa kecuali hanya kekejaman,
mereka menyerah.
Artinya, ketahanan hidup
bergantung pada pemahaman dan penerimaan atas eksistensi harapan
hidup. Dengan menerapkannya dalam tahanan, kita bisa menemukan makna
hidup bahkan dalam penderitaan yang terburuk dan menikmati beberapa
harta karun pemberian-Nya yang masih kita miliki: keramahan dari orang
lain, keindahan matahari terbit, keanggunan pohon yang tumbuh di
musim semi (halaman 47).
Secara lebih mendalam, dari pengalaman tersebut Viktor Frankl menyimpulkan bahwa makna hidup dapat dicapai dengan tiga cara. Pertama, dengan menciptakan karya atau melakukan tindakan. Kedua, dengan mengalami dan berefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, dengan
sikap yang kita ambil dalam menghadapi penderitaan. Karena kebebasan
terakhir manusia terletak pada pilihan sikapnya dalam situasi apa pun.
Akhirnya ujung penderitaan pun
tiba, perang pun usai. Tawanan yang masih hidup berjalan menuju
kebebasan. Tapi banyak yang belum bebas dari penderitaan. Termasuk
Viktor Frankl, karena ia baru tahu bahwa orang-orang yang dicintainya
seperti Tilly telah meninggal dunia. Satu baris kalimat yang tetap
menguatkan Viktor, “Seluruh dunia berputar karena cinta.” Kata mutiara
tersebut terpatri di mata kalung peninggalan Tilly.
Viktor Frankl menerima fakta
tersebut dan tetap hidup. Ia menjalani hari-hari baru dengan penuh
harapan dan bermartabat. Ia diberi posisi sebagai dokter di sebuah
rumah sakit. Ia kembali melakukan praktik psikiatri dengan keyakinan
lebih mendalam daripada sebelum mengalami penderitaan. Ia memberi
konseling seperti dulu ia menguatkan teman-temannya di tahanan kamp
konsentrasi.
Intinya, kebahagiaan mustahil
dikejar. Kebahagiaan, menurut Viktor Frankl, muncul secara alamiah
dari hidup bermakna, dari pemilihan keputusan moral yang tepat, dan
mencintai seseorang secara tulus. Ia mencintai wanita lain, Elly.
Pasangan bahagia tersebut dikarunia seorang putri dan tetap setia pada
pernikahan sampai pesta emas 50 tahun.
Viktor Frankl juga menyelesaikan naskahnya dan menerbitkan 20 buku lebih. Termasuk salah satu master piece, Man’s Seacrh for Meaning.
Tak kurang dari sepuluh juta buku tersebut telah terjual dan memberi
makna bagi banyak orang. Ia tetap mendaki gunung dan belajar terbang
dengan parasut pada usia 67 tahun. Ia hidup sejahtera dan bahagia
sampai usia sembilan puluhan dan tak pernah pensiun (halaman 50).
Inspirasi Segar
Salah seorang penulis buku “34 Karakter Mulia yang Menggugah Dunia, Character is Destiny”
ini John McCain. Ia Senator Amerika Serikat yang pernah menjadi
pesaing tangguh Barack Obama dalam Pilpres USA. Selain berkecimpung
pada ranah politik, ternyata Purnawirawan Angkatan Laut (AL) tersebut
juga piawai menulis.
Tandemnya kali ini dalam merampungkan buku setebal 435 halaman ialah Mark Salter, pengarang buku-buku laris: Why Courage Matter (Pentingnya Keberanian), Faith of My Father (Keyakinan Ayah Saya), dan Worth the Fighting For (Nilai sebuah Perjuangan).
Total buku ini memuat 34 kisah
inspiratif tokoh besar kaliber dunia. Secara struktural terbagi atas 7
bab. Masing-masing bagian mengupas sebuah nilai keutamaan. Misalnya
pada bab 6: Kreativitas, kualitas tersebut tercermin dalam diri
Ferdinand Magellan, Leonardo da Vinci, Charles Darwin, Theodore
Roosevelt, dan Wilma Rudolfh.
Silakan buka secara acak, niscaya
sidang pembaca menemukan hikmah pelajaran hidup yang bermakna. Bukan
berupa serangkaian kotbah dari puncak menara gading, tapi pengalaman
hidup yang riil dan membumi. Tiap lembarnya mengungkap secara luwes
lika-liku pergulatan para tokoh hebat. Lengkap dengan suka-duka yang
mengiringi sepanjang perlintasan ziarah hidupnya.
Ibarat menemukan oase di padang
gersang, membaca buku ini menjadi sebuah aktivitas menyegarkan. Sebab
kita bisa meneladani pengalaman hidup sesama umat manusia. Terutama
dari karakter-karakter mulia yang telah mengubah alur sejarah dunia
lewat teladan nyata. Antara lain Mahatma Gandhi, Thomas More, Winston
Churchill, Nelson Mandela, Mark Twain, Bunda Teresa, dll.
Kelemahan minor buku ini karena
mayoritas tokoh berasal dari luar negeri. Alangkah indahnya bila suatu
saat, ada seorang penulis lokal yang mengggali kehidupan para tokoh
nasional yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Selamat membaca!
Peresensi: T. Nugroho Angkasa S.Pd
Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta. Blog: http://local-wisdom.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar