Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Sabtu/22 Maret 2014
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/03/22/256386/10/Blusukan-dalam-Ranah-Pendidikan
Saat masih aktif di lembaga pendidikan formal, almarhum Romo Kun tak melulu beraktivitas di dalam kelas. Para muridnya diajak berjalan-jalan ke keraton, pantai, pasar tradisional, dan lain-lain. Tujuannya untuk merasakan denyut nadi dinamika kehidupan masyarakat dan menyatu dengan lingkungan sekitar.
Begitulah penuturan Bambang dari Solo dalam acara ”Mengenang 40 Hari Meninggalnya Dr Ignatius Kuntara Wiryamartana, SJ” pada Selasa (3/9/2013). Landung Simatupang dan kawan-kawan memukau ratusan hadirin yang memadati Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta, lewat pembacaan petikan Kakawin Arjunawiwaha (Majalah Basis, edisi Desember 2013).
Pertanyaannya, apakah metode pembelajaran tersebut masih relevan diterapkan dalam konteks kekinian? Menurut Anggaini Sudono, aktivitas sederhana seperti blusukan ke pasar tradisional bisa mengembangkan kemampuan berbahasa (lingusitic intelligence). Selain itu, anak didik juga bisa mengetahui kebutuhan riil hidup masyarakat di akar rumput (grass root). Terakhir tapi penting, para siswa dapat mengerti proses transaksi jual-beli (Grasindo, 2010).
Terlebih bagi masyarakat yang tinggal di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), masih banyak warga memakai hari perhitungan kalender Jawa untuk aktivitas ekonominya. Mulai dari Pon, Wage, Legi, Kliwon. Misalnya di daerah Kotagede, Yogyakarta, hari pasarannya setiap Legi, sedangkan di Pasar Godean, Sleman setiap Pon. Aneka hasil bumi dan dagangan digelar di sana. Antara lain sembako, tanaman, binatang peliharaan, aneka sandang, alat pertukangan, alat pertanian, perkakas rumah tangga, buku bekas, alat elektronik, dan lain-lain.
Para murid/mahasiswa bisa kita ajak untuk mewawancarai dan mengamati aktivitas di pasar tradisional tersebut. Mereka boleh sekreatif mungkin menyusun daftar pertanyaan bagi para penjual dan/atau pembeli, serta menuliskan laporan pandangan mata (reportase 5 W+1 H). Durasi observasinya cukup 2 x 60 menit saja. Siswa kelas menengah pertama (SMP), menengah atas (SMA) dan mahasiswa (universitas), bisa melakukannya.
Dalam konteks ini, tesis Utami Munandar (1991) menemukan signifikasinya. Menurutnya, pribadi kreatif memiliki kelancaran, fleksibilitas, pilihan yang otentik, dan kemampuan elaborasi. Selain itu, para siswa juga berlatih kemandirian sesuai situasi kini dan di sini (now and here).
Di tengah menjamurnya mal-mal dan mini market hingga ke kampung-kampung, aktivitas blusukan di pasar tradisional niscaya menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan (pride) pada model ekonomi kerakyatan. Ada proses tawar-menawar dan interaksi nan manusiawi di sana. Untuk sesi kelas bahasa Inggris, tentu laporan pandangan mata ditulis dalam bahasa internasional tersebut. Kendati demikian, isinya (content) tetap bernuasa lokal.
Di sisi lain, maraknya kasus-kasus korupsi di Indonesia memerlukan langkah-langkah preventif. Salah satu caranya lewat pendidikan prointegritas. Tak hanya di sekolah formal, tapi juga mulai dari lingkup keluarga dan lingkungan sosial.
Pertanyaannya, nilai-nilai keutamaan apa saja yang perlu ditanamkan sejak usia dini? Menurut Thomas Lickona, ada kualitas manusia yang objektif baik, secara personal maupun kolektif. Antara lain kebijaksanaan, keadilan, ketabahan, kontrol diri, cinta, sikap positif, kerja keras, integritas, rasa syukur, dan kerendahan hati (Early Childhood Today, 2000).
Nilai integritas misalnya, menuntut setiap manusia (termasuk pejabat publik) untuk menaati kaidah-kaidah moral, setia terhadap suara hati nurani, menepati janji (termasuk sumpah jabatan), dan mempertahankan apa yang diyakini benar serta layak diperjuangkan. Integritas juga menjadikan manusia utuh. Kenapa? Karena apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dipraktikkan dalam keseharian hidupnya.
Selain itu, secara lebih mendalam para koruptor yang mencuri uang rakyat dan pejabat yang tergoda menerima suap, juga alpa rasa syukur. Ibarat meminum air laut, semakin banyak tambah haus dan perut membuncit. Senada dengan pepatah kejawen ”melik nggendong lali.”
Padahal dengan senantiasa bersyukur, manusia dapat menghargai setiap anugerah tarikan dan embusan nafas dari Tuhan yang dinikmati secara cuma-cuma. Harga oksigen di apotek Rp 25 ribu/liter, harga nitrogen di apotek Rp 9.950/liter. Dalam sehari manusia menghirup 2.880 liter oksigen dan 11.376 liter nitrogen. Total biaya bernafas sehari Rp 185.191.200, 1 bulan Rp 5.555.736.000, dan setahun Rp 67.594.788.000.
Kembali ke tema awal tulisan ini, dengan blusukan ke pasar tradisional, para siswa dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri kesederhanaan masyarakat. Prinsip lawas ”tuna sathak bathi sanak, ana dina ana upa” masih teguh dipegang. Pengalaman wawancara di lapangan niscaya menggoreskan kesan mendalam. Alhasil, kelak jika anak didik menjadi pengampu kebijakan publik, senantiasa ingat bahwa seorang pemimpin sinonim dengan pelayan rakyat (a leader is a servant).
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/03/22/256386/10/Blusukan-dalam-Ranah-Pendidikan
Saat masih aktif di lembaga pendidikan formal, almarhum Romo Kun tak melulu beraktivitas di dalam kelas. Para muridnya diajak berjalan-jalan ke keraton, pantai, pasar tradisional, dan lain-lain. Tujuannya untuk merasakan denyut nadi dinamika kehidupan masyarakat dan menyatu dengan lingkungan sekitar.
Begitulah penuturan Bambang dari Solo dalam acara ”Mengenang 40 Hari Meninggalnya Dr Ignatius Kuntara Wiryamartana, SJ” pada Selasa (3/9/2013). Landung Simatupang dan kawan-kawan memukau ratusan hadirin yang memadati Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta, lewat pembacaan petikan Kakawin Arjunawiwaha (Majalah Basis, edisi Desember 2013).
Pertanyaannya, apakah metode pembelajaran tersebut masih relevan diterapkan dalam konteks kekinian? Menurut Anggaini Sudono, aktivitas sederhana seperti blusukan ke pasar tradisional bisa mengembangkan kemampuan berbahasa (lingusitic intelligence). Selain itu, anak didik juga bisa mengetahui kebutuhan riil hidup masyarakat di akar rumput (grass root). Terakhir tapi penting, para siswa dapat mengerti proses transaksi jual-beli (Grasindo, 2010).
Terlebih bagi masyarakat yang tinggal di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), masih banyak warga memakai hari perhitungan kalender Jawa untuk aktivitas ekonominya. Mulai dari Pon, Wage, Legi, Kliwon. Misalnya di daerah Kotagede, Yogyakarta, hari pasarannya setiap Legi, sedangkan di Pasar Godean, Sleman setiap Pon. Aneka hasil bumi dan dagangan digelar di sana. Antara lain sembako, tanaman, binatang peliharaan, aneka sandang, alat pertukangan, alat pertanian, perkakas rumah tangga, buku bekas, alat elektronik, dan lain-lain.
Para murid/mahasiswa bisa kita ajak untuk mewawancarai dan mengamati aktivitas di pasar tradisional tersebut. Mereka boleh sekreatif mungkin menyusun daftar pertanyaan bagi para penjual dan/atau pembeli, serta menuliskan laporan pandangan mata (reportase 5 W+1 H). Durasi observasinya cukup 2 x 60 menit saja. Siswa kelas menengah pertama (SMP), menengah atas (SMA) dan mahasiswa (universitas), bisa melakukannya.
Dalam konteks ini, tesis Utami Munandar (1991) menemukan signifikasinya. Menurutnya, pribadi kreatif memiliki kelancaran, fleksibilitas, pilihan yang otentik, dan kemampuan elaborasi. Selain itu, para siswa juga berlatih kemandirian sesuai situasi kini dan di sini (now and here).
Di tengah menjamurnya mal-mal dan mini market hingga ke kampung-kampung, aktivitas blusukan di pasar tradisional niscaya menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan (pride) pada model ekonomi kerakyatan. Ada proses tawar-menawar dan interaksi nan manusiawi di sana. Untuk sesi kelas bahasa Inggris, tentu laporan pandangan mata ditulis dalam bahasa internasional tersebut. Kendati demikian, isinya (content) tetap bernuasa lokal.
Di sisi lain, maraknya kasus-kasus korupsi di Indonesia memerlukan langkah-langkah preventif. Salah satu caranya lewat pendidikan prointegritas. Tak hanya di sekolah formal, tapi juga mulai dari lingkup keluarga dan lingkungan sosial.
Pertanyaannya, nilai-nilai keutamaan apa saja yang perlu ditanamkan sejak usia dini? Menurut Thomas Lickona, ada kualitas manusia yang objektif baik, secara personal maupun kolektif. Antara lain kebijaksanaan, keadilan, ketabahan, kontrol diri, cinta, sikap positif, kerja keras, integritas, rasa syukur, dan kerendahan hati (Early Childhood Today, 2000).
Nilai integritas misalnya, menuntut setiap manusia (termasuk pejabat publik) untuk menaati kaidah-kaidah moral, setia terhadap suara hati nurani, menepati janji (termasuk sumpah jabatan), dan mempertahankan apa yang diyakini benar serta layak diperjuangkan. Integritas juga menjadikan manusia utuh. Kenapa? Karena apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dipraktikkan dalam keseharian hidupnya.
Selain itu, secara lebih mendalam para koruptor yang mencuri uang rakyat dan pejabat yang tergoda menerima suap, juga alpa rasa syukur. Ibarat meminum air laut, semakin banyak tambah haus dan perut membuncit. Senada dengan pepatah kejawen ”melik nggendong lali.”
Padahal dengan senantiasa bersyukur, manusia dapat menghargai setiap anugerah tarikan dan embusan nafas dari Tuhan yang dinikmati secara cuma-cuma. Harga oksigen di apotek Rp 25 ribu/liter, harga nitrogen di apotek Rp 9.950/liter. Dalam sehari manusia menghirup 2.880 liter oksigen dan 11.376 liter nitrogen. Total biaya bernafas sehari Rp 185.191.200, 1 bulan Rp 5.555.736.000, dan setahun Rp 67.594.788.000.
Kembali ke tema awal tulisan ini, dengan blusukan ke pasar tradisional, para siswa dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri kesederhanaan masyarakat. Prinsip lawas ”tuna sathak bathi sanak, ana dina ana upa” masih teguh dipegang. Pengalaman wawancara di lapangan niscaya menggoreskan kesan mendalam. Alhasil, kelak jika anak didik menjadi pengampu kebijakan publik, senantiasa ingat bahwa seorang pemimpin sinonim dengan pelayan rakyat (a leader is a servant).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar