Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Selasa/7 Januari 2014
Tatkala
berlangsung rapat sejumlah guru mata pelajaran (mapel) dengan kepala
sekolah (kepsek), syahdan terdengar suara angin yang dibarengi aroma
tak sedap. Bunyinya ”dut” dan para guru yang hadir pun mulai saling
berkomentar. Guru matematika: Itu sesuatu yang tidak bisa dikali namun
baunya bisa dibagi-bagi.
Guru kesenian: Bunyi nadanya
terletak pada kunci K. Guru fisika: Inilah yang disebut inner power,
tenaga yang digunakan kecil namun hasilnya luar biasa. Guru biologi:
Sisa-sisa dari proses metabolisme dalam tubuh manusia.
Guru
agama: Ini salah satu penyebab batalnya wudhu dan shalat. Guru
geografi: Posisi keberadaannya selalu mengikuti arah angin. Guru
sosiologi: Perilaku menyimpang pada sikap manusia. Guru sejarah: Salah
satu penyebab terjadinya perang mulut. Guru bahasa: Kalimat yang bisa
ditulis namun aromanya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kepala
sekolah: Saya yang kentut, kenapa? Ada yang tidak terima?
Kisah humor segar tersebut beredar luas di dunia maya. Penulis mendapatkan di status Facebook seorang kawan. Intinya, sebuah fenomena dapat disikapi dari berbagai sudut pandang (angle).
Kiranya semangat itu pula yang melambari pemberlakukan Kurikulum 2013
sejak pertengahan tahun silam. Tujuannya agar segenap sivitas akademika
dapat berpikir secara tematik-integratif. Senada dengan pendapat Prof
Dr M Amin Abdullah, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga, Yogyakarta. Menurutnya ada 4 tingkatan tematik-integratif
dari aspek keilmuan. Yakni intradisiplin, multidisiplin, interdisiplin,
dan transdisiplin.
Pertanyaan kritisnya ialah tema apa
yang hendak diintegrasikan dalam Kurikulum 2013? Mantan Rektor UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut menilai Depdikbud sekarang baru
berada pada level 1 dan 2, tapi belum masuk ke tahap 3-4. Kembali ke
banyolan di awal tulisan ini. Kentara sekali dikotomi antara satu mata
pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Guru mapel hanya ahli di satu
bidang tertentu.
Tapi dia tidak memahami disiplin ilmu
lainnya. Bisa jadi hubungan sosial mengalami kebuntuan misalnya relasi
anak dan orang tua, relasi guru dan murid, atasan dan bawahan,
pemerintah dan rakyat, dan seterusnya karena model pembelajaran yang
terkotak-kotak semacam itu.
Kotak-kotak pemisah dalam
aspek keilmuan tersebut pernah hendak dijebol oleh Umar Kayam dan
Kuntowijoyo. Karena selama ini sejak dini hingga perguruan tinggi,
siswa/mahasiswa dididik dalam kotak-kotak ilmu yang saling terpisah
satu sama lain.
Mendiang Romo Mangun pun menekankan di SD
Mangunan agar siswa terus berlatih untuk bisa berpikir secara integral,
kreatif, komunikatif, dan eksploratif. Pada Selasa (28/5/2013) penulis
mengikuti diskusi Dinamika Edukasi Dasar (DED) di Jalan Gejayan
Affandi, Gang Kuwera 14 Mrican, Depok, Sleman, Yogyakarta. Acara
tersebut digelar rutin setiap dua bulan sekali. Hasil kerja sama DED
dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya
Yogyakarta (UAJY).
Saat itu tema yang diangkat masih
hangat, ”Membedah Landasan Filosofis Kurikulum 2013”. Salah satu
peserta, Pak Gunawan, seorang guru Bahasa Indonesia turut berbagi
pengalaman dalam sesi tanya jawab dan sharing. Ia pernah mencoba model
pembelajaran lintas disiplin ilmu seperti yang (akan) dianjurkan oleh
Kurikulum 2013.
Tatkala menyampaikan materi tema puisi
”Panggilan Minggu Pagi” di kelas, dia berkolaborasi dengan guru Fisika
untuk menjelaskan mekanisme gelombang suara mengalun dari lonceng
hingga sampai ke telinga pendengarnya. Bahkan, dia juga sampai
melibatkan guru Agama untuk menjelaskan pentingnya ibadah. Sedangkan
dia sendiri menjelaskan tema tersebut dari aspek tata bahasa
(gramatikal). Artinya, para guru se Indonesia memang harus kreatif
menyikapi Kurikulum 2013. Sebab kurikulum hanyalah sebuah guide line (panduan).
Bagaimana
menyampaikan materi pelajaran di kelas semua tergantung kepada para
guru. Cara berinteraksi kita dengan siswa juga sangat penting. Kendati
demikian, pemerintah tak boleh lepas tangan membiarkan begitu saja.
Depdikbud perlu belajar dari Kaisar Jepang. Pascakekalahan Dai Nippon
dalam Perang Dunia II (PD II), banyak petinggi negara yang melakukan
hara kiri, bunuh diri karena mereka merasa malu sekali.
Lantas
Pemerintah Jepang melakukan inventarisasi terhadap aset dan sumber
daya yang masih mereka miliki. Sementara yang terpikir oleh Kaisar
Jepang hanya satu. Berapa guru yang masih kita miliki? Hebat,
demikianlah cara berpikir seorang negarawan sejati. ”Self Empowerment,
Seni Memberdaya Diri bagi para Pendidik dan Pemimpin, Mengajar Tanpa
Dihajar Stres, Berkarya Tanpa Beban Stres” (Anand Krishna dkk, PT One Earth Media, 2005).
Oleh
sebab itu, pelatihan berkala bagi para guru sangatlah penting.
Setidaknya minimal setiap satu semester sekali. Yakni untuk menyegarkan
kembali semangat berkarya demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Salam
pendidikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar