Dimuat di Majalah Nuntius edisi Januari 2014, halaman 31
Judul: Mafia Irlandia di Kampung Laut, Jejak-jejak Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan
Penulis: Anjar Anastasia, dkk
Penyunting: Andi Tarigan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Juli 2013
Tebal: xxvi + 180 halaman
ISBN: 978-979-22-9739-3
Setiap
Rabu minggu ketiga pihak Lembaga Permasyarakatan meminta Romo Charles
"Charlie” Patrick Edward Burrows OMI datang Nusakambangan. Lapas Super Maximum Security
(SMS) yang berlokasi di pedalaman Cilacap itu menahan 8 terpidana mati
kasus narkoba. Dua diantaranya didampingi Romo Carolus sampai hari H
eksekusi. Mereka berdua berasal dari Nigeria. “Macam-macam saja tingkah
laku mereka. Pernah ada yang memberontak. Saya jadi pelerai antara
sipir dan napi,” ujar Romo Carolus (halaman 106).
Bahkan
Romo Carolus menemani keduanya hingga ke lokasi penembakan di bukit
Nirbaya. Beliau mendoakan dengan sungguh-sungguh. “Malam ini kau akan
bersama-Ku di Firdaus,” begitu bunyi doa dan penguatan Romo Carolus
kepada para napi tervonis mati yang rata-rata masih berumur 30-35 tahun
tersebut.
Satu di antara mereka mempunyai anak berumur 4
tahun. Satu lagi istrinya hamil 4 bulan. Keduanya dilanda ketakutan
yang mencekam jelang ajal menjemput. Romo Carolus sendiri tak setuju
dengan pada vonis mati. Sebab eksekusi mati dengan cara ditembak ialah
penyiksaan. Pendapatnya itu bukan sekadar argumentasi pribadi
berdasarkan dalil agama, tetapi karena ia menyaksikan dengan mata
kepala sendiri bagaimana proses hukuman itu terjadi. “Saya saksi mata
dari narapidana yang dieksekusi. Sampai sekitar 8 menit mereka belum
mati juga,” ujarnya.
Begitulah salah satu kisah dalam buku
ini. Ahmad Syafii Maarif dalam kata pengantar sampai menyebut Romo
“Padat Karyono” Carolus sebagai sosok yang memiliki kecintaan mendalam
dan tulus kepada kemanusiaan. Karena penerima Maarif Award 2012 tersebut mampu merefleksikan doktrin teologis menjadi karya kemanusiaan yang melampaui banyak sekat buatan manusia.
Pasca ditahbiskan menjadi Imam dari ordo OMI (Oblat Maria Immaculata)
di Biltown, Irlandia, Romo Carolus ingin ditempatkan di Brazil. Karena
di negara benua Amerika Latin tersebut masih banyak kemiskinan. Ia
bertekad meringankan penderitaan kaum papa dengan apa yang ada di dalam
dirinya. Tapi keputusan dari atasan menentukan lain, Romo Carolus
justru ditempatkan di benua Australia untuk memperkuat Provinsi OMI di
sana. Perasaan kecewa pastinya timbul dalam hati, tapi Romo Carolus
taat dan meyakini itu sebagai bagian dari rencana Tuhan.
Awal
perantauannya pada tahun 1971 sungguh unik. Romo Carolus tahu kalau
biaya perjalanan dari Dublin ke Australia menyeberangi lautan luas
dengan menaiki kapal sangat mahal. Ongkosnya mencapai Rp1.000.000 saat
itu. Daripada pihak biara OMI mengeluarkan uang sebesar itu, Romo
Carolus mendaftarkan diri sebagai imigran. Jadi ia hanya perlu membayar
Rp30.000.
Lantas, tibalah pastor muda berusia 28 tahun
tersebut di kota Seftron, Australia. Dalam waktu relatif singkat ia
lebih dikenal dengan nama Father Patrick. Banyak kenangan
manis yang sulit dilupakan selama berkarya di negeri kangguru tersebut.
Salah satunya saat ia menjadi sopir bus untuk rekreasi para remaja dan
kaum muda.
Kalau menyopir beliau suka menyerempet bahaya dan sedikit ngebut. Para penumpang memekik kecil ketakutan. Tetapi karena feeling
dan kelihaian Father Patrick, bus Pink Flash yang menempuh rute dari
Miorwera Street, Old Ford, dan belok melewati Chester Hioll, Pipe
kemudian turun ke Bas Hill, menyeberang ke Yogoana, melewati Birrong,
dan akhirnya ke Sefron Hall selalu tiba dengan selamat sampai tujuan.
Setelah Father Patrik dipindahtugaskan ke Indonesia, Pink Flash tetap beroperasi dan baru pensiun setelah 17 tahun, tepatnya pada 1988.
Terhitung
sejak 9 September 1973, beliau mulai ditempatkan di Paroki St.
Stephanus, Cilacap, Jawa Tengah. Hari kedua setelah tiba di sana, Romo
Carolus langsung berangkat ke Kampung Laut. Ia tertegun menyaksikan
kondisi lingkungan, tempat tinggal, sarana prasarana, dan gaya hidup
masyarakat nelayan di daerah pessisir yang masih jauh dari kata layak
tersebut. Rumah-rumah reyot didirikan di atas lantai dari kayu-kayu
bakau. Sarana air untuk mandi cukup dengan air laut, sedangkan air minum
diambil dari sebuah gua di Pulau Nusakambangan. Air minum itu dibawa
dengan perahu mancung yang jarang dicuci. Kaki pendayungnya terpaksa
direndam di dalam air yang akan diminum (halaman 144).
Hebatnya,
30 tahun berselang situasi itu berubah 180 derajat. Kampung Laut
menjadi identik dengan Romo Carolus. Bahkan nama Romo Carolus di sana
lebih terkenal ketimbang camat atau bupati. Saking cintanya masyarakat
setempat beliau dijuluki Bupati Cilacap di Kampung Laut. Kendati
demikian, Romo Carolus selalu merendah, “Saya adalah inisiator yang
“kurang ajar”. Sebab seorang inisiator punya filosofi 3 D yakni: Decide (memutuskan), Delegate (mendelegasikan), dan Dissapear (menghilang).” (halaman 158).
Buku
setebal 180 halaman ini sebuah oase segar di tengah krisis keteladanan
para pejabat publik dan pemuka agama. Senada dengan pendapat Merry
Riana, “Menelusuri kembali kiprah Romo Carolus OMI melalui lembaran
buku ini membantu Anda memahami serta mendalami nilai-nilai humanis
yang diperjuangkannya. Baca buku ini, perjuangkan mimpi Anda, dan
berkaryalah untuk negara tercinta, Indonesia pasti bisa!” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris, Editor, dan Penerjemah Lepas. Tinggal di Kampung Nyutran, Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar