Dimuat di Majalah Nuntius, edisi Oktober 2013
Judul: Guru Gokil Murid Unyu
Penulis: J. Sumardianta
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1/April 2013
Tebal: xiii + 303 halaman
ISBN: 978-602-7888-13-5
Willy Pramudya - sahabat karib Pak Guru (begitulah sapaan akrab penulis buku ini) - menceritakan pengalaman uniknya. Wartawan tersebut
acap mendapat tugas dari Direktorat Pendidikan Dasar sebagai
fasilitator jurnalistik dan pengelolaan media sekolah bagi guru-guru
SMP. Program ini rutin digelar sejak tahun 2010. Alhasil, ia dapat
bertemu dengan ribuan guru dari seluruh penjuru tanah air. Kalau di
Jakarta, peserta program sebagian besar guru-guru SBI dan RSBI.
Sedangkan kalau di daerah, pesertanya guru-guru RSBI dan SSN.
Ternyata tak banyak guru yang memiliki kemampuan relatif memadai sebagai teladan (role model)
bagi para siswa dalam hal menulis. Ibarat sepeda beroda dua, membaca
dan menulis perlu bergulir bersama. Ironisnya, tak sampai 0,5% dari
ribuan guru tersebut yang pernah membaca tetraloginya Pramoedya Ananta
Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), karya
sastra karya Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk), Sindhunata (Anak
Bajang Menggiring Angin), Ashadi Siregar (Cintaku di Kampus Biru),
Dominique Lapierre (The City of Joy), Khaled Hossaeni (The Kite Runner), dll.
Bahkan mereka pun cenderung asing dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara,
Y.B. Mangunwijaya, Ivan Illich, dan Paulo Freire. Padahal para guru
tersebut berasal dari sekolah “pilihan.”
Pak Guru ialah pengecualian. Ia
seorang mentor yang gandrung membaca dan menulis. Selama 20 tahun lebih
menjadi pendidik, J. Sumardianta juga aktif menulis ulasan buku
(resensi) dan esai humaniora di media massa. Antara lain Koran Tempo, Majalah Tempo, Blog BeritaSatu,
dan sederet jurnal pendidikan lainnya. Bahan bakunya apa saja yang ayah
3 putri ini lihat, rasakan, dan alami sepanjang menekuni profesi untuk
mencerdaskan anak bangsa di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
Di sekolah yang notabene hanya
menerima murid pria dan mengijinkan mereka berambut gondrong tersebut,
Pak Guru pernah mendampingi para siswa menjalani magang sosial. Selama
seminggu penuh para siswa wajib kerja sosial di tempat pembuangan akhir
(TPA), perkampungan kumuh, sanggar pemberdayaan kaum marjinal, panti
jompo, panti penyandang autis, sampai panti rehabilitasi kaum difabel.
Generasi gadget tersebut harus terjun langsung sebagai
pemulung, pengamen jalanan, pedagang asongan, kuli kasar, pembantu rumah
tangga, dan perawat pasien di berbagai daerah seperti Malang,
Yogyakarta, Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.
Di tempat-tempat yang tak pernah mereka jamah sebelumnya tersebut, para siswa belajar mengatasi kecenderungan selfish-nascis-egoistic
(mengagungkan diri sendiri, narsis, egois). Mereka harus bergulat
dengan pedalaman batinnya. Pun bergumul sengit untuk menemukan titik
balik kehidupan. Kendati demikian, mereka tak melulu belajar dari guru,
pakar, dan perpustakaan tapi dari orang-orang tersisih, miskin, bodoh,
dan yang selama ini dipandang sebagai sampah masyarakat.
Uniknya, penempatan lokasi tak
dilakukan secara acak. Pak Guru mempertimbangkan karakter masing-masing
peserta. Siswa yang memiliki masalah ketergantungan dan tak mandiri,
menjalani kerja sosial di ruang terbuka sebagai pemulung, pengamen
jalanan, pedagang asongan, dan pekerja kasar. Sedangkan murid yang
memiliki persoalan attitude dan minim kepedulian, bekerja di dalam ruangan sebagai juru rawat kaum jompo, penyandang cacat ganda, dan kaum difabel.
Dalam bab “Bertindak Sebaliknya (Agere Contra)” Wenzel Rico menuturkan pengalaman menggetarkan tatkala memperoleh keterbukaan hati (conscientiousness).
Ia tinggal bersama pemulung di kolong jembatan jembatan Kampung Melayu,
Jakarta. Pukul 2.00 dini hari, sepulang memulung di Pancoran, siswa itu
ditraktir mie rebus oleh induk semangnya. Rico berinisiatif membayar
karena merasa kasihan. Tapi ia justru dihardik karena induk semangnya
bukan manusia pelit nan penuh perhitungan (halaman 23).
Felix Juwono Ghazali juga belajar
tentang doa bukan dari ajaran iman dan kotbah kesalehan, tapi dari
melihat dan merasakan langsung potret ketidakadilan sosial di TPA Bantar
Gebang, TPA Piyungan, kawasan Tanah Abang, dan pemukiman kumuh (slump)
di Tanjung Priok. Felix berlatih mempertajam kepekaan hati dan
kepedulian sosial lewat momen-momen tak terlupakan memandikan,
menceboki, dan menyuapi anak-anak pengidap retardasi mental (halaman
24).
Sepulang dari Project Based Learning
(PBL) tersebut, para murid mengendapkan pengalaman afektif dan
keterlibatan motorik mereka lewat proses abstraksi guna menemukan
pengetahuan kognitif. Lantas, seluruh kisah mereka diabadikan dalam buku Tapal Batas: A Journey to Powerful Breakthrough (Pustaka Kaiswaran, 2011). Menurut Pak Guru, PBL sungguh melatih siswa jadi lebih terbuka pada pengalaman baru (openness to experience), keterbukaan hati (conscientiousness), kepekaan sosial (extroversion), setia pada kesepakatan (agreeableness), dan ketahanan menghadapi tekanan hidup (neurotism).
Sistematika “Guru Gokil Murid Unyu”
terdiri atas 8 bab. Antara lain “Kacamata Sang Pendidik,” “Sosok,” “Alam
adalah Guru,” “Hidup untuk Menghidupi,” “Jendela Ilmu,” “Sekolah Bukan
Rumah Kaca” dan “Berkah Guru Kecanduan Buku.” Masing-masing bab memuat
refleksi mendalam pria kelahiran 23 November 1966 ini atas dinamika
kehidupan sehari-hari. Intinya, narasumber Konferensi Guru Indonesia di
Yogyakarta, Solo, Semarang, Purwokerto, Sukabumi, Jakarta, Ponorogo,
Malang, Surabaya, Dili, dan Makasar tersebut bertekad mengubah
mentalitas para pendidik. Dari yang semula bermental passenger (penumpang), loser (pecundang), dan bad speaker (tukang bual) menjadi guru berparadigma driver (pengemudi), winner (mental juara), dan good listener (pendengar yang baik).
Makelar Kebahagiaan
Alumnus IKIP Sanata Dharma 1992 ini mengaku banyak terinspirasi oleh Arvan Pradiansyah (The 7 Laws of Happiness). Ada 7 pilar utama dalam bangunan rumah kebahagiaan, yakni sabar (patience), syukur (gratefulness), bersahaja (simplicity), kasih (love), memaafkan (forgiving), dan pasrah (surrender).
Tiga yang pertama terkait dengan kecerdasan personal. Tiga yang kedua
bersifat melepaskan ego pribadi dengan mencintai dan melayani sesama.
Satu yang terakhir bersemayam di jantung kearifan spiritual (halaman
188).
Dalam konteks persekolahan, Pak Guru
menjadikan murid bahagia sebagai tujuan mengajar dan mendidik di kelas.
Agar bisa bahagia - pertama dan utama - guru harus bisa berdamai dengan
diri sendiri. Nah baru sesudah itu berdamai dengan sesama, terutama pimpinan, rekan sejawat, dan para siswa relatif lebih lancar.
Jika seorang guru dalam memahami konsep
diri saja masih belum katam, walau sudah tergolong senior dan memiliki
jam terbang puluhan tahun mengajar pun, ia niscaya cenderung keras
kepala, mau menang sendiri, menindas, dan bahkan tega menganiaya murid.
Padahal pada hakikatnya, guru itu seorang makelar kebahagiaan untuk
senantiasa delivering happiness (mengantarkan keceriaan).
Tiada gading yang tak retak,
begitupula buku bersampul karikatur wajah Pak Guru ini, di dalamnya
banyak bertaburan aneka pepatah Kejawen. Antara lain petuah Tri Dharma warisan Mangkunegara I, yakni Rumangsa handarbeni, rumangsa hangrungkebi, mulat salira hangrasa wani
(Ikut merawat, menjaga, introspeksi, berani mengakui kesalahan dan
kekurangan. Di satu sisi tentu menambah kental nuansa etnis (baca:
Jawa). Tapi di sisi lain, ada baiknya Pak Guru juga memasukkan
adagium-adagium dari daerah lain. Alhasil, karya ini lebih kentara
mozaik keindonesiaannya.
Terlepas dari kelemahan minor
tersebut, buku setebal 303 halaman ini merupakan pembuktian bahwa
profesi guru tak boleh dipandang sebelah mata. Terlebih para pendidik
“plus” yang di sela kesibukan mempersiapkan bahan ajar tetap aktif
menulis di media massa. Sebab memang jalan mulus dan lurus tak pernah
menghasilkan pengemudi hebat, laut yang tenang tak akan menghasilkan
pelaut tangguh, langit yang cerah tidak akan menghasilkan pilot handal.
Selamat membaca dan salam pendidikan!