Dimuat di Majalah Hidup, Minggu/20 Oktober 2013
Judul: Kumpulan Surat Romo Drijarkara
Penyunting: F. Danuwinata, S.J
Editor Bahasa: G. Budi Subanar, S.J
Penerbit: Penerbit Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Cetakan: I, Juli 2013
Tebal: xiv + 244 hlm
ISBN: 978-602-9187-52-6
Harga: Rp50.000,-
Buku ini merupakan
kumpulan surat-surat Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara SJ selama ia studi
filsafat di Universitas Gregoriana, Roma, Italia (1950-1952), menjadi
guru besar di St. Louis University, Amerika Serikat, berkeliling benua
Eropa, Timur Tengah, hingga akhirnya kembali ke tanah air. Total ada 32
surat karya Romo Drijarkara. Sistematikanya terdiri atas 12 surat dari
Roma, 8 surat dari Amerika, dan 12 surat dari Perjalanan.
Rektor IKIP Sanata
Dharma Yogyakarta periode 1955-1967 tersebut ternyata piawai
menyampaikan hikmat kehidupan lewat tulisan-tulisannya. Contohnya kalau
perawat bekerja di rumah sakit, ia perlu menjadi homo homini socius
alias sahabat bagi manusia lain. Seorang perawat tak cukup berbekal
jarum suntik, tapi bisa juga menghibur dan membuat pasien tertawa
sehingga pasien bisa lekas sembuh.
Uniknya, apa yang ditulis dahulu kala tetap relevan diterapkan pada konteks kekinian. Misalnya kutipan surat dari Roma tentang sport (olahraga), “Para wartawan sport
menghadap Bapa Suci. Ini ada maknanya. Mereka menghadap karena para
wartawan itu merasa memanggul tanggung jawab terhadap pendapat umum yang
bersangkutan dengan sport. Pendapat umum itu dipengaruhi oleh pers. Pendapat umum dalam hal sport yang membangun adalah para wartawan sport.
Kalau para wartawan menyebarkan pendapat yang sehat, pendapat umum pun
sehat. Kalau para wartawan hanya menyiarkan betapa ramai pertandingan,
hanya senang sensasi, tanpa pemikiran yang lebih dalam, pengaruhnya
menyebabkan pendangkalan pendapat umum.” (halaman 37). Dalam konteks era
digital, pesan tersebut tak hanya bermanfaat bagi para wartawan
olahraga, tapi juga untuk semua praktisi jurnalistik di media cetak
maupun online.
Secara lebih mendalam,
guru besar di Universitas Indonesia (1960-1967) tersebut juga
menjelaskan hakikat makna tanah air di salah satu surat beliau dari
Amerika Serikat, “…apakah Tanah Air itu? Bagaimanapun juga apa yang
disebut Tanah Air ialah suatu bentuk yang nyata dari engagement manusia.
Tanah Air bukanlah tanah, air, tanam-tanaman, dsb. Tanah Air adalah
suatu wilayah dengan semua keadaannya, yang merupakan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaanku, yang merupakan lapangan pelaksanaan dari
kemungkinan-kemungkinanku. Amerika misalnya, bagi orang Indonesia tidak
merupakan Tanah Air. Segala bentuk-bentuk kehidupan asinglah baginya.
Dia bisa ikut, tetapi toh merupakan orang asing.” (halaman 101).
Selama ini guru besar
luar biasa di Universitas Hassanudin, Makassar (1961-1967) tersebut
memang lebih dikenal sebagai seorang filsuf dan tokoh pendidikan. Frase
yang lekat dengan namanya ialah “memanusiakan manusia muda”. Kendati
demikian, lewat buku ini kentara sekali kecekatannya dalam meracik
reportase perjalanan (travel writer).
Alhasil, sidang pembaca
seolah-olah diajak “hadir” langsung di lokasi kejadian. Salah satunya
termaktub dalam surat dari Perjalanan berjudul “Dari Berut ke
Jerusalem”, “Mobil memanjat pegunungan Libanon. Di sepanjang perjalanan
kita lihat bibi-bibi Arab berpakaian asli, artinya hitam, menutupi
seluruh tubuh, dan kerudungnya menutupi wajah! Alangkah besarnya
perbedaan antara simbok-simbok kuno itu dengan pemudi modern di taksi!
Mereka itu berpakaian cara Barat, tingkah laku mereka lincah dan lancar.
Mereka lepas-bebas dari perasaan kuno. Mereka bisa bersenda-gurau dan
ketawa biasa saja tanpa malu-malu atau takut. Namun mereka masih juga
bersifat Timur. Waktu membuka sangunya, pemudi itu tidak lupa juga
memberi bagian kepada kita semua. “ (halaman 192).
Buku setebal 244
halaman ini berhasil menguak sisi lain anggota MPRS Republik Indonesia
(1962-1967) tersebut. Menyitir pendapat Yohanes Sanaha Purba, dosen muda
Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Sanata Dharma (USD)
Yogyakarta, “Kumpulan surat Drijarkara ini memiliki kekuatan tersendiri
sehingga masyarakat semakin menemukan hak kreatif dalam membentuk
kehidupannya sendiri.” Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar