Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Senin/30 September 2013
“Karena setiap lembarnya, mengalir berjuta cahaya…
karena setiap aksara membuka jendela dunia…” – (Efek Rumah Kaca)
Begitulah
cara grup band ERK memaknai sebuah buku. Selain jendela dunia, bagi
mereka buku merupakan puncak peradaban manusia. Namun sungguh ironis.
Buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia karangan Douglas Wilson kini
telah tiada. Umurnya tak lebih dari 4 bulan. Buku terbitan Gramedia
Pustaka Utama (GPU) itu sudah dibakar jadi abu.
Awalnya,
anggota ormas berkedok agama melaporkan ke Polda Metro Jaya. Karena 2
kalimat (halaman 24) dalam buku tersebut dianggap menghina Nabi
Muhammad SAW. Alhasil, pada 13 Juni lalu, disaksikan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat, GPU memusnahkan 3.000 buku yang berjudul asli 5
Cities That Ruled the World itu.
Dalam
artikel ini penulis sepakat dengan pendapat ERK. Pada hemat saya,
salah satu tragedi terbesar kemanusiaan ialah insiden pembakaran buku.
Sebuah penistaan terhadap progresivitas manusia. Terutama dalam konteks
perkembangan inteligensianya.
Pun amat disayangkan
kebijakan Gramedia membakar buku secara sukarela. Padahal sebelumnya
sudah diterbitkannya dengan susah payah. Hanya karena desakan
segelintir ormas berkedok agama.
Entah apa pertimbangan
penerbit besar tersebut. Secara moralis bisa jadi agar tidak menyakiti
hati umat Islam. Pertanyaannya umat Islam yang mana? Toh mayoritas
saudara-saudari Muslim berbesar hati menerima perbedaan persepsi atas
sebuah teks. Karena sadar ada konteks yang lebih luas nan melingkupi.
Barangkali
pertimbangan aspek ekonomis. Kenapa? Karena kalau terlibat dalam
proses hukum akan memakan waktu, energi dan biaya yang besar sekali.
Bahkan kalau sampai membahayakan perusahaan bisa mengancam hajat hidup
jutaan pegawainya di seluruh Indonesia.
Penulis sekadar
berbela rasa dengan pihak penerjemah dan editor buku tersebut. Di satu
sisi memang kita perlu lebih berhati-hati dalam mengalihbahasakan dan
memeriksa redaksional beserta isi buku.
Saat kuliah
translation dulu, para dosen senantiasa mengajarkan agar penerjemahan
buku lebih bersifat kontekstual dan meaning-based. Karena kalau
diterjemahkan letter leck alias kata per kata berpotensi bias dan
multitafsir.
Di sisi lain, perlu diketahui publik bahwa
proses ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berdasarkan
pengalaman penulis, untuk menterjemahkan dan mengedit 300 halaman buku,
setidaknya dibutuhkan masing-masing sebulan. Jadi totalnya sekitar 2
bulan lebih. Masih ditambah durasi di percetakan. Artinya ada proses
panjang sebelum sebuah karya tulis sampai ke tangan pembaca.
Dalam
konteks ini, cara instan menuntut lewat jalur hukum masih terlalu
dini. Bukankah budaya nusantara mengedepankan dialog sehingga
menguntungkan kedua belah pihak? Alangkah lebih bijak bila buku tersebut
ditarik sementara dulu dari peredaran. Kemudian diedit bagian
kalimat/halaman yang kurang pas sehingga bisa diedarkan kembali kepada
publik. Cara ini lebih manusiawi (baca: beradab).
Belajar dari Sejarah
Menarik
apa yang disampaikan Hendri F. Isnaeni di historia.co.id (18 Juni
2012). Ternyata insiden pembakaran buku bukan kali pertama. Pada masa
kolonial Belanda, kasus serupa pernah terjadi. Namun saat itu tanpa
pengerahan massa, yang ada hanya polemik di media massa.
Alkisah,
sebuah buku berjudul Mijn Mislukte Zending (Misi Saya yang Gagal)
karya Sir Nevile Henderson terbit dan diresensi koran Java Bode.
Peresensinya mengutip buku tersebut sebagai berikut: “Karena itulah
Hitler makin lama makin yakin sendiri bahwa ia kebal dan besar … ia
sendiri lalu menjadi lebih besar sedikit, mungkin semacam Mohamed dengan
‘pedang di sebelah tangannya dan buku Mein Kampf di tangan lainnya…”
Hasilnya
banyak reaksi keras bermunculan. Koran Pemandangan, dalam sanggahannya
yang ditulis Anwar Tjokroaminoto, keberatan terhadap penyamaan itu.
Menurutnya, Nabi Muhammad SAW tak pernah memaksa dan mengancam dengan
pedang, dan tak bisa disamakan dengan Hitler.
Bahkan,
menurut Anwar, “Hitler tidak bisa dipersamakan dengan manusia biasa,
melainkan sebagai kepala dari bangsa biadab,” demikian tulis
Pemandangan, 4 Desember 1940. “Bagi kita lebih baik kalau
kalimat-kalimat itu tidak ada, baik dalam terbitan berbahasa Inggris
maupun yang berbahasa Belanda.”
Kemudian, pelbagai tulisan
pun berdatangan ke meja redaksi Pemandangan. Isinya menyuarakan
kekecewaan terhadap buku Henderson itu. Koran lain seperti Tjaja Timoer
ikut menyerang balik Java Bode. Namun JB bersikukuh bahwa buku
Henderson tak bermaksud menghina Nabi Muhammad SAW.
Munculnya
polemik itu, bagi Pemandangan, memiliki hikmah tersendiri. “Kita harus
sanggup membicarakan benar-tidaknya lukisan itu secara objektif
menurut ilmu pengetahuan dan sejarah. Umat Islam harus menjunjung
agamanya dengan cara yang lebih nyata.”
Pungkasnya, isu
agama memang sensitif. Hati boleh panas, kepala harus tetap dingin.
Senada dengan petuah kejawen, “Nak ana masalah yo dirembug.” Kalau ada
masalah dimusyawarahkan. Pun kalau berpolemik lakukanlah secara cerdas
lewat bahasa yang santun. Semoga ke depan tiada lagi pembakaran buku.
Kalau bakar batu? Boleh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar