Dimuat di Bernas Jogja, Senin/21 Oktober 2013
Judul: Everyone can Lead
Penulis: Hasnul Suhaimi
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1, Juni 2013
Tebal: xvi + 196 halaman
ISBN: 978-602-8864-77-0
Apakah
filosofi ahimsa ala Mahatma Gandhi dapat dipraktikkan dalam lokus
bisnis industri telekomunikasi? Pasca bersaing secara ketat selama 5
tahun, penulis buku ini menyadari bahwa tak perlu saling sikut dengan
sesama provider. Hasnul Suhaimi menerapkan pendekatan baru, yakni coopetition.
Intinya
bekerja sama dalam bidang yang tak perlu diperebutkan, tapi tetap
berkompetisi untuk memberikan pelayanan terbaik pada pelanggan. Misalnya
berupa pembangunan menara pemancar base transceiver station (BTS). Seiring pertumbuhan industri telekomunikasi seluler yang begitu pesat, beribu-ribu tower
BTS dibangun di kota-kota besar. Semua demi memperkuat jaringan dan
sinyal. Egosentrisme masing-masing operator pun sedemikian besar.
Akibatnya
polusi mata merajarela di mana-mana. Menara besi nan menjulang membuat
pemandangan langit kota tak sedap dipandang mata. Sebagai solusi
bersama, kini satu tower dipakai secara berjamaah oleh banyak
operator. Awalnya usul ini dianggap angin lalu oleh para penggerak
industri operator. Kenapa? Karena mereka tak rela tower-nya dibagi-bagi.
Padahal sejatinya semua operator telepon seluler memperoleh manfaat dari coopetition. Biaya pembangunan bisa dipangkas, ongkos operasional dan perawatan lebih hemat, pun dapat mengembalikan keindahan kota.
Inilah inti ajaran Gandhi yang sukses diterapkan dalam bisnis industri
telekomunikasi. Tetap bersaing secara sehat sembari menemukan solusi
yang menguntungkan semua pihak (halaman 28).
Latar
belakang pendidikan penulis buku ini insinyur elektro ITB (Institut
Teknologi Bandung). Tapi kini ia lebih dikenal sebagai praktisi marketing
dan manajemen. Tarif seluler yang semula Rp1.000,00/menit berhasil ia
pangkas 90% menjadi Rp100,00/menit. Pada saat yang sama, putra asli
Bukittinggi ini dapat menaikkan jumlah pelanggan sebanyak empat kali
lipat. Alhasil, pendapatan perusahaan tempat ia bekerja melonjak tiga
kali lipat dalam waktu empat tahun.
Everyone can Lead berisi tips untuk mencapai prestasi secermerlang itu. Pemenang Seluler Award selama tiga tahun berturut-turut ini (Best CEO of The Year
2011-2013) menimba inspirasi dari para tokoh besar dunia. Antara lain
Napoleon Bonaparte, Dwight D. Eisenhower, Abraham Lincoln, Soekarno,
Steve Jobs, Ratu Elizabeth II, Joan of Arc, Saladin, Dalai Lama, dan
lain-lain.
Kendati demikian, ia enggan meng-copycat alias meniru secara mentah-mentah tanpa memahami esensi kepemimpinan mereka. Kenapa? Karena setiap orang itu unik. Telecom Asia CEO of The Year
(2012) ini menggariskan gaya kepemimpinannya sebagai berikut, “Saya
memilih dan cukup terlatih dengan gaya kepemimpinan partisipatif yang
relatif dekat dengan konsep demokratis. Di bawah kepemimpunan saya semua
orang berhak dan diminta untuk mengemukakan pendapat, berpartisipasi
aktif dalam masa pencarian fakta, analisis data, pengayaan ide, dan
diskusi penentuan alternatif solusi. Berdasarkan itu semua, saya ambil
keputusan terbaik sebisa mungkin dengan kesepakatan bersama.” (halaman
58).
Keunggulan buku ini juga memuat tips-tips praktis
berdasarakan pengalaman riil penulis. Ia sering menjadi narasumber di
pelbagai workshop dan training kepemimpinan. Tatkala
ia menanyakan kepada peserta apakah mereka mendahulukan pekerjaan besar
atau kecil, ternyata mayoritas peserta memilih menyelesaikan pekerjaan
yang resource-nya besar dan dampaknya besar. Alhasil, hal-hal kecil tertunda dan bahkan tak tersentuh sama sekali.
Tesis pemegang gelar MBA University of Hawai at Manoa
(USA) ini sederhana tapi mendalam. Ia memilih menyelesaikan hal yang
kecil sebelum urusan tersebut berdampak besar. Misalnya evaluasi
karyawan, tanda tangan administrasi pembayaran listrik, pajak,
perjalanan dinas, memo tentang proposal ringkas, dan sebagainya.
Pekerjaan itu sering dianggap sepele, tapi kalau diabaikan bisa menjadi
pekerjaan besar.
Bayangkan jika perusahaan sampai telat
membayar listrik. Tidak hanya kena denda dari PLN, tapi reputasi di
hadapan pelanggan juga anjlok. Tak hanya itu, kertas dokumen yang ada di
meja kerja jangan sampai menumpuk, karena akan mengganggu kenyamanan
kerja. Oleh sebab itu, selesaikan dulu pekerjaan kecil. Toh resource
dan waktu yang dibutuhakn sedikit saja. Mendahulukan pekerjaan kecil
membuat kita siap melaksanakan pekerjaan-pekerjaan besar (halaman 147).
Faktor
komunikasi juga tak kalah penting. Hakikatnya ialah semangat
silaturahmi. Setiap orang lebih mudah berbicara dengan sahabat atau
teman dekat ketimbang ngobrol dengan kenalan baru. Untuk
menjadi sahabat, kita perlu melakukan komunikasi yang intens. Dari
situlah akan tumbuh kepercayaan di antara kedua belah pihak. Intinya,
jika kita berkomunikasi dengan pihak yang sudah mengerti dan percaya,
kita akan lebih mudah menyampaikan pesan. Oleh sebab itu, Hasnul Suhaimi
tak mau ngumpet di balik meja. Berkomuniaksi secara intens
dengan pihak eksternal mencerminkan kapabilitas dan tanggung jawab
sebagai seorang pemimpin yang peduli.
Everyone can Lead ditulis dengan gaya bahasa santai. Isinya relatif mudah dipahami oleh sidang pembaca. Menyitir pendapat Hermawan Kartajaya, Founder dan CEO MarkPlus, Inc, “Buku ini menunjukkan Hasnul Suhaimi adalah LEADER 3.0. Buku wajib untuk siapa pun yang akan menjadi LEADER 3.0.” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar