Dimuat di Kedaulatan Rakyat, Kamis/17 Oktober 2013
Tujuan utama seorang siswa adalah
untuk belajar. Kendati demikian, prioritas tersebut acapkali terabaikan.
Apalagi di era modern ini, begitu banyak godaan yang melenakan.
Misalnya karena kecanduan bermain game online, gadget, hura-hura, pacaran, jalan-jalan ke mall, dan kondisi keluarga yang broken home.
Dalam keseharian siswa, tugas-tugas
sekolah dapat dianalogikan batu-batu besar. Sedangkan, kerikil-kerikil
kecil, pasir, atau air melambangkan hal-hal yang mengganggu tercapainya
tujuan tersebut. Lantas, lingkungan belajar bisa diibaratkan sebuah teko
yang terbuat dari kaca.
Sebuah eksperimen menarik dapat
memfasilitasi siswa dalam menyusun daftar prioritas. Selain itu, siswa
juga dapat mengindentifikasikan kebiasaan-kebiasaan diri yang kurang
mendukung. Sehingga menyebabkan mereka tidak dapat menuntaskan apa yang
telah diniatkan di awal dalam kehidupan sehari-hari.
Alangkah lebih mengasyikkan kalau
teknik ini tak hanya diceramahkan, tapi juga dipraktikkan di depan
kelas. Karena menurut penelitian para ahli, otak manusia dapat mengingat
informasi dengan lebih optimal kalau melibatkan beberapa zona syaraf.
Penggabungan suara, gambar atau alat
peraga lainnya dapat mengaktifkan beberapa pusat sensorik secara
bersamaan sehingga informasi yang disampaikan lebih mudah diingat dan
dipahami. Kenapa? Karena direkam oleh aneka channel dalam beberapa bagian otak.
Pertama, tunjukkan teko dari kaca yang
berkapasitas 4 liter dengan mulut teko yang terbuka lebar tanpa penutup.
Pelan-pelan masukkan batu besar, satu-persatu ke dalam teko sampai
penuh. Karena yang dimasukkan pertama batu-batu besar akan ada rongga
antara batu satu dengan batu yang lainnya.
Kedua, guru bisa memasukkan
kerikil-kerikil kecil ke dalam teko yang berisi batu besar. Tapi
meskipun telah diisi kerikil-kerikil kecil, tentu saja masih ada rongga
dalam teko tersebut. Ketiga, tuangkan pasir ke dalam teko, disusul air
sehingga kini teko benar-benar penuh.
Kalau urutannya justru dibalik,
yakni mulai dengan menuangkan air, pasir, memasukkan kerikil-kerikil
kecil, maka batu-batu besar tidak akan bisa tertampung di dalam teko
kaca tersebut. Begitu pula dalam proses belajar, siswa perlu
mendahulukan tugas-tugas sekolah sebelum melakukan aktivitas-aktivitas
sekunder lainnya.
Begitulah cara sederhana untuk
belajar menentukan prioritas. Menyitir pendapat Stephen R. Covey, ”Kita
harus memutuskan apa yang jadi prioritas tertinggi dan harus memiliki
keberanian — dengan senang, tersenyum, dan tidak kompromi — dalam
mengatakan “tidak” kepada hal-hal lain. Cara untuk melakukannya adalah
memiliki lebih besar “ya” (semangat positif) dalam diri. Sebab musuh
dari “yang terbaik” seringkali adalah yang baik.” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris, Editor dan Penerjemah Lepas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar