Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Rabu/30 Oktober 2013
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/10/30/241599/Inovasi-Ramah-Lingkungan
Penulis terperangah membaca wacana
lokal yang dimuat di Suara Merdeka pada Sabtu, 5 Oktober 2013. Syafiq
Naqsyabandi, mahasiswa Program Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan IPB mengungkap betapa parah pencemaran yang terjadi di
Sungai Loji, Pekalongan, Jawa Tengah.
Ia mengutip data dari Dinas
Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kota Pekalongan. Ternyata
sampai akhir 2012 terdapat 3.021 unit industri di sepanjang DAS (Daerah
Aliran Sungai). Rinciannya, 21% (634 unit) industri batik, 12, 4% (375
unit) industri pakaian jadi dari tekstil, dan 9,55% (290 unit) industri
tempe.
Masih menurut Syafiq Naqsyabandi,
tahun 2012 peneliti dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto juga
menyimpulkan bahwa perairan Sungai Loji dalam kondisi tercemar berat.
Kesimpulan tersebut berdasarkan keanekaragaman makrobentos yang berada
dalam kategori rendah. Makrobentos adalah organisme yang hidup di dasar
perairan. Angka rendah keanekaragaman itu mengindikasikan pencemaran itu
sudah mengakibatkan kerusakan ekologis.
Lantas, warga Buaran Kabupaten
Pekalongan tersebut menawarkan instalasi pengolah limbah sebagai solusi.
Industri yang berskala besar dapat langsung bermitra membuat instalasi
pengolah dengan Pemkot. Adapun industri rumahan perlu membentuk semacam
perkumpulan pada tiap sentra industri untuk kemudian bekerja sama dengan
Pemkot membuat instalasi.
Menurut hemat penulis ada solusi
alternatif lain. Pertama untuk pengusaha industri batik bisa menggunakan
pewarna alami. Menurut sumber asalnya, bahan pewarna batik memang dapat
digolongkan zat pewarna alam (ZPA) yaitu zat warna yang berasal dari
bahan-bahan alam seperti dari hasil ekstrak tumbuhan. Zat pewarna
sintesis (ZPS) yaitu zat warna buatan atau sintesis yang dibuat melalui
proses reaksi kimia dengan bahan dasar arang batu bara atau minyak bumi.
Senyawa turunannya berupa hidrokarbon aromatik seperti benzena,
naftalena, dan antrasena.
Kedua, industri pakaian jadi bisa
menggunakan kain tenun berbahan serat pisang. Ini berawal dari
kreativitas seorang desainer asal Yogyakarta, Suroso. Menurutnya, pohon
pisang adalah multiguna yang sangat ekonomis dan mudah diperoleh. Selain
itu, proses pengerjaan dari serat menjadi busana juga terbilang mudah.
Tidak seperti bahan alam lain yang membutuhkan waktu panjang. Serat
pisang dapat diolah hanya sekitar tiga hari. Serat diperoleh dari batang
atau pelepah pisang. Kemudian dipisahkan antara filamen dan air. Baru
setelah itu dilakukan proses penenunan. Satu kilogram benang bisa
menghasilkan sekitar lima meter kain (Kick Andy, 30 September 2013).
Ketiga, perajin tempe bisa
menggunakan air embun. Rumah Perubahan Rhenal Khasali sudah melakukan
eksperimen tersebut. Tempe yang diproduksi menggunakan air embun
ternyata memang lebih enak dan tahan lama. Air embun juga memiliki
khasiat menyembuhkan yang luar biasa. Kenapa? Karena bisa menurunkan
kolesterol LDL. Embun yang dipakai adalah embun buatan purence yang
dirintis penemu dari Indonesia, Budhi Haryanto. Beberapa peneliti asing
pernah meneliti bahwa air embun buatan Budhi memiliki molekul-molekul
air yang unik.
Selain bebas mineral (anorganik)
yang justru bisa berbahaya bagi orang tua, air embun ternyata mengandung
oksigen terlarut dalam jumlah yang signifikan. Bahkan, ada ahli yang
memercayai oksigen yang tinggi ini bisa membantu proses kerja otak
sehingga membuat orang-orang yang sedang belajar lebih merasa segar
(Rumah Perubahan TVRI, 10 September 2013).
Akhir kata, alih-alih membuat
instalasi penyaringan limbah, lebih baik pemerintah dan pihak swasta
mulai mengembangkan industri batik berpewarna alami, tekstil kain
berbahan serat batang pisang, dan pembuatan tempe berbahan baku air
embun. Selain dapat meningkatkan kualitas produksi juga lebih ramah
lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar