Dimuat di TARGETABLOID.COM, Jumat/29 November 2013
Yogya,Targetabloid-Kamis
malam, (21/11) ada yang tak biasa di tepi pantai Parangtritis, Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Panggung luas lengkap dengan tenda
dan terpal alas tempat duduk disiapkan sejak petang. Ternyata Emha
Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng berkolaborasi dalam acara Salawat Padang
Bulan bersama Kiai Muzammil.
Pada kesempatan itu hadir
pula Habib Husein Assegaf. “Beliau ini habib tertua di Yogyakarta,”
ujar Kiai Muzammil. “Tapi walau telah berusia 86 tahun, Habib Husein
masih kuat lari berkeliling lapangan Kridosono sebanyak 5 kali putaran.
Di Pondok Pesantren Sedayu, beliau memang mendampingi para santri
belajar olah raga dan olah jiwa,” imbuhnya lagi.
Tepat
pukul 21.00 WIB acara dimulai. Kiai Muzammil memaparkan harapannya
atas acara kolaborasi Salawat Padang Bulan ini. Yakni agar manusia,
makhluk yang bukan manusia, pasir, ombak, alam, laut pantai selatan
bisa bersalawat bersama kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai bukti
kebesaran Allah SWT.
“Selama ini pantai Parangtritis
merupakan primadona tujuan wisata. Pendapatan terbesar Kabupaten Bantul
berasal dari di sini. Tapi manusia selalu meminta dari alam dan
mengambil manfaatnya saja. Oleh sebab itu, saatnya kita membalas
kebaikan alam dengan bersalawat bersama,” ujar Kiai Muzammil dengan
dialek Madura yang khas.
Ia
memang mengundang Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng secara khusus.
Sehingga acara ini sampai harus dimundurkan 3 hari ke malam Jumat
Kliwon ini agar jadwalnya pas.
Menurutnya, Cak Nun
merupakan titik temu antara kaum abangan dan kaum mutihan. “Ilmunya Cak
Nun adalah ilmu hakikat, bahasanya ialah bahasa budaya dan sosial,
bukan syariah. Walau kita memahami Islam dari berbagai sisi, toh kita
semua sama-sama hamba Allah SWT,” ujar Kiai Muzammil sambil
mempersilakan Cak Nun untuk berbagi cerita.
Setelah Kyai
Kanjeng bersalawat bersama seluruh hadirin, Cak Nun turut menyampaikan
siraman rohani. Ia berpendapat bahwa pulau Jawa ini merupakan perahu
dunia. “Itulah sebabnya kenapa raja-raja Mataram bergelar Hamengku
Buwono, Amangkurat, Paku Buwono, dll,” ujarnya.
“Di
dekat pantai Parangtristis ini dulu juga ada keturunan Raja Brawijaya V
dari Majapahit, namanya Syekh Belabelu. Sekarang makamnya ada di atas
perbukitan sana. Beliau itu yang menyebarkan Islam di pantai utara
Jawa,” imbuhnya lagi.
Cak Nun juga memaparkan kenapa Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdekatan dengan Masjid Agung Kauman dan Pasar Beringharjo. Yakni agar manusia memerhatikan hal-hal yang rohani dan duniawi. “Nak bojomu ra iso tuku beras ojo wiridan wae, iso-iso dipathok mertuo, kowe yo kudu bakulan neng pasar (kalau istrimu tak bisa membeli beras jangan hanya berdoa, bisa-bisa dimarahi mertua, jadi kamu ya harus bekerja - terjemahan bebas reporter),” ujar Cak Nun dengan bahasa Jawa ngoko yang merakyat.
Para
peserta Salawat Padang Bulan yang sebagian besar ibu-ibu juga dihibur
dengan suara emas Novia Kolopaking. Istri Cak Nun tersebut membawakan
beberapa buah tembang. Berikut ini petikan liriknya, “Duka derita
duka laraku di dunia / Tak aku sesali dan aku tangisi / Sesedih apapun
yang kurasakan dalam hidupku / Semoga kau tak kehilangan jernih jiwaku…
Andaikan
dunia mengusir aku dari dunia / Tak akan aku merintih dan menangis /
Ketidakadilan yang ditimpakan oleh manusia / Bukan alasan untuk
membalasnya…
Asalkan karena itu Tuhan menjadi
sayang padaku / Segala kehendak-Nya menjadi surga bagi cintaku /
Bukanlah apa kata manusia yang kuikuti / Tetapi pandangan Allah Tuhanku
yang kutakuti / Ada tiadaku semata-mata milik Allah jua…”
Pada
akhir acara Habib Husein Assegaf memimpin doa bersama. Para hadirin
yang semula duduk lesehan di tepi pantai serempak berdiri. Di depan
panggung juga tersedia aneka tumpeng sebagai ucapan syukur kepada Allah
SWT. Selepas tengah malam, pasca acara tumpeng-tumpeng tersebut
dibagikan kepada seluruh peserta yang hadir untuk dibawa pulang ke rumah
masing-masing.( Red )
Editor dan Foto : Nugroho A-Yogyakarta