Dimuat di SESAWI.NET, Rabu/6 November 2013
http://www.sesawi.net/2013/11/06/dari-kisah-tentang-pak-sahid-sampai-mbah-mozik/
Judul: The Art of Educating, Cinta di Rumah, Kasih di Sekolah
Penulis: A. Mintara Sufiyanta, SJ
Editor: Indah Sri Utami
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/April 2013
Tebal: 174 halaman
ISBN: 978-979-21-3532-9
PAK Sahid Surono guru mata pelajaran ketrampilan di sekolah. Lewat beliau penulis buku ini belajar nilai ketekunan. Kenapa? Karena guru yang satu itu sangat kreatif dalam mengajak muridnya untuk menjadi telaten (rajin).
Saat membuat prakarya 1 sulak (kemoceng) misalnya, dibutuhkan waktu sampai 6 bulan. Proses pembuatannya sangat unik. Anak-anak kelas IV SD tiap hari sepulang sekolah pergi ke kandang-kandang ayam. Mereka berkeliling kampung untuk mengumpulkan bulu-bulu ayam dari warga setempat.
Bahkan kadang mereka harus menggertak atau mengejar ayam jago. Harapannya ayam itu bergerak, meloncat, dan mengepakkan sayap sehingga bulu-bulunya berjatuhan. Dengan demikian, mereka dapat memeroleh bulu segar yang warnanya belum memudar.
Mereka mengerjakan prakarya kemoceng tersebut secara berkelompok. Tatkala melihat pekerjaan kelompok lain sudah hampir selesai, mereka tertantang untuk bekerja lebih giat dan cepat. Bahkan mereka rela mengerjakannya sampai larut malam di rumah salah satu murid. Sehingga keesokan harinya ketika dibawa ke sekolah dapat dipajang. Caranya dengan diikatkan di dua batang pohon.
Dari pengalaman tersebut, penulis buku ini belajar bahwa untuk melakukan hal yang baik dan benar tak cukup berbekal pengetahuan. Ternyata latihan dan ketekunan mutlak diperlukan.
Selain menjadi wali kelas dan guru kreatif, Pak Sahid juga terkenal karena kendaraan dinasnya khas. Setiap hari beliau mengendarai motor Vespa warna biru. Suara knalpotnya benar-benar luar biasa, begitu menggelegar memenuhi jalan perkampungan menuju sekolah. Walau Pak Sahid masih jauh, suara knalpot Vespa beliau sudah terdengar. Badannya bergerak naik turun seirama irama jok Vespa yang berpegas.
Banyak kisah lain yang tak kalau menarik dalam buku ini. Instruktur Kursus Kepemimpinan Sekolah lulusan Loyola University Chicago, USA (2009) tersebut juga menimba kearifan dari lingkungan keluarga, terutama dari sosok ayah.
Saat masih duduk di bangku SD kelas II ia diajak Bapak naik sepeda motor Honda Merah C-70. Mereka menuju ke arah jalan Samas. Terus mengarah ke utara, lalu belok kiri melalu jalan berkelak-kelok, naik-turun di daerah Bukit Menoreh. Ternyata Bapak mengajaknya mencari Mbah Mosik.
Siapakah Mbah Mosik? Beliau adalah tetangga di rumah. Sosoknya tinggi besar. Sebenarnya ia sangat mudah dikenali karena selalu memakai celana pendek dan kaos oblong warna hitam. Secara intelektual Mbah Mosik memang terbelakang, tapi ia selalu siap sedia membantu orang lain.
Ia mau bekerja apa saja. Jika main ke rumah, ia selalu menolak makanan yang disuguhkan. Tapi kalau diminta membelah kayu bakar atau kerja lainnya, baru beliau mau menyantap makanan tersebut. Kalau dia belum bekerja, tiap kali ditawari makanan selalu menjawab, “Ora wae” (tidak usah).
Singkat cerita, karena kelemahan dalam intelektualitasnya Mbah Mosik sering tak tahu jalan pulang ke rumah. Misalnya ketika mengunjungi saudaranya di Jalan Parangtritis atau menonton pertunjukan wayang di malam hari. Mbah Mosik hilang bukan hanya sekali terjadi.
Seharian Bapak dan anak itu berkeliling mencari Mbah Mosik. Tapi hasilnya tetap nihil. Barulah 10 hari kemudian ada informasi dari seseorang. Orang tersebut melihat Mbah Mozik di sebelah barat jembatan sungai Progo arah ke Wates. Lalu mereka bergegas menjemput Mbak Mosik.
Berikut ini laporan pandangan mata penulis:
“Kulihat Mbah Mosik duduk di dingklik sebuah warung. Ia tampak sangat kurus, wajahnya tampak lusuh. Kami senang sekaligus haru menemukannya. Kasihah Mbah Mosik pasti malu dan tidak mau meminta makan dan minum dari orang-orang yang tak dikenal. Ia berjalan selama 10 hari tanpa kejelasan arah. Semua itu tentu menguras tenaganya. Karena ada kami, dan setelah dibujuk beberapa kali, akhirnya Mbah Mosik mau minum dan makan (halaman 49).”
Dari pengalaman mencari Mbah Mosik bersama sang ayah tersebut, Mintara belajar memberi perhatian kepada orang lain. Karena saat kita mencurahkan atensi kepada sesama terutama yang menderita, Tuhan pun menggerakkan orang lain untuk memberikan perhatian serupa kepada kita.
Rumusannya sederhana tapi mendalam, barang siapa memberi pasti menerima. Sebaliknya, barang siapa mengeruk untuk dirinya sendiri niscaya kehilangan segala-galanya. Terbukti dengan banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang berakhir tragis di penjara dan tak punya lagi harga diri.
Tak sekadar berkotbah, penulis buku ini juga memberi contoh dalam berbagi (sharing) dengan sesama. Seluruh royalti penjualan “The Art of Educating, Cinta di Rumah, Kasih di Sekolah” didonasikan untuk Yayasan Kanisius-Pendidikan Cabang Yogyakarta demi mencerdaskan anak bangsa. Selamat membaca.
http://www.sesawi.net/2013/11/06/dari-kisah-tentang-pak-sahid-sampai-mbah-mozik/
Judul: The Art of Educating, Cinta di Rumah, Kasih di Sekolah
Penulis: A. Mintara Sufiyanta, SJ
Editor: Indah Sri Utami
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/April 2013
Tebal: 174 halaman
ISBN: 978-979-21-3532-9
PAK Sahid Surono guru mata pelajaran ketrampilan di sekolah. Lewat beliau penulis buku ini belajar nilai ketekunan. Kenapa? Karena guru yang satu itu sangat kreatif dalam mengajak muridnya untuk menjadi telaten (rajin).
Saat membuat prakarya 1 sulak (kemoceng) misalnya, dibutuhkan waktu sampai 6 bulan. Proses pembuatannya sangat unik. Anak-anak kelas IV SD tiap hari sepulang sekolah pergi ke kandang-kandang ayam. Mereka berkeliling kampung untuk mengumpulkan bulu-bulu ayam dari warga setempat.
Bahkan kadang mereka harus menggertak atau mengejar ayam jago. Harapannya ayam itu bergerak, meloncat, dan mengepakkan sayap sehingga bulu-bulunya berjatuhan. Dengan demikian, mereka dapat memeroleh bulu segar yang warnanya belum memudar.
Mereka mengerjakan prakarya kemoceng tersebut secara berkelompok. Tatkala melihat pekerjaan kelompok lain sudah hampir selesai, mereka tertantang untuk bekerja lebih giat dan cepat. Bahkan mereka rela mengerjakannya sampai larut malam di rumah salah satu murid. Sehingga keesokan harinya ketika dibawa ke sekolah dapat dipajang. Caranya dengan diikatkan di dua batang pohon.
Dari pengalaman tersebut, penulis buku ini belajar bahwa untuk melakukan hal yang baik dan benar tak cukup berbekal pengetahuan. Ternyata latihan dan ketekunan mutlak diperlukan.
Selain menjadi wali kelas dan guru kreatif, Pak Sahid juga terkenal karena kendaraan dinasnya khas. Setiap hari beliau mengendarai motor Vespa warna biru. Suara knalpotnya benar-benar luar biasa, begitu menggelegar memenuhi jalan perkampungan menuju sekolah. Walau Pak Sahid masih jauh, suara knalpot Vespa beliau sudah terdengar. Badannya bergerak naik turun seirama irama jok Vespa yang berpegas.
Banyak kisah lain yang tak kalau menarik dalam buku ini. Instruktur Kursus Kepemimpinan Sekolah lulusan Loyola University Chicago, USA (2009) tersebut juga menimba kearifan dari lingkungan keluarga, terutama dari sosok ayah.
Saat masih duduk di bangku SD kelas II ia diajak Bapak naik sepeda motor Honda Merah C-70. Mereka menuju ke arah jalan Samas. Terus mengarah ke utara, lalu belok kiri melalu jalan berkelak-kelok, naik-turun di daerah Bukit Menoreh. Ternyata Bapak mengajaknya mencari Mbah Mosik.
Siapakah Mbah Mosik? Beliau adalah tetangga di rumah. Sosoknya tinggi besar. Sebenarnya ia sangat mudah dikenali karena selalu memakai celana pendek dan kaos oblong warna hitam. Secara intelektual Mbah Mosik memang terbelakang, tapi ia selalu siap sedia membantu orang lain.
Ia mau bekerja apa saja. Jika main ke rumah, ia selalu menolak makanan yang disuguhkan. Tapi kalau diminta membelah kayu bakar atau kerja lainnya, baru beliau mau menyantap makanan tersebut. Kalau dia belum bekerja, tiap kali ditawari makanan selalu menjawab, “Ora wae” (tidak usah).
Singkat cerita, karena kelemahan dalam intelektualitasnya Mbah Mosik sering tak tahu jalan pulang ke rumah. Misalnya ketika mengunjungi saudaranya di Jalan Parangtritis atau menonton pertunjukan wayang di malam hari. Mbah Mosik hilang bukan hanya sekali terjadi.
Seharian Bapak dan anak itu berkeliling mencari Mbah Mosik. Tapi hasilnya tetap nihil. Barulah 10 hari kemudian ada informasi dari seseorang. Orang tersebut melihat Mbah Mozik di sebelah barat jembatan sungai Progo arah ke Wates. Lalu mereka bergegas menjemput Mbak Mosik.
Berikut ini laporan pandangan mata penulis:
“Kulihat Mbah Mosik duduk di dingklik sebuah warung. Ia tampak sangat kurus, wajahnya tampak lusuh. Kami senang sekaligus haru menemukannya. Kasihah Mbah Mosik pasti malu dan tidak mau meminta makan dan minum dari orang-orang yang tak dikenal. Ia berjalan selama 10 hari tanpa kejelasan arah. Semua itu tentu menguras tenaganya. Karena ada kami, dan setelah dibujuk beberapa kali, akhirnya Mbah Mosik mau minum dan makan (halaman 49).”
Dari pengalaman mencari Mbah Mosik bersama sang ayah tersebut, Mintara belajar memberi perhatian kepada orang lain. Karena saat kita mencurahkan atensi kepada sesama terutama yang menderita, Tuhan pun menggerakkan orang lain untuk memberikan perhatian serupa kepada kita.
Rumusannya sederhana tapi mendalam, barang siapa memberi pasti menerima. Sebaliknya, barang siapa mengeruk untuk dirinya sendiri niscaya kehilangan segala-galanya. Terbukti dengan banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang berakhir tragis di penjara dan tak punya lagi harga diri.
Tak sekadar berkotbah, penulis buku ini juga memberi contoh dalam berbagi (sharing) dengan sesama. Seluruh royalti penjualan “The Art of Educating, Cinta di Rumah, Kasih di Sekolah” didonasikan untuk Yayasan Kanisius-Pendidikan Cabang Yogyakarta demi mencerdaskan anak bangsa. Selamat membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar