Dimuat di Koran Sindo, Selasa/12 November 2013
“Menarik
sekali, di negara saya tidak ada karena kami tidak makan nasi,” begitu
komentar Alban, turis asal Prancis tatkala menyaksikan atraksi Gejog
Lesung. Kesenian tersebut menjadi salah satu persembahan budaya nan unik
dalam Pesta Rakyat Dhaup Agung Pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro pada Selasa, 22 Oktober 2013 di Yogyakarta.
Salah satu pengisi acara ialah Gejog
Lesung Niti Budoyo dari Dusun Niti Prayan, Bantul. Personilnya terdiri
atas 6 pemain lesung, 2 sinden yang menyanyikan tembang-tembang Jawa, 5
pemain angklung, 2 penabuh kendang dan 1 penari bertopeng.
Uniknya, mereka memiliki seorang
pemain Gejog Lesung cadangan. Karena mayoritas sudah berusia lanjut.
Jadi saat jeda antar lagu ada pergantian pemain seperti dalam sepak
bola.
Di ujung pertunjukan, sang sinden
berpromosi di hadapan ribuan hadirin yang memadati pelataran Monumen
Serangan Umum 1 Maret 1949. Intinya, kalau ada yang ngunduh manten (acara pernikahan), supitan (khitanan), atau pun perayaan lain monggo silakan menghubungi mereka di nomor telpon 0274-371-438.
Gejog Lesung Niti Budoyo memang sering berkeliling “ngamen” dari satu hajatan ke hajatan lainnya. Selain untuk mencari tambahan nafkah juga untuk Nguri-uri Kabudayan Jawi (melestarikan kebudayaan Jawa).
Dulu ketika mesin penggilingan padi
belum ditemukan, para petani desa masih mengandalkan cara manual.
Caranya dengan menumbuki padi memakai alu dan lesung sampai menjadi
gabah dan beras. Kini lapak penggilingan bertebaran di mana-mana,
bahkan ada mobil pick up berkeliling menawarkan jasa penggilingan padi. Alhasil, Gejog Lesung sekadar diletakkan di pawon (dapur).
Dari situlah timbul inisiatif
menjadikannya sebagai alat musik khas masyarakat agraris. Agar lebih
semarak, kelompok kesenian Gejog Lesung kini berkolaborasi juga dengan
sinden, penari, pemain angklung, dan penabuh kendang. Mereka pun
mempersiapkan kostum secara khusus. Biasanya yang perempuan bersanggul,
mengenakan jarik dan kebaya, sedangkan yang laki-laki menggunakan
ikat/blangkon, celana tomprang hitam dan surjan/beskap.
Dalam teori sosial, Giddens berpendapat bahwa ada 3 matra penting peradaban umat manusia. Yakni negara (state), swasta (private) dan masyarakat madani (civil society) (The Third Way: The Renewal of Social Democracy,
1998). Kelompok Gejog Lesung Niti Budoyo merupakan salah satu elemen
masyarakat madani. Secara khusus mereka berkarya lewat jalur budaya.
Kendati demikian, agar gaungnya lebih santer, negara dan swasta perlu mendukung pelestarian tradisi Gejog Lesung.
Belajar dari Jepang
Penulis pernah menyaksikan lawatan mahasiswa-mahasiswi calon guru dari Chiba University Jepang di SMAN 3 Yogyakarta. Pemerintah Dai Nippon
begitu total dalam mempersiapkan calon pendidik. Total 15 calon guru
yang datang ke sini. Kedatangan mereka difasilitasi Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Rabu, 25 September 2013.
Menurut Riasasi, salah satu panitia,
sebelumnya mereka telah praktik mengajar di SMAN 6 Yogyakarta. Apa
materi yang disajikan? Ternyata mata pelajaran sains dan seni budaya.
Khusus untuk kelas seni budaya, 110 siswa-siswi SMAN 3 Yogyakarta
dibagi menjadi 3 kelompok. Masing-masing diampu oleh 5 pengajar Jepang.
Walau Jepang notabene tergolong negara maju, tapi budaya yang mereka
ajarkan ialah Spochan (Sport Chanbara), Kendama dan Satoyama.
Hebatnya, itu semua merupakan seni
bela diri khas Jepang, permainan tradisional Jepang (semacam dolanan
anak) dan arsitektur rumah Jepang yang berwawasan ekologis. Tampak
sekali mereka bangga dengan kearifan lokalnya (local wisdom).
Bahkan calon guru muda yang perempuan sampai mengenakan Kimono, pakaian
tradisional Jepang tatkala mengajar para murid di kelas.
Indonesia perlu belajar dari Jepang
terkait apresiasi dan pelestarian budaya. Senada dengan pendapat Gus
Mus, pada era Orde Lama Indonesia telah menjadikan politik sebagai
panglima.
Lalu, pada era Orde Baru Indonesia
pernah menjadikan ekonomi sebagai panglima. Pasca era reformasi,
Indonesia kembali menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Kapan
kebudayaan dijadikan sebagai panglima untuk memajukan bangsa?
Dalam konteks ini, Gejog Lesung
merupakan simbol kearifan lokal budaya Nusantara. Pada hemat penulis,
regenerasi lewat institusi pendidikan menjadi kebutuhan urgen. Kenapa?
Karena sebagian besar seniman/seniwati Gejog Lesung sudah berusia
lanjut. Sehingga perlu ada transfer ilmu, skill (ketrampilan)
dan edukasi nilai filosofis terkait budaya warisan leluhur tersebut.
Yakni sebagai seni yang merupakan bentuk ucapan syukur kepada Dewi Sri
atas melimpahnya hasil panenan padi.
Di sekolah formal misalnya, selama
ini sudah ada ekstrakurikuler Karawitan dan Gamelan. Alangkah lebih baik
jika tidak ditambah dengan ekskul Gejog Lesung. Sehingga 10-20 tahun
mendatang tradisi ini bisa tetap eksis. Selain itu, sosialisasi lewat
media massa juga penting.
Media sebagai pilar keempat demokrasi dapat menyebarluaskan keunikan tradisi Gejog Lesung sebagai kebanggaan nasional (national pride) di dalam maupun luar negeri.
Secara lebih programatis, pemerintah dan swasta juga perlu mengupayakan Gejog Lesung menjadikan intangible cultural heritage seperti halnya Batik, Wayang Kulit, Keris, Angklung, Tari Saman dan Noken (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/UNESCO_Intangible_Cultural_Heritage_Lists). Jangan sampai seni budaya adiluhung kita diklaim oleh negara tetangga.
Akhir kata ibarat tanaman, hanya
yang akarnya menancap dalam ke tanah yang bisa bertumbuh, berkembang dan
berbuah. Gejog Lesung merupakan akar budaya bangsa yang perlu terus
dipupuk, disirami dan dilestarikan. Sebab jika bukan kita, lantas siapa?
Kalau bukan sekarang, lantas kapan? Salam budaya! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris, Editor dan Penerjemah Lepas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar