Dimuat di TARGETABLOID, Selasa/26 November 2013
Sabtu
(16/11/2013) ada yang tak biasa di Desa Sidoakur, Kelurahan Sidokarto,
Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Lima panggung musik berdiri di beberapa lokasi. Pemilihan nama panggung
selaras dengan tagline Ngayogjazz 2013 “Rukun Agawe Ngejazz”.
Antara lain panggung tradisional, panggung wawuh (berdamai), panggung guyub (rukun), panggung sayuk rukun (nuansa penuh keakraban), dan panggung srawung (bergaul). Peralatan sound system berpadu dengan setting bernuansa agraris. Misal di panggung sayuk rukun, latar belakangnya berupa rumah limasan. Penonton pun bisa berteduh di bawah pohon rambutan yang tumbuh di pekarangan luas.
Walau
digelar di pelosok desa dan hujan mengguyur sejak jam 9 pagi, ratusan
musisi dan penyanyi jazz dari dalam dan luar negeri tetap bersemangat
menunjukkan kebolehannya hingga tengah malam. Menurut penanggungjawab
Ngayogjazz, Djaduk Ferianto, tahun ini ada total 260 orang dari 37 grup
band.
Beberapa di antaranya ialah Monita Tahalea, Idang
Rasjidi, Dony Koeswinarno Quintet, Jazz Ngisor Ringin Semarang,
Komunitas Jazz Jogja, Gubug Jazz Pekanbaru, Baraka (Jepang), D’aqua
(Jepang), Erik Truffaz (Prancis), Brink Man Ship (Swiss), dan Jerry
Pellegrino (Amerika Serikat). “Jumlah tersebut jauh lebih banyak
dibanding peserta Ngayogjazz 2012 di Desa Brayut yang didukung 180-an
artis dari 27 grup band,“ ujarnya.
Warga
setempat memanfaatkan hajatan budaya langka ini dengan beragam cara.
Ada ibu-ibu yang membuka warung lesehan di beranda rumahnya. Aneka menu
makanan dan minuman lengkap tersaji. Sehingga di sela-sela aktivitas
menonton jazz, bila haus dan lapar para pengunjung tinggal menikmati
bakso, mie ayam, sate, lotek, gado-gado, rawon, gudeg, gorengan, dan
kuliner ala pedesaan lainnya.
Selama ini, musik jazz
identik dengan masyarakat perkotaan dan kelas menengah ke atas. Bila
hendak menontonnya harus berpakaian modis, berparfum wangi, bersepatu
kinclong, beli tiket mahal, dan duduk manis di gedung ber-AC. Tapi saat
menonton Ngayogjazz 2013, pengunjung boleh berkoas oblong, bersimbah
peluh, bersandal jepit, gratis tanpa tiket masuk, dan bebas berkeliling
dari satu panggung ke panggung lainnya. Jarak antar panggung rata-rata
setengah kilometer. Sepanjang jalan pengunjung kadang terpaksa melintasi
gang-gang yang becek.
Selepas maghrib, cuaca mulai
bersahabat. Hujan tak lagi mengguyur. Rembulan mulai menampakkan
wajahnya di langit malam. Panggung sayuk rukun menampilkan
grup-grup jazz papan atas Indonesia, antara lain Chasiero dan Idang
Rasjidi Syndicate. Sedangkan satu band lagi berasal dari Jepang, yakni
Baraka. Alunan musik jazz membuncah, para menonton bergoyang mengikuti
irama dan larut dalam jam session.
Pada
beberapa lagu jazz yang populer, hadirin serempak bernyanyi bersama.
Misal saat Jendry, vokalis muda dari grup band Idang Rasjidi Syndicate
menyanyikan lagu karya Balawan bertajuk “Arti Kehidupan”. Sontak
terdengar suara koor dari seluruh hadirin pada bagian refrain, “Engkau bukan yang pertama tapi pasti yang terakhir/ Di cintamu kutemui arti hidupku…”
Menurut
Idang Rasjidi, Jendry itu anak dari keluarga sederhana di Bangka
Belitung. Ayah Jendry seorang penyadap karet. “Ketika saya ajak dia ke
Jakarta, saya tanya apakah ia mau menjadi vokalis?” Saat itu Jendry
menjawab, “Iya Bang, saya mau menjadi vokalis yang baik untuk
membahagiakan ayah dan ibu di desa.”
Kebersahajaan
Jendry tetap tampak walau kini ia telah menjadi vokalis kondang. Ia
pernah berduet dengan Tompi di panggung besar. Uniknya, sebelum
mempersembahkan lagu malam itu, Jendry tetap mencium tangan untuk
menghormati Idang Rasjidi yang mengorbitkannya. Sebelum dan sesudah
menyanyi ia pun mengucap salam takzim kepada seluruh hadirin. Suara emas
Jendry begitu membius telinga para pendengar.
Di sela-sela acara, Idang Rasjidi yang memainkan keyboard berinteraksi
aktif dengan para hadirin. Menurutnya, jazz merupakan “barometer of
freedom”. “Musik jazz ialah sarana untuk mendisiplinkan diri sendiri
agar seseorang tak harus didisiplinkan oleh orang lain. Dalam konteks
kebangsaan, agar bangsa Indonesia tak harus diatur-atur oleh negara
lain,” ujarnya dan disambut gemuruh tepuk tangan penonton.
Idang
Rasjidi juga mengatakan bahwa ibarat pohon, rakyat adalah akar.
Sedangkan pemerintah merupakan daunnya. Kalau mau berbunga dan berbuah
lebat, akarnya harus diperhatikan. “Oleh sebab itu, ia mendukung penuh
Ngayogjazz 2013 yang digelar di Desa Sidoakur ini,” imbuhnya lagi.
Pada
akhir penampilan grup band Idang Rasjidi Syndicate, Djaduk Ferianto
turut naik ke atas panggung. Ia lalu menobatkan Idang Rasjidi sebagai
Jazzer Proletar. “Bung Idang Rasjidi ini selalu siap mendukung pentas
musik jazz, mulai dari tingkat kabupaten di pelosok hingga tingkat
internasional. Beliau juga selalu bersedia berbagi ilmu dan pengalaman
dengan musisi jazz muda. Inilah spirit Indonesia!” pungkas Djaduk. (Reporter dan Fotografer: Nugroho Angkasa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar