Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Senin/30 Desember 2013
Pada
akhir Desember 2013 ini curah hujan begitu tinggi. Biasanya, sejak
siang awan hitam mulai menggantung di langit. Lantas, begitu sore luruh
ke bumi dengan derasnya. Oleh sebab itu, warga yang bermukim di
sepanjang kali Code, Winongo, dan Gajah Wong, Kota Yogyakarta perlu
meningkatkan kewaspadaan. Agar kalau tiba-tiba banjir dan lahar dingin
kiriman dari Merapi menghampiri langkah antisipatif dan mitigasi bisa
dilakukan.
Salut untuk Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB). Mereka berinisiatif membentuk kampung tangguh bencana
(KTB). Menurut Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB, Muhtaruddin, 64
kampung tangguh bencana tersebar di seluruh tanah air.
Di
Kota Yogyakarta sendiri, ada 10 KTB. Yakni Kampung Ledok Tukangan
kelurahan Tegal Panggung kecamatan Danurejan, Kampung Joyonegaran
kelurahan Wirogunan kecamatan Wirobrajan, Kampung Jetisharjo kelurahan
Cokrodiningratan kecamatan Jetis, Kampung Sorosutan dan Dagaran
kelurahan Sorosutan kecamatan Umbulharjo, Kampung Terban kelurahan
Terban kecamatan Gondokusuman, Kampung Gemblakan Bawah kelurahan
Suryatmajan kecamatan Danurejan, Kampung Prawirodirjan kelurahan
Prawirodirjan kecamatan Gondomanan, Kampung Balirejo Mujamuju kecamatan
Umbulharjo, dan Kampung Sodagaran kelurahan Tegalrejo kecamatan
Tegalrejo.
Selain siaga menghadapi banjir dan kiriman
lahar dingin dari Merapi, warga Kampung Tangguh Bencana juga belajar
dan bersimulasi jika gempa bumi, gunung meletus, kebakaran, tanah
longsor, angin puting beliung, dan aneka bencana lainnya menerjang.
Berdasarkan
Pedoman Tangguh Bencana No. 1/2013, ada 9 program KTB. Yakni analisis
resiko dengan membuat peta ancaman, kerentanan, dan kapasitas;
mendirikan forum relawan; rencana aksi komunitas, rencana kontijensi
desa; membuat jalur evakuasi, dan jalur ekonomi untuk pembiayaan pasca
bencana.
Agus Winarto, Kepala Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD), Kota Yogyakarta mengatakan bahwa 10 motor roda
tiga telah dibagikan ke kampung-kampung. Moda tersebut dilengkapi
dengan pompa air, jenset, mesin pemotong kayu (senso), tali temali atau
vertical rescue, handy talkie, dan sebagainya.
Pemeritah Kota (Pemkot) Yogyakarta juga telah menyiapkan stok logistik
berupa bantuan pangan, sandang, dan papan (baca: barak pengungsian).
Pada
2006 dan 2010 tatkala gempa bumi mengguncang bumi Mataram dan gunung
Merapi meletus jatuh begitu banyak korban. Salah satu penyebabnya karena
warga bingung mau berbuat apa dalam situasi darurat.
Contoh
konkretnya saat lahar dingin kiriman dari kawah Merapi membuat kali
Code meluap, karena panik warga justru berlari menuju tepian sungai
untuk menyelamatkan diri. Padahal itu sangat berbahaya. Ternyata banyak
warga tidak tahu jalur evakuasi menuju titik kumpul yang aman.
Lewat
pelatihan dan simulasi menghadapi bencana, warga bisa mengetahui dan
langsung mempraktikkan langkah antisipatif dan mitigasi. Misalnya,
tentang barang apa saja yang perlu dibawa ke tempat pengungsian. Bahkan
jika tenaga medis belum tiba, mereka bisa memberikan pertolongan
pertama pada korban.
Pada hemat penulis, program Kampung
Tangguh Bencana ini juga perlu lebih melibatkan masyarakat. Sehingga
warga dapat menjadi aktor utama. Misalnya saat menentukan jalur
evakuasi, pemerintah kota dan tim relawan hanya menjadi fasilitator.
Sebab masyarakat yang tinggal di sana selama 24 jam dan paham
seluk-beluk lokasi kampungnya.
Dari aspek semantik, pemilihan istilah KTB (Kampung Tangguh Bencana) juga lebih njawani. Sebab selama ini kawulo Ngayogyakarta Hadiningrat
kalau ditanya berasal dari mana, pasti menyebut nama kampungnya, bukan
nama kelurahan atau kecamatannya. Misalnya penulis, jika ditanya pasti
menjawab berasal dari Kampung Nyutran. Jarang penulis menyebut dari
Wirogunan atau Mergangsan.
Kendati demikian, program
Kampung Tanggap Bencana ini juga perlu dikembangkan terus. Jangan hanya
di 10 kampung di Kota Yogyakarta, tapi juga di kampung-kampung
lainnya. Warga yang telah mendapat pelatihan teoritis dan mempraktikkan
simulasi bisa berbagi pengetahuan dan pengalamannya kepada tetangga
kampung lainnya. Media massa juga perlu menyebarluaskan ihwal mitigasi
dan antisipasi bencana. Jangan hanya melulu memberitakan dampak-dampak
pasca bencana.
Ke depannya, semoga terbentuk masyarakat dan bangsa yang tangguh bencana. Kita perlu ngangsu kawruh dari Jepang saat mereka sigap menghadapi bencana kebocoran reaktor nuklir, gempa, dan tsunami.
Akhir kata, senada dengan kata pepatah dalam bahasa Inggris, “Prepare for the worst, expect for the best”. Bencana merupakan bagian dari dinamika alam. Cara bersahabat dengan lingkungan sekitar ialah memanajemen komunitas akar rumput (grassroot) agar tangguh menanggulangi bencana secara mandiri.