Dimuat di Majalah Basis, Nomor 11-12, Tahun ke-62, Desember 2013
Selasa kliwon malam (3/9/2013) Landung Simatupang dan kawan-kawan
memukau ratusan hadirin yang memadati Tembi Rumah Budaya, Bantul,
Yogyakarta. Saking membludaknya para penonton sampai harus duduk lesehan
di sisi barat dan timur pendopo.
Landung membacakan
petikan gubahan pupuh Arjunawiwaha berdasarkan terjemahan mendiang Dr.
Ignatius Kuntara Wiryamartana, S.J. untuk mengenang 40 hari meninggalnya
pakar sastra Jawa kuna itu.
Tak kenal maka tak sayang,
begitu kata pepatah. Siapakah Romo Kun? Lahir di Delanggu, Klaten, Jawa
Tengah pada 19 Oktober 1946 silam. Romo Kuntara menghembuskan nafas
terakhir dalam usia 67 tahun di Rumah Sakit Elizabet, Semarang pada
Jumat 26 Juli 2013 dinihari pukul 01.45 WIB.
Ia pernah
menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Sanata
Dharma (USD) Yogyakarta. Namanya kian termasyhur berkat disertasi yang
merupakan suntingan teks Kakawin Arjunawiwaha pada 1987. Buku Arjunawiwaha
sendiri pernah diterbitkan oleh Duta Wacana University Press (1990).
Disertasi tersebut terinspirasi dari kitab Kakawin Arjunawiwaha karangan
Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042).
Menurut
Hariadi Saptono, wartawan dan Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta
(BBJ), pembacaan kutipan gubahan Arjunawiwaha untuk mengenang 40 hari
Kuntara Wiryamartana SJ penting dilakukan. Karena Romo Kuntara merupakan
seorang penghayat budaya Jawa yang mumpuni. Disertasi Arjunawaiwa
tulisan beliau merupakan karya yang monumental, tapi tidak terlalu
diperhatikan oleh khalayak ramai.
Saat ini generasi muda
memang cenderung berkiblat pada budaya asing. Entah itu kebarat-baratan,
kekorea-koreaan, keindia-indiaan, kecina-cinaan, dan lain-lain, padahal
budaya lokal warisan leluhur menyimpan kebijaksanaan adiluhung.
Misalnya dari segi bahasa, berapa banyak penerus bangsa yang masih
bangga menggunakan bahasa Indonesia dan daerahnya? Sebagian besar justru
lebih sering menggunakan bahasa alay dalam komunikasi sehari-hari.
Kendati
demikian, Guruh Sukarno Putra pernah berpendapat bahwa itu bukan 100
persen kesalahan kaum muda. Kenapa? Karena generasi di atasnya tidak
pernah mengajari dan memberi informasi memadai ihwal keberagaman budaya
Nusantara. Salah satunya terkait kearifan lokal bahasa Jawa. Ada
tingkatan dalam berbahasa yang mencerminkan unggah-ungguh, mulai dari ngoko, kromo madya, hingga kromo inggil.
Nyawiji
“Romo
Kuntoro, bagi saya adalah seorang dosen yang mempunyai kemampuan
akademik kuat. Ia banyak memberi pelajaran pada banyak orang, dan dia
meminta untuk konsentrasi penuh pada bidang yang dipelajari,” begitulah
testimoni Dr. Christanto Wismanugraha, selaku pengajar jurusan Sastra
Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta.
Dalam bahasa Jawa, Romo Kun menyebut proses tersebut dengan istilah sebagai nyawiji.
Contoh konkretnya adalah Arjuna. Tatkala ia digoda oleh para bidadari
agar terjaga dari tapa brata, Arjuna tetap bertafakur dalam semedi.
Berikut ini petikan kisah yang digubah dan dibacakan oleh Landung
Simatupang dkk dengan diiringi irama gamelan:
“Banyak
tingkah para bidadari utusan dewa hendak membongkar tapa brata
Panduputra. Matahari sudah pergi, rembulan mengganti. Kesengsem ia
memandangi bidadari. Terbuai asmara ia, tak putus menyinari, akhirnya
menyelinap sembunyi, awan menutupi.
Tergila-gila
agaknya para aspari memandang rupawan Sang Arya Parta. Maunya menggoda,
malahan tergoda. Terhenyak, termangu, dihanyut birahi mereka berlagu.
Ada satu yang bergabung dalam senandung, sembari menjentik-jentik jari
kaki.
Ada yang mencumbu pudak wangi, menggubah
syair tentang Sang Parta. Bunga wangi itu didekap, disusuinya, sesekali
dipandang dan disapanya, “Raden, anakku, ketakutanmu tak mendapat
pengakuan sungguh terlalu! Sudahlah, berhenti menangis sayang! Bapamu
itu memang tak pernah mau peduli!
Ada juga yang
lincah, pantang mundur, mahir memancing gairah. Mencumbu merayu,
menjepit tangan Sang Arya. O, ia mabuk kepayang mendekatkan tangan
Arjuna pada susunya. Bagai mendesah rintih buluh bergesekan dengan
hatinya.”
Aslinya
naskah tersebut berbahasa Jawa kuna. Namun untuk kepentingan pementasan
telah diadaptasi oleh Landung Simatupang ke dalam bahasa Indonesia
dengan seizin almarhum. Tujuannya agar bisa dipahami oleh penonton.
Bukan tidak mungkin, kelak pupuh Arjunawiwaha tersebut juga
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa internasional
lainnya. Sehingga dapat mengharumkan nama bangsa dan dinikmati oleh
masyarakat dunia.
Puisi
Selain
menulis disertasi, Romo Kuntara juga gemar menulis puisi juga. Sebagian
besar ditulis saat beliau studi lanjut di Delf, Belanda. Menurut Prof.
P.M Laksana, “Separuh hidup saya di dalam hidup beliau. Ketika dingin
menerjang dan kesepian menghantui di negeri orang, kami dua putra bangsa
sering bertemu dan saling menguatkan satu sama lain.” Berikut ini
petikan puisi Romo Kun yang dibacakan Kris Budiman, judulnya “Ketika
Angin Mati.”
“Bunyi-bunyi terpendam berdenting-denting
Melantingkan suara-suara kehidupan
Aku pun terbungkuk menunduki gusuran jari-jemari
Merayapi lembaran kertas buram
Mengisi kekosongan yang menggamangkan…” (Delf, November 1982)
Pak Bambang dari Solo juga menjelaskan klangenan Romo Kuntara berupa wayang Petruk. Almarhum suka sekali dengan tokoh Punakawan tersebut karena sikapnya yang merdeka, prigel, dan wasis.
Dulu saat masih mengajar sebagai dosen, Romo Kun juga tak melulu
belajar di kelas. Para mahasiswanya diajak ke kraton, ke pantai, ke
pasar tradisional, dll untuk merasakan dinamika kehidupan masyarakat dan
menyatu dengan lingkungan sekitar.
Menurut Ons Untoro,
dari Tembi Rumah Budaya menganggap bahwa kontribusi Romo Kun terasa
sangat penting bagi Tembi, karena sejak Tembi didirikan pada 2000 beliau
ikut membincangkan bersama dengan beberapa pemikir lainnya seperti
Prof. Dr. P.M Laksono, Prof. Dr. Sumito A. Sayuti, dan P. Swantoro.
“Kami berbincang-bincang mengenai embrio sebuah lembaga, yang sekarang
dikenal publik dengan nama Tembi Rumah Budaya ini," ujarnya.
Bahkan nama "Tembi" Romo Kun sendiri yang mengusulkan. Asal katanya dari Katemben, karena konon dusun Tembi merupakan tempat tinggal para abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
yang tugasnya menyusui para putra dan putri keluarga Mataram. Daerah
Tembi sejak dulu hingga kini memang relatif subur dan asri alamnya.
Akhir
kata, Romo Kuntara telah meninggalkan kita semua. Kendati demikian,
karya-karya beliau selalu mendapat tempat di hati para pembacanya.
Selamat jalan Romo, semoga mendapat tempat terbaik di sisi-Nya…Sugeng tindak Romo...Rahayu....Rahayu...Rahayu...(T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta dan Pecinta Budaya Jawa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar