Dimuat di Tabloid Banten Muda, Edisi Desember 2013
Judul: Orang-Orang Hebat, Dari Mata Kaki ke Mata Hati
Penulis: Emanuel Dapa Loka
Penerbit: Altheras Publishing
Cetakan: 1/Juli 2013
Tebal: xxv + 223 halaman
ISBN: 978-602-14175-0-8
Harga: Rp50.000
Nama
Gerson Poyk tak asing lagi di jagat jurnalistik Indonesia. Sederet
karya sastra apik telah ia tulis. Pun aneka penghargaan telah ia raih.
Antara lain Hadiah Sastra Asia Tenggara Sea Write Award (1989) dan Adinegoro Award 1986 berkat tulisan “Padang Sabana Timur dan Sumba”.
Ia
juga sudah menulis 30-an novel. Selain itu, lebih dan ribuan cerpen
bertebaran di media massa. Kendati demikian, kehidupan sehari-harinya
tetap biasa saja. Kesederhanaan - untuk tidak mengatakan miskin -
kentara sekali dalam kehidupan pria kelahiran Ba’a, Rote, Nusa Tenggara
Timur (NTT), 16 Juni 1931 tersebut.
Suatu ketika kedua
matanya terserang penyakit katarak. Beruntung mata kanannya telah
berhasil dioperasi. Tapi untuk mengoperasi mata kirinya, ia harus
berhitung berkali-kali. Gerson mengaku belum memiliki uang. “Uang itu
masih tersimpan di otak dan imaginasi saya,” ujarnya tatkala
diwawancarai Emanuel Dapa Loka.
Saat itu, ia memang
sedang menyiapkan beberapa buah cerpen untuk membiayai operasi mata
kirinya. “Saya sedang menulis lima cerpen. Honornya akan saya pakai
untuk operasi mata yang kiri ini,” ungkapnya sambil melepas kaca mata
(halaman 88).
Dalam buku “Orang-Orang Hebat, Dari Mata
Kaki ke Mata Hati” ini terungkap walau Gerson Poyk hidup serba
pas-pasan, ia sangat dermawan. Setiap kali mendapat uang, yang
pertama-tama ia ingat justru teman-temannya. Ia berkeliling mencari
mereka menanyakan kabar dan menyumbang dari pendapatannya tersebut.
“Sebab saya pernah merasakan penderitaan itu…” imbuhnya.
Gerson
mengisahkan keadaannya tatkala tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan
anaknya yang sekarat. “Di Bima, anak laki-lakiku menderita diare sampai
tubuhnya menjadi sangat kurus – tinggal tulang seperti anak-anak
afrika yang kelaparan. Hatiku berkata, kira-kira 3 hari lagi ia akan
diambli kembali oleh Tuhan. Aku pasrah setelah beberapa hari memberinya
obat-obatan dari dokter, ramuan dedaunan dan doa kesembuhan insan.
Berjalan terapung-apung di suatu senja yang murung, menanti putraku
satu-satunya diambil kembali oleh penciptanya…” (halaman 92).
Hebatnya,
saat itu ia justru menggelisahkan masa depan Indonesia. Di matanya,
Indonesia bukan semakin maju malah semakin mundur. Pengangguran dan
kemiskinan kian bertambah. Menurutnya anak-anak negeri ini teralienasi
dari bumi subur dan laut kaya. “Kaki kita berdiri di atas tanah dan
laut yang subur, tetapi kepala kita ada di padang pasir! Mungkin saja
bangsa ini sangat libinal. Religiositas etis yang mestinya membantu
kita mengembangkan modal sehingga bisa mengirimkan orang ke bulan,
dihambat oleh energi syahwat, nafsu kekuasaan, intoleransi, rasa rendah
diri yang menimbulkan perilaku neurotik,” ujarnya meradang.
Mantan
wartawan tersebut meyakini bahwa sastra bisa menjadi solusi. “Melalui
karya sastra kita harus menari, jangan membunuh. Mari kita adakan
akrobat moral!” Ia bercita-cita sederhana, yakni mendampingi anak-anak
SMP dan SMA untuk mengelola majalah sendiri. Uang hasil penjualan untuk
kas mereka. Kini aktivitasnya tetap membaca, menulis dan sesekali ke
kebun dengan sepeda. Meski usianya telah senja, Gerson masih sering
tidur larut malam, bahkan hingga pukul 02.00WIB untuk menulis.
Masih
banyak kisah para jagoan lainnya dalam buku ini. Total ada 20 kisah
inspiratif yang menggetarkan. Kalau ditambah dengan 2 kata pengantar
dan 1 epilog, maka ibarat belajar ilmu Kung Fu sidang pembaca bisa
berguru dari 23 jagoan. Siapakah mereka? Antara lain Fransicus
Welirang, Zuhairi Misrawi, Andre Graff, Dewa Budjana, Frans Magnis
Suseno, Vincentius Kirjito, St Kartono, Andre Moeller, Anthony Dio
Martin, Christie Damayanti, Kebamoto, dan lain-lain.
Kisah
perjuangan drg. Aloysius Giyai, M.Kes (40 tahun) juga layak disimak.
Ia berasal dari keluarga miskin dan tinggal di wilayah terpencil di
Deiyai, Papua. Daerah tersebut terkenal karena kematian komunal akibat
wabah kolera dan penyakit malaria. Dari delapan bersaudara, 5 di
antaranya meninggal dunia. Yang masih hidup tinggal dokter Alo,
demikian ia akrab di sapa, Damianus Giyai dan Octavia Giyai, SE.
Kendati
demikian, segala keterbatasan fasilitas dan keterisolasian wilayah di
atas tak kuasa mengungkungnya. Dokter Alo berhasil menjadi Direktur
RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) di Abepura. Hebatnya, Alo tak lupa pada
akarnya. Dalam pelayanan medis, ia kerap menabrak aturan agar bisa
menolong orang sakit dengan cepat.
Suatu hari, dokter Alo
memberikan pelayanan kesehatan kepada keluarga miskin yang tidak
memegang JPS-BK (Jaringan Pengaman Sosial Bidang Kesehatan). Ia
melakukan “pelanggaran” karena tergerak oleh rasa belas kasihan saat
melihat pasien yang tak berdaya. “Nurani saya terketuk. Saya tidak
mungkin membiarkan mereka menderita apalagi sampai meninggal. Mereka
cukup menunjukkan surat keterangan dari Pastor atau Pendeta atau
Tua-tua adat. Mereka tak boleh mengalami yang lebih pahit dari yang
pernah saya alami,” tekadnya
Ketika dimintai
pertanggunganjawab dari Depkes karena 30% penerima layanan JPS-BK tidak
terdaftar, ia menjelaskan detail pemakaian dana beserta
bukti-buktinya. Semua atas nama kemanusiaan dan sumpahnya sebagai
dokter. “Pihak Depkes di Jakarta malah memuji saya. Sepulang ke
Jayapura, Gubernur JP Salossa (almarhum) juga memberi penghargaan,” ujar
Alo sembari tersenyum (halaman 161).
Agar semangat pengabdiannya itu menular ke banyak orang, dokter Alo sudah menulis buku otobiografi berjudul Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua; Becermin pada Fakta RSUD Abepura.
Buku yang diterbitkan PAKAR-Papua Pustaka Rakyat Papua pada November
2012 silam itu menyajikan racikan data dan fakta yang dirangkai dalam
aneka kisah menarik, menyentuh, dan menggetarkan. “Bukan untuk
menonjolkan diri saya, tapi agar keadaan di Papua diketahui banyak orang
dan dicarikan solusinya segera.”
Jika ditelisik secara
saksama ada satu nilai keutamaan yang dilakoni oleh para jagoan dalam
buku setebal 223 halaman ini. Senada dengan pengamatan R. Priyono dalam
bagian kata pengantar, mereka menjadi hebat karena pengabdian yang
total bagi rakyat, bangsa, dan negara tanpa meminta perhatian atau
penghargaan khusus.
Jaya Suprana pun mengapresiasi upaya
Emanuel Dapa Loka menuliskan profil mereka, “Bayangkan betapa hebat
kisah sorang putera Indonesia yang dilahirkan dan dibesarkan di Pulau
Sumba, NTT yang – tentu saja – sempat menjadi joki menunggangi kuda
Sumba, kemudian mengembara ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu sambil
mencari nafkah sebagai penjual buku dengan menunggangi sepeda onthel
dan akhirnya berhasil menulis buku hebat yang sedang Anda baca ini”
(halaman 223).
Akhir kata, buku ini membuktikan adagium lawas yang tetap relevan, tak ada makan siang gratis (there is no free lauch). Menyitir pendapat Haililah Tri Gandhiwati, Dosen Public Relations
Universitas Mercu Buana, “Perjuangan, pengorbanan, usaha keras
merupakan syarat mutlak untuk meraih cita-cita.” Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar