Dimuat di TARGETABLOID.COM, Jumat/29 November 2013
Minggu (24/11/2013) berlangsung pelatihan jurnalistik di Balai Bahasa Yogyakarta, Jln. I Dewa Nyoman Oka No. 24. Tepatnya di lantai 2 ruang S.T. Alisjahbana. Para peserta sudah berdatangan sejak pukul 08.30 WIB. Acara tersebut gratis dan terbuka untuk umum. Tapi sebelumnya peserta harus mendaftarkan diri dan mengambil undangan. Pada hari H undangan tersebut menjadi tiket masuk sekaligus dapat ditukarkan dengan buku Membaca Sastra Jogja.
Dalam kata sambutannya, Ketua Balai Bahasa Yogyakarta, Tirto Suwondo mengatakan, “Pertemuan semacam ini semoga bisa rutin diadakan setiap sebulan sekali. Kalau di Yogyakarta bagian utara sudah ada diskusi kebudayaan di Pusat Studi Kebudayaan (PSK) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dipelopori Aprinus Salam, sedangkan di Yogyakarta bagian selatan sudah ada diskusi sastra setiap bulan sekali di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Harapannya, Rumah Bahasa dan Sastra, Balai Bahasa Yogyakarta (BBY) dapat menjadi pusat pengembangan bahasa dan diskusi sastra di Yogyakarta bagian tengah,” imbuhnya.
Selanjutnya, Khusnul Khatimah selaku moderator, mempersilakan narasumber pertama, Ronny S. Viko untuk menyampaikan paparannya. Wakil Pemimpin Redaksi (Wapemred) SKH Kedaulatan Rakyat tersebut menyampaikan satu fakta penting. Ternyata kini 30 persen rubrik di media massa memberi porsi lebih besar kepada pewarta warga (citizen journalist).
Misalnya dalam rubrik Pariwisata yang dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat setiap Minggu. Menurut Ronny, tak mungkin setiap Minggu wartawan kami berjalan-jalan ke tempat-tempat wisata. Dulu masih diijinkan menulis dengan referensi dari brosur, tapi kini tak diperbolehkan. Karena liputannya menjadi tidak hidup. “Jadi sekarang kami menerima tulisan untuk rubrik Pariwisata dari masyarakat. Misalnya ada mahasiswa yang hobi naik gunung. Silakan mengirim tulisan dan foto-foto ke redaksi kami. Biasanya tulisan mereka lebih hidup (live) dan emosional. Karena penulisnya suka dan mengalami langsung,” imbuh wartawan yang mulai bergabung dengan KR sejak 1983 tersebut.
Pada sesi selanjutnya, St Kartono menampilkan sampul buku Orang-Orang Hebat, Dari Mata Kaki ke Mata Hati di layar dengan menggunakan proyektor LCD. Buku karya Emanuel Dapa Loka tersebut memuat perjuangan hidup 20 tokoh inspiratif, salah satunya St. Kartono.
Buah pena Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta tersebut telah dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Selain itu, ayah 2 putri ini juga menulis 10 buku dan acap menjadi pembicara publik. “Tahun ini, sampai akhir November 2013 saya sudah menjadi narasumber di 50 forum, mulai dari Sabang sampai Merauke. Nah kalau di Balai Bahasa Yogyakarta hari ini merupakan forum yang ke-51,” ujarnya.
Penulis buku Menjadi Guru untuk Muridku tersebut lantas mengutip tesis Sofjan Wanandi. Intinya ada tiga karakter orang hebat, yakni memiliki komitmen, integritas, dan mau menderita. “Menulis itu pun penuh penderitaan. Sebagai guru saya mengajar 30 jam per minggu, masih menjadi wali kelas, pun sering diundang menjadi pembicara publik. Tapi saya tetap meluangkan waktu untuk menulis. Sepulang mengajar di SMA Kolese De Britto saya langsung mengajar di Universitas Sanata Dharma atau Kampus Atma Jaya sampai malam. Biasanya saya baru mulai menulis pukul 23.00-00.00 WIB setelah istri dan anak-anak tidur. Tepat tengah malam saya harus menyelesaikan tulisan karena perlu beristirahat agar esok pagi bisa bangun dan berangkat ke sekolah kembali,” ujarnya.
St. Kartono juga berbagi tips praktis. Inspirasi tersebut diperoleh dari putri keduanya yang mempraktikkan cara mendapat nilai 100 dalam ulangan saat masih kelas 3 SD. Yakni dengan mengikatkan kaki di kursi dan mengikatkan badan ke meja belajar selama 30 menit. “Kalau mau lancar menulis harus rajin membaca, oleh sebab itu disiplinkan badan ini agar tak kemana-mana selama setengah jam untuk membaca atau menulis. Kalau belum bisa disiplin dari dalam maka yang di luar yang harus disiplinkan terlebih dahulu,” tandasnya yang sontak disambut gemuruh tepuk tangan 200 hadirin.
Foto : Nugroho A-Yogyakarta
Minggu (24/11/2013) berlangsung pelatihan jurnalistik di Balai Bahasa Yogyakarta, Jln. I Dewa Nyoman Oka No. 24. Tepatnya di lantai 2 ruang S.T. Alisjahbana. Para peserta sudah berdatangan sejak pukul 08.30 WIB. Acara tersebut gratis dan terbuka untuk umum. Tapi sebelumnya peserta harus mendaftarkan diri dan mengambil undangan. Pada hari H undangan tersebut menjadi tiket masuk sekaligus dapat ditukarkan dengan buku Membaca Sastra Jogja.
Dalam kata sambutannya, Ketua Balai Bahasa Yogyakarta, Tirto Suwondo mengatakan, “Pertemuan semacam ini semoga bisa rutin diadakan setiap sebulan sekali. Kalau di Yogyakarta bagian utara sudah ada diskusi kebudayaan di Pusat Studi Kebudayaan (PSK) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dipelopori Aprinus Salam, sedangkan di Yogyakarta bagian selatan sudah ada diskusi sastra setiap bulan sekali di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Harapannya, Rumah Bahasa dan Sastra, Balai Bahasa Yogyakarta (BBY) dapat menjadi pusat pengembangan bahasa dan diskusi sastra di Yogyakarta bagian tengah,” imbuhnya.
Selanjutnya, Khusnul Khatimah selaku moderator, mempersilakan narasumber pertama, Ronny S. Viko untuk menyampaikan paparannya. Wakil Pemimpin Redaksi (Wapemred) SKH Kedaulatan Rakyat tersebut menyampaikan satu fakta penting. Ternyata kini 30 persen rubrik di media massa memberi porsi lebih besar kepada pewarta warga (citizen journalist).
Misalnya dalam rubrik Pariwisata yang dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat setiap Minggu. Menurut Ronny, tak mungkin setiap Minggu wartawan kami berjalan-jalan ke tempat-tempat wisata. Dulu masih diijinkan menulis dengan referensi dari brosur, tapi kini tak diperbolehkan. Karena liputannya menjadi tidak hidup. “Jadi sekarang kami menerima tulisan untuk rubrik Pariwisata dari masyarakat. Misalnya ada mahasiswa yang hobi naik gunung. Silakan mengirim tulisan dan foto-foto ke redaksi kami. Biasanya tulisan mereka lebih hidup (live) dan emosional. Karena penulisnya suka dan mengalami langsung,” imbuh wartawan yang mulai bergabung dengan KR sejak 1983 tersebut.
Pada sesi selanjutnya, St Kartono menampilkan sampul buku Orang-Orang Hebat, Dari Mata Kaki ke Mata Hati di layar dengan menggunakan proyektor LCD. Buku karya Emanuel Dapa Loka tersebut memuat perjuangan hidup 20 tokoh inspiratif, salah satunya St. Kartono.
Buah pena Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta tersebut telah dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Selain itu, ayah 2 putri ini juga menulis 10 buku dan acap menjadi pembicara publik. “Tahun ini, sampai akhir November 2013 saya sudah menjadi narasumber di 50 forum, mulai dari Sabang sampai Merauke. Nah kalau di Balai Bahasa Yogyakarta hari ini merupakan forum yang ke-51,” ujarnya.
Penulis buku Menjadi Guru untuk Muridku tersebut lantas mengutip tesis Sofjan Wanandi. Intinya ada tiga karakter orang hebat, yakni memiliki komitmen, integritas, dan mau menderita. “Menulis itu pun penuh penderitaan. Sebagai guru saya mengajar 30 jam per minggu, masih menjadi wali kelas, pun sering diundang menjadi pembicara publik. Tapi saya tetap meluangkan waktu untuk menulis. Sepulang mengajar di SMA Kolese De Britto saya langsung mengajar di Universitas Sanata Dharma atau Kampus Atma Jaya sampai malam. Biasanya saya baru mulai menulis pukul 23.00-00.00 WIB setelah istri dan anak-anak tidur. Tepat tengah malam saya harus menyelesaikan tulisan karena perlu beristirahat agar esok pagi bisa bangun dan berangkat ke sekolah kembali,” ujarnya.
St. Kartono juga berbagi tips praktis. Inspirasi tersebut diperoleh dari putri keduanya yang mempraktikkan cara mendapat nilai 100 dalam ulangan saat masih kelas 3 SD. Yakni dengan mengikatkan kaki di kursi dan mengikatkan badan ke meja belajar selama 30 menit. “Kalau mau lancar menulis harus rajin membaca, oleh sebab itu disiplinkan badan ini agar tak kemana-mana selama setengah jam untuk membaca atau menulis. Kalau belum bisa disiplin dari dalam maka yang di luar yang harus disiplinkan terlebih dahulu,” tandasnya yang sontak disambut gemuruh tepuk tangan 200 hadirin.
Foto : Nugroho A-Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar