Dimuat di Targetabloid.com, Senin/9 Desember 2013
http://targetabloid.com/index.php/artikel/detail/1166
Sabtu Kliwon (7/12/2013) pukul 19.30-23.00 WIB berlangsung puncak acara “Musikalisasi Sastra 2013” di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Assarkem, Komunitas Sabu, Wayang Hip-hop, Dinasti, Emha Ainun Najib, dan Kiai Kanjeng sambung-menyambung mengapresiasi aneka karya sastra. Hajatan budaya ini gratis dan terbuka bagi khalayak ramai. 600-an kapasitas tempat duduk di TBY penuh sesak sehingga ratusan penonton lainnya terpaksa lesehan di atas karpet.
Assarkem, kelompok musik puisi menjadi pembuka acara. Mereka mengintepretasi puisi karya Anjani Kanastren dan karya Linus Suryadi AG. Berdasarkan info dari https://www.facebook.com/pages/Assarkem/354066935069 Sarkem (Sanggar Kreativitas Mahasiswa) didirikan di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) dan diresmikan oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, Dekan FBS (Fakultas Bahasa dan Sastra) UNY pada 1999. Pemilihan nama Sarkem menuai banyak kontroversi. Bahkan Prof. Suminto hingga kini tak pernah menyebut mereka dengan nama Sarkem, melainkan Sarkema.
“Namun, mahasiswa di FBS pada waktu ngotot untuk menggunakan nama Sarkem. Sarkem mulanya bukan suatu kelompok kesenian, ia hanyalah sebuah tempat mangkal mahasiswa di sela-sela kegiatan kuliah. Lambat laun - dan karena tidak semua mahasiswa FBS UNY adalah anak orang berada - Sarkem menjadi tempat berkumpul dan tempat tinggal beberapa mahasiswa,” tulis Admin di kolom About.
Intinya, mereka hendak memadukan 2 genre seni yang berbeda. Musik menjadi berbobot dan ideologis karena harus menyesuaikan diri dengan puisi dan tidak melulu menuruti tuntutan pasar. Di sisi lain, puisi menjadi lebih mudah sampai kepada pembaca (pendengar) karena disampaikan lewat medium musik. Alhasil, musik dan puisi hadir untuk saling melengkapi dan mendukung.
Penampilan selanjutnya dari Komunitas Sabu. Menurut paparan pembawa acara sebelum Untung Basuki dan kawan-kawan naik ke atas panggung, Sabu singkatan dari Sanggarbambu. Malam itu, mereka membawakan 4 komposisi. Puisi-puisi yang dimusikalisasikan ialah “Kemerdekaan Aqua dan Coca-cola” karya Iman Budi Santosa, “Lagu untuk Helga karya” karya Linus Suryadi AG, “Berkalung Angan” karya Anjani Kanastren, dan “Sajak Sebatang Lisong” karya W.S Rendra.
Berikut ini kutipan puisi yang ditulis Rendra di ITB (Institut Teknologi Bandung) pada 19 Agustus 1977 silam dan diapreasiasi kembali oleh Komunitas Sabu:
“Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.”
Di sela-sela komposisi musikalisasi puisi Komunitas Sabu, Untung Basuki yang memakai jubah putih menyelipkan “mantra” kesukaannya, yakni “mitra kasih.” Lalu, terdengar komentar dari bangku penonton, “Wuih andalane (andalannya – terjemahan editor).” Langsung ditanggapi dengan plesetan khas kota Gudeg oleh Pak Untung, “Andalan jepit po (maksudnya: sandalan jepit apa? - terjemahan editor).” Ribuan penonton pun bertepuk tangan dan tertawa lepas.
Suasana kian heboh tatkala Wayang Hip-hop http://wayanghiphop.com/ unjuk kebolehannya. Wayang Hip-hop menyajikan pertunjukan yang memadukan unsur tradisi (wayang kulit) dan modernitas (hentakan musik hip-hop lengkap dengan iringan house DJ). Wayang Hip Hop diprakarsai oleh Ki Catur Benyek Kuncoro dan teman-temannya. Mereka mengintepretasikan cerita pendek “Pulang Tanpa Alamat” karya Abidah El Khalieqy yang dimuat di Jawa Pos pada 5 September 2010.
Pilihan kostum para personilnya pun mencirikan kombinasi antara yang gaul dan tradisional. Sang dalang tetap memakai blangkon, sedangkan para penyanyinya mengenakan topi ala rapper hip-hop. Di sela-sela adegan wayang hip-hop, Ki Catur Benyek Kuncoro juga membumbui dengan humor segar. Misalnya tatkala ia mengisahkan rayuan untuk tokoh Nita dalam cerpen tersebut, ada akronim “nganmunjang” (tanganmu panjang), “mbutmutam” (rambutmu hitam), “litmutang” (kulitmu sawo matang). Sontak dagelan tersebut disambut riuh tawa penonton.
Sebagai sajian pamungkas, Dinasti, Emha Ainun Najib, dan Kiai Kanjeng berkolaborasi membawakan puisi-puisi gubahan Cak Nun dari era 1976-1988. Antara lain judulnya “Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu”, “Menghisap Klembak Menyan”, “Bali” yang telah dimodifikasi menjadi “Nusantara”, “Nyanyian Gelandangan”, “Berdekatankah Kita?”, dll. Emha juga membacakan sebuah puisi karya Umbu Landu Paranggi yang berjudul “Apa Ada Angin di Jakarta.”
Berikut ini petikan liriknya:
“Apa ada angin di Jakarta?
Selalu saja ini jawabanku, atas semua pertanyaan dan pernyataan yang berhubungan dengan Jakarta.
Apa kau tak ingin bekerja di Jakarta?
Di Jakarta banyak lowongan pekerjaan.
Hidupmu takkan berubah jika kau tak ke Jakarta.
Orang udik, selamanya jadi orang udik.
Jakarta boi! Modernisme ada disana!
Dan jawabanku adalah, apa ada angin di Jakarta?
Apa ada angin di Jakarta
Seperti di lepas desa Melati
Apa cintaku bisalah dicari
Akar bukit Wonosari
Yang diam di dasar jiwaku
Terlempar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati.”
Menurut Cak Nun dalam musikalisasi puisi terdapat empat pola. Pertama, puisi dibaca dengan latar belakang musik. Kedua, puisi berselang-seling dengan musik. Ketiga, puisi dilagukan. Keempat, puisi dan lagu menjadi satu karena rohnya sama.
Di sela-sela penampilannya bersama Dinasti dan Kiai Kanjeng, pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 tersebut juga memberikan hadiah kepada Narto “Viul”. Ia meminta Jemek Suparti, seniman pantomime dari Yogyakarta untuk menyerahkannya. Ternyata Narto “Viul” dan Jemek Supardi masih tetangga sekampung. “Mereka ini sarjana-sarjana Universitas Patangpuluhan, mereka ini sahabat-sahabat saya sejak tahun 1970-an,“ ujar Emha.
Editor dan Foto : Nugraha A - Yogyakarta
http://targetabloid.com/index.php/artikel/detail/1166
Sabtu Kliwon (7/12/2013) pukul 19.30-23.00 WIB berlangsung puncak acara “Musikalisasi Sastra 2013” di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Assarkem, Komunitas Sabu, Wayang Hip-hop, Dinasti, Emha Ainun Najib, dan Kiai Kanjeng sambung-menyambung mengapresiasi aneka karya sastra. Hajatan budaya ini gratis dan terbuka bagi khalayak ramai. 600-an kapasitas tempat duduk di TBY penuh sesak sehingga ratusan penonton lainnya terpaksa lesehan di atas karpet.
Assarkem, kelompok musik puisi menjadi pembuka acara. Mereka mengintepretasi puisi karya Anjani Kanastren dan karya Linus Suryadi AG. Berdasarkan info dari https://www.facebook.com/pages/Assarkem/354066935069 Sarkem (Sanggar Kreativitas Mahasiswa) didirikan di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) dan diresmikan oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, Dekan FBS (Fakultas Bahasa dan Sastra) UNY pada 1999. Pemilihan nama Sarkem menuai banyak kontroversi. Bahkan Prof. Suminto hingga kini tak pernah menyebut mereka dengan nama Sarkem, melainkan Sarkema.
“Namun, mahasiswa di FBS pada waktu ngotot untuk menggunakan nama Sarkem. Sarkem mulanya bukan suatu kelompok kesenian, ia hanyalah sebuah tempat mangkal mahasiswa di sela-sela kegiatan kuliah. Lambat laun - dan karena tidak semua mahasiswa FBS UNY adalah anak orang berada - Sarkem menjadi tempat berkumpul dan tempat tinggal beberapa mahasiswa,” tulis Admin di kolom About.
Intinya, mereka hendak memadukan 2 genre seni yang berbeda. Musik menjadi berbobot dan ideologis karena harus menyesuaikan diri dengan puisi dan tidak melulu menuruti tuntutan pasar. Di sisi lain, puisi menjadi lebih mudah sampai kepada pembaca (pendengar) karena disampaikan lewat medium musik. Alhasil, musik dan puisi hadir untuk saling melengkapi dan mendukung.
Penampilan selanjutnya dari Komunitas Sabu. Menurut paparan pembawa acara sebelum Untung Basuki dan kawan-kawan naik ke atas panggung, Sabu singkatan dari Sanggarbambu. Malam itu, mereka membawakan 4 komposisi. Puisi-puisi yang dimusikalisasikan ialah “Kemerdekaan Aqua dan Coca-cola” karya Iman Budi Santosa, “Lagu untuk Helga karya” karya Linus Suryadi AG, “Berkalung Angan” karya Anjani Kanastren, dan “Sajak Sebatang Lisong” karya W.S Rendra.
Berikut ini kutipan puisi yang ditulis Rendra di ITB (Institut Teknologi Bandung) pada 19 Agustus 1977 silam dan diapreasiasi kembali oleh Komunitas Sabu:
“Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.”
Di sela-sela komposisi musikalisasi puisi Komunitas Sabu, Untung Basuki yang memakai jubah putih menyelipkan “mantra” kesukaannya, yakni “mitra kasih.” Lalu, terdengar komentar dari bangku penonton, “Wuih andalane (andalannya – terjemahan editor).” Langsung ditanggapi dengan plesetan khas kota Gudeg oleh Pak Untung, “Andalan jepit po (maksudnya: sandalan jepit apa? - terjemahan editor).” Ribuan penonton pun bertepuk tangan dan tertawa lepas.
Suasana kian heboh tatkala Wayang Hip-hop http://wayanghiphop.com/ unjuk kebolehannya. Wayang Hip-hop menyajikan pertunjukan yang memadukan unsur tradisi (wayang kulit) dan modernitas (hentakan musik hip-hop lengkap dengan iringan house DJ). Wayang Hip Hop diprakarsai oleh Ki Catur Benyek Kuncoro dan teman-temannya. Mereka mengintepretasikan cerita pendek “Pulang Tanpa Alamat” karya Abidah El Khalieqy yang dimuat di Jawa Pos pada 5 September 2010.
Pilihan kostum para personilnya pun mencirikan kombinasi antara yang gaul dan tradisional. Sang dalang tetap memakai blangkon, sedangkan para penyanyinya mengenakan topi ala rapper hip-hop. Di sela-sela adegan wayang hip-hop, Ki Catur Benyek Kuncoro juga membumbui dengan humor segar. Misalnya tatkala ia mengisahkan rayuan untuk tokoh Nita dalam cerpen tersebut, ada akronim “nganmunjang” (tanganmu panjang), “mbutmutam” (rambutmu hitam), “litmutang” (kulitmu sawo matang). Sontak dagelan tersebut disambut riuh tawa penonton.
Sebagai sajian pamungkas, Dinasti, Emha Ainun Najib, dan Kiai Kanjeng berkolaborasi membawakan puisi-puisi gubahan Cak Nun dari era 1976-1988. Antara lain judulnya “Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu”, “Menghisap Klembak Menyan”, “Bali” yang telah dimodifikasi menjadi “Nusantara”, “Nyanyian Gelandangan”, “Berdekatankah Kita?”, dll. Emha juga membacakan sebuah puisi karya Umbu Landu Paranggi yang berjudul “Apa Ada Angin di Jakarta.”
Berikut ini petikan liriknya:
“Apa ada angin di Jakarta?
Selalu saja ini jawabanku, atas semua pertanyaan dan pernyataan yang berhubungan dengan Jakarta.
Apa kau tak ingin bekerja di Jakarta?
Di Jakarta banyak lowongan pekerjaan.
Hidupmu takkan berubah jika kau tak ke Jakarta.
Orang udik, selamanya jadi orang udik.
Jakarta boi! Modernisme ada disana!
Dan jawabanku adalah, apa ada angin di Jakarta?
Apa ada angin di Jakarta
Seperti di lepas desa Melati
Apa cintaku bisalah dicari
Akar bukit Wonosari
Yang diam di dasar jiwaku
Terlempar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati.”
Menurut Cak Nun dalam musikalisasi puisi terdapat empat pola. Pertama, puisi dibaca dengan latar belakang musik. Kedua, puisi berselang-seling dengan musik. Ketiga, puisi dilagukan. Keempat, puisi dan lagu menjadi satu karena rohnya sama.
Di sela-sela penampilannya bersama Dinasti dan Kiai Kanjeng, pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 tersebut juga memberikan hadiah kepada Narto “Viul”. Ia meminta Jemek Suparti, seniman pantomime dari Yogyakarta untuk menyerahkannya. Ternyata Narto “Viul” dan Jemek Supardi masih tetangga sekampung. “Mereka ini sarjana-sarjana Universitas Patangpuluhan, mereka ini sahabat-sahabat saya sejak tahun 1970-an,“ ujar Emha.
Editor dan Foto : Nugraha A - Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar